Friday, November 29, 2013

A Thursday: or a Tears-day?

Kamis akan jadi hari yang panjang. Tapi tenang, akhir pekan sudah hampir datang, tetapi harus tetap semangat dan berjuang!

Selamat sore dari bumi Gunungkidul dengan langit senjanya yang elok dan suasana desanya yang permai. Adalah sebuah penyesalan tersendiri saat aku akhirnya gagal menchallenge diriku sendiri untuk menulis peristiwa-peristiwa  selama 7 hari berturut-turut. Padahal hari Kamis ini adalah hari Kamis yang sangat berkesan bagiku.

Sangat Berkesan? Mungkin aku harus meralatnya menjadi, cukup berkesan. Karena UKD 2 mata kuliah--pengantar ilmu sosiologi dan pengantar ilmu komunikasi, itu jauh dari kata berkesan. Walau memang pada akhirnya, akan selalu ada hikmah di balik setiap peristiwa, seperti selesainya mata kuliah sosiologi--yeaaaa akhirnya nggak perlu berusaha nahan kantuk di kelas ibu dosen yang ini.

Lalu harus mengikuti Kuliah Umum yang diadakan Universitas sampai jam 4 sore. Walau hanya duduk dan aku tidak yakin kalau aku mendengarkan. Malamnya pergi ke acara yang tidak boleh dilewatkan oleh segenap anak kost yang ada di kelasku. Apalagi kalau bukan acara traktiran teman yang ulang tahun. Huehuehue

Dan di sinilah hal yang paling aku sesalkan. Ketiduran.

Segala kelelahan selama sehari ini membuatku harus terbangun pada jam 4 pagi keesokan harinya dengan kata-kata,

  "Yaelah kenapa ketiduran..." 

Tamparan juga untukku yang suka menunda-nunda menulis barang satu atau dua paragraf(mungkin ini juga berlaku untuk kegiatan lain). Kelewatan deadline, capaian dan apa;ah namanya yang harus dikejar karena hal-hal sepele seperti ketiduran memang menyesakkan. Padahal sering sekali aku baca tulisan orang entah di Twitter atau hasil blogwalking sana-sini tentang menulis. Kalo punya pikiran tentang suatu hal, tulis saat itu juga, minimal berupa coret-coretan atau berupa kerangka. Apapun yang penting ditulis. Soal elaborasi, itu jadi nomer 2.

Harusnya siang itu saat aku ingin menulis, aku segerakan menulis.
Harusnya aku sadar waktu tak dapat diulang, siapa yang bisa bernegosiasi dengan waktu? tidak ada.




Thursday, November 28, 2013

Wednesay: It's A Wudd-nesday!

Jam dinding menunjukkan pukul 23:29 WIB. Tak terasa sudah ada di penghujung malam. Lagi-lagi aku terlambat membuat pos hari Rabu. Seperti hari lainnya, hari Rabu kali ini terdiri dari berbagai rangkaian peristiwa.

And here are the bullets of the Wudd-nesday:

  • Bangun pukul 04.00 WIB setelah tidur selama 2,5 jam untuk garap presentasi hari itu juga. Lack of Sleep? OF COURSE I AM.
  • Ya bayangin aja sih kalo misalnya udah begadang, dan jam 05.30 WIB dapet mention gini dari temen sekelompok setelah ngirim email ke doi.



  • Ikut Dialog Kebangsaan dengan Bapak Wiranto, Hidayat Nurwahid, Syahrul Yasin sekaligus merangkap menjadi panitia.
  • Masuk kelas untuk presentasi, setelahnya keluar untuk ngelanjutin tugas di tempat acara.
  • Sialan gue masuk ke forum tebar "citra".
  • Almamater ketukar dengan entah siapa, I'm pretty sure that it's a guy's, yes the smell told me so.
  • Sorenya harus ikut Asistensi untuk tes praktek Sholat.
  • Setelahnya ngecek email di mushola FISIP sampai akhirnya ketiduran di mushola, cen koyo cah suwung.
  • "Dek Anin kayak orang India/Arab ya? Ada turunan dari papa atau mama?" Sebenernya ini nggak usah dibulletkan sih, tapi lucu aja tiap denger ini.
  • Dan akhirnya baru sadar, kalo ternyata headset udah nggak di tangan.

Jika saja bisa aku beri nilai antara 0 sampai 10, hari ini cukup saja dengan nilai 5. Kenapa? Terlalu flat dari segi emosi. Tidak ada ups and downs yang membuat greget. Bahkan setelah ngasih tau poin-poin kejadian yang harus dibold, diunderline dan diitalickan, setelahnya tetep juga ngerasa biasa aja, "Oh yaudah" habis itu lewat deh masalah.

Jadi gini, aku punya konsep "Oh Yaudah." Ini ala-ala edisi ngapluk habis belajar Sosiologi untuk UKD besok. Kita semua butuh neraoin "Oh yaudah" moment ini, dan orang-orang juga harus tau, saat ada individu yang bilang "Oh yaudah", harus dimenngerti bahwa sebenarnya mereka ini bukan berarti nggak peduli, mau lepas kendali, atau udah masa bodohlah dengan segala macam terkait. "Oh yaudah" juga bisa diartikan sebagai bentuk pembebasan diri dari segala kepenatan dan tekanan yang ada. bukan berarti melepas kendalai, tapi sekedar melonggarkan pikiran agar ruang-ruang di otak kembali terisi dengan asupan oksigen yang di antarkan sel darah. Lebih dari itu, "Oh yaudah" merupakan sebuah konsep yang disederhanakan dari konsep "Me-Time" . Bahkan "Oh yaudah" dinilai sebagai konsep yang lebih praktis karena bisa dilakukan kapan aja untuk menyenangkan diri sendiri tanpa harus memposisikan diri untuk benar-benar sendiri di sebuah lingkungan.

Selamat malam, Ngaplukers.



Wednesday, November 27, 2013

Tuesday: The Timelines, The Clocks and The Words

20.20 WIB waktu Auditorium UNS.
Masih dengan celana jeans hitam, kaos merah dan cardigan--pakaian ngampus hari ini(pakaian kebangsaan saat malas kuliah). Kuliah hari ini sebenarnya tidak terlalu memberatkan, Bapak Dosen I, seperti hari Selasa biasanya...

.
.
.
.
.
.

21.30 WIB waktu Kamar Anindya.
..., seperti hari Selasa biasanya, beliau memberi petuah-petuah, esensi-esensi tentang media dan pandangan-pandangannya bagaimana manusia harusnya hidup. Lalu Bapak Dosen II, dengan gelagatnya yang lucu dan suaranya yang selalu tidak dihiraukan penduduk belakang. Hari ini aku datang terlambat di kedua mata kuliah, karena terlalu santai dan hujan....
  
   "ah hujan untuk hari ini aku tidak menemukan sedikitpun romantisme dari kehadiranmu." 

Masih bersyukur karena tidak melanggar batas waktu yang telah ditentukan walau pada akhirnya duduk di barisan paling belakang untuk mata kuliah Bapak Dosen II. 
   
   "Maafkan mahasiswamu ini ya, Pak. Yang sedari tadi malah sibuk whatsappan sama nggambar-nggambar gak genah."

.
.
.
.
.

Dan aku ketiduran. Jam dinding menunjukkan waktu 23.10 WIB

.
.
.
.
.

Lanjut garap tugas lagi, lihat jam lagi kyaaaaa udah jam 23.40 WIB masih ditempat yang sama. 

    "Kampret ke mana aja seharian ini, meh jam 12, meh hari Rabu, njuk piye daily post-ku?"

Mungkin kalau hati bisa menjerit, itulah yang akan aku dengar detik ini juga. Bahkan di detik-detik di mana aku merangkai setiap huruf ini, aku masih tidak tahu poin apa yang akan aku tulis. Ngalor ngidul ngetan ngulon, nggak ada juntrungane.

Lihat post-post yang aku buat akhir-akhir ini, siapa tahu dapat inspirasi nulis, eh malah jadi mikir, kenapa sekarang suka masukkin kata-kata bahasa Jawa ke dalam postingan ya? Hahaha aneh memang, tapi sepertinya bukan orang bergolongan darah A sejati rasanya kalau nggak punya lasan di setiap tindakan yang dilakukan. Menulis dengan menyisipkan bahasa Jawa di tengah pergumulan kata-kata dalam teks berbahasa Indonesia memang akan terdengar aneh, nyeleneh juga, atau bahkan ngece pemuda yang waktu itu mengikrarkan Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928 lalu. Mungkin juga orang akan menganggap ini sebagai sebuah gaya kepenulisan, dan nggak ada yang salah tentang ini.

Tapi aku sendiri punya gagasan. Menulis itu bukan soal bagus atau tidaknya sebuah karya di mata mereka yang menilai. Biarkan penilai tenggelam dalam pergulatan pikiran mereka sendiri untuk menentukan bagus atau tidaknya tulisan ini. Aku tidak peduli. Karena menulis lebih dari sekedar menyenangkan orang lain. Menulis itu tentang rasa. Dan kata-kata basa jawa yang aku masukan di postinganku, adalah sebuah rasa yang tidak bisa digantikan dengan bahasa apapun.

.
.
.
.
.
.

23.56 WIB waktu kamar Anindya.
Akhirnya postingannya selesai dan nemu juga poinnya!

Selamat malam dunia :)




Monday, November 25, 2013

Today is A Mean-day

   "I'm bulletproof
    Masyarakat bisa menerima perubahan berarti bersifat asosiatif
    fire away... fire away...
    dulu saya pernah ceritakan...
    you take your aim
    di tengah nilai-nilai masyarakat tradisional..."

Pagi ini David Guetta mengiringi Sia dan Ibu Dosen tercinta menyanyikan Masyarakat Titanium. Sebelumnya, Aku tekankan bahwa aku bukan salah satu dari mereka yang membenci hari Senin. Saya suka hari Senin. Cukup suka.

Senin adalah hari di mana mood dan semangat baru saja dicharge ulang dari akhir pekan sebelumnya. untuk itu, jangan main-main dengan akhir pekan, karena efeknya akan berimbas untuk 7 hari setelahnya.

Akan menjadi suatu Senin pagi yang ideal saat aku bangun pukul 5.00 WIB, absen sama Sing Duwe Urip, lalu buka Twitter, ng-tweet barang 1 atau 2, memberi ucapan syukur dan ucapan selamat pagi untuk dunia maya, lalu menikmati secangkir kopi, mungkin juga sarapan sepotong atau dua potong Cakwe atau Gembukan yang dijual di gang depan rumah, siap-siap ke kampus, berangkat, mungkin Krewella dengan Alive-nya boleh juga menemani selama perjalanan ke kampus.

Tapi ekspektasi hanyalah ekspektasi. Kadang bahkan posisinya selalu berbanding terbalik dengan realita. Pagi ini, aku bangun pukul 05.15 WIB, langsung buru-buru ke kamar mandi untuk wudhu dan "absen" pagi, balik lagi ke kasur, glibak-glibuk di kasur sambil main Pou. Sesekali ngeretekkin badan yang mulai berasa pegal-pegalnya berkat aktivitas weekend kemarin.

1st tweet of the day, nanggepin mention adek yang tak omelin gegara males belajar(ini ceritany lagi lupa kalo biasanya juga males belajar), 2nd tweet adalah greeting tweet yang.....

Itu maksudnya mau nulis albumnya One Direction yang terbaru etapi malah........salah fokus, maapin
Bukan tipe tweet semangat pagi atau tweet orang yang 100% full-charged sehabis weekend ya?
Today is no Monday. Monday is when you get 100% full-charged for the next 7 days. Monday is when you tweet something with spirit to influence others. Monday is when you think it's a positively beautiful day. 
But today,today is a Mean-day. Cause I'm extremely tired that I need a rest for the whole day.
So sorry for my friends cause I'm being quieter than the other day, for the Lecturer, that I feel like my playlist and the view outside the window is more interesting.

Now they're really my savior from the boredom attack, So sorry Ibu Dosen for being a multi-tasker!








Thursday, November 21, 2013

Solo Sore Itu

Waktu menunjukkan pukul 17.35 WIB Adzan maghrib sudah berkumandang sekitar 5 menit yang lalu. Sedangkan aku masih mandeg di salah satu perempatan--yang aku tak tau apa nama daerahnya, di salah satu sudut kota Solo. Banyak kompetisi di jalan sore itu, berlomba dengan waktu--ingin cepat sampai di rumah untuk absen dengan Allah, dan bertemu keluarga di rumah, atau sekedar menikmati teh sore hari sambil menertawakan kebobrokan aparat negeri; berlomba dengan mobil dan motor lainnya--salip-salipan untuk jadi yang terdepan atau sekedar menghindar asap knalpot dari mobil berbahan bakar solar atau mesin 2 stroke; berlomba dengan lampu merah--dulu-duluan jangan sampai lampu hijaunya berganti merah saat akan melintas.

Solo dengan segala hiruk-pikuk di sore harinya, adalah suatu keindahan bagiku. Aku selalu menikmatinya. Ada saja yang unik untuk diperhatikan, entah orang yang slonong-boy menyebrang di jalan dan habis dipisuhi pengendara di jalan(memang banyak sekali yang suka mak sliwer di Solo), atau bapak-bapak penjual bakso bakar yang ngipasin arang di depan Gedung MTA. 

Di bawah langit ungu ke biruan dan lampu jalan Slamet Riyadi yang mulai menyala, sayang sekali tak sempat aku abadikan(lagi). 60km//jam kupacu honda beat putih yang sudah menamaniku selama 3 tahun terakhir. Tapi cerita hari ini tidak hanya tentang Solo sore hari nan indah ini.

Solo hari ini adalah tentang anak-anak dari sebuah desa kecil di Sangkrah. Desa kecil di pinggir sebuah bendungan besar. Desa kecil yang banyak di antara pencaharian warganya adalah sebagai pemulung. Desa kecil di mana harapan tumbuh subur di benak masing-masing anak di sana.

Sore ini, aku dan beberapa teman mengajar membaca, menulis dan beberapa pelajaran lainnya di sana. Semacam memberi tambahan jam belajar untuk anak-anak yang masih kesulitan untuk mencerna materidi sekolah. Namanya Galang, usianya 7 tahun, anak yang cerdas dan suka sekali dengan matematika; lalu ada Nenden, kelas 2 SMP, perempuan manis berkulit sawo matang dengan perangai tomboy ini adalah seorang penggebuk drum handal; kemudian Nela, kelas 4 SD, pecinta Angry Birds, terlihat dari kalung dan anting yang ia kenakan, anaknya pemalu sekali; yang terakhir Tina, kelas 6 SD, semangatnya untuk sekolah sangat besar, impiannya tidak muluk-muluk, hanya dapat nilai bagus agar bisa melanjutkan ke SMP Negeri, ia terancam putus sekolah jika harus meneruskan pendidikannya di sekolah swasta. Begitupun yang lainnya.

Jika dahulu pahlawan mengangkat bambu runcing, berperang, melakukan gerilya, untuk sesuatu bernama "Kemerdekaan", yang mana adalah sebuah hak bagi segala bangsa--setidaknya itu yang dikatakan para Founding Fathers kita di UUD 1945. Agar nanti, anak cucunya mampu merasakan apa yang dirasakan penjajah pada masa itu; kesejahteraan, kemakmuran, hasil alam yang melimpah, termasuk pendidikan yang terbaik. Kali ini, di era reformasi yang kebablasan, di depan mataku sendiri, pendidikan yang katanya adalah sebuah hak yang harus diterima oleh setiap bangsa, menjadi sesuatu yang harus diperjuangkan. Walaupun memang hak adalah suatu perjuangan yang kita tuai dari kewajiban-kewajiban yang kita lakukan, namun sudah semestinya untuk hal seperti pendidikan, setiap warga negara di negeri ini merasa yakin dan percaya diri bahwa dirinya pasti dan akan mendapat pendidikan baik itu formal maupun informal. Namun sekarang kenyataannya, kalau memang pendidikan adalah sebuah hak, mengapa ada warga yang masih khawatir, tidak bisa melanjutkan sekolah bahkan sudah mendeklarasikan dirinya untuk tidak melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi jika memang harus melanjutkan ke sekolah swasta, apalagi kalau pada akhirnya soal biayalah yang dipermasalahkan. Ke mana perginya negara? Ke mana perginya pemimpin negeri? Di titik ini, aku merasa, 'kami' telah lama jauh dengan sosok yang paham akan kondisi ini. Banyak di antara warga ini yang bahkan menomor duakan pendidikan. "wis nduk, timbange sekolah, mending ngrewangi ibuk wae...raketang gur resik-resik omah." Ini 2013 dan masih ada yang punya mindset seperti ini. Masih ada.

Hal-hal yang aku jabarkan barusan itu nyata. Mereka yang mengamen saat lampu merah di depan Showroom Panggung itu juga nyata. Sampai kapan ingin menutup mata? Kita lihat dari sektor akademisi. Apa yang mereka lakukan? Sibuk dengan sekat-sekat jurusan. "Itu ranahnya orang keguruan" "Itu ranahnya orang sosial" kata mereka yang saling tunjuk. Terlepas dari apa jurusan yang kita ambil, entah di bangku sekolah atau kuliah, masa depan bangsa adalah sebuah tanggung jawab bersama. Kalau kita terus menerus berpikir, "Soal negara udah ada yang ngurus kali, tuh! (nunjuk orang-orang yang molor di DPR)" Lalu jika telah sampai masanya mereka meninggalkan kursi kehormatan, siapa yang akan mengatur negeri agar tetap pada haluannya?

Galang, sore ini di kelas membaca dan menulis. 

Setidaknya melihat Galang(dan anak-anak lainnya) sungguh-sungguh belajar, menjadi semangat baru untukku dan teman-teman yang lain. Jika dilihat lagi, mungkin yang aku ajarkan memang hanya sekedar baca dan tulis, hanya sekedar A-I-U-E-O, Ba-Bi-Bu-Be-Bo, perkara mudah untuk mereka yang duduk di perguruan tinggi. Namun, jika kita tetap menjadi mereka yang hanya fokus mengkritisi pendidikan. siapa yang mulai turun tangan? Karena setinggi apapun kita menempuh pendidikan, kepada masyarakatlah kita akhirnya mengabdi.

Langit Solo sore yang indah itu, beberapa klakson mobil dan motor itu, angin dingin yang mulai menelisik sweater dan kemeja itu, menjadi saksi akan sebuah janji seoarang pemudi untuk sebuah perubahan pada negeri.





Tuesday, November 12, 2013

Apalah!

Bapak
Di Twitter hari ini. #HappyFatherDay menempati peringkat pertama dalam TTWW

Bapak, jika ini hari ayah, apa yang harus aku tulis untukmu?
Aku telah kehabisan kata
Untuk bicara soal jasamu

Ah, sudahlah! Bapak, pokoknya aku rindu.



Sunday, November 10, 2013

Ekspektasi Minggu

Minggu kedua di bulan November. Masih dengan salah satu ekspektasi(tiap minggu) yang masih belum kelakon

Jadi gini ekspektasinya.
Melaksanakan tugas suci untuk menyenangkan diri sendiri, dan menjadi pribadi introvert untuk beberapa jam dari siang sampai malam, ngeluyur ke coffee shop, dengan modal dompet, handphone, headset, buku catetan, laptop dan chargernya. Klasik banget kedengarannya. Bikin post-post santai, sedikit foto-foto dari kamera handphone, editing, tambahin quote, post di instagram atau tumblr. Pesan Machiatto atau Kopi Lampung juga boleh lengkap sama croissant atau sandwich. Dengerin Maroon 5 sambil ngeliatin setiap orang lalu lalang di balik jendela kaca, atau waitress yang ngelayanin pelanggan lain, atau pengunjung cafe yang sibuk sama laptop masing-masing. That's what I call with "A little heaven in a Su(ck)nday".

Tapi realita berkata lain.
Dari kelaperan karena nggak ada sarapan di rumah, nyari tukang bubur ayam sampai ngelilingin Makam Haji dan ternyata si tukang bubur ada di dekat rumah, mampir beli cakwe dan kue bantal(kalau di Solo ini di bilang Gembukan), sampai di rumah, makan sama Simbah(harus pake 'h'), dan.............setelahnya ketiduran sampai jam setengah 12 siang. Masih lanjut lagi, setelah absen sama Allah, pindah ke ruang tamu, standby laptop, handphone dan buku Pengantar Ilmu Politik untuk ngerjain tugas tentang good governance dan segala paradoksnya di era orde baru(bagian ini sebenarnya bisa juga masuk di ekspektasi), tapi akhirnya walau udah ngejogrog 2 jam sepatah katapun belum keluar buat sekedar latar belakang. Yang dilakuin udah ketebaklah, dari browsing artikel sampai video yang akhirnya cuma jadi intermezzo dan gak ada hubungannya sama si tugas.

  I could stay awake just to hear you breathing
  Watch you smile while you are sleeping
  While you're far away and dreaming
  I could spend my life in this sweet surrender

Akhirnya giliran Aerosmith nyanyiin I Don't Wanna Miss A Thing. Dan Blog jadi pelarian dari segala unspoken words yang ada di otak. Berharap juga habis cerita satu atau dua paragraf di sini bisa lebih ngayemke pikir, dan melanjutkan memulai tugas pengantar ilmu politik.

Sekarang aku ngerti apa itu yang dimaksud pelarian. Mau gimana juga konteksnya, toh spertinya kita memang butuh pelarian. Paling nggak untuk menyiapkan diri ke hal lain yang bahkan belum kita tau di depan.



Thursday, November 7, 2013

Tiba-Tiba Rindu

Entah apa yang harus aku tulis. 
Otakku masih terus mencari kata apa yang tepat untuk potongan memori yang terlintas di kepalaku ini. 

Sekarang ia memutar memori saat....
Aku dan bocah-bocah gila itu makan di kantin paling Utara di kantin sekolah
kami berbalas lelucon, membahas pelajaran, kadang juga rasan-rasan guru barusan
Nia dan Denali memesan Es Jeruk, 
Aku, Anggra, Rifani, Thoriq, Ramdhan, Lingga memesan Kopi Gooday(walau akhirnya aku selalu mengeluh kenapa bu Tukino nggak nyediain Coffeemix)
Yudha, Firohman dan Adha memesan Es Teh.
Nia dengan tertawanya yang mengikik seperti......(yah tau sendirilah apa yang kumaksud) dan Aku tertawa paling keras(seperti baisa), dan selalu disambut dengan kata "ora kenaaaaaal" oleh Anggra-satu kata untuknya, absurd, dan beberapa yang lain.
Tuan-tuan Sarkas(kalau aku bisa bilang) Thoriq dan Firohman, yang saling berbalas lelucon(atau cemooh yang berbau sarkasme, tapi tetap saja bukannya membuat orang marah malah tertawa mendengarnya,entahlah apa cuma aku yang seperti itu)
Lalu ada Adha, Yudha dan Ramdhan yang hmm.... lempeng-lempeng aja sedikit lebih diam(aku bilang sedikit, nggak banyak)
Rifani dan Lingga.....Aku masih berpikir bagai mana bisa mereka terus berbicara dan tak juga lelah, dan masih bingung ingin menaruh poin yang itu di kolom kelebihan atau kekurangan.
Dan Denali....Dia juga lempeng, tapi juga banyak bicara, dia sopan tapi juga sarkas(terutama kalau sama aku), otak-otak politisi(rada bersyukur dia masuk manajemen sekarang), 3 tahun kami sekelas dan.......entah sudah berapa kali dia beristigfar untuk duduk sekelas bahkan sebangku dneganku.

11 orang ini. Aku tidak punya kata yang lain.
Hanya saja, keberadaan mereka memang selalu istimewa, tidak terganti
Aku mungkin menenukan banyak teman-teman sekarang, di sini
Tapi yang seperti mereka? Aku rasa tidak ada.

Mereka yang akhirnya buat aku percaya,
adalah tidak mungkin untuk hidup dan tidak terikat dengan apapun dan siapapun di suatu tempat,
nyatanya, setelah ada perpisahan, mereka yang paling aku rindukan.

Mereka yang mengajarkan aku,
adalah salah untuk menangisi masalah,
mereka mengajarkanku untuk menertawainya.

Saat aku berpikir dunia sudah cukup jahat,
saat tidak ada lagi tempat yang membuatku nyaman,
saat aku pikir semua orang sama egoisnya,
Mereka yang membuatku merasa di rumah.

Aku sering bilang,
mereka yang keluar dari zona nyaman,
sebenarnya pergi untuk mendapatkan zona nyaman yang baru,
Aku tahu, aku sudah menumakannya.
Karena saat aku mendengar "zona nyaman" saat itu pula aku mengingat mereka.

Sahabat, tiba-tiba aku rindu...



Sunday, November 3, 2013

We Should've Loved it


Siang itu posisi matahari tergak lurus dengan bumi Solo. Terik. Sangat terik. 28 derajat Celcius tapi sudah terasa di padang pasir, ya terima kasih padatnya lalu lintas, minimnya ruang terbuka hijau, terima kasih karenanya Solo menjadi berkali lipat panasnya. 

Sementara itu, aku berlari-lari dengan tas punggung orange yang sudah menemaniku hampir 5 tahun terakhir menuju ruang tunggu Stasiun Balapan untuk menemui Yanna yang sudah menanti dengan dua tiket yang sebelumnya sudah ia beli.

"Anin! Akhirnya dateng juga, nih tiketnya, keretanya udah dateng, masuk yuk." Katanya sambil memberikan selembar tiket Kerete Prameks jurusan Solo-Jogja dengan keberangkatan pukul 13.00 WIB, tepat 10 menit sebelum keberangkatan.

Naik ke gerbong kereta, sempat celingak-celinguk mencari tempat duduk yang mungkin masih kosong, benar saja, semua tempat telah terisi. 

"Yah, bener nggak ada tempat duduk nih."
"Yaudahnanti kalo udah jalan kita duduk aja."
"Beneran?"
"Iya beneran, nanti malah bisa selonjor haha"

Singkat cerita, Kereta kami akhirnya melaju, jugijagijugijagijug jangan bayangkan kereta tercepat di Jepang, karena Prameks...yah sangat jauh dari kereta yang itu, namun setidaknya dengan ini, aku bisa lebih memperhatikan hal-hal di sekitarku. Melihat pemandangan, hamparan sawah luas, siluet Gunung (entah gunung apa) di kejauhan, rumah warga yang tersusun agak berantakan di pinggir pinggir rel, lewat kaca lebar kereta ini.

Stasiun Klaten sudah dilewati, aku mulai bosan. Perjalanan kali ini sungguh berbeda dengan perjalananku yang biasanya. Orang-orang di kereta ini tampak lebih sibuk dengan gadget mereka masing-masing, ada yang main game, mendengarkan musik, bahkan salah seorang penumpang di sebelahku yang juga mahasiswa, membaca materi untuk UTS dari tabnya. Mungkin karena penumpangnya yang mayoritas adalah anak muda sehingga tidak heran jika dari awal masuk ke gorbang yang ingin ditemukan adalah "Me-Time", Berbeda halnya dengan orang-orang tua yang aku temui, mereka cenderung lebih responsif dan kepo dengan orang-orang yang baru saja mereka kenal. Pada saat itu, untuk pertama kali aku rindu naik bis. Karena tak ada lagi yang bisa dilakukan, akhirnya aku memasang headset, dan mulai menshuffle playlist yang ada di telepon genggam kecil ku ini, Nokia 101/ HP Cawetrangers.

  My head is stuck in the clouds
  She begs me to come down
  Says, "Boy, quit foolin' around"
  I told her, "I love the view from up here
  Warm sun and wind in my ear
  We'll watch the world from above
  As it turns to the rhythm of love"


Perlahan, dengan mantap suara Tom Higgenson mulai menyanyikan Rhythm of Love. Angin berdesir dari jendela kecil di atas kepalaku. Rumah-rumah warga yang ada di depan pandanganku seakan berlomba, berkejaran dengan kereta yang aku naiki siang itu. Syahdu.

"PRAAAAAAK!"

Tiba-tiba ada bunyi memekakkan telinga di bagian lain tempat duduk, di gerbong yang sama yang aku naiki. Seketika itu pula, para penumpang berdiri, ekspresi kaget terlihat dari setiap penumpang. Aku juga merasakan hal yang sama. Masih mencari sumber suara, pihak keamanan kereta pun datang ke gerbongku. Rupanya ada yang melempari kereta kami dengan batu. 

"Oh, dilempar batu, biasanya anak-anak sih kayak gitu." Kata penumpang di sebelahku yang menanggapainya seakan itu merupakan hal yang sudah sangat biasa terjadi,lalu kembali ke tab dan materi UTSnya.

Kini Tom tak lagi terdengar di telinga. Otak ini sibuk merekonstruksi kejadian yang baru saja terjadi. Seorang anak memang mungkin saja melakukan hal itu, namun, apa motifnya? Iseng? Penasaran? Entah apa motifnya, aku pribadi menyimpulkan ini bukan saja tentang keisengan anak-anak untuk melakukan pengrusakkan atas fasilitas umum, namun lebih karena tidak adanya kesadaran dalam diri anak-anak untuk menjaga fasilitas umum, tidak adanya kesadaran bahwa fasilitas ini adalah milik bersama, untuk kepentingan bersama yang harus dijaga bersama. Terlepas darisiapa yang bersalah atas kejadian ini, kembali ke lembaga-lembaga di masyarakat terkait yang bertanggung jawab atas perkembangan anak-anak untuk dapat menanamkan rasa kecintaan dan kesadaran akan fasilitas-fasilitas umum, bukankah akan indah jika setiap orang menjaga, merawat dan mencintai fasilitas umum seperti mereka memperlakukan itu kepada diri mereka sendiri?

Kemudian petugas keamanan menyapu pecahan kaca, dan setiap orang kembali duduk ke tempat semula. Kembali memasang heaadset mereka, mendengarkan musik mereka, memasang sekat tinggi dan sulit dipanjatb atau diruntuhkan, kembali masuk ke dalam dunia mereka masing-masing. Sampai tiba di stasium istimewa, Stasiun Tugu.



Friday, November 1, 2013

Pulang

Saat setiap orang berlomba pergi ke sebuah tempat.
Saat itu pula mereka lupa akan pulang ke rumah.

Saat setiap orang berlomba membangun bangunan menjulang.
Dengan segala di dalamnya; air panas atau kolam renang.
Mereka tetap saja seperti orang 'hilang'.

Saat setiap orang mangatakan "aku ingin pulang"
Saat itu pula mereka teringat, telah lama mereka kehilangan rumah.
Saat itu pula mereka kehilangan makna dari sebuah rumah.
Saat itu pula mereka sadar, mereka terlalu jauh dari rumah.

Sekarang mereka ingin kembali.
Masa bodoh sudah dengan air panas atau kolam renang.
Masa bodoh sudah dengan tempat yang dulu mereka elu-elukan.
"aku ingin pulang.....ke rumah"
tempat nyaman dengan kehangatan senyum dari bapak.
tempat yang selalu dirindukan dengan kelembutan dari ibu
tempat riang yang selalu menggembirakan dari adik.

Pulang.
Ke mana aku pulang?