Sekitar seminggu yang lalu jagad
dunia maya –pada khususnya, booming
akan berita meninggalnya seorang orang yang bisa dibilang berpengaruh. Our beloved Chester Bennington, Linkin
Park’s former vocalist. Di luar bagaimana gaya hidupnya, dia adalah orang
yang berbakat, menyelamatkan playlist saya dari kealayan pada masanya, dan
berhasil membuat lirik-lirik lagu yang mendalam. Dia meninggal di umurnya yang
ke 41, karena bunuh diri. Depresi yang dideritanya ini ternyata disebabkan oleh
bullying dari lingkungan sekitarnya, juga bentuk-bentuk diskriminasi dan
pelecehan seksual yang diterima oleh Chester sewaktu ia masih kecil dilansir
dari Opini.id. Tapi, mari kita doakan saja semoga ia tenang di sana. Karena ada
hal yang lebih urgent untuk dibicarakan sekarang.
Kita sering banget menganggap
enteng masalah bullying dan
diskriminasi di antara lingkaran pertemanan kita. Bullying dari tingkatan yang masih berupa verbal, ancaman hingga
yang paling parah hingga “turun tangan”. Saya mau cerita dulu nih tentang
seorang kerabat, ada momen di mana selama seminggu sekolah, hampir setiap hari saat
pulang dia akan menangis mengadu ke Mamanya. Nggak punya teman di kelas katanya,
dapat ejekan ini itu katanya, sampai puncaknya temannya sampai sengaja
menyembunyikan baju olahraganya dan alhasil baju itu tidak pernah kembali lagi
sampai hari ini. Sementara apa yang dilakukannya di sekolah hanya diam dan menangis
sesampainya di rumah. Saya cukup bersyukur dia tidak menangis di hadapan
teman-temannya. Terdengar seperti sinetron remaja-remaja salah gaul memang,
tapi itu kenyataan. Saya jadi berpikir ulang kalau sinetron itu hanya bentuk
hiperbola dari kehidupan nyata, karena sepertinya kehidupan nyata kita memang “sehiperbola”
itu.
Itu soal bullying dan diskriminasi. Jujur saja, baru beberapa bulan terakhir
saya mulai jengah dengan orang-orang yang selalu melakukan “body shaming” kepada orang lain. Dan hal
ini tidak terbatas dengan isu jenis kelamin dan gender saja ya. Sementara orang
lainnya akan menganggap saya feminis karena saya sangat menolak adanya body shaming atau sesederhana saya
mengangkat isu ini sebagai bahan tulisan saya. Padahal urusan body shaming itu bukan hanya sekedar
feminis atau bukannya anda. And that’s
what Indonesian usually do, making it as joke even a “hello” to someone after
not meeting for few weeks. Nggak percaya? Sering nggak sih kalian mendengar
“Hai! Apa kabarnya? Ih gendutan deh lo!” , “Yaampun, dikasih makan nggak sih
sama emak lo? Kurus amat!” atau “Eh, ndut! Ke mana aja lo?” Seriously? You can even ask them about
kabar yang bener-bener kabar, without saying all that. Dan hal ini dilakukan
terus-menerus sampai semua orang terbiasa sama hal ini. Manggil orang gendut,
manggil orang kerempeng, manggil orang pesek, manggil orang cebol, dan lain
sebagainya, coba sebut satu aja faedah yang bisa didapatkan dari hal ini? Let me know dengan komentar kamu di
bawah kalau memang ada. Even di Al-Quran pun dikatakan untuk tidak memanggil orang dengan geleran yang mengandung ejekan( QS Al Hujuraat :11). I know it’s the
truth you’re trying to say with calling people like that, tapi kalau panggilan itu justru hanya akan membuat lebih banyak orang lainnya untuk
menjadikannya lelucon, apakah itu baik? Coba pikir ulang deh. You don’t get something from body shaming,
but your objects do get "something". Banyak cerita orang-orang yang kemudian
nggak puas sama dirinya karena muak setiap hari dijadiin bahan lelucon terus
mati di meja bedah operasi plastik just
to get rid of those fat or making their boobs as big as Kim Kardashian. You got Google to browse it. After doing all those things, mereka
masih harus mendapat cibiran lagi karena dianggap nggak bersyukur sama apa yang
udah Allah kasih. Yet these people forget
that they’re the ones who made them do it.
Tapi drama ini nggak sampai di
sini, the objects who do A to Z says, “it’s
my body, it’s my authority” it’s true tho. Badan kita, kita sendiri yang
atur, kita yang berhak atas badan kita sendiri. Masih saya percaya sebagai
sebuah kebenaran. Tapi, saat kemudian otoritas itu berubah menjadi otoritas
untuk mengganti apa-apa yang sudah menjadi kodrat kita yang diberikan sama
Allah, nah ini yang mulai nggak saya suka. Seakan otoritas ini berarti
kebebasan tanpa batas dan aturan, sebuah legalitas untuk mengganti apa-apa yang
sudah ada pada tubuh kita yang datangnya dari Allah. I do use cosmetics, day cream, night cream, baby powder, lipstick, lip balm,
just to take care of what has been given to me. Bukan dalam usaha untuk
mengganti apa-apa yang udah Allah kasih untuk memenuhi body standards ala-ala Victoria Secret atau kapitalis-kapitalis
dalam wajah merek kosmetik.
Bicara soal body shaming dan body
authority ini memang harus disikapi dengan pikiran yang terbuka. Dalam artian, kita
sadar akan apa yang ada pada kita dan sadar pula ada Dzat yang memberikannya
dan tugas kita sebagai umatNya hanya bersyukur, caranya gimana? Menjaga, bukan
mengubah.
Balik lagi ke urusan bullying,
bullying dalam bentuk body shaming,
diskriminasi secara verbal atau non verbal seakan hanya urusan seujung kuku
kelingking sehingga orang dengan mudah bilang “Kan cuma bercanda” kemudian semuanya bisa selesai, dan jika
ternyata orang yang menjadi objek sakit hati, kita akan ramai-ramai bilang “Baperan banget sih”. Nggak lama setelah
ini semua orang punya hati sekeras batu karena takut dibilang baperan. Soal
bullying ini bukan masalah cool atau nggak coolnya kita ngelakuin ini, tapi juga
soal sadar atau nggaknya kita akan dampak yang bakal kita semua tuai di
tahun-tahun ke depan, like I said, you
might not get something, but your objects do get ‘something’. Dan satu hal
yang harus kita ingat lagi, nggak semua orang punya self-defense yang sudah
kuat dari sananya, that’s why
perilaku kita yang berhenti ngebully dalam bentuk apapun itu bisa juga dianggap
sebagai tindakan preventif untuk hal-hal yang nggak kita inginkan di
tahun-tahun ke depan. Kita nggak mau kan ada kasus Chester-Chester lainnya yang
dampak dari bullyannya orang-orang di sekitarnya dulu justru baru terlihat puluhan tahun setelahnya. Cuma kita yang bisa
mutus mata rantai itu.
Kasus bunuh dirinya Chester ini
bukan hanya mengingatkan kita tentang seberapa banyak harta, popularitas dan
betapa dicintainya kita sama orang banyak nggak lantas membuat diri kita
bahagia. Tapi juga mengingatkan, bahwa dari bullyan kita hari ini ke seorang
anak, bisa menjadikan kita pembunuh di beberapa tahun ke depan, karena ternyata
bullyan kita yang paling diingat si anak dan membuatnya merasa depresi di
tahun-tahun setelah mendapat bullyan itu. Naudzubillah.
Terakhir, kadang kita sendiri pun
nggak sadar kalau kita sedang depresi, an unconscious depression I would say. Nggak
tau deh itu ada istilahhnya di kedokteran apa nggak, tapi momen di mana kita
mulai merasa lebih suka menyendiri atau sedih terus-menerus, jangan lupa untuk
kembali ke Dia. Seperti orang tua yang menunggu anaknya pulang, kadang kita
main terlalu jauh, lantas kelelahan, ke pelukan mereka akhirnya kita pulang,
beristirahat untuk kemudian berlari lagi. Allah pun seperti itu, Dia selalu
dekat, tapi kita aja yang kabur-kaburan, at
least that’s what I believe.
No comments:
Post a Comment