Saturday, April 20, 2013

Magic in a Cup of Coffee II

“Nanti Eyang ceritakan, udah mau maghrib nih, udah mulai gelap, ayo masuk.” Kataku sambil membelai lagi rambutnya yang hitam itu. Persis Si Kasih, batinku. Za masuk ke dalam rumah, aku mengikutinya dari belakang, namun langkahku terhenti di depan pintu berkayu jati itu. Jemariku menari di atas ukiran ukiran khas Jeparanya, sambil menengok lagi ke langit luas yang terangnya mulai padam, berharap masih melihat sisa-sisa keindahan dari Sang Surya, namun, ia tak lagi di sana. “Yang? Kok masih di luar?” Tanya Za yang tanpa aku sadari sudah ada di sampingku. “Ora, ayo masuk…” Sambil menarik pintu, menutupnya rapat dan meninggalkan langit yang tak lagi hangat.
           
            Malamnya aku makan malam dengan Za, akhirnya rumah ini diisi oleh tawa renyah dari gadis cantik yang kini beranjak dewasa, karena biasanya yang menempati rumah tua ini hanya aku, Tun dan imajinasi-imajinasi yang terbentuk di tiap sudut ruangan, dan benda-benda di dalamnya. Hening. Aku tak pandai berinteraksi dengan orang. Satu sisi, kasihan juga cucuku ini, eyangnya tak bisa diajak bicara. Seringkali, aku terlalu sibuk dengan pikiran-pikiranku, dengan percakapan-percakapan yang memenuhi setiap ruang di otakku, si matahari, si bulan, si sendok, si garpu, si tembok, si jemari. “Apa aku gila?” Batinku. “Yang, eyang nulis cerita anak-anak dari umur berapa sih yang?” Tanya Za tiba-tiba, memecah keheningan di ruang makan. Senyum kecil menyembul dari bibirku, “habiskan dulu makananmu, Za…” Kataku seraya bangkit dari kursi meja makan. “Ciiit…” Suaranya berdecit seperti ungkapan rasa lega karena akhirnya nenek-nenek tua gendut ini menyudahi penderitaannya.
          
Tun sudah pulang. Sudah seminggu terakhir ini aku lebih nyaman sendirian di rumah. Untung rumahnya si Tun hanya di belakang rumah, jadi tak masalah aku suruh ia pulang setiap malam. Walau awalnya ia menolak, takut terjadi apa-apa katanya, tapi aku memaksanya dan mengancam memotong gajinya jika menolak. Haha dasar pembantu udik! Dia pikir aku akan bunuh diri karena kesendirianku? Aku bukan anak baru lahir kemarin sore, keriput keriput di seluruh tubuh, lemak-lemak yang menggelambir di perut, rambut yang sudah memutih inilah bukti keajaiban waktu yang telah mengubahku menjadi seorang nenek tua. Kalaupun akhirnya Tuhan memutuskan untuk menjemputku pada suatu malam nanti, toh aku jadi tak merepotkan siapapun, tenang, dan damai.

“Kau tak pernah menggunakan aku untuk menampung kebahagiaan duniawimu. Untuk apa kau ambil aku waktu itu?” “Aku juga!” “Iya Aku juga!” “Aku juga, aku merasa tidak berguna!” Mendadak dapur menjadi sangat ramai. “Kalian tau, cangkir itu punya banyak cerita.” Aku berusaha menjelaskan. Namun cangkir-cangkir ini tak juga mau mendengarkan. Semua ingin digunakan. “Aku tidak bisa, aku sudah merasa nyaman dengan yang itu.” “Dia hanya cangkir keramik tua yang bodoh. Warnanya tak semenarik kami yang belum pernah kau gunakan.” Kata sebuah cangkir merah menawan yang aku dapat saat pergi ke Paris. Cangkir yang indah, dengan sketsa kota paris dengan Eiffel yang menjulang di tubuhnya. “Aku bisa membawamu ke ingatan 40 tahun yang lalu, saat kau masih muda, cantik, tanpa keriput dan gelambir di perutmu, aku yakin kau masih ingat malam itu, di Caveau de la Huchette. Saat kau merasakan darah mudamu memuncak hingga ke ubun-ubun.”

Seketika tembok di sekitarku runtuh, berganti dengan suasana malam itu. Waktu seperti berjalan lebih lambat malam itu. Aku duduk di salah satu sudut dekat jendela dengan seseorang yang membawaku ke langit tanpa batas. Beberapa bintang terlihat ragu-ragu memamerkan keindahannya, sementara yang lain memilih bersembunyi di tengah kelamnya malam musim panas, “Manusia sudah punya lampu yang lebih terang dari kami, untuk apa?” kata mereka sambil menarik selimut kelam yang mengantarkannya untuk tidur lebih awal. Namun gelapnya langit di atas sana sepertinya tidak dipedulikan oleh banyak manusia-manusia yang tengah menikmati musik jazz yang mengalun lembut, beberapa pasangan usia lanjut turun ke lantai dansa. Awalnya aku merasa canggung, untuk apa ia mebawaku ke tempat orang-orang tua ini, tapi katanya ia bosan dengan hiruk pikuk bar yang dipenuhi anak-anak seumurannya, tak butuh waktu yang lama untukku menikmati suasana di tempat ini.

Aku kembali.

“Cukup!”

“Sudahlah aku tau kau menginginkannya, gunakan aku, dan ayo kembali ke cafĂ© itu sekali lagi.” Kata si cangkir merah sambil tertawa mengejek. “Tidak.” Segera aku ambil cangkir keramik tua, dan kututup rapat-rapat lemari yang berisi cangkir cangkir itu. “Aku tak perlu mereka untuk mengingatmu, semua telah terangkum di sini.” Batinku sambil memegang erat cangkir tua yang kini ada di dalam genggamanku, warnanya tetap putih walau telah dimakan zaman.

3 sendok teh kopi, 1 sendok teh gula dan air panas yang dikombinasikan menjadi satu. Itulah bahagiaku selama kurang lebih 40 tahun terkahir. Aromanya yang keluar saat air panas dituangkan ke dalam cangkir, memanjakan indera penciumanku, masuk ke otak dan menyengarkan seluruh sistem saraf di tubuhku. Sambil membawa secangkir kopi yang baru saja kubuat, aku berjalan menuju beranda rumah. Melewati Za yang kini tengah membereskan piring makan malam kami. “Za, udah biar Tun aja, besok, ayo ikut eyang ke depan.” “Bentar ya yang.” Za masih melanjutkan membereskan piring-piring. “Ah, sama ngeyelnya dengan Tun” Gerutuku.

Di Beranda rumah, aku segera menaruh kopi panasku di meja kecil di samping kursi goyang yang dulu aku dapat di Jepara bersama dengan pintuku yang ukirannya indah itu. “Ciiit…” Suaranya berdecita saat aku mendaratkan tubuh gempalku di atasnya, kursi ini seperti berkata seraya menarik nafas panjang “Ya… aku siap menanggung ini semua sampai jam 10.”

Malam ini Sang Dewi Malam tengah memamerkan kemolekannya. Tak sia-sia ia beradu mulut dengan Sang Surya, karena sekarang ia nampak cantik dari tempatku memandangnya. Dikelilingi oleh bintang-bintang yang memuji kecantikan parasnya. Kecantikan yang siapa saja bisa lihat, jika Sang Dewi memakai banyak alas bedak untuk menutupi keburukan keburukan yang melekat di wajahnya. Bahkan jika matahari tidak pernah ada, mana mungkin Si Dewi Malam ini tetap bersinar, padahal selama ini ia hanya memantulkan cahaya yang ia dapat dari matahari. Aku tertawa melihat kelucuan alam, bahkan kepalsuan sampai ke tempat yang paling tinggi.



»»bersambung««

Magic in a Cup of Coffee I

Matahari mulai beranjak dari singgasananya, berjalan perlahan ke peraduannya. Lelah mungkin, seharian ini mengawasi manusia dan kegiatannya yang membosankan. Sekarang ia merajuk pada bulan, minta digantikan. Si Bulan berjanji akan muncul setelah maghrib. "Langit akan kosong, dunia tidak akan lengkap, manusia manusia ini butuh cahaya" sergah matahari. "ah! Santai sedikit. Aku tengah berdandan, nanti malam manusia manusia ini harus melihat kecantikan dari Sang Dewi Malam" kata bulan seraya menyapukan bedak di wajahnya. "ayolah, kau sudah cantik" rayu matahari. "AH! KAU TAK TAU! AKU TIDAK BISA SEPERTIMU YANG SETIAP PAGI KELUAR DARI TEMPATMU MENDENGKUR HANYA DENGAN DIKOKOKI AYAM TANPA PERSIAPAN APAPUN!" "Aku..." "DIAM! AKU BELUM SELESAI! SEDANGKAN AKU, AKU HARUS MEMBERI ALAS BEDAK UNTUK MENUTUPI PERMUKAAN KULITKU YANG TIDAK RATA! KAU TAK TAU KAN!" nafas si Bulan masih naik turun. "oke, maaf... Aku mau tidur" kata matahari seraya melanjutkan perjalanan ke tempat tidurnya sambil berkata "ah sedang datang bulan mungkin"

Senyum menyembul dari bibir tipisku. Percakapan Matahari dan Bulan itu memang hanya ditemukan di otak seorang penulis buku dongeng anak-anak dan terkesan tidak masuk akal, tapi mereka hidup di sana, di otakku yang mulai sulit mengingat di mana aku menaruh gula, apakah di rak sebelah kanan atau rak sebelah kiri.

Suara pagar yang bergesek nyaring merusak keindahan soreku. Ah pagar sialan! Aku harus mencari tukang untuk membenahinya. Tapi sosok yang baru saja masuk dapat dengan segera mengembalikan kebahagianku.
Zahira. Cucu pertamaku datang berkunjung. Senyumnya yang memperlihatkan giginya yang putih, rambut hitam dan lebatnya yang melambai lambai dibalik pundaknya. Aku seperti melihat bidadari yang melintas di taman depan rumahku.

"eyang, kok masih di luar?" tanyanya. "sorenya bagus, kemari nak..." kataku kepada cucuku. Zahira duduk di sampingku, sambil membelai rambutnya "Kepiye mama sama papamu? Baik-baik semua to?" "baik-baik kok yang, zahira mau nginep rumah eyang, kangen sama eyang ndak apa apa kan yang?" katanya sambil mengeluarkan gorengan "yo nggak apa-apa, sing suwe sisan, nemenin eyang" kataku sambil menyeruput minuman hangat berwana hitam pekat di cangkir keramik bermotif bunga-bunga di tanganku. "haha nanti yang kalo udah libur panjang, zahira bobok di sini yang lama" katanya sambil menyenderkan kepalanya di pundakku.

Hening.

Sambil merasakan hangatnya kopi yang menjalar ke sela sela jemariku, menatap langit-langit, menerawang, seperti ada film yang sedang diputar di atas sana. Senyum kecil muncul menghiasi wajahku yang sudah dihiasi dengan kerutan-kerutan. Tak kusangka, waktu bisa memakan usia lebih cepat dari yang aku bayangkan.
"eyang mau cerita Za" kataku memecah keheningan sore itu. "cerita apa yang?". Tanya Zahira dengan wajah penasarannya.


»»bersambung««


Thursday, April 4, 2013

"YATIM!"

-->
Dan kami sampai di titik ini



Saat akhirnya tubuh si ibu tumbang

Di atas kasur tua yang entah masih empuk ia rebahkan tubuhnya

Ia tarik selimutnya hingga menutupi seluruh tubuhnya

Ia pejamkan mata selagi ribuan memori seperti sedang menghujani dirinya

Penuh. Sesak. Berdesakkan.

Ingin diraihnya. Satu saja.

Sayang, tak sampai.

Di sanalah ia terjebak dalam ruang bisu memori.

Si Bocah Kecil, Si Sulung, Si Bapak dan dirinya sendiri.

“Anakku….yatim?”

Lantas tertidur.



Lain lagi si bocah kecil

Di atas tanah lapang

Bermain berkejaran

Berlari ke sana ke mari

Mengejar matahari

Menangkap bayangan

Berhenti

Ia teriak. Menangis. Melempar semua yang ada di dekatnya.

Mata merah. Umpatan. Kejaran penuh dendam kepada teman kecilnya

Satu penyebab. Satu kata. “YATIM!”

Lantas berlari ke pelukan Ibu.



Lalu apa kabar Si Sulung?

Duduk. Diam. Dengan headset terpasang.

Musik mengalun. Semesta berdendang

Ia tersenyum. Tertawa terbahak-bahak.

“Semua akan baik-baik saja” Kata makhluk kecil bersayap di sebelah telinga kanannya.

“Optimis dan Sinting itu beda tipis!” kata makhluk bertanduk di sebelah telinga kirinya.

Dia tidak menangis.

Dia tidak mau dan tidak sudi bersedih untuk hal-hal kecil.

Bukan karena dia tidak tau bagaimana caranya.

Ada semacam parameter di otaknya.

Yang tersedih adalah tentang kehilangan.

Yang tersedih adalah saat kau tak lagi bisa lihatnya

Tertawa, tersenyum, bahkan sampai memarahimu.

“AH YATIM!”

Lantas pergi.