Monday, October 20, 2014

Ironi

ungkin dia kedinginan dengan balutan kaos ketat dan celanan super pendek jauh di atas lutut. Mungkin dia sebenarnya penat dengan hiruk pikuk tawa teman-temannya atau pisuhan teman-temannya. Mungkin dia sebenarnya sesak dengan asap rokok teman-temannya. Mungkin dia sebenarnya ingin pulang, tidur nyenyak dengan selimut tebal, di kamarnya yang nyaman, bukan di sini di bawah sorotan lampu jalan yang mengekspos bagian-bagian tubuhnya yang diumbar percuma, di pinggir jalan. Mungkin jauh di dalam lubuk hatinya, dia mengharapkan jalan yang lain..

Wajah sedih itu mewarnai malam kota Solo. Diam-diam menjadi perhatian saya yang sesekali melirik ke arahnya. Wajah sedih itu, apa artinya? Ingin bebas dari tuntutan atau perbudakan uang? Atau wajah kerinduan dengan kekasih? Atau lelah? Atau penat? Atau saya saja yang malam ini terlalu melankolis lantas meng-hiperbola-kan semua yang saya lihat?

Malam ini saya melihat wajah lain Solo pada malam hari. Saya pernah menulis tentang keindahan Solo di malam hari, tentang bagaimana indahnya melewati jalan Slamet Riyadi saat sudah lewat dari jam sepuluh, di bawah sorotan lampu jalan, atau semberibit angin malam. Malam ini saya namakan wajah sedih itu, ironi.

Ironi di siang hari, melihat pusat-pusat peribadatan yang menjamur, bapak-bapak bersarung rapi dan berjalan menuju masjid yang tengah manggaungkan adzan, atau ibu-ibu yang setengah berlari menyebrangi jalan raya memeluk bible baru saja selesai kebaktian di gereja.

Ironi juga ada di pasar-pasar, tebar senyum sana-sini, ramah perangainya, bersahabat dengan siapa saja yang baru dikenalnya. Ironi yang jadi representasi. Untuk sebuah kota kecil yang kaya akan budaya dan seni. Untuk kuliner dan tradisi. Ironi hari ini.

Matahari kembali ke tempat tidurnya, dan  Ironi berbeda dengan yang siang hari. Ironi kali ini ada di tempat-tempat yang paling gelap hingga di bawah selimut, sampai di bawah sorotan lampu yang paling terang. Ada di tempat yang paling sunyi  di dalam kamar, hingga paling hingar bingar dengan musik yang berdentum.

Itulah ironi kota kecil ini. Di mana tempat peribadatan, kelompok-kelompok agama mampu berkembang dengan pesatnya, tetapi ternyata tempat dan tindak prostitusi tidak juga mampu dilibas habis? Pertanyaanya, sudah sampai sejauh manakah kekuatan dakwah setiap agama yang berkembang di kota ini? Karena itulah ironi, di mana protitusi dan religiusitas berjalan berdampingan, saat di buku-buku teori, ada hal-hal yang mampu menjadi kontrol bagi hal lainnya, dalam kasus ini, Agama yang mengkontrol prostitusi. Inilah ironi, saat keduanya seakan memiliki jalannya masing-masing, berjalan berdampingan, tidak saling menggangu, bahkan menjaga masing-masing pihak.

Ironi, itulah wajahmu hari ini. Basuh wajahmu, hapus make up dan lekas tidurlah, Sayang. Hidup memang berat, namun itulah gunanya ber-Tuhan, agar pundakmu terus dikuatkan.


Ironi, tidurlah, Sayang..





Sunday, October 19, 2014

Angkringan dan Lamunan

Setelah kurang lebih 45 menit perjalanan dari kampus ke rumah dan berkontemplasi tentang di mana aku harus makan, akhirnya pilihanku jatuh ke Pak Lodhang. 

"Jahe ya pak."
 Iya jahe saja, malam ini aku ingin tidur cepat.

"Minum sini apa bungkus?"
Tumben Pak Lodhang menanyakan hal ini, padahal ini sudah lebih dari pukul dua puluh.

"Sini, Pak"

Ada dua orang bapak-bapak yang duduk di sisi barat gerobak kecil Pak Lodhang. Banyak juga yang mereka obrolkan. Sambil mengambil nasi teri, satu buah tahu bacem untuk malam ini tanpa dibakar, diam-diam aku ikut mendengarkan obrolan si Bapak dengan peci hitam, umurnya kurang lebih sudah empat puluhan tahun.

"Yo, uripke gur sarana dinggo mengko ning akhirat."
Ya, hidup itu hanya sarana untuk nanti di akhirat.
Si Bapak yang omongannya diiyakan Pak Lodhang dan satu rekan di sebelahnya sampai mengulangi kalimat ini tiga kali.

Sederhana sebetulnya, pun diajarkan di sekolah atau lembaga-lembaga pendidikan lainnya. Tapi itulah angkringan. Keserdahanaannya memang tak pernah tak istimewa. Ingat postingan saya tentang angkringan? Ya, lagi-lagi angkringan membuat kita lebih dekat lagi dengan keadaan sosial masyarakat. Bahkan dalam posisi tidak terjun langsung ke dalam percakapan tersebut, Hanya menjadi pendengar yang budiman pun angkringan mampu mengajak siapa saja untuk membentuk satu frame yang "satu", kira-kira begitu kalau kata anak-anak organisatoris.

Sambil mengambil satu buah sate telur pindang, saya berpikir. bagaimana jadinya kalau nanti, anak-anak muda hanya menjadikan angkringan sebagai sarana untuk mencari makanan murah bukan untuk mengetahui apa saja yang tengah hangat dibicarakan di tengah masyarakat kita? Bagaimana jadinya jika nanti angkringan kita digantikan coffee shop("warung kopi" dalam versi yang lebih mewah,katanya)? Obrolan kita digantikan deretan kata di layar laptop atau suara kucuran air panas ke dalam gelas digantikan dengan musik jazz atau lagu-lagu top 40?

Akankah angkringan kita bertahan di tengah gerusan jaman?

Semua bisa hangat dengan kopinya atau dengan tehnya atau dengan coklatnya, segala minuman yang tidak hanya dijual di angkringan. Tapi, angkringan menyediakan satu yang tidak dijual di coffee shop manapun, obrolan.


Malam.





Tuesday, October 14, 2014

Allah Tahu Lelahmu

Judul pos ini dipopulerkan oleh salah satu kakak, teman, inspirator saya di BEM UNS, Mbak Titis, Menteri SOSMA, yang ceria, suka naik gunung tapi juga ukhti yang sholehah. Sampai saat saya benar-benar lelah, saya Cuma ingat kata-kata ini saja dalam hati. Makasih Mbak Tis.
Perjalanan selama dua hari di Segorogunung untuk kegiatan LDK di Fakultas saya memang tidak biasa. Banyak sekali nilai plus-plus yang saya dapatkan dari sana, teman-teman baru dari angkatan 2014, target baru untuk dicapai, pelajaran-pelajaran baru, atau hal-hal remeh lainnya seperti “asiiik gue bisa nih naik di jalanan kayak gini pake rok” atau “karena gue gak boleh muncak, ini jadi simulasi muncaknya Anin ajalah.”
Kata Bang Azhar, menulis itu merapikan kenangan, kini saya tambahkan lagi definisi saya tentang menulis. Menulis itu melampiaskan rasa lelah. Semoga pos ini tidak semelelahkan kelihatannya.

...

            Kemudian saya merebahkan badan saya di atas rerumputan, menghadap ke langit dengan dipayungi pohon-pohon yang menjulang tinggi di atas saya. Subhanallah, akhirnya bisa kayak gini, melihat ke langit luas, mengagumi karyaNya, dan berkumpul dengan saudara-saudara demi mempererat ukhuwah.
            Saya suka langit, dia terlihat kuat, perkasa, tapi juga lembut dan meneduhkan. Tapi entahlah, saya belum lihat langit saat sedang ada Tornado, jadi saya belum tahu saya masih akan menyukainya atau tidak nanti. Entah berapa kali theme song kebanggaan saya saat melihat langit dengan pohon-pohon atau gedung-gedung yang saya tangkap menjadi lebih indah lagi dengan lagu itu, Sweet disposition dari The Temper Trap.





            Melihat langit dan memandanginya itu seperti melepaskan segala kelelahan yang selama ini bergelayut di pundak-pundak saya. Seperti mempertemukan mata dengan Tuhan di atas sana dan bercerita tanpa banyak kata dan membiarkan hati yang berbicara, “Ya Allah, Anin capek.” Beauty heals. Memang sepertinya sepele, tetapi belaian angin sore, empuknya rerumputan, suara serangga hutan yang serupa dengan yang ada di film Petualangan Sherina saat pencarian Saddam dan Sherina, dan segala keindahan lainnya yang tak akan mampu saya sebutkan semuanya. Rasa lelah itu pergi dibawa angin yang membelai kerudung, meresap jauh ke dalam tanah saat kita merebahkan diri di atas rerumputan, menguap oleh sinar matahari, dan rontok melalui kepala pada sujud-sujud kita setiap sholat.

            Lelah itu hilang saat kita bersyukur−Anindya Roswita

            Setelahnya adalah tentang permainan pola pikir dalam menyikapi lelah. Terkadang kondisi sangat rumit untuk disiasati, dan akhirnya adalah memang pikiran kita yang harus disiasati. Untuk saya, berpikir positif adalah salah satu siasat untuk mengelabuhi logika yang mengatakan berkali-kali “koe ki lelah, lereno.” Semacam kata-kata yang memanjakan siapa saja kalau saya boleh bilang. Saya menolak untuk berhenti, setidaknya untuk saat ini. Menurut saya ini bukan waktu yang tepat untuk berhenti. Boleh lah, duduk sebentar sambil ngupi-ngupi, tapi tidak lama. Saya ingat kalimat teman saya, Desta; inspirator lainnya dalam hidup saya, pernah mengatakan, “Semangat ya teman-teman, kita nanti istirahatnya di surga aja :)” Sederhana tapi mengena. Setiap perjuangan yang kita lakukan di dunia ini pasti akan ada imbalannya, entah itu hal yang baikkah atau hal yang burukkah, Allah juga sudah menerangkannya di Al Quran. Segala bentuk kelelahan kita dalam jalan dakwah, jalan kebaikan, pasti akan diberi imbalan yang setimpal sesuai dengan niat awal kita, untukNya, untuk kepentingan umatNya, untuk beribadah kepadaNya.
            Saya pribadi, saya tidak pernah berpikir bahwa apa yang saya lakukan adalah sebuah kesibukkan. Karena kesibukkan itu sendiri identik dengan seuatu hal yang memberatkan, penuh dengan tekanan, sesuatu yang tidak menyenangkan. Saya lebih suka menyebutnya “mengisi waktu luang.” Kenapa? Coba ingat-ingat lagi kegiatan-kegiatan yang kita lakukan untuk mengisi waktu luang, pasti hal-hal yang memang menyenangkan, santai, atau terdengar lebih bersahabat. Lelah itu ada dua, lelah fisiknya dan lelah pikirannya. Jika sugesti kita tentang menghadapi rasa lelah itu berhasil, kita sudah bisa mengurangi kemungkinan kelelahan pikiran bukan? Sedangkan kelelahan secara fisik bisa disembuhkan in shaa Allah dengan tidur cukup, makan makanan yang bergizi, atau dengan mengkonsumsi vitamin.
         
Selamat pagi, selamat melanjutkan perjuangan
Ingat, peluh yang kita keluarkan itu kadang godaan
Jangan takut untuk merasa lelah





Tujuan Awal

          Dari sebuah sekre kecil penuh melodi, petikan gitar, tabuhan kajoon, dan suara merdu dari seorang vocalist, di sudut sebuah kampus , mari merapikan kenangan. Menulis dan menikmati keindahan. Tentang persahabatan.

          Pagi itu saya meluncur dari tempat saya menuntut ilmu, sekitar 30an kilometer ke tempat di mana tidak ada satupun sinyal operator yang sampai di sana. Ke sebuah tempat yang menurut saya sudah jadi obat muncak untuk saya yang sudah punya KTP tapi tidak juga boleh muncak sama ibunda di rumah. Tempat saya  berkumpul dengan para sahabat yang berada di jalan yang sama, dengan semangat pembelajar yang sama, untuk agamaNya. Bismillah.

          Untuk saya pribadi, dua hari yang katanya disebut MAKRAB untuk Keluarga Muslim FISIP itu tidak hanya sekedar makrab, itu lebih dari Makrab, dua hari itu adalah dua hari penuh pelajarandan hari-hari di mana saya bisa introspeksi tentang bagaimana saya selama ini baik di organisasi, di lingkungan atau di keluarga saya.

...

          Pertanyaan pertama, kenapa sih kamu berorganisasi?
Pertanyaan yang biasa ditanyakan saat kita inteview di open recruitement suatu organisasi. Dan kira-kira begini motivasi saya waktu mendaftar ingin menjadi salah satu anggota BEM FISIP UNS,




Dari yang saya dengar dari pemateri saat itu, beliau mengatakan ada 3 motivasi yang biasa disebutkan oleh orang-orang yang sedang interview, mengapa ingin masuk ke organisasi tersebut? Jawabannya, yang pertama adalah; mencari ilmu, lalu mencari jaringan, kemudian mencari pengalaman. Bisa dibilang betul juga, saat saya beberapa dihadapkan dengan beberapa teman yang saya screening untuk masuk ke sebuah kegiatan kebanyakan itu tujuan-tujuan yang ingin mereka capai saat masuk ke sebuah organisasi.
          Tetapi ternyata kata pembicara saat itu yang mana adalah ketua LDK Tingkat Universitas tidak perlu masuk Organisasi kalau yang ingin dicapai adalah hal-hal itu saja. Kalau dipikir, betul juga, lantas saat kita sudah merasa cukup dengan ilmu kita tentang ke-organisasi-an, atau kita sudah memiliki cukup teman, atau sudah harus loncat ke organisasi lain agar, karena jaringan yang kita bangun dari organisasi tersebut sudah banyak dan mulai harus membangun, atau alasan lain yang sifatnya bisa habis, bisa hilang, bisa sajakita tinggalkan sewaktu-waktu.

                         Jangan tanyakan apa yang negara berikan padamu, tanyakan apa yang sudah kau berikan pada negara! –John F. Kennedy

Kadangkala, entah siapa, tau mungkin saya sendiri, lebih sering menuntut organisasi saya menjadi A atau B, tapi lupa, tujuan awal saya yang ada di atas tadi, ingin menjadikan organisasi ini lebih baik dan lingkungannya lebih baik juga. Padahal jika kita membuat sebuah daftar tentang apa saja yang sudah saya lakukan untuk organisasi saya mungkin saya akan kebingungan untuk menuliskan apa saja yang sudah saya berikan untuk organisasi saya.
    Kalau keinginan kita timbul tenggelam, mimpi kita kadang terasa blur dan kita merasa berat untuk merealisasikannya, pasti ini saatnya untuk menggantungkan impian kita untuk organisasi yang kita ikuti lebih tinggi dari sekedar awan-awan di langit, lebih indah dari birunya langit, lebih jauh dari matahari atau Pluto sekalipun. Pastii ini saatnya untuk saya dan teman-teman untuk memberikan menitipkan mimpi-mimpi saya kepada Allah, untuk digenggam, untuk dijadikan pengingat bagi kita, agar saat kita lelah, kita kembali lagi padaNya, kembali mengingat kenapa kita memulai jalan yang ini, dengan tujuan akhir tentu untuk mendapatkan ridhaNya.






        

Tuesday, October 7, 2014

Mengingat Jakarta

sumber : images


“Sounding like another cliche...”

Langit Solo sore ini sudah tak lagi sebiru tadi siang, warnanya... jingga? Nila? Orange? Ah entah namanya. Segelas jus mangga dengan warna senada dengan Si Langit mantap berdiri di samping laptop, berkali-kali menggoda perhatian saya yang mencoba fokus ke tulisan ini. Di waktu yang bersamaan semua orang terlihat berbicara dalam diam di hadapan saya, suara mereka redam dan digantikan oleh suara Danny O’ Donnough yang menyanyikan No Words dan menambah kesyahduan versi saya sore ini. Kau tau apa ini? Indah.

Indah. Itu juga yang saya tau saat beberapa waktu lalu saya ada di tengah kemacetan di kota Jakarta di jalan Melawai menuju rumah Bunda, atau sore lainnya di Mampang di tengah kemacetan menuju rumah Tante, suara musik dari headset yang saya kenakan saat itu beradu dengan suara pengamen dengan ketipung atau gitarnya yang bersahut-sahutan dari kursi ketiga pintu depan dan kursi kedua pintu belakang, masih ditambah dengan bapak-bapak yang membawa kantung plastik penuh dengan bungkusan tissue, atau bapak lainnya yang membawa ember sambil teriak “mijon mijon, mijon!” Belum lagi bapak yang menggantikan bapak yang lain, dengan strategi marketing yang dipelajari secara otodidak, menawarkan barang mulai dari alat menjahit portabel, buku resep, sampai jepit rambut. Atau dua orang yang tengah kasmaran, si wanita menyandarkan kepalanya di pundak si laki-laki, tanpa malu tanpa ragu memamerkan kemesraan, sepertinya memang benar ungkapan “saat jatuh cinta, dunia milik mereka berdua, yang lain cuma ngontrak.” Indah memang melihat mozaik-mozaik kehidupan orang Jakarta lewat bus kota, karena selalu ada saja yang bisa dipetik untuk menjadi cerita di sebuah postingan blog.


Indah juga saat aku terjebak di dalam 7-Eleven menikmati segelas machiatto, dengan buku catatan kecil souvenir  pernikahan entah siapa, dan memperhatikan anak kecil di seberang meja dengan umm.. sepertinya segelas coklat panas bersama ayahnya yang sesekali sibuk dengan laptopnya. Hujan tak kunjung reda hingga gelas kedua, Coklat panas. Indah memang, Jakarta selalu punya tempat untuk menyepi di tengah hiruk pikuknya.

Sedih tapi tetap indah juga, saat melihat anak-anak kecil dengan payung-payung besar, bermain di bawah hujan lebat, tak takut dengan suara guntur yang terdengar sesekali, menjemput satu per satu ibu-ibu kantor dari satu sisi ke sisi lainnya, lumayan, goceng kalau beruntung ceban. Kedinginan, tapi tetap senang juga mereka, melihat tawa mereka itu ummm menyenangkan tapi menghadirkan rasa getir juga di hati, harusnya mereka ada di dalam rumah, membaca buku atau bobok siang.                                                                                                                           

Indah juga saat iseng naik Transjakarta ke mana saja untuk membunuh kebosanan. Kemudian berbagi tempat duduk untuk ibu hamil atau ibu yang membawa anak kecil, melihat seulas senyum darinya, tidak perlu kenal, tidak perlu lebih banyak percakapan, hanya senyum saja cukup, sudah terasa indah dan meneduhkan.

Atau di Metromini 610 jurusan Blok M-Pondok Labu, bertemu dengan sekumpulan anak punk di jalan Melawai yang meminta uang dengan sebelummnya mengutarakan One Minute Talk tentang bagaimana mereka meminta uang tanpa harus ada yang kena jambret dll, secara halus, untuk pertama kalinya saya berpikir “ih ngancem-ngamncem tapi minta duit, kerja kali bang”.  Indahnya perbedaan dan perihnya kesenjangan kalau saya bisa bilang.

Saya pernah dengar, beberapa teman yang tidak suka Jakarta, terlalu bising, terlalu tidak produktif, terlalu tidak kondusif, dan terlalu-terlalu lainnya yang mengarah pada hal-hal negatif. Dalam pos ini, saya ingin mengingat Jakarta lagi, lewat memori saya saat ada di dalam bis, di dalam Transjakarta, menikmati langit sore Jakarta. Jakarta tidak seburuk itu bagi saya. Jakarta yang katanya kejam itu, selalu punya tempat untuk siapa saja yang ingin berusaha. Jakarta yang katanya keras itu, punya orang-orang yang tahan banting dengan daya survival yang tinggi. Jakarta yang katanya tidak kondusif itu selalu memberikan pelajaran di setiap tempatnya. Setiap orang di dalamnya punya cara yang berbeda untuk mencintai kota ini, kota megapolitan atau megapolutan? Ini masih PR untuk siapa saja yang menginjakkan kakinya di tanah Ibu Kota.

Jakarta yang indah, seindah saat saya tiba-tiba teringat tentang dirinya di belahan dunia lain, menatap langit yang sama, entah tengah bertabur bintang atau diterpa sinar matahari terbit atau juga langit sore yang menyamankan seperti langit sore Jakarta kala itu.

Jakarta, saya rindu.






Sunday, October 5, 2014

Be Yourself?

This post contents too many rude words, don't read it before it's too late.










Kalau kata bang Azhar Nurun Ala, penulis buku Ja(t)uh, Tuhan Maha Romantis dan Seribu Wajah Ayah, menulis adalah ritual untuk menasihati diri sendiri. Bagi saya, menulis itu seperti menciptakan panggung sendiri untuk melepaskan beban-beban yang selama ini menggumpal di sudut-sudut otak dan minta di keluarkan, berekpresi, berkontemplasi, apalah nanti akhirnya yang jelas, pada akhirnya yang ditemukan dalam tulisan saya adalah saya sendiri.

            Seruwet itukah urusan tulis menulis? Ah tidak juga, mungkin memang hanya saya yang mematok standard tinggi untuk sebuah aspek “kepenulisan”, karena banyak di antara kita entah di sudut bumi sebelah mana yang menjadikan dirinya pelacur tulisan, iya, pelacur. Menulis untuk sesuatu yang sebenarnya bukan dirinya, tetapi untuk suatu kebutuhan entah ekonomi atau citra, tetap juga dilakukan.

            Jadi pelacur itu bukan hanya untuk mereka yang menjajakan tubuhnya di tempat-tempat prostitusi? Ah menurut saya tidak juga, untuk mereka yang tidak bisa menjadi dirinya sendiri atas nama citra juga sama halnya dengan mereka, hanya saja dalam bentuk lain.

...

Haha sudah-sudah misuh-misuhnya. Sebenarnya itu tadi bentuk kekesalan saya yang sudah naik ke tahun ke-2 di masa perkuliahan, lihat betapa cepatnya waktu berlari, entah seberapa cepat kita mencoba menyamakan kecepatan dengannya seolah terus saja kita ada di belakangnya. Bukan kesal pada waktu, tapi kesal pada respon orang dalam menyikapi kenaikan tingkat itu sendiri.
            “Udah semester 3 lho... udah punya adik..”
Kemudian dilanjutkan dengan kalimat ini,
            “Harus bersikap, harus jaga image, behave dong...” dan lain sebagainya dan yang lebih parah,
            “Boleh sikap kayak gitu, tapi kalo di depan adik-adiknya jangan kayak gitu...”
Bukannya saya menolak untuk melakukan itu semua, toh memang sangat diperlukan, tetapi, untuk apa membangun citra diri bahwa kita adalah orang yang dewasa saat otak dan hatinya bahkan belum sampai ke sana. Katanya setiap orang punya prosesnya masing-masing? Katanya disuruh menikmati proses? Katanya jadi dirimu sendiri? Lha kok ini malah dilimit?

Bukankah alangkah lebih baik jika kita mengenalkan diri kita sebagai diri kita  sendiri? Mengenalkan diri sebagai sesama teman yang masih berproses dan sama-sama dibetulkan jika salah? Karena akan sangat aneh, saat kita tahu seseorang dengan wibawa dan bijaksananya, kemudian kita tahu bagaimana aslinya saat bukan di muka umum, dan memunculkan statement,
“Oh, kayak gitu aslinya...”

Ada lagi yang bilang ke saya “Kamu masih suka nonton *mention film anak-anak*?” saya jawab “suka..” dijawab “ya harus dikurangin, nanti nggak dewasa-dewasa.” Sedikit jengah sih, tapi saya tanya lagi, “Emang dewasa itu gimana?” dijwabnya, “Ya dikurang-kurangin yang seperti itu, kan pikiran kita dikontruksi oleh buku yang kita baca, film yang kita tonton, musik yang kita dengar, ...” Pernyataan tersebut memang benar, saya pun setuju tapi, what is grown up actually? Is it something that you can see only by the look? Or what? Cause for me, maturity is on your mind, and is about experience you’ve taken, not about the way you dress, the way you laugh or talk(I talked about “the way” not “something you brought in your words”), cause everyone fake it these days, and maturity doesn’t define it.

Jadi ya gitu, saya biasa diperlakukan sebagai teman bukan sesuatu yang ada tingkatannya even my mother, and father, and the whole family treat me so, except for some important cases. No wonder, saya memperlakukan adik-adik saya juga selayaknya saya berteman dengan mereka, kami sebaya dan lain sebagainya, akan terasa bedanya, saat adik kita misalnya, mengerjakan sesuatu saat kita meminta bantuan atas dasar “patuh” atau “dengan senang hati membantu temannya.”

Kembali ke dunia kampus, saat saya dengan bercanda bilang “hahaha gue gagal branding”, saya jadi berpikir sekarang, sebenarnya apa yang saya ingin mereka lihat tentang saya? AHA! Sekarang saya punya jawabannya, saya ingin teman-teman saya melihat saya sebagai diri saya, bukan orang lain, sebagai anak rantau yang juga sedang berproses, yang kadang masih salah, kadang juga benar karena nggak selamanya kan orang salah terus atau benar terus, tapi tetap terus belajar, sebagai amphibi di dunia pergerakkan mahasiswa, dakwah dan dunia seni, sebagai orang yang nggak malu jadi dirinya sendiri, karena di dunia perkuliahan saat bahkan kita tidak menentukan di mana kita berpijak, habislah kita tenggelam kena hempasan ombak entah pergaulan atau ideologi.


PS. Jangan bilang-bilang ya saya buat tulisan ini.