Tuesday, July 25, 2017

Break the Chain : Thoughts of Bullying, Body Shaming & Body Authority

Sekitar seminggu yang lalu jagad dunia maya –pada khususnya, booming akan berita meninggalnya seorang orang yang bisa dibilang berpengaruh. Our beloved Chester Bennington, Linkin Park’s former vocalist. Di luar bagaimana gaya hidupnya, dia adalah orang yang berbakat, menyelamatkan playlist saya dari kealayan pada masanya, dan berhasil membuat lirik-lirik lagu yang mendalam. Dia meninggal di umurnya yang ke 41, karena bunuh diri. Depresi yang dideritanya ini ternyata disebabkan oleh bullying dari lingkungan sekitarnya, juga bentuk-bentuk diskriminasi dan pelecehan seksual yang diterima oleh Chester sewaktu ia masih kecil dilansir dari Opini.id. Tapi, mari kita doakan saja semoga ia tenang di sana. Karena ada hal yang lebih urgent untuk dibicarakan sekarang.

Kita sering banget menganggap enteng masalah bullying dan diskriminasi di antara lingkaran pertemanan kita. Bullying dari tingkatan yang masih berupa verbal, ancaman hingga yang paling parah hingga “turun tangan”. Saya mau cerita dulu nih tentang seorang kerabat, ada momen di mana selama seminggu sekolah, hampir setiap hari saat pulang dia akan menangis mengadu ke Mamanya. Nggak punya teman di kelas katanya, dapat ejekan ini itu katanya, sampai puncaknya temannya sampai sengaja menyembunyikan baju olahraganya dan alhasil baju itu tidak pernah kembali lagi sampai hari ini. Sementara apa yang dilakukannya di sekolah hanya diam dan menangis sesampainya di rumah. Saya cukup bersyukur dia tidak menangis di hadapan teman-temannya. Terdengar seperti sinetron remaja-remaja salah gaul memang, tapi itu kenyataan. Saya jadi berpikir ulang kalau sinetron itu hanya bentuk hiperbola dari kehidupan nyata, karena sepertinya kehidupan nyata kita memang “sehiperbola” itu. 

Itu soal bullying dan diskriminasi. Jujur saja, baru beberapa bulan terakhir saya mulai jengah dengan orang-orang yang selalu melakukan “body shaming” kepada orang lain. Dan hal ini tidak terbatas dengan isu jenis kelamin dan gender saja ya. Sementara orang lainnya akan menganggap saya feminis karena saya sangat menolak adanya body shaming atau sesederhana saya mengangkat isu ini sebagai bahan tulisan saya. Padahal urusan body shaming itu bukan hanya sekedar feminis atau bukannya anda. And that’s what Indonesian usually do, making it as joke even a “hello” to someone after not meeting for few weeks. Nggak percaya? Sering nggak sih kalian mendengar “Hai! Apa kabarnya? Ih gendutan deh lo!” , “Yaampun, dikasih makan nggak sih sama emak lo? Kurus amat!” atau “Eh, ndut! Ke mana aja lo?” Seriously? You can even ask them about kabar yang bener-bener kabar, without saying all that. Dan hal ini dilakukan terus-menerus sampai semua orang terbiasa sama hal ini. Manggil orang gendut, manggil orang kerempeng, manggil orang pesek, manggil orang cebol, dan lain sebagainya, coba sebut satu aja faedah yang bisa didapatkan dari hal ini? Let me know dengan komentar kamu di bawah kalau memang ada. Even di Al-Quran pun dikatakan untuk tidak memanggil orang dengan geleran yang mengandung ejekan( QS Al Hujuraat :11). I know it’s the truth you’re trying to say with calling people like that, tapi kalau panggilan itu justru hanya akan membuat lebih banyak orang lainnya untuk menjadikannya lelucon, apakah itu baik? Coba pikir ulang deh. You don’t get something from body shaming, but your objects do get "something". Banyak cerita orang-orang yang kemudian nggak puas sama dirinya karena muak setiap hari dijadiin bahan lelucon terus mati di meja bedah operasi plastik just to get rid of those fat or making their boobs as big as Kim Kardashian. You got Google to browse it. After doing all those things, mereka masih harus mendapat cibiran lagi karena dianggap nggak bersyukur sama apa yang udah Allah kasih. Yet these people forget that they’re the ones who made them do it.

Tapi drama ini nggak sampai di sini, the objects who do A to Z says, “it’s my body, it’s my authority” it’s true tho. Badan kita, kita sendiri yang atur, kita yang berhak atas badan kita sendiri. Masih saya percaya sebagai sebuah kebenaran. Tapi, saat kemudian otoritas itu berubah menjadi otoritas untuk mengganti apa-apa yang sudah menjadi kodrat kita yang diberikan sama Allah, nah ini yang mulai nggak saya suka. Seakan otoritas ini berarti kebebasan tanpa batas dan aturan, sebuah legalitas untuk mengganti apa-apa yang sudah ada pada tubuh kita yang datangnya dari Allah. I do use cosmetics, day cream, night cream, baby powder, lipstick, lip balm, just to take care of what has been given to me. Bukan dalam usaha untuk mengganti apa-apa yang udah Allah kasih untuk memenuhi body standards ala-ala Victoria Secret atau kapitalis-kapitalis dalam wajah merek kosmetik.
Bicara soal body shaming dan body authority ini memang harus disikapi dengan pikiran yang terbuka. Dalam artian, kita sadar akan apa yang ada pada kita dan sadar pula ada Dzat yang memberikannya dan tugas kita sebagai umatNya hanya bersyukur, caranya gimana? Menjaga, bukan mengubah.

Balik lagi ke urusan bullying, bullying dalam bentuk body shaming, diskriminasi secara verbal atau non verbal seakan hanya urusan seujung kuku kelingking sehingga orang dengan mudah bilang “Kan cuma bercanda” kemudian semuanya bisa selesai, dan jika ternyata orang yang menjadi objek sakit hati, kita akan ramai-ramai bilang “Baperan banget sih”. Nggak lama setelah ini semua orang punya hati sekeras batu karena takut dibilang baperan. Soal bullying ini bukan masalah cool atau nggak coolnya kita ngelakuin ini, tapi juga soal sadar atau nggaknya kita akan dampak yang bakal kita semua tuai di tahun-tahun ke depan, like I said, you might not get something, but your objects do get ‘something’. Dan satu hal yang harus kita ingat lagi, nggak semua orang punya self-defense yang sudah kuat dari sananya, that’s why perilaku kita yang berhenti ngebully dalam bentuk apapun itu bisa juga dianggap sebagai tindakan preventif untuk hal-hal yang nggak kita inginkan di tahun-tahun ke depan. Kita nggak mau kan ada kasus Chester-Chester lainnya yang dampak dari bullyannya orang-orang di sekitarnya dulu justru baru terlihat  puluhan tahun setelahnya. Cuma kita yang bisa mutus mata rantai itu.

Kasus bunuh dirinya Chester ini bukan hanya mengingatkan kita tentang seberapa banyak harta, popularitas dan betapa dicintainya kita sama orang banyak nggak lantas membuat diri kita bahagia. Tapi juga mengingatkan, bahwa dari bullyan kita hari ini ke seorang anak, bisa menjadikan kita pembunuh di beberapa tahun ke depan, karena ternyata bullyan kita yang paling diingat si anak dan membuatnya merasa depresi di tahun-tahun setelah mendapat bullyan itu. Naudzubillah.
Terakhir, kadang kita sendiri pun nggak sadar kalau kita sedang depresi, an unconscious depression I would say. Nggak tau deh itu ada istilahhnya di kedokteran apa nggak, tapi momen di mana kita mulai merasa lebih suka menyendiri atau sedih terus-menerus, jangan lupa untuk kembali ke Dia. Seperti orang tua yang menunggu anaknya pulang, kadang kita main terlalu jauh, lantas kelelahan, ke pelukan mereka akhirnya kita pulang, beristirahat untuk kemudian berlari lagi. Allah pun seperti itu, Dia selalu dekat, tapi kita aja yang kabur-kaburan, at least that’s what I believe.






Sunday, May 21, 2017

Being A-Happy-Lone-Wolf

A few days ago, I was riding my Pegasus ( re: my motorbike, that’s just how I named her), with my friend behind me, and we were cheap talking about what I’m doing lately. Being alone. Actually, I already did this since…. Only-God-knows-when, and it became a refreshment for me. I fell addicted to it, and now whenever I started to think my head or my heart is overload, I always take time only for myself, build a high walls, and keep myself away from people. And some other time when one of my friends were looking for me, I said, “I was going to bookstore.” And she asked if I’m with someone, no I said. I was alone. And she was like………” how could?” like it’s the strangest thing she ever heard. Or any other time I got this as a response for what I’m doing, “Jomblo banget?”

I don’t know what is happening to our society when being alone is somewhat strange and so unusual to people. Despite the fact of we’re a social creature or we used to be live in groups long before the century, but does it enough to make a judgement for those who likes to be alone? I know it’s an #IntrovertPerks lol.

Well, being alone is sometimes the last thing that I could do to escape, no, to make time for myself, to manage it all over again, then start again. When for my expectation, maybe I wanted to go on some vacations, go to some beaches –ya, I like beaches more than mountains, thanks to my allergic, have some tents to build, camp for a night is actually enough, then lay myself on the ground, stay awake for hours just to see a sky full of stars –Orion or if I’m lucky enough milky way and shooting stars, reading The Holy Quran to priest God for all these beautiful nature He create, even sometimes I found myself crying to realize how tiny winy bity I am compare to all these, masya Allah, and in the morning I would chase after the waves –such a stress relieve just to make my feet wet, since I’m not a good swimmer, sunbathing because I love to stand or sit and let its rays running through my skin(actually face and my hands only, haha), looking for some good shape of clams just to put it back when I leave. Beautiful, isn’t it? But when reality hits me, the deadline is tight, can’t go out of town for a few days, so “menyepi” is the answer.

In my humble opinion, sekarang kita hidup di zaman di mana masyarakatnya lebih mudah ngasih judgement dari pada susah-susah cari tau, kalau gak bisa kasih data empirik paling nggak baca artikel dulu yang banyak baru kemudian kasih judgement. Walau nggak usah naif juga sih, thinking to live in this world without judgement is truly wasting time. Karena memang nggak mungkin. We were born to make value. Bedanya ada yang disampaikan ada yang nggak. Yang disampaikan jadinya yang kayak teman-teman yang kasih respon demikian tadi, yang nggak ya paling dilirikan aja waktu bawa makanan ke tempat duduk, baca novel sambil makan atau minum for hours terus pulang.

Being alone is not that bad. I’m not saying that it’s an independency of being women thing either. It’s just you being you. Selesai. Karena nggak perempuan, nggak laki-laki banyak banget ternyata yang masih punya pikiran it’s pathetic to go outside alone. Well misses and misters, just because you’re alone, doesn’t mean you’re lonely.

Saya sendiri merasa lebih peka saat sendirian. Karena nggak jarang saat kita pergi sama grup kita, kita bakal lebih fokus sama grup kita aja, ketawa-ketiwi dengan joke internal grup kita aja, atau bahas-bahas topik yang ada di lingkaran internal kita, kemudian orang-orang kita di sekitarnya cuma jadi out group aja udah, selesai. Meanwhile, when you go outside alone –eh nggak tau sih, ini kamu yang suka pergi sendirian ngerasa gini juga atau kamu yang bakal pergi sendirian juga bakal ngerasa gini juga atau nggak, you’re open up to another circle, nggak jarang obrolan-obrolan tercipta dari sekedar minta geser sambal atau kecap. Atau yang kemarin saya lihat obrolan justru tercipta saat ada orang yang mau makan nambah porsi ke si penjual. That’s maybe the perks of living in Indonesia sih. Tapi di situ seninya. Rasanya bisa ngobrol sama orang yang nggak dikenal dan mengalir gitu aja sampai soto semangkuk dan es teh habis itu menyenangkan. Rasanya saya yang beberapa kali ikut aksi kenaikan bahan bakar minyak jadi semakin semangat buat benar-benar turun ke jalan (kita di sini sudah sepakat ya setiap orang punya caranya masing-masing untuk berjuang, bisa lihat di tulisan saya berbulan-bulan sebelum ini, buka aja halaman jurnal saya) waktu dengar ibu-ibu atau bapak-bapak ini yang ujug-ujug (re: tiba-tiba) cerita kalo mereka merasa kesulitan dengan naiknya bahan bakar yang kata beberapa orang cuma seribu. Setiap ketemu sama hal-hal seperti ini saat menyendiri saya jadi tersadar lagi, “It’s real. The problem is real. Wake up.”

And another impact that I feel is that we depend ourselves so much to someone. I would go there if she go there. I would do it if he do it, etc. Why don’t you decide it only for your own? Yes, our life sometimes relate to someone’s life, but that shouldn’t make you depend yourself on someone. You know where to depend yourself only to, God. Ini bukan karena iri saya nggak punya kekasih atau apa ya, tapi jujur, I feel annoyed to those who depend their crucial decision to their girlfriend/boyfriend, for heaven’s sake they don’t even married, beda cerita ya kalau udah nikah, apalagi dari perempuan ke laki-laki, ya nurut atuhlah sama kepala keluarga.

Saya lupa sejak kapan jadi punya pikiran semacam ini. Mungkin sejak SMA? Itu pun karena satu dan dua hal yang akhirnya mengharuskan saya untuk bener-bener pindah dan hidup jauh dari orang tua, even basically I still lived with my aunties, kurang lebih mengubah cara pandang saya tentang menjadi sendiri itu tadi. Maybe in the next chapter of our life, only-God-knows-when, we would be in a time when there’s nothing to hold on but your God. You find no friends, your parents were too far and holding on to them is the same as adding some more grudges. That’s when I found my heart and my mind was overload. And meeting people was not helping. That’s when I decided to keep myself in my room, curhat sama yang memegang hati-hati ciptaanNya, yang pada intinya menata road map buat berjalan lagi, menjeda dari dunia luar, untuk kemudian berlari lagi. Sejak saat itu, me time jadi kegiatan rutin minimal sekali dalam dua minggu, tergantung seberapa tahan saya untuk nggak me time.

And someone ever asked me, “Anin kalau me time ngapain?” Saya biasanya ngamar aja seharian di rumah, beberes kamar, ngatur ulang tata letak kamar, mencuci atau masak. Coba gaya-gaya desain baru, baca novel chicklit di wattpad, sharing thoughts kayak gini, atau bahkan memutuskan untuk nggak ngapa-ngapain alias tidur seharian, haha. Atau seing juga naik motor keliling-keliling jajan aneh-aneh, ke toko benang jahit, makan ke tempat lucu atau warung-warung makan sederhana atau fan girling buku-buku baru habis baca sinopsisnya di toko buku just to put it back in the shelf karena keinget ada beberapa buku di rumah yang belum dibaca, all by myself –iyalah, namanya juga me time.
But just don’t judge me wrong, this piece of thought is not made to make you feel like you don’t need anybody or push you to be single for your whole life. Indeed, we still need people in society or someone we decide to spend our life with or later to chase for the afterlife, hand in hand for a better version of us. I made this post because I’m done hearing people “Jomblo ya…” or thinking that it’s weird to go alone somewhere. Well, no it’s not. Now, have a try.


Kalau di film Galih dan Ratna kasih mixtape buat ungkapin rasa,
Here I give you my playlist to make you feel okay :)







A happy lone wolf,




Sunday, April 30, 2017

Menjadi Kartini Millenial

Menunggu Kereta di stasiun Tanah Abang

Akhirnya kita tiba di masa di mana buku catatan, digital atau bukan, terasa lebih baik dari pada indera pendengaran. Karena setiap rasa yang diubah menjadi satu kata saja, dapat dihujani ribuan penghakiman. Dan detik ini menulis rasanya terasa lebih menenangkan daripada harus mempertukarkan buah pikir. Hari ini setiap topik rasanya sangat rawan memancing adu pelipis. Tapi, saya menulis hari ini sebagai bentuk kerinduan saya untuk duduk tenang, berbagi cerita, berbagi keresahan, berbagi segala jenis kegundahan ataupun idealisme saya yang sering bertabrakan dengan realita di lapangan, ditemani segelas coklat panas –bagian ini sungguh terdengar seperti novel picisan, padahal realitanya paling ditemani dengan es teh atau paling banter es kampul, hanya dengan dia –laptop saya.

21 April kemarin segenap masyarakat Indonesia yang budiman terkhusus para perempuannya tengah memperingati Hari Kartini. Seorang tokoh emansipasi yang berani mendobrak budaya patriarki yang sangat kental di lingkungan budaya Jawa pada masa itu. Beliau menuntut untuk adanya kesetaraan antara perempuan dan laki-laki, sehingga perempuan juga dapat mengecap manisnya pendidikan layaknya laki-laki. Menurut Ibu, pendidikan dan tercukupinya pelajaran untuk kaum perempuan pada masa itu akan membawa kesejahteraan, bahkan tidak hanya untuk kaum perempuan itu sendiri. Ibu Kartini berharap agar kaum perempuan dapat dididik baik, bahkan untuk pendidikan mengenai kebutuhannya sendiri. Kesetaraan untuk menerima hak pendidikan bagi kaum perempuan ini menjadi sebuah trigger yang wajib kita ingat sepanjang masa Indonesia merdeka karena beliau menjadi salah satu pelopor untuk hak istimewa ini.
Semangat emansipasi ini sesungguhnya betul adanya. Imam Syafi’I sendiri yang hidup jauh sebelum Ibu Kartini menulis surat-suratnya untuk Ny. Van Kool pernah mengatakan “lebih baik merasakan pahitnya pendidikan daripada harus mengecap perihnya kebodohan.” Satu kalimat tadi juga cukup menggambarkan bagaimana pendidikan itu sangat penting tanpa memandang perbedaan gender di dalamnya. Hal tersebut menegaskan bahwa pendidikan adalah suatu hal yang penting bagi setiap umat manusia tak terkecuali wanita. Terlebih untuk wanita, bagaimanapun wanitalah yang akan menjadi sekolah pertama bagi anak-anaknya.

Kesetaraan vs Persamaan
Ide besar yang digagas oleh Kartini, di mana perempuan dan laki-laki memiliki hak yang sama dalam mengecap manisnya pendidikan. Hal tersebut merupakan salah satu bentuk kesetaraan itu mulai dijalankan. Saya sejauh ini memaknai kesetaraan dengan menempatkan suatu hal pada porsinya masing-masing secara pas, tidak kurang dan tidak lebih. Karena setara berarti adil. Adil berarti tidak berat sebelah. Apanya yang tidak berat sebelah? Hak dan kewajibannya sebagai wanita. Namun seiring dengan berjalannya waktu, semangat emansipasi yang selama ini terus diestafetkan dari generasi ke generasi oleh para perempuan justru bergeser maknanya ke arah isu persamaan. Padahal, Kartini dulu berupaya untuk memperjuangkan hak dalam mengenyam pendidikan yang setara dengan laki-laki bukan status yang setara dengan laki-laki, di mana perempuan dan laki-laki dianggap sama, baik dari kewajiban maupun haknya. Padahal, mau dilihat dari sudut pandang manapun laki-laki dan perempuan sudah berbeda. Bukan hanya dilihat dari sisi biologisnya saja, tetapi juga tanggung jawab yang dibawa oleh keduanya. Karena pada hakikatnya laki-laki dan perempuan memiliki peran sosial masing-masing yang diemban di pundaknya. Tuhan pasti punya maksud kenapa kemudian Dia menciptakan dua makhluk yang berbeda, hal tersebut karena baik perempuan dan laki-laki memang dimaksudkan untuk saling melengkapi. Jika terus menerus disamakan, mengapa kemudian Tuhan tidak ciptakan saja satu homogenitas agar sama antara hak, kewajiban maupun peran sosialnya di masyarakat.
Saya ingat bagaimana beberapa waktu yang lalu membuat sebuah Essai tentang perkembangan film-film Princess Disney yang setiap peluncurannya ternyata mengundang banyak protes dari kaum femine. Mereka menuntut Disney untuk menampilkan tokoh-tokoh putri yang tidak didominasi oleh laki-laki, atau tidak berkaitan dengan pekerjaan-pekerjaan domestik sampai puncaknya di mana putri-putri ini akhirnya menjadi role model pemimpin di atas laki-laki. Yang cukup menarik sekaligus mengusik saya adalah bagian adanya pandangan tentang penempatan perempuan dalam pekerjaan domestik di sini dianggap sebagai sebuah langkah untuk merendahkan harkat dan martabat perempuan, karena sejatinya mereka percaya bahwa perempuan juga punya kesempatan yang sama untuk bekerja di luar rumah layaknya laki-laki. Akhirnya muncul figur-figur kartun seperti Mulan yang menyelamatkan pangeran, Pocahontas yang memilih jalan hidupnya sendiri, Merida yang memilih untuk tidak menikah, Rapunzel yang menyelamatkan Finn, atau Elsa yang menjadi pemimpin di kerajaannya.
Berkat pergeseran interpretasi akan emansipasi pula akhirnya framing media menjadi bergeser ke titik di mana Kartini masa kini merupakan perempuan-perempuan yang saat ini bekerja di ranah pekerjaan yang pada umumnya dikerjakan oleh laki-laki.
Untuk saya, kesetaraan itu bukan berarti menempatkan perempuan dan laki-laki pada pos ataupun level yang sama. Kalimat saya sebelumnya seakan menggambarkan kalua saya tidak menyetujui perempuan juga bisa, sungguh pembaca yang budiman, saya pun perempuan, saya percaya akan #GirlPower, percaya bahwa jadi perempuan di zaman millennial seperti ini tidak boleh lembek, harus tahan banting, jangan terlalu “baperan” dan jangan malu untuk menunjukkan kemampuan kita. Because we can! But then again, hak yang terus dituntut tanpa adanya pelunasan kewajiban juga sama dengan naif.
Masalah lainnya media saat ini terlalu sering mengaburkan fakta yang sebenarnya. Wanita yang bekerja di sektor-sektor di mana lazimnya laki-lakilah yang bekerja di pos tersebut dianggap sebagai Kartini baru karena dianggap sebagai pendobrak stereotip. Tapi untuk saya yang sering melihat kuli bangunan wanita yang ikut mengeruk semen atau mengangkut batu bata, bercampur dengan kuli laki-laki lainnya di Solo ataupun di Jogja, hal tersebut menjadi hal yang biasa jika dilihat oleh masyarakat, because they got no other way, namun saat kemudian hal tersebut sampai ke media, dan mendapat framing lagi sebagai seorang Kartini di zaman millennial ini, saya jadi berpikir ulang, benarkah hal tersebut termasuk dalam semangat Kartini? Atau media hanya sedang mencoba me-maskulinisasi tokoh-tokoh perempuan ini lalu memberikannya wajah baru yaitu “emansipasi” yang kemudian dimanfaatkan oleh kaum feminis. Hal tersebut pernah mendorong saya untuk bertanya kepada salah satu ibu yang bekerja sebagai kuli bangunan di jam makan siangnya. Kebetulan waktu itu sekolah saya yang lagi punya hajat bangun saluran air. Apakah si ibu melakukan pekerjaan ini karena memang panggilan hati sebagai seorang kartini atau mungkin ada alasan lain? Nope. Turns out, they prefer something they can do in the house, something that can be done while they could take care of their children. Berbeda dengan Kartini yang dengan secara sadar melakukan perubahan karena memang dia menginginkan itu, dan hal tersebut tertanam di pola pikirnya. It was like, she would keep doing it even if it hurts her, until she could reach what she dreamed about. Berbeda dengan Ibu yang saya ajak bicara, yang menyatakan bahwa dia akan berhenti saat kemudian keadaannya sudah membaik karena basically she didn’t want it, she didn’t do it for equality, she do it for the sake of financial. Perjuangannya untuk membantu suaminya ini yang justru menggambarkan betapa besar nilai afeksi yang beliau miliki untuk keluarganya. Beliau menyadari dirinya sebagai support system bagi suaminya, bukan untuk menyamakan level dengan suaminya. Pernah dengar kata-kata “she’s gotta do, what she’s gotta do” kan? Kurang lebih, itulah yang dilakukan Ibu ini.
 So, being Kartini here, is not only about having thing that people might see you break the stereotype, it’s about the thought you have about things you really want to do or you really want to give or bring to people surround you. Dengan segala jenis propaganda tentang “Menjadi Kartini Millenial” yang identik dengan menjadi wanita karier or simply do your passion, apakah juga mengakomodir keinginan Ibu Kuli Bangunan ini yang ingin di rumah saja, mengurus anak dan menaruh baktinya kepada suami? Apakah betul pekerjaan di ranah domestik ini benar-benar menurunkan derajat perempuan? Padahal pekerjaan domestik yang selama ini dianggap sebagai pekerjaan yang merendahkan perempuan dapat menjadi ladang untuk membangun generasi-generasi dengan semangat Kartini selanjutnya. Walau kegiatan didik-mendidik anak bukan hanya kewajiban ibunya saja, atau bapaknya saja. Tapi, saya percaya, ada pos-pos dalam kegiatan mendidik di mana hanya ibu yang bisa berikan. And that’s just the thing, femine can’t change when they ask her husband to just stay at home and take care of their babies.

Antara Passion dan Kodrat
Memang makin ke sini, makin terasa blunder. Kalau sudah begini, mulai terasa kabur juga di mana kesalahan bisa ditemukan, di mara rantai yang selama ini berjalan. Masalahnya adalah saat jargon kebanggaan “Chase your Dream” atau “Do it with passion” ini tidak diimbangi dengan kebutuhan perempuan akan informasi tentang urgensi keberadaan mereka untuk berada di rumah. Jargon-jargon tadi seringkali kemudian membuat posisi Ibu rumah Tangga menjadi hal yang dianaktirikan di sini. Sehingga tidak heran jika semakin sulit menemukan perempuan yang mengatakan cita-citanya adalah sebagai ibu rumah tangga. Terang saja, selama ini menjadi ibu rumah tangga dianggap sebagai akhir dari karier, akhir dari masa-masa berkarya, ataupun pintu gerbang ketidak produktifan.
Dengan pernyataan-pernyataan saya sebelumnya, bukan berarti kemudian saya tidak setuju dengan para perempuan-perempuan yang tetap mengejar passionnya. Saya setuju dengan pernyataan tersebut. Toh perempuan juga merupakan makhluk sosial yang tetap butuh sarana bersosialisasi dan juga aktualisasi diri. Dan mengejar mimpinya adalah salah satu cara yang paling efektif. Namun yang perlu diingat adalah bagaimana menjadi Ibu rumah tangga bukan hanya dipikir berdasarkan pekerjaan domestik saja yang akan diurus oleh Ibu. Karena di dalam rumah, ayah boleh yang memegang kendali akan kapal, tapi Ibu lah yang akan mendidik generasi selanjutnya agar dapat menjadi awak kapal yang tangguh dan kuat. Kita semua sepakat bukan anak yang punya akhlak yang mulia lahir dari keluarga khususnya ibu yang juga memiliki sikap yang sama pula, dan jangan seharfiah itu menelannya, akhlak ini lahir dibentuk dari bagaimana lingkungan si anak, bukan lahir secara harfiah dari Rahim saja. Walaupun jika ditelisik lagi sebenarnya pendidikan bagi anak sudah dimulai sejak anak-anak masih berupa janin di dalam rahim perempuan.

Emansipasi Kartini (Millenial)
Tentu kita semua sudah sadar, bahwa untuk memaknai hari Kartini bukan hanya lewat kebaya atau sanggul yang kita gunakan, bukan pula dengan mengagungkan wanita-wanita yang bekerja di ranah maskulin saja sebagai pendobrak stereotype ataupun sebagai pejuang emansipasi di masa millennial ini, tetapi dengan mengembalikan makna dari kesetaraan hak maupun kewajiban antara perempuan dan laki-laki itu sendiri, tanpa mencederai pihak manapun. Memaknai hari Kartini berarti mengembalikan wanita kepada porsinya, menjadikannya pribadi yang adil bahkan sejak dalam pikiran dalam menunaikan hak dan kewajiban, namun tetap mendorongnya untuk mengejar mimpi, memberinya asupan otak maupun ruhiyah yang terbaik sebagai bekal untuk melahirkan generasi-generasi terbaik di masa yang akan datang. Lagi pula, tidak mau juga kan kita sebagai wanita, lebih pintar menggambar alis daripada burung camar yang terbang di pantai di buku gambar anak kita kelak?







Ibu Kartini, terima kasih,



Thursday, January 12, 2017

Day I : Where the Journey Begins

Balitong, January 12, 2017
11.10 am

Today is the second day after touching down here in Belitung or people may call it, Balitong. A land where Andrea Hirata –one of my favorite author, the writer of Laskar Pelangi Tetralogy, ‘s story taken place in the book. In the second day, actually I haven’t really gone out to somewhere, except to the nearest traditional market to buy the logistics for today and having a little chit chat with the local people. Plus, got surprised of the food’s price lol, even I’ve been warned by the eldest about the price, it shocked me still. But we’re okay.
I believe that not every trip count as a journey. Because some trips has passing us by, but when we say it as journey, there’s a lot more experience, learnings, inspirations or else you can unpredictably find on the way. By that I’m going to try to tell it to you –if I have enough time to write and post. About what I got here in the land of coffee, Balitong.

My journey starts in the Purwosari Station. We go from Solo to Jakarta first and continue our trip to Belitung by plane from Soekarno Hatta International Airport to Tanjung Pandan, Balitong. For me, who was a lone-traveler, it’s both quite exciting and tiring. For heaven sake, I could use the 2-2 seat and sit nearby the window and sleep, yesterday I sit in 3-3 seat in between my 2 friends, lol pray for my backbone and neck. But then I try to remember, when was the last time I could play poker on the train and share about how the crocheting goes with my friend? I think I remember none. I even use Antimo –a meds for those who’s having “a hard time” in the transportation, to sleep. We arrived at Jakarta at 00.45 am, and found one spot to rest because, my other friend was late and our luggage for logistics was left in the station, luckily she got the ticket to go to Jakarta. The funniest thing about waiting yesterday is when we’re craving for food and we found this lucky little guy, a street vendor who sell fried rice. We bought it 12 packs, and my friend said,

            “Kalo nggak ada piring, berarti kita bayarnya Rp. 11.000,- aja ya, Bang!”

Lol, it was my first time to buy bargained fried rice, haha. I remember how his face want red when my friend said that. But then he said, okay anyway. We waited until 5.00am then we went to the airport. Shit happened we over-ordered the online taxi, sadly, my ears were having a bad vibe to hear the grumbling from the taxi driver in the early morning, sorry Sir.
We took off at 9.50am something, the airplane was a bit late, just a bit. But you’re forgiven, Lion Air. Thanks to the excitement that has saved my mood. After arriving in Tanjung Pandan, we continue our trip to Desa Lalang Jaya, that’s the place where we’re going to arranged all the things before we do our KKN lyf for 45 days ahead.

Truth to be told, I lost my excitement from 2 days before I go to Belitong. I don’t know, I feel like making such as empowerment to people is not enough only with this living in the area, making some programs in 45 days. And leave it for 3-4 months without any controlling tools until the next groups come in the next semester. Even I know, KKN is so promising for some university to make people realize its existence.

But after all those bad vibes, I know, this could be something for me. Because, there must be so much to learn, not just about the people but about myself too you know, living with 22 people in the same area, sleep with the 13 girls under the same roof must be something.

Cause some say,
Open your heart,
For making more things,
to come along.


PS.
Hati-hati baper.


Saturday, January 7, 2017

A Lifetime Goal

Yeay! New years finally here!
I don’t know whether it’s my good mood or a new spirit influenced by the new year’s stuffs, or is it just me who’s trying to keep the positive vibes alive?

Well, hello there!

I wish you happy new year, may you have a very pleasant years full of grace, bless and of course happiness. Well, since we’re still in the beginning of this New Year, people may love to write down their resolutions for this whole year. Mine is just trying to keep up the good work from the previous year, even I also have some additional resolutions to do in this year. Sounds less-motivated? Not really, it was me, trying to be more realistic.
One of those resolutions I always write in the beginning of the year, is that “I’m going to write more this year” or something like “what about writing once per week to the Blog? My God that sounds so challenging, I’m going to do it!” and lately I know, I can’t make time for it. At least that’s what actually happened in 2 or 3 previous years before I make this posts. Pathetic, I know.

In this 2017, I’m welcoming myself in my last –supposedly, semester. Finally, after doing some long terms project for the assignments, I can start to do my last project which happen to be a SKRIPSI –even I haven’t started any single words for it when I write this.  Nice, Anin. You know, I’ve ever been a jerk junior students in my faculty I think, to think that “it’s SKRIPSI, you don’t have to worry about it, Just do it”. Lol, now in the middle of the projects that I want to do in this years, I feel like breathe easy and sigh “Just do it my A**!”

It’s not as dramatic as I write, actually. But suddenly, something come from the closest part of my life. We named it, pressure. And it’s correlating to life standard.

If we’re talking about life standard, the nearest question would be, “what kind of thing that could make you happy?” when your happiness measured by where your house is, what you drive, how much your money, where you go to travel to, to whom you talk to, what brand you use, all those standards that media spread just somehow makes people…..I don’t know, obsessed? The condition I had 7 years ago, taught me a lot about how material thing or physical thing actually don’t matter.
That’s the life goal I put in every years after 7 years ago. To put up my happiness standard not on physical thing, material thing, even human, because they can somehow disappoint you. Well, even sometimes I failed it too. You know I’m not as wise as Prophet Muhammad SAW or any other figure. I’m still learning, right? Even somehow, I feel like tired or wanting myself to stop doing whatever I’m doing. But, I think that’s normal, since it’s a human thing. We’re tired. We stop. We fall. We get up again. And run. That’s why, never ever put any of those I mentioned as life standards, cause, it’s going to be like running in inner wheel. It’s not going to stop, soon or later, it will change you to be obsessed, disgraced, full of anger, loser. So just let go of all those things.


And be happy
Cause this will be
this year’s goal,
Or even a lifetime’s goal.