Tuesday, July 25, 2017

Break the Chain : Thoughts of Bullying, Body Shaming & Body Authority

Sekitar seminggu yang lalu jagad dunia maya –pada khususnya, booming akan berita meninggalnya seorang orang yang bisa dibilang berpengaruh. Our beloved Chester Bennington, Linkin Park’s former vocalist. Di luar bagaimana gaya hidupnya, dia adalah orang yang berbakat, menyelamatkan playlist saya dari kealayan pada masanya, dan berhasil membuat lirik-lirik lagu yang mendalam. Dia meninggal di umurnya yang ke 41, karena bunuh diri. Depresi yang dideritanya ini ternyata disebabkan oleh bullying dari lingkungan sekitarnya, juga bentuk-bentuk diskriminasi dan pelecehan seksual yang diterima oleh Chester sewaktu ia masih kecil dilansir dari Opini.id. Tapi, mari kita doakan saja semoga ia tenang di sana. Karena ada hal yang lebih urgent untuk dibicarakan sekarang.

Kita sering banget menganggap enteng masalah bullying dan diskriminasi di antara lingkaran pertemanan kita. Bullying dari tingkatan yang masih berupa verbal, ancaman hingga yang paling parah hingga “turun tangan”. Saya mau cerita dulu nih tentang seorang kerabat, ada momen di mana selama seminggu sekolah, hampir setiap hari saat pulang dia akan menangis mengadu ke Mamanya. Nggak punya teman di kelas katanya, dapat ejekan ini itu katanya, sampai puncaknya temannya sampai sengaja menyembunyikan baju olahraganya dan alhasil baju itu tidak pernah kembali lagi sampai hari ini. Sementara apa yang dilakukannya di sekolah hanya diam dan menangis sesampainya di rumah. Saya cukup bersyukur dia tidak menangis di hadapan teman-temannya. Terdengar seperti sinetron remaja-remaja salah gaul memang, tapi itu kenyataan. Saya jadi berpikir ulang kalau sinetron itu hanya bentuk hiperbola dari kehidupan nyata, karena sepertinya kehidupan nyata kita memang “sehiperbola” itu. 

Itu soal bullying dan diskriminasi. Jujur saja, baru beberapa bulan terakhir saya mulai jengah dengan orang-orang yang selalu melakukan “body shaming” kepada orang lain. Dan hal ini tidak terbatas dengan isu jenis kelamin dan gender saja ya. Sementara orang lainnya akan menganggap saya feminis karena saya sangat menolak adanya body shaming atau sesederhana saya mengangkat isu ini sebagai bahan tulisan saya. Padahal urusan body shaming itu bukan hanya sekedar feminis atau bukannya anda. And that’s what Indonesian usually do, making it as joke even a “hello” to someone after not meeting for few weeks. Nggak percaya? Sering nggak sih kalian mendengar “Hai! Apa kabarnya? Ih gendutan deh lo!” , “Yaampun, dikasih makan nggak sih sama emak lo? Kurus amat!” atau “Eh, ndut! Ke mana aja lo?” Seriously? You can even ask them about kabar yang bener-bener kabar, without saying all that. Dan hal ini dilakukan terus-menerus sampai semua orang terbiasa sama hal ini. Manggil orang gendut, manggil orang kerempeng, manggil orang pesek, manggil orang cebol, dan lain sebagainya, coba sebut satu aja faedah yang bisa didapatkan dari hal ini? Let me know dengan komentar kamu di bawah kalau memang ada. Even di Al-Quran pun dikatakan untuk tidak memanggil orang dengan geleran yang mengandung ejekan( QS Al Hujuraat :11). I know it’s the truth you’re trying to say with calling people like that, tapi kalau panggilan itu justru hanya akan membuat lebih banyak orang lainnya untuk menjadikannya lelucon, apakah itu baik? Coba pikir ulang deh. You don’t get something from body shaming, but your objects do get "something". Banyak cerita orang-orang yang kemudian nggak puas sama dirinya karena muak setiap hari dijadiin bahan lelucon terus mati di meja bedah operasi plastik just to get rid of those fat or making their boobs as big as Kim Kardashian. You got Google to browse it. After doing all those things, mereka masih harus mendapat cibiran lagi karena dianggap nggak bersyukur sama apa yang udah Allah kasih. Yet these people forget that they’re the ones who made them do it.

Tapi drama ini nggak sampai di sini, the objects who do A to Z says, “it’s my body, it’s my authority” it’s true tho. Badan kita, kita sendiri yang atur, kita yang berhak atas badan kita sendiri. Masih saya percaya sebagai sebuah kebenaran. Tapi, saat kemudian otoritas itu berubah menjadi otoritas untuk mengganti apa-apa yang sudah menjadi kodrat kita yang diberikan sama Allah, nah ini yang mulai nggak saya suka. Seakan otoritas ini berarti kebebasan tanpa batas dan aturan, sebuah legalitas untuk mengganti apa-apa yang sudah ada pada tubuh kita yang datangnya dari Allah. I do use cosmetics, day cream, night cream, baby powder, lipstick, lip balm, just to take care of what has been given to me. Bukan dalam usaha untuk mengganti apa-apa yang udah Allah kasih untuk memenuhi body standards ala-ala Victoria Secret atau kapitalis-kapitalis dalam wajah merek kosmetik.
Bicara soal body shaming dan body authority ini memang harus disikapi dengan pikiran yang terbuka. Dalam artian, kita sadar akan apa yang ada pada kita dan sadar pula ada Dzat yang memberikannya dan tugas kita sebagai umatNya hanya bersyukur, caranya gimana? Menjaga, bukan mengubah.

Balik lagi ke urusan bullying, bullying dalam bentuk body shaming, diskriminasi secara verbal atau non verbal seakan hanya urusan seujung kuku kelingking sehingga orang dengan mudah bilang “Kan cuma bercanda” kemudian semuanya bisa selesai, dan jika ternyata orang yang menjadi objek sakit hati, kita akan ramai-ramai bilang “Baperan banget sih”. Nggak lama setelah ini semua orang punya hati sekeras batu karena takut dibilang baperan. Soal bullying ini bukan masalah cool atau nggak coolnya kita ngelakuin ini, tapi juga soal sadar atau nggaknya kita akan dampak yang bakal kita semua tuai di tahun-tahun ke depan, like I said, you might not get something, but your objects do get ‘something’. Dan satu hal yang harus kita ingat lagi, nggak semua orang punya self-defense yang sudah kuat dari sananya, that’s why perilaku kita yang berhenti ngebully dalam bentuk apapun itu bisa juga dianggap sebagai tindakan preventif untuk hal-hal yang nggak kita inginkan di tahun-tahun ke depan. Kita nggak mau kan ada kasus Chester-Chester lainnya yang dampak dari bullyannya orang-orang di sekitarnya dulu justru baru terlihat  puluhan tahun setelahnya. Cuma kita yang bisa mutus mata rantai itu.

Kasus bunuh dirinya Chester ini bukan hanya mengingatkan kita tentang seberapa banyak harta, popularitas dan betapa dicintainya kita sama orang banyak nggak lantas membuat diri kita bahagia. Tapi juga mengingatkan, bahwa dari bullyan kita hari ini ke seorang anak, bisa menjadikan kita pembunuh di beberapa tahun ke depan, karena ternyata bullyan kita yang paling diingat si anak dan membuatnya merasa depresi di tahun-tahun setelah mendapat bullyan itu. Naudzubillah.
Terakhir, kadang kita sendiri pun nggak sadar kalau kita sedang depresi, an unconscious depression I would say. Nggak tau deh itu ada istilahhnya di kedokteran apa nggak, tapi momen di mana kita mulai merasa lebih suka menyendiri atau sedih terus-menerus, jangan lupa untuk kembali ke Dia. Seperti orang tua yang menunggu anaknya pulang, kadang kita main terlalu jauh, lantas kelelahan, ke pelukan mereka akhirnya kita pulang, beristirahat untuk kemudian berlari lagi. Allah pun seperti itu, Dia selalu dekat, tapi kita aja yang kabur-kaburan, at least that’s what I believe.






No comments:

Post a Comment