Thursday, October 24, 2013

Sebongkah Senyum di Jalan Jogja-Solo

Waktu menunjukkan pukul 16.45 WIB. Bukannya berada di dalam gerbong kereta yang akan membawaku ke Kota Istimewa itu, aku masih duduk di lobi Stasiun Purwosari, mencoba menelpon Ibu di Ibukota. Kertas HVS ukuran A4 yang bertuliskan "Kereta Jurusan Solo-Jogja berangkat pukul 20.30 Tiket Dijual pukul 20.00" masih merekat erat di depan tempat penjualan tiket, sementara di dalamnya tidak ada satu orang petugaspun  yang muncul untuk dimintai konfirmasi.

"Ah gagal naik kereta" Ujarku.

Sekelompok anak muda dengan membawa tas punggung yang penuh, dengan dandanan khas macam traveler, celana kulot, tees, kacamata hitam, topi, sandal gunung, ada di baris bangku lain, bersenda gurau, tertawa keras seakan mereka adalah pemilik alam. Di depan mereka duduk seorang ibu dengan dandanan menor, dengan travel bag dan kardus yang entah berisi apa namun terlihat penuh tersusun rapi di sebelah kakinya. Di depan dan di belakangku sangat terlihat dari pakaian yang mereka kenakan, pegawai kantoran, berusia sekitar 30an, dengan wajah kecewa, menunduk dan memainkan handphone mereka. "Nggak ada tiket mbak", kata laki-laki yang duduk di depanku, wajahnya masam, kekecewaan jelas sekali terlihat.

Setelah beberapa kali menelpon dengan ibu dan beberapa sahabat, aku mantapkan pilihan untuk melanjutkan perjalanan ke Jogja, baiklah kali ini aku akan naik bis saja. Dengan menaiki ojek aku sampai di shelter bis di depan Solo Square, kali ini waktu menunjukkan pukul 17.00 WIB.

"Ajeng teng pundi mbak?"
"kula badhe teng Yogya, Pak"
"Wah bisnya lagi wae jalan mbak, yowis ditunggu mawon mbak"
Sial...
"Oh, nggeh pak"

Angin dingin mulai bertiap, entah kenapa matahari meninggalkan panggungnya begitu cepat, digantikan mereka awan-awan hitam. Langit makin gelap, dan bis jurusan Yogya-Solo belum juga datang.

"Kayaknya bakal ujan" Batinku.

Benar saja, tak lama kemudian, hujan deras mengguyur kota Solo senja itu, diiringi dengan petir yang menyambar-nyambar belum lagi angin yang berderu kencang. Aku masih di shelter bus, menunggu giliran bisku datang dan mengantarku ke kota pelajar itu. Orang-orang di sekitarku mulai berhimpit ke tengah shelter, mencoba melindungi diri dari tampias air hujan menutupi tas, wajah, atau buku-buku sebisanya. Namun ada juga yang masih asik dengan telepon genggamnya, entah memperbarui status atau mengabarkan keluarga di rumah. Wajah yang aku lihat di stasiun kereta tadi berkali-kali lipat lebih banyak di shelter bus ini. wajah-wajah kecewa, wajah dongkol, wajah kesal.

"Nikmati momennya... Nimati momennya... Nikmati momennya...." Kataku berulang-ulang di dalam hati, berusaha untuk tidak terpengaruh emosi yang ada di sekitarku. Aku pun menunduk mencoba merasakan setiap titik air yang terciprat ke wajahku, merasakan dinginnya dan berdoa agar paling tidak hujan ini cepat mereda.

18.00 WIB akhirnya bisku tiba. Dengan tertib para penumpang masuk ke bis yang akan mengantar mereka ke kota gudeg itu. Aku duduk di baris kursi nomer 5 dari kursi supir. Setelah menyamankan diri tiba-tiba seorang suara wanita di sebelahku menyapa.

"Kamu UNS juga?"
"Eh... iya hehe, kamu juga?"
"Iya, hehe, kamu dari fakultas apa?"
"Aku FISIP, kamu apa?"
"Aku FKIP."

Dan begitulah akhirnya kami berkenalan. Kami bercerita tentang mimpi kami yang akhirnya harus pupus, bagaimana kami harus bangkit lagi, berusaha optimis di jalan yang sudah di Desain oleh Sang Maha Arsitektur kehidupan. Obrolan kami suungguh asik hingga aku tak sadar kalau langit-langit tepat di atas kepalaku bocor. Setelah melihat akhirnya aku memutuskan untuk berdiri saja hingga menemukan tempat kosong yang lain. Sedih sekali harus mengakhiri pembicaraan dengan Ayu, si teman baru dari FKIP, UNS.

AHA! Ada tempat kosong rupanya di sebelah bapak paruh baya itu, saat aku ingin menghampirinya, sayang sekali, rupanya tempat yang tidak diduduki itu juga bocor, baiklah, sebentar lagi pasti  ada yang turun, berdiri sebenetar nggak apa-apa kok, kataku dalam hati berusaha untuk menaikkan mood sendiri dengan berpositive thinking. Baru saja berusaha untuk menyeimbangkan badan di bis, seorang bapak yang duduk di sebelahku berkata,

"Di sini aja, Mbak"
"Oh, ndak apa-apa Pak"
"Lha ya nggak papa, di sini aja"
"Lha nanti Bapak gimana?"
"Saya nggak papa"

Serta merta Si Bapak berdiri, dan mempersilahkan aku untuk duduk di tempat duduknya.

"Subhanallah, baiknya..."

Bapak itu berdiri di jalan sempit di sebelahku, satu sisi aku merasa bersyukur atas hati nurani si bapak ini yang masih tergerak namun di sisi lain aku prihatin akan nurani entah berapa puluh orang yang ada di bis ini yang mungkin saja mempersilahkan aku duduk di tempatnya duduk namun nyatanya tidak mereka lakukan. Terima kasih tak lupa kepada Tuhan atas rahmatNya yang telah menyelipkan orang-orang baik di tengah krisis moral dan nurani di negeri ini. Di sebelahku duduk seorang laki-laki warga negara asing bersama teman wanitanya, mereka mengobrol asik tentang apa saja, film, musik, segala obrolan standard khas orang baru berkenalan, aku rasa. Tiba-tiba si wanita di sebelah pria bule itu menepuk tanganku.

"Mbak mau ke Jogja juga?"
"Iya"
"Oh, mau turun di mana?"
"Di Prambanan mungkin"
"Oh kalau Maguwo itu setelah prambanan kan ya Mbak?"
"Iya, nanti juda kernetnya bilang kok kalo udah di Maguwo"
"Oh yaudah, makasih ya Mbak"

Cukup untuk hari ini. Aku ingin menggunakan waktu sempitku sebentar untuk menikmati me-time. Aku rogoh headset dan handphone dari dalam tasku. Lantas kumainkan playlist yang ada. Perlahan musik mulai mengalun, Ronan Keating mulai menyanyikan bait demi bait lagu yang berhasil mereka cover dari The goo Goo Dolls berjudul Iris. Di tengah hujan yang mulai mereda entah di sebelah mananya Klaten aku berada, aku merasa syahdu.

"... And I don't want the world to see me...
Cause I don't think that they understand...
When everything's made to be broken...
I just want you to know who I am..."

Aneh. Aku merasa ada mata yang tengah memperhatikanku. Lalu aku menengok ke kanan dan kiri. Benar saja, kedua bola mata bapak tadi memang tengah memperhatikanku lewat lirikkannya. Senyum hanya itu yang bisa aku lakukan.

"Mbak mau ke Jogja?"
"Iya pak, bapak juga?"
"Oh nggak mbak, saya cuma sampai Waru"
"Oh gitu, Jogja masih lama ya pak?"
"Ya mungkin nyampai sana sekitar jam 7.30 mbak, lha mbak mau ke mana?"
"Saya mau ke Gunungkidul, Pak"
"Oh, tapi sekolah di Solo? Di mana mbak?"
"Udah kuliah, Pak, hehe. Saya kuliah di UNS"
...........

Lalu secara otomatis percakapan kami mengalir begitu saja, Si Bapak bercerita tentang dirinya, tentang keluarganya, tentang anak-anaknya, tentang Klaten dan tak lupa tentang cuaca. Kami bercengkrama dengan sangat akrab kala itu, persis seperti seorang keponakan dengan pamannya.

Singkat cerita si Bapak turun setelah sebelumnya sempat mengucapkan doa semoga aku sampai dengan selamat di rumah, diikuti bebeberapa penumpang lainnya. Bis yang aku tumpangi makin sedikit penumpangnya., akhirnya ada juga dua bangku kosong untukku duduk. Duduk di pinggir kaca, sambil melihat titik-titik air sisa hujan tadi, kembali dengan headset dan playlist dari handphoneku, kali ini giliran Hayley Williams yang mengguncang telingaku dengan Pressure-nya.

"...I can feel the pressure
It's getting closer now
We're better off without you..."

Lalu ada seorang ibu yang tengah kesulitan untuk menempatkan dirinya untuk duduk.

"Mari Bu..." Sambil menyingkirkan tasku dari kursi di sebelah
"Makasih mbak, aduh saya nunggu bisa udah hampir sejam baru deh dateng ini, hujan deres banget tadi di sini...."

Kata Si Ibu dengan antusiasnya cerita. Diam-diam aku mencopot headsetku dan mulai mendengarkan ceritanya. Kali ini aku sempat berkenalan dengannya, namanya Ibu Angelika. Dia bercerita lebih banyak, tentang kehidupannya, tentang pekerjaannya, anak-anaknya, dan bagaimana ia harus bolak-balik setiap hari dari Jogja ke Klaten untuk mengurus keluarga, bekerja di rumah sakit dan mengurus ibunya. Ia juga bertanya tentang bagaimana latar belakangku, di mana sekolahku, dari mana asalku, dan........sukakah aku tinggal di Jogja? atau Betahkah aku tinggal di Solo. Segala pertanyaan yang mungkin akan dianggap orang sebagai pertanyaan yang tidak penting dan terlalu banyak basa-basi, namun, ya itulah kami malam itu, kami bertukar cerita, bertukar pandangan tentang tempat yang membuat kami nyaman dan merasakan sensasi dari hidup yang tak hanya sekedar bernafas untuk bertahan, tetapi juga menikmatinya.

Dari Ibu Angelika, malam itu saya belajar bahwa yang kita butuhkan untuk terus melanjutkan hidup adalah menjalaninya. Tak perlu banyak berteori, apalagi ketakutan-ketakutan akan apa yang bahkan belum kita temukan.

"Iya Mbak Anin, jalani aja, nanti juga nggak kerasa kok, yang penting tetep ngelakuin yang terbaik"

Sepenggal kata dari Ibu Angelika yang akan selalu kuingta. Juga ekspresinya saat mengatakan kalimat itu, sebongkah senyum di bibirnya dipoles gincu merah merekah, terlihat kerut-kerut di wajahnya, menandakan usianya sudah tak lagi muda, namun tetap indah. Juga doanya, agar aku lancar di dalam prosesku menempuh pendidikan tinggi dan sukses untukku di kemudian hari.

"...aamiin"


Hari itu akhirnya aku melakukan perjalan lagi dengan angkutan umum. Malam itu aku punya cerita baru tentang orang-orang baru yang mewarnai jalan panjangku. Malam itu aku membuktikan kepada kalian semua yang membaca ini, bahwa berpergian sendirian tidak seburuk itu. Dan karena malam itu, sekarang aku berseru kepada kalian yang membaca ini, jangan takut untuk berpergian sendiri dengan bus kota. Jika kalian sudah melakukannya, buka mata, buka telinga dan buka hati kalian, ada banyak cerita yang bisa kau ukir di sana, di dalam bus kota.