Setelah bingung-bingung bertanya
apa itu “pulang”, akhirnya aku memutuskan, untuk saat ini, definisi “pulang”
adalah berada di tempat di mana ibu dan adik tinggal. Sebenarnya nggak bisa
janji juga definisi ini akan bertahan lama, nanti pada saatnya pasti akan
berubah lagi.
5 bulan ini mulai merasakan lagi
naik turunnya “bianglala” seperti dulu, seperti yang kata Ibu pernah Ayah rasa.
5 bulan ini aku belajar, tapi sepertinya masih banyak yang remedial, tanda
harus mengambil ulang beberapa SKS, sampai nanti benar-benar lulus.
Kali ini, aku mau “ngecipris”
tentang kebahagiaan, biar selalu ingat, biar tidak lupa untuk bahagia. Beberapa
hari yang lalu, tepat saat aku sedang bersiap ke kantor menjalani rutinitas
seperti biasa, tiba-tiba otakku diganggu pikiran yang mengucap “emang bahagia
itu sederhana?” Iya, pertanyaannya seperti itu, terus berulang sampai saat
sarapanpun aku masih memikirkannya. Cukup sebal sih, kalau ada hal-hal yang
tiba-tiba minta perhatian buat dipikirin kayak gini, padahal mungkin sebenarnya
nggak penting-penting banget. Tapi, aku cukup bersyukur aku punya waktu buat
memikirkannya waktu itu.
“Emang bahagia itu sederhana?”
Pasti kamu udah sering mendengar
ungkapan “bahagia itu sederhana”. Biasanya ungkapan ini akan muncul saat
seseorang merasakan suatu nikmat yang berasal dari suatu hal yang selama ini dianggap sebagai hal kecil.
“bahagia itu sederhana, seperti saat kamu berkumpul dengan keluarga
misalnya”
“bahagia sederhana, seperti saat kamu dapat semangat dari sahabat
misalnya”
“bahagia itu sederhana, seperti saat kamu dapat senyuman dari orang
asing misalnya”
Pagi itu, pikiranku menolak
setuju dengan ungkapan “bahagia itu sederhana.”
Allah dan alam semesta punya
caranya sendiri dalam membuat kita berada di dalam suatu proses yang kompleks
yang akhirnya membuat kita bisa merasakan kebahagiaan. Kesempatan untuk merasa
bahagia dari segala jenis proses yang dilalui ini, yang nggak bisa dirasakan
sama semaua orang.
Kalau memang bahagia itu
sederhana, apakah kita sudah merasa bahagia saat bisa membedakan kiri dan
kanan? Apa kita sudah merasa bahagia saat bisa menjalani rutinitas yang selama
ini terlihat membosankan? Kalau memang suatu hal itu sederhana, bukankah
seharusnya hal itu juga menjadi sumber kebahagiaan? Atau jangan-jangan karena
hal ini sudah terlalu biasa dan melekat dalam diri, kita juga jadi lupa menganggap ini sebagai sumber
kebahagiaan juga?
Otak pendekku ini berpikir,
jangan-jangan selama ini kita dikelabuhi, kita secara tanpa sadar mengukur kebahagiaan
secara materiil lewat suatu hal yang bisa dirasakan dari segi fisiknya, diukur
nilai besarannya, atau bahkan memang karena kitanya aja yang nggak peka dalam
menyadari kebahagiaan-kebahagiaan di sekitar kita.
“bahagia itu sederhana, bisa berkumpul dengan keluarga misalnya” tapi
dikatakan oleh seorang perantau yang waktu pulangnya mungkin 1 hingga 2 tahun
sekali, maka berkumpul dengan keluarga bukan suatu hal yang sederhana. Jangan lupakan
proses rumit yang bisa mengantarkan diri duduk bersebelahan dengan keluarga.
“bahagia itu sederhana, dapet snack sebagai penyemangat dari teman” dikatakan
oleh dia yang selama ini diacuhkan. Butuh banyak tahap yang dilewati hingga
bisa mengantarkan snack murah itu
sampai ke mejamu, sobat. Kebahagiaan yang kamu dapat itu, bukanlah kebahagiaan
yang sederhana.
Pagi itu aku mulai berpikir, jika
ada suatu hal yang bisa membuatku bahagia, maka hal itu bukan hal yang
sederhana. Pasti ada proses-proses yang terjadi hasil konspirasi Allah dan alam
semesta hingga menghadirkan suatu proses, dan yang pasti mengizinkan aku untuk
merasakannya.
Suatu hal bisa dianggap sebagai
suatu hal yang sederhana, bisa jadi karena selama ini kita secara tidak sadar
mulai menaruh besaran nilai untuk suatu hal yang sifatnya tidak terhitung. Atau
memang kita saja yang suka menyederhanakan nilai dari sebuah proses bahkan hal-hal
besar?