Monday, March 9, 2015

Akhir Adalah Sebuah Awal.

Katanya sih begitu. Iya, kata orang-orang akhir dari sesuatu adalah awal dari sesuatu lainnya. Boleh jadi itu memang sebuah kebenaran tapi bisa adalah sebuah optimisme spiritual yang dikonstruksi oleh sebagian orang dan diamini sebagai kebenaran mayoritas oleh masyarakat yang katanya menganut sistem demokrasi ini.
Tapi di luar perdebatan apakah “akhir adalah sebuah awal” adalah sebuah kebenaran atau bukan, saya memilih untuk percaya bahwa ia memang sebuah kebenaran. Diawali dengan kenyataan bahwa saya dan rekan-rekan saya tidak bisa membawa proyek kami ke negeri Sakura, belom rejeki istilahnya, ternyata membawa kami pada manfaat-manfaat lain yang membuat kami lebih mencintaiNya. Ini bukan sekedar optimisme spiritual seperti kata seorang teman, ini adalah sebuah tanda seorang umat percaya dan meyakini Tuhannya.

Katakanlah benda berbentuk lingkaran ini adalah kehidupan, maka bagian mana yang kamu sebut nikmat? Bagian saat kamu berada di atas atau sisi sebaliknya?


Syukur
Syukur. /syu:kur/ (n) Rasa terima kasih kepada Allah.
Syukur adalah salah satu sikap berprasangka baik kepadaNya dalam kondisi apapun. Ada 3 cara Allah mengabulkan doa-doa hambaNya, yang pertama dengan langsung mengabulkan doa mereka, yang kedua dengan menahan dulu untuk melihat bagaimana usaha kita selanjutnya, dan yang ketiga adalah mengabulkan doa mereka dengan mengganti nikmat lain yang umatNya butuhkan. Butuhkan. Dari ketiga cara Allah mengabulkan doa umatNya, yang ketiga inilah yang kali ini membuat jantung saya berdegup lebih cepat saat menuliskannya di tengah perjalanan saya menuju ke tanah rantau, Solo.
Awalnya, pergi ke negeri Samurai itu memang tidak pernah ada dalam daftar mimpi atau cita-cita, atau proposal hidup atau apalah setelah hampir dua dekade saya hidup. Tapi ketiga sahabat saya yang juga peduli akan perfilman dan pertelevisian ramah anak membuat saya ikut ke sebuah proyek yang membuat kami berjalan sejauh ini.
Suatu sore kami berbincang tentang apa tujuan masing-masing dari kami menghabiskan waktu dengan melakukan pemutaran film, produksi film pendek, kajian hearing sana-sini.
“Aku mau jadi agen Muslim dan melihat bagaimana agama Allah di negeri Sakura”
“Aku mau jadi inspirasi buat teman-teman  karena aku bisa bikin film anak, dan juga inspirasi buat Keluargaku.”
“Aku mau jadi inspirasi buat adik-adikku dan bisa jadi orang yang ikut bantuin nyoret Jepang dari daftar mimpi kalian.”
Kira-kira begitu mimpi kami pribadi tentang proyek ini, selain memang mimpi kami bersama adalah menyebarluaskan ide Bioskop Keliling Anak dan dapat diadaptasi di berbagai tempat, pokoknya ini untuk anak-anak dan media. Melipat gandakan kebaikan kalau kata Mentor kami.

Pernah suatu hari kami juga mengatakan untuk masing-masing dari kami,
“Pokoknya Jepang itu bonus, proyek ini orientasinya tetap bagaimana agar ini bisa terus berlanjut, dan nggak sampai di sini.”
Tapi kemudian, saya harus meralat pernyataan yang pernah saya ungkapkan itu, karena sejatinya Jepang tidak akan pernah bisa menjadi bonus dari perjalanan pendek sarat akan pelajaran dan makna ini. Lagi, Allah mengajarkan kami dengan cara yang sangat luar biasa. Perjalanan 3 sampai 4 hari di Jepang yang mungkin tadinya akan kami nikmati akhir Maret ini belum tentu sepadan dengan bagaimana tiga bulan ini kami dikejar deadline menggarap penelitian dan paper yang tanpa kita sadari tanpa kami sadari makin mempererat ukhuwah yang terjalin. Tawa kami esok hari di bawah rinai salju atau wangi Sakura yang tertiup angin juga tidak mampu menggantikan tawa kami bersama Tasya, Petra dan Tegar yang terus mengulang-ulang scene  “Kok dijipuk to?” Atau tepuk tangan, riuh rendah setelah presentasi proyek kami di Universitas Hokkaido besok juga mungkin tak akan sepadan dengan hujan doa dari orang-orang yang senantiasa membantu kami tak kuat dan tak kurang semangat.

Jika memang pergi ke Kota di Utara Jepang itu adalah sebuah bonus, maka itu tidak pernah sepadan dengan makna dan ilmu yang Dia berikan kepada kami di perjalanan ini.
La in syakartum laa adzidanakum (Bersyukurlah maka Allah akan menambah nikmatmu) (Q.S Ibrahim:7)
Syukur membuat kita melihat dari sudut pandang lain. Syukur pula yang membuat kita lebih mencintaiNya. Karena dari syukur pula, kita dapat menangkap nikmat-nikmat lain dibalik satu hal yang sebelumnya kita anggap sebuah nikmat.


Rezeki
Rezeki /re:ze:ki/ (n) 1. segala sesuatu yang dipakai untuk memelihara kehidupan (yang diberikan oleh Tuhan); makanan (sehari-hari) 2. (ki) penghidupan; pendapatan (uang, dsb untuk memelihara kehidupan); keuntungan, kesempatan mendapat makan.

Setelah sekian lama pikiran ini dikonstruksi oleh media dan stereotype yang ada di tengah masyarakat tentang kata rezeki yang divisualisasikan menjadi uang, rumah yang nyaman, kendaraan yang nyaman, keadaan saat “roda” kita berada di atas, segala hal yang membuat kita merasa bahagia, akhirnya momen itu tiba di mana rezeki punya arti lain bagi kami.

Lewat tangis haru masing-masing dari kami, Allah membawa kami pada suatu titik di mana kami menyimpulkan bahwa rezeki bukan hanya hal-hal fisikal yang mampu dilihat dengan mata seperti yang selalu diperlihatkan sinetron-sinetron yang mengoyak sisi melankolis setiap penontonnya di mana rezeki selalu divisualisasikan dengan kondisi yang minimal cukup dibandingkan dengan kondisi yang serba kurang. Dari perjalanan ini kami menyimpulkan bahwa rezeki dapat berwujud sahabat yang selalu ada di samping kita, rezeki dapat berupa kemampuan untuk bersabar, kuat, atau berlapang dada, karena yang kesemuanya itu adalah nikmat-nikmat yang tidak mampu digantikan dengan benda-benda yang ditawarkan dunia.

Bahkan keadaan terhimpit pun adalah sebuah rezeki. Lalu mungkin kita bertanya di mana nikmatnya dalam keadaan terhimpit? Jawabannya adalah di saat-saat kita berdoa dan berbincang dengan Allah, momen-momen di mana kita dapat mendekatkan diri dengan Sang Khalik. Momen di mana mungkin sebelumnya tanpa sadari kita selangkah menjauh dariNya. Adalah sebuah nikmat tersendiri di mana Dia masih menginginkan kita untuk bersujud dan melafadzkan dzikir menyebut namaNya.
Ada banyak orang yang ingat Tuhannya saat ada di posisi terbawah dalam hidupnya, meminta untuk dikeluarkan dari segala kesulitan, tapi ada berapa yang lantas minta dikeluarkan dari ujian nikmat saat iya ada di masa-masa keemasan dalam hidupnya saat sesungguhnya kondisi itu adalah sebuah ujian baginya?
Terakhir, semoga kita senantiasa ditundukkan pandangannya di atas segala nikmat, agar terhindar dari riya’ ataupun sombong. Dan ini menjadi titik baru di mana kita menjadi manusia yang lebih bersyukur. Aamiin.