Sunday, December 15, 2013

Solo Malam Itu...


Jalanan belum juga kering setalah diguyur hujan deras sesore ini. Solo masih diselimuti hawa dingin yang cukup untuk membuat tengkuk bergidik dan menenggelamkan tangan di saku-saku jaket atau di balik lengan panjang yang dipakai masing-masing manusianya.

Solo. Kota kecil dengan segunung budaya, komunitas, perkumpulan, dan beragam karakter manusianya, memang selalu aku anggap (re: setidaknya selama kurang dari 6 bulan terakhir) sebagai kota yang kharismanya muncul saat matahari sudah menempatkan diri di peraduannya, saat lampu-lampu di jalan mulai dinyalakan, saat satu per satu pedagang makanan Hidangan Istimewa Kampung atau yang lebih dikenal dengan HIK(re: he') membuka lapak mereka, dan saat itulah aku melintasi jalanan di tengah aktivitas-aktivitas kecil itu. Syahdu.

Malam ini, Pakde Iwan Fals dengan setia menemaniku dalam perjalanan kembali ke Makam Haji dari Kentingan menyanyikan Yang Terlewatkan. Waktu menunjukkan 23:15 WIB tadi, saat aku melintasi Jalan Slamet Riyadi, yang mana adalah akses jalan yang aku anggap paling vital yang ada di Solo ini. 23:15 WIB, saat di mana Mama dan Simbah mulai setiap 10 menit sekali menelpon dan menanyakan keberadaanku, dan setiap 10 menit sekali juga, aku harus menjawab pertanyaan yang sama. Sehabis hujan, di bawah sinar lampu jalan dan dingin yang terus merasuk ke dalam tulang, tulang rusuk, tulang punggung, dan tulang-tulang lainnya. Bayangan akan alergi dingin yang mungkin bisa kapan saja kambuh juga ikut menghantui. 

Solo malam ini seperti Solo di hari biasanya, selalu memberikan inspirasi di setiap sudut kotanya, di setiap sinar yang terpancar dari lampu-lampu jalannya, selalu indah dan nyaman untuk dinikmati. Hampir saja lupa, sudah hampir tengah malam dan aku belum juga pulang. Tetapi tetap saja tidak ada keinginan untuk mencari jalan terdekat atau setidaknya mempercepat laju motor yang kukendarai. Solo malam itu sukses menghipnotis kedua bola mata ini dan insan yang memilikinya.

Solo malam ini  dengan langit yang mendung, hawa yang dingin, jalan protokol yang mulai menyepi, tetap saja tak mengurangi sedikitpun kharisma dan keindahannya. Syahdu sekali berada di dalamnya, bersama wong-wong Solo yang terkenal aluse ra jiaamak itu. Membuat wewangian memori dari masa lampau akan sebuah Minggu yang menyenangkan bersama Bapak, adik dan ibu di sebuah rumah kecil yang berada di gang kecil di salah satu sudut di pinggiran kota Tangerang Selatan dan Jakarta itu kembali menguar, menyenangkan dan menyesakkan. Keluarga kecil yang bahagia itu mengajarkanku akan sebuah nilai kebahagian, yang sebenarnya adalah sebuah hal yang sangat sederhana. Tak perlu mendhagak sampai leher kaku untuk merasakan bahagia. 

Bagi Si Bapak, bahagia berarti berkumpul dengan keluarganya, di tengah hujan deras, dengan ibu yang memasak cemilan di dapur dan dirinya yang bermain Monopoli dengan kedua anak perempuannya. Bagi Si Ibu, bahagia berarti masih bisa memasak dan melihat ekspresi puas dari penikmat hidangan setianya. Itulah salah satu life-achievement yang tak akan terlupa bagi seorang ibu. Bagi Si Adik kala itu, kala itu bahagianya adalah bisa membuat satu putaran tanpa masuk penjara atau harus bayar denda lainnya dari  kartu Kesempatan atau Dana Umum, dan tidak bermalam di hotel siapapun saat itu, kalau bisa berharap sedikit ada yang akan singgah sebentar di hotel atau rumahnya yang tersebar di berbagai negara itu. Bagi Si Kakak kala itu, bahagia berarti bisa mengakali Adiknya, bisa bayar hutang ke Si Bapak dan dapat paling banyak kue Ketawa-nya Si Ibu.  

If I could only throw back time, I wanna go back to that time where I think that happiness is such as simple thing. That I don't have to worry about the consequences, the bad or the good stuffs, the possibility that I might get.  I just do what I want to do when it seems so interesting to me. I am the boss of my own self, my own life. 

And there goes the time.
It changed thing's around me. Happiness is not like the way I saw it, at that moment. Since I don't play monopoly anymore. But the way my Daddy think that "Happiness is simple" stick with my brain. I could stay the whole day, with Daniel Sahuleka play his songs on and on, coffee, and some books and never get bored. And that's just what I called happiness. 

But, the time..
It's like the time comes to deny what we think about the life supposed to be.
Like it comes to wake us up from our dream and remind us to be just realistic.
Like it comes to refuse all the thoughts we think that we might get back to our old life.
Like it comes to say "It's time to grow up..." 

If you ever wonder, why do often talk about happiness, it's because that's just one of those way to say, "Thank God for grant me a life that is unpredictably beautiful, amazing, that I shouldn't ask for more." And, maybe there's someone out there, feeling confuse for what happiness supposed to be, well this post is about how I made my own happiness, now since to made happiness is a must, then how's yours?




Monday, December 9, 2013

Korupsi Itu Sangat Dekat!

Siang ini pukul 14.00 WIB Matahari mulai condong ke arah barat. Sementara sekitar 20-an pemuda dengan almamater biru terang baru saja memarkirkan motornya di Gladhak, lalu bergerak ke depan Patung Brigjen Slamet Riyadi yang kokoh berdiri sambil mengangkat senjata di udara. 

Pra-Aksi Sejuta Tangan Anti Korupsi 8 Desember 2013
@ Car Free Day Slamet Riyadi
Hari ini, Senin 9 Desember 2013 bukanlah hari Senin seperti hari biasanya. Hari Peringatan Antikorupsi Seleuruh Dunia. Berbondong-bondong orang mengeutarakan aspirasinya lewat status update, Twitter, ataupun sepatah dua patah kata di blog mereka masing-masing. 

Hari Antikorupsi ini aku artikan sebagai hari di mana kita seharusnya berkabung. Tidak ada semacam perayaan yang harus dilakukan untuk hari ini. Hari ini mengingatkan aku akan matinya integritas di negeri, melempemnya hukum bagi para bandit-bandit dan tak kuasanya penguasa negeri atas tikus-tikus yang kian hari kian menggerogoti kekayaan ibu pertiwi. Menyedihkan.

Korupsi. Korupsi dalam arti hukum, adalah tingkah laku yang menguntungkan diri sendiri dengan merugikan orang lain, yang dilakukan oleh penjabat pemerintah yang langsung melanggar batas-batas hukum.  Namun, bibit-bibit untuk tindak pindana korupsi sendiri tanpa kita sadari ternyata telah terima bahkan saat kita pertama kali melakukan sosialisasi. Dan keluarga tidak luput dari kemungkinan dalam penyebaran bibit-bibit perilaku korupsi itu sendiri.

Kesedihanku yang lain adalah dengan berat aku harus menyadari korupsi sudah menjadi bagian dari negeri ini sejak lama. Tak perlu dululah kita mendhangak ke atas, melihat kelakuan hina para koruptor yang kapan saja mengambil duit rakyat untuk memuaskan nafsu mereka dengan gelimangan harta dan keindahan duniawi lainnya. Korupsi ada di sekitar kita. Dekat sekali, walau tidak sedekat Tuhan yang lebih dekat bahkan dari urat nadi kita sendiri.  Untuk itu, Mari kita lihat praktik korupsi di sekitar kita.

1. Korupsi waktu
Kawan, pertama, aku katakan, korupsi itu bukan hanya tentang duit. Janganlah dulu tuding mereka yang di atas sana yang sedang ngemil duit rakyat. Lihat berapa banyak waktu yang kita sepelekan sampai detik ini. Berapa kali bisa datang tepat waktu sesuai dengan kesepakatan bersama? "Ah itukan Indonesia banget" Apa harus kita mempertahankan kebudayaan yang buruk dan seharusnya sudah sejak lama kita tinggalkan? Jadi ada baiknya jika kita mulai lebih menghargai waktu, perjanjian dan segala bentuk komitmen lainnya yang sudah kita buat.

2. Korupsi dalam keluarga
    "Dinda mau ikut ayah kerja!!!"
    "Nggak kok ayah nggak kerja, ayah di rumah sama Dinda, nih main boneka...
    Sebentar ya Dinda, ayah mau ke kmar mandi dulu..."
    Kemudian si ayah pergi ke kantor. 
Familiar? Kira-kira seperti itulah cerminan keluarga Indonesia dalam mendidik anak. Tanpa mereka ketahui, mereka telah memberikan "Program Kebohongan Kelas Beginner" untuk putra-putri mereka di rumah. Padahal bohong adalah sifat utama yang pasti di miliki oleh jiwa-jiwa Koruptor. Dan saat tersadar bahwa ayahnya telah berangkat kerja ke kantor, Dinda akan meraung, menangis tapi tidak ada lagi yang bisa ia lakukan. Persis seperti masyarakat Indonesia yang sudah kehilangan sosok pemimpin yang asyik dengan dunianya di atas sana. Maka akan terjadi gejolak pada diri masyarakat,mereka menangis, dan menuntut akan perubahan(untuk mereka yang sadar).

3. Korupsi Ilmu
Saat kamu koar-koar soal korupsi dan nyatanya untuk jawab soal nomer tertentu aja masih suit-suit kanan kiri buat mendapatkan 'wangsit', tandanya kamu udah punya bibit-bibit untuk jadi seorang koruptor. selain itu, hal ini juga menjadi tanda gagalnya sistem pendidikan kita dalam melahirkan generasi-generasi muda yang sadar akan esensi pendidikan itu sendiri. Setidaknya menurut saya, pendidikan tidak berorientasi kepada nilai atau hasil akhir yang didapatkan, melainkan kepada proses dan tahap demi tahap yang dijalankan.

4. Korupsi Kehadiran
Nah yang ini biasa dilakuin sama anggota dewan yang nggak bertanggung jawab dan............................Mahasiswa! Sedih memang membenarkan fakta di lapangan bahwa beberapa mahasiswa masih juga melakukan Titip Absen (TA) saat perkuliahan. Semacam paradoks saat mahasiswa dianggap sebagai agen perubahan, koar-koar di jalanan dalam aksinya tentang kejujuran dan transparansi oleh pmerintah, tetapi ternyata masih melakukan TA. Bahkan pada salah satu perkuliahan, dosen saya pernah mengatakan "Kalian mau nilai A? Saya bisa kasih. Tapi kembali lagi ke kalian, Kalian mau lulus dengan kualitas S1 atau mau lulus hanya dengan gelar S1? Jangan harap korupsi di Indonesia bisa lenyap kalau untuk kejujuran macam mengisi absen saja masih dipertanyakan."

Aksi Senin 9 Desember 2013 untuk memperingati Hari Antikorupsi Sedunia
@ Gladhak, Surakarta, Jawa Tengah

Setidaknya itulah beberapa contoh kecil tentang korupsi non-duit yang praktiknya terus dilakukan oleh masyarakat kita dan dianggap sebagai suatu hal yang biasa. Hendaknya kita jadikan hari ini sebagai refleksi untuk melakukan evaluasi agar dapat membangun negeri. Kita cukupkan sampai di sini pembudayaan korupsi dan pembodohan anak negeri. Hidup Mahasiswa! Hidup Rakyat Indonesia!





Thursday, December 5, 2013

Piece of Thoughts in 4th December

23.42 Waktu Kamar Anin.
Hari lainnya di mana waktu berjalan begitu cepat, hanya dengan beberapa kali kedip mata sekarang aku sudah ada di penghujung malam. Malam ini, ke mana perginya inspirasi? Tugas UKD Pancasila masih terbengkalai 1/2 jalan. Writer's block? Mungkin. Tapi apa ada yang terkena writer's block lantas menulis hal lainnya di medium yang berbeda? Kalau memang ada, kandani, biar ra kethok dhewean.

4 Desember 2013.
Sore ini, 20.00 WIB. Perempatan Mangkunegaran arah Pasar Ngarsopuro dari arah Pasar Gede. Details in Fabric dari Jason Mraz dan James Morrison dengan syahdunya menyanyikan tembangnya di telingaku. Tiba-tiba teringat tweetku beberapa waktu lalu. 
"Satu-satunya yang membedakan antara Desa dan Kota adalah apa yang ada di pikiran mereka"
Kenapa? Karena sekarang, sebenarnya sudah tidak tepat jika kita menerapkan teori dari W. W Rostow tentang tahapan suatu penduduk sipil dalam perkembangan ekonomi. Jadi sudah tidak tepat lagi jika kita mengandaikan masyarakat yang tinggal di desa-desa itu, yang omahe nggunung, sebagai masyarakat tradisional. Sumpah ini bukan karena aku pernah jadi salah satu yang tinggal di gunung, lantas membela penduduk yang tinggal di sana. Tetapi, pikiran seperti ini memang harus dilepaskan dari benak kita karena memang sudah tidak lagi relevan untuk diterapkan di era globalisasi ini. Pernah aku ikut sebuah diskusi yang salah satu pesertanya mengatakan bahwa masyarakat desa dengan segala tetek bengek budaya tradisionalnya tidak bisa digathukkan dengan kehidupan modern seperti sekarang. 
"Wong ndeso yo nggak sesedih kui kok. Jangan bilang gitu kalau anda sendiri belum pernah merasakan yang namanya tinggal di desa. hidup bersama mereka selama bertahun-tahun dan mengerti budayanya."
Kira-kira seperti itu jawaban untuk mereka yang selama ini terjebak dalam teori Rostow tapi satu-satunya praktek yang pernah dijalankan adalah saat kunjungan baksos dua atau tiga hari di suatu desa yang nggunung itu. 

Saat ini, kita tidak bisa memberi judgement tentang desa dan kota hanya melalui tampak luar sebuah pemukiman. Jangan hanya karena rumahnya masih joglo, jalannya belum di aspal, jauh dari pusat keramaian, lantas kita mengatakan bahwa itu adalah desa. Dan mereka yang tinggal di tengah kemacetan, lalu-lalang orang yang berjalan setengah berlari dan sibuk dengan headset mereka masing-masing, persaingan untuk memperebutkan oksigen di tengah kepungan karbondioksida adalah kota. 

Kini, desa dan kota bukan lagi tentang bentuk fisik, tetapi pola pikir. Penduduk desa bisa saja berpola pikir modern dengan terus melakukan progress. Tetapi bukan tidak mungkin jika penduduk kota yang sudah kebacut nyaman dengan zona nyamannya, tidak melakukan apa-apa dan menghasilkan budaya yang stagnan atau bahkan regress. 

Lalu, masihkah teori-teori yang berkiblat ke Barat itu dijadikan acuan dalam bahan ajar adik-adik kita di bangku sekolah? Relevankah jika diterapkan di Indonesia dengan sejuta budayanya yang multikultural itu? Sanggupkah kita gali dan kaji sendiri studi keindonesiaan kita lantas menyebarluaskannya? Maukah kita?

Lalu selesai sudah Jason Mraz dan James Morrison menyanyikan lagu mereka. Tak menyangka inilah pikiran selama 5 menit 45 detik jika dijabarkan.

5 Desember 2013
00.38 WIB Tugas UKD II Pancasila-ku masih juga 1/2 jalan.




Friday, November 29, 2013

A Thursday: or a Tears-day?

Kamis akan jadi hari yang panjang. Tapi tenang, akhir pekan sudah hampir datang, tetapi harus tetap semangat dan berjuang!

Selamat sore dari bumi Gunungkidul dengan langit senjanya yang elok dan suasana desanya yang permai. Adalah sebuah penyesalan tersendiri saat aku akhirnya gagal menchallenge diriku sendiri untuk menulis peristiwa-peristiwa  selama 7 hari berturut-turut. Padahal hari Kamis ini adalah hari Kamis yang sangat berkesan bagiku.

Sangat Berkesan? Mungkin aku harus meralatnya menjadi, cukup berkesan. Karena UKD 2 mata kuliah--pengantar ilmu sosiologi dan pengantar ilmu komunikasi, itu jauh dari kata berkesan. Walau memang pada akhirnya, akan selalu ada hikmah di balik setiap peristiwa, seperti selesainya mata kuliah sosiologi--yeaaaa akhirnya nggak perlu berusaha nahan kantuk di kelas ibu dosen yang ini.

Lalu harus mengikuti Kuliah Umum yang diadakan Universitas sampai jam 4 sore. Walau hanya duduk dan aku tidak yakin kalau aku mendengarkan. Malamnya pergi ke acara yang tidak boleh dilewatkan oleh segenap anak kost yang ada di kelasku. Apalagi kalau bukan acara traktiran teman yang ulang tahun. Huehuehue

Dan di sinilah hal yang paling aku sesalkan. Ketiduran.

Segala kelelahan selama sehari ini membuatku harus terbangun pada jam 4 pagi keesokan harinya dengan kata-kata,

  "Yaelah kenapa ketiduran..." 

Tamparan juga untukku yang suka menunda-nunda menulis barang satu atau dua paragraf(mungkin ini juga berlaku untuk kegiatan lain). Kelewatan deadline, capaian dan apa;ah namanya yang harus dikejar karena hal-hal sepele seperti ketiduran memang menyesakkan. Padahal sering sekali aku baca tulisan orang entah di Twitter atau hasil blogwalking sana-sini tentang menulis. Kalo punya pikiran tentang suatu hal, tulis saat itu juga, minimal berupa coret-coretan atau berupa kerangka. Apapun yang penting ditulis. Soal elaborasi, itu jadi nomer 2.

Harusnya siang itu saat aku ingin menulis, aku segerakan menulis.
Harusnya aku sadar waktu tak dapat diulang, siapa yang bisa bernegosiasi dengan waktu? tidak ada.




Thursday, November 28, 2013

Wednesay: It's A Wudd-nesday!

Jam dinding menunjukkan pukul 23:29 WIB. Tak terasa sudah ada di penghujung malam. Lagi-lagi aku terlambat membuat pos hari Rabu. Seperti hari lainnya, hari Rabu kali ini terdiri dari berbagai rangkaian peristiwa.

And here are the bullets of the Wudd-nesday:

  • Bangun pukul 04.00 WIB setelah tidur selama 2,5 jam untuk garap presentasi hari itu juga. Lack of Sleep? OF COURSE I AM.
  • Ya bayangin aja sih kalo misalnya udah begadang, dan jam 05.30 WIB dapet mention gini dari temen sekelompok setelah ngirim email ke doi.



  • Ikut Dialog Kebangsaan dengan Bapak Wiranto, Hidayat Nurwahid, Syahrul Yasin sekaligus merangkap menjadi panitia.
  • Masuk kelas untuk presentasi, setelahnya keluar untuk ngelanjutin tugas di tempat acara.
  • Sialan gue masuk ke forum tebar "citra".
  • Almamater ketukar dengan entah siapa, I'm pretty sure that it's a guy's, yes the smell told me so.
  • Sorenya harus ikut Asistensi untuk tes praktek Sholat.
  • Setelahnya ngecek email di mushola FISIP sampai akhirnya ketiduran di mushola, cen koyo cah suwung.
  • "Dek Anin kayak orang India/Arab ya? Ada turunan dari papa atau mama?" Sebenernya ini nggak usah dibulletkan sih, tapi lucu aja tiap denger ini.
  • Dan akhirnya baru sadar, kalo ternyata headset udah nggak di tangan.

Jika saja bisa aku beri nilai antara 0 sampai 10, hari ini cukup saja dengan nilai 5. Kenapa? Terlalu flat dari segi emosi. Tidak ada ups and downs yang membuat greget. Bahkan setelah ngasih tau poin-poin kejadian yang harus dibold, diunderline dan diitalickan, setelahnya tetep juga ngerasa biasa aja, "Oh yaudah" habis itu lewat deh masalah.

Jadi gini, aku punya konsep "Oh Yaudah." Ini ala-ala edisi ngapluk habis belajar Sosiologi untuk UKD besok. Kita semua butuh neraoin "Oh yaudah" moment ini, dan orang-orang juga harus tau, saat ada individu yang bilang "Oh yaudah", harus dimenngerti bahwa sebenarnya mereka ini bukan berarti nggak peduli, mau lepas kendali, atau udah masa bodohlah dengan segala macam terkait. "Oh yaudah" juga bisa diartikan sebagai bentuk pembebasan diri dari segala kepenatan dan tekanan yang ada. bukan berarti melepas kendalai, tapi sekedar melonggarkan pikiran agar ruang-ruang di otak kembali terisi dengan asupan oksigen yang di antarkan sel darah. Lebih dari itu, "Oh yaudah" merupakan sebuah konsep yang disederhanakan dari konsep "Me-Time" . Bahkan "Oh yaudah" dinilai sebagai konsep yang lebih praktis karena bisa dilakukan kapan aja untuk menyenangkan diri sendiri tanpa harus memposisikan diri untuk benar-benar sendiri di sebuah lingkungan.

Selamat malam, Ngaplukers.



Wednesday, November 27, 2013

Tuesday: The Timelines, The Clocks and The Words

20.20 WIB waktu Auditorium UNS.
Masih dengan celana jeans hitam, kaos merah dan cardigan--pakaian ngampus hari ini(pakaian kebangsaan saat malas kuliah). Kuliah hari ini sebenarnya tidak terlalu memberatkan, Bapak Dosen I, seperti hari Selasa biasanya...

.
.
.
.
.
.

21.30 WIB waktu Kamar Anindya.
..., seperti hari Selasa biasanya, beliau memberi petuah-petuah, esensi-esensi tentang media dan pandangan-pandangannya bagaimana manusia harusnya hidup. Lalu Bapak Dosen II, dengan gelagatnya yang lucu dan suaranya yang selalu tidak dihiraukan penduduk belakang. Hari ini aku datang terlambat di kedua mata kuliah, karena terlalu santai dan hujan....
  
   "ah hujan untuk hari ini aku tidak menemukan sedikitpun romantisme dari kehadiranmu." 

Masih bersyukur karena tidak melanggar batas waktu yang telah ditentukan walau pada akhirnya duduk di barisan paling belakang untuk mata kuliah Bapak Dosen II. 
   
   "Maafkan mahasiswamu ini ya, Pak. Yang sedari tadi malah sibuk whatsappan sama nggambar-nggambar gak genah."

.
.
.
.
.

Dan aku ketiduran. Jam dinding menunjukkan waktu 23.10 WIB

.
.
.
.
.

Lanjut garap tugas lagi, lihat jam lagi kyaaaaa udah jam 23.40 WIB masih ditempat yang sama. 

    "Kampret ke mana aja seharian ini, meh jam 12, meh hari Rabu, njuk piye daily post-ku?"

Mungkin kalau hati bisa menjerit, itulah yang akan aku dengar detik ini juga. Bahkan di detik-detik di mana aku merangkai setiap huruf ini, aku masih tidak tahu poin apa yang akan aku tulis. Ngalor ngidul ngetan ngulon, nggak ada juntrungane.

Lihat post-post yang aku buat akhir-akhir ini, siapa tahu dapat inspirasi nulis, eh malah jadi mikir, kenapa sekarang suka masukkin kata-kata bahasa Jawa ke dalam postingan ya? Hahaha aneh memang, tapi sepertinya bukan orang bergolongan darah A sejati rasanya kalau nggak punya lasan di setiap tindakan yang dilakukan. Menulis dengan menyisipkan bahasa Jawa di tengah pergumulan kata-kata dalam teks berbahasa Indonesia memang akan terdengar aneh, nyeleneh juga, atau bahkan ngece pemuda yang waktu itu mengikrarkan Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928 lalu. Mungkin juga orang akan menganggap ini sebagai sebuah gaya kepenulisan, dan nggak ada yang salah tentang ini.

Tapi aku sendiri punya gagasan. Menulis itu bukan soal bagus atau tidaknya sebuah karya di mata mereka yang menilai. Biarkan penilai tenggelam dalam pergulatan pikiran mereka sendiri untuk menentukan bagus atau tidaknya tulisan ini. Aku tidak peduli. Karena menulis lebih dari sekedar menyenangkan orang lain. Menulis itu tentang rasa. Dan kata-kata basa jawa yang aku masukan di postinganku, adalah sebuah rasa yang tidak bisa digantikan dengan bahasa apapun.

.
.
.
.
.
.

23.56 WIB waktu kamar Anindya.
Akhirnya postingannya selesai dan nemu juga poinnya!

Selamat malam dunia :)




Monday, November 25, 2013

Today is A Mean-day

   "I'm bulletproof
    Masyarakat bisa menerima perubahan berarti bersifat asosiatif
    fire away... fire away...
    dulu saya pernah ceritakan...
    you take your aim
    di tengah nilai-nilai masyarakat tradisional..."

Pagi ini David Guetta mengiringi Sia dan Ibu Dosen tercinta menyanyikan Masyarakat Titanium. Sebelumnya, Aku tekankan bahwa aku bukan salah satu dari mereka yang membenci hari Senin. Saya suka hari Senin. Cukup suka.

Senin adalah hari di mana mood dan semangat baru saja dicharge ulang dari akhir pekan sebelumnya. untuk itu, jangan main-main dengan akhir pekan, karena efeknya akan berimbas untuk 7 hari setelahnya.

Akan menjadi suatu Senin pagi yang ideal saat aku bangun pukul 5.00 WIB, absen sama Sing Duwe Urip, lalu buka Twitter, ng-tweet barang 1 atau 2, memberi ucapan syukur dan ucapan selamat pagi untuk dunia maya, lalu menikmati secangkir kopi, mungkin juga sarapan sepotong atau dua potong Cakwe atau Gembukan yang dijual di gang depan rumah, siap-siap ke kampus, berangkat, mungkin Krewella dengan Alive-nya boleh juga menemani selama perjalanan ke kampus.

Tapi ekspektasi hanyalah ekspektasi. Kadang bahkan posisinya selalu berbanding terbalik dengan realita. Pagi ini, aku bangun pukul 05.15 WIB, langsung buru-buru ke kamar mandi untuk wudhu dan "absen" pagi, balik lagi ke kasur, glibak-glibuk di kasur sambil main Pou. Sesekali ngeretekkin badan yang mulai berasa pegal-pegalnya berkat aktivitas weekend kemarin.

1st tweet of the day, nanggepin mention adek yang tak omelin gegara males belajar(ini ceritany lagi lupa kalo biasanya juga males belajar), 2nd tweet adalah greeting tweet yang.....

Itu maksudnya mau nulis albumnya One Direction yang terbaru etapi malah........salah fokus, maapin
Bukan tipe tweet semangat pagi atau tweet orang yang 100% full-charged sehabis weekend ya?
Today is no Monday. Monday is when you get 100% full-charged for the next 7 days. Monday is when you tweet something with spirit to influence others. Monday is when you think it's a positively beautiful day. 
But today,today is a Mean-day. Cause I'm extremely tired that I need a rest for the whole day.
So sorry for my friends cause I'm being quieter than the other day, for the Lecturer, that I feel like my playlist and the view outside the window is more interesting.

Now they're really my savior from the boredom attack, So sorry Ibu Dosen for being a multi-tasker!








Thursday, November 21, 2013

Solo Sore Itu

Waktu menunjukkan pukul 17.35 WIB Adzan maghrib sudah berkumandang sekitar 5 menit yang lalu. Sedangkan aku masih mandeg di salah satu perempatan--yang aku tak tau apa nama daerahnya, di salah satu sudut kota Solo. Banyak kompetisi di jalan sore itu, berlomba dengan waktu--ingin cepat sampai di rumah untuk absen dengan Allah, dan bertemu keluarga di rumah, atau sekedar menikmati teh sore hari sambil menertawakan kebobrokan aparat negeri; berlomba dengan mobil dan motor lainnya--salip-salipan untuk jadi yang terdepan atau sekedar menghindar asap knalpot dari mobil berbahan bakar solar atau mesin 2 stroke; berlomba dengan lampu merah--dulu-duluan jangan sampai lampu hijaunya berganti merah saat akan melintas.

Solo dengan segala hiruk-pikuk di sore harinya, adalah suatu keindahan bagiku. Aku selalu menikmatinya. Ada saja yang unik untuk diperhatikan, entah orang yang slonong-boy menyebrang di jalan dan habis dipisuhi pengendara di jalan(memang banyak sekali yang suka mak sliwer di Solo), atau bapak-bapak penjual bakso bakar yang ngipasin arang di depan Gedung MTA. 

Di bawah langit ungu ke biruan dan lampu jalan Slamet Riyadi yang mulai menyala, sayang sekali tak sempat aku abadikan(lagi). 60km//jam kupacu honda beat putih yang sudah menamaniku selama 3 tahun terakhir. Tapi cerita hari ini tidak hanya tentang Solo sore hari nan indah ini.

Solo hari ini adalah tentang anak-anak dari sebuah desa kecil di Sangkrah. Desa kecil di pinggir sebuah bendungan besar. Desa kecil yang banyak di antara pencaharian warganya adalah sebagai pemulung. Desa kecil di mana harapan tumbuh subur di benak masing-masing anak di sana.

Sore ini, aku dan beberapa teman mengajar membaca, menulis dan beberapa pelajaran lainnya di sana. Semacam memberi tambahan jam belajar untuk anak-anak yang masih kesulitan untuk mencerna materidi sekolah. Namanya Galang, usianya 7 tahun, anak yang cerdas dan suka sekali dengan matematika; lalu ada Nenden, kelas 2 SMP, perempuan manis berkulit sawo matang dengan perangai tomboy ini adalah seorang penggebuk drum handal; kemudian Nela, kelas 4 SD, pecinta Angry Birds, terlihat dari kalung dan anting yang ia kenakan, anaknya pemalu sekali; yang terakhir Tina, kelas 6 SD, semangatnya untuk sekolah sangat besar, impiannya tidak muluk-muluk, hanya dapat nilai bagus agar bisa melanjutkan ke SMP Negeri, ia terancam putus sekolah jika harus meneruskan pendidikannya di sekolah swasta. Begitupun yang lainnya.

Jika dahulu pahlawan mengangkat bambu runcing, berperang, melakukan gerilya, untuk sesuatu bernama "Kemerdekaan", yang mana adalah sebuah hak bagi segala bangsa--setidaknya itu yang dikatakan para Founding Fathers kita di UUD 1945. Agar nanti, anak cucunya mampu merasakan apa yang dirasakan penjajah pada masa itu; kesejahteraan, kemakmuran, hasil alam yang melimpah, termasuk pendidikan yang terbaik. Kali ini, di era reformasi yang kebablasan, di depan mataku sendiri, pendidikan yang katanya adalah sebuah hak yang harus diterima oleh setiap bangsa, menjadi sesuatu yang harus diperjuangkan. Walaupun memang hak adalah suatu perjuangan yang kita tuai dari kewajiban-kewajiban yang kita lakukan, namun sudah semestinya untuk hal seperti pendidikan, setiap warga negara di negeri ini merasa yakin dan percaya diri bahwa dirinya pasti dan akan mendapat pendidikan baik itu formal maupun informal. Namun sekarang kenyataannya, kalau memang pendidikan adalah sebuah hak, mengapa ada warga yang masih khawatir, tidak bisa melanjutkan sekolah bahkan sudah mendeklarasikan dirinya untuk tidak melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi jika memang harus melanjutkan ke sekolah swasta, apalagi kalau pada akhirnya soal biayalah yang dipermasalahkan. Ke mana perginya negara? Ke mana perginya pemimpin negeri? Di titik ini, aku merasa, 'kami' telah lama jauh dengan sosok yang paham akan kondisi ini. Banyak di antara warga ini yang bahkan menomor duakan pendidikan. "wis nduk, timbange sekolah, mending ngrewangi ibuk wae...raketang gur resik-resik omah." Ini 2013 dan masih ada yang punya mindset seperti ini. Masih ada.

Hal-hal yang aku jabarkan barusan itu nyata. Mereka yang mengamen saat lampu merah di depan Showroom Panggung itu juga nyata. Sampai kapan ingin menutup mata? Kita lihat dari sektor akademisi. Apa yang mereka lakukan? Sibuk dengan sekat-sekat jurusan. "Itu ranahnya orang keguruan" "Itu ranahnya orang sosial" kata mereka yang saling tunjuk. Terlepas dari apa jurusan yang kita ambil, entah di bangku sekolah atau kuliah, masa depan bangsa adalah sebuah tanggung jawab bersama. Kalau kita terus menerus berpikir, "Soal negara udah ada yang ngurus kali, tuh! (nunjuk orang-orang yang molor di DPR)" Lalu jika telah sampai masanya mereka meninggalkan kursi kehormatan, siapa yang akan mengatur negeri agar tetap pada haluannya?

Galang, sore ini di kelas membaca dan menulis. 

Setidaknya melihat Galang(dan anak-anak lainnya) sungguh-sungguh belajar, menjadi semangat baru untukku dan teman-teman yang lain. Jika dilihat lagi, mungkin yang aku ajarkan memang hanya sekedar baca dan tulis, hanya sekedar A-I-U-E-O, Ba-Bi-Bu-Be-Bo, perkara mudah untuk mereka yang duduk di perguruan tinggi. Namun, jika kita tetap menjadi mereka yang hanya fokus mengkritisi pendidikan. siapa yang mulai turun tangan? Karena setinggi apapun kita menempuh pendidikan, kepada masyarakatlah kita akhirnya mengabdi.

Langit Solo sore yang indah itu, beberapa klakson mobil dan motor itu, angin dingin yang mulai menelisik sweater dan kemeja itu, menjadi saksi akan sebuah janji seoarang pemudi untuk sebuah perubahan pada negeri.





Tuesday, November 12, 2013

Apalah!

Bapak
Di Twitter hari ini. #HappyFatherDay menempati peringkat pertama dalam TTWW

Bapak, jika ini hari ayah, apa yang harus aku tulis untukmu?
Aku telah kehabisan kata
Untuk bicara soal jasamu

Ah, sudahlah! Bapak, pokoknya aku rindu.



Sunday, November 10, 2013

Ekspektasi Minggu

Minggu kedua di bulan November. Masih dengan salah satu ekspektasi(tiap minggu) yang masih belum kelakon

Jadi gini ekspektasinya.
Melaksanakan tugas suci untuk menyenangkan diri sendiri, dan menjadi pribadi introvert untuk beberapa jam dari siang sampai malam, ngeluyur ke coffee shop, dengan modal dompet, handphone, headset, buku catetan, laptop dan chargernya. Klasik banget kedengarannya. Bikin post-post santai, sedikit foto-foto dari kamera handphone, editing, tambahin quote, post di instagram atau tumblr. Pesan Machiatto atau Kopi Lampung juga boleh lengkap sama croissant atau sandwich. Dengerin Maroon 5 sambil ngeliatin setiap orang lalu lalang di balik jendela kaca, atau waitress yang ngelayanin pelanggan lain, atau pengunjung cafe yang sibuk sama laptop masing-masing. That's what I call with "A little heaven in a Su(ck)nday".

Tapi realita berkata lain.
Dari kelaperan karena nggak ada sarapan di rumah, nyari tukang bubur ayam sampai ngelilingin Makam Haji dan ternyata si tukang bubur ada di dekat rumah, mampir beli cakwe dan kue bantal(kalau di Solo ini di bilang Gembukan), sampai di rumah, makan sama Simbah(harus pake 'h'), dan.............setelahnya ketiduran sampai jam setengah 12 siang. Masih lanjut lagi, setelah absen sama Allah, pindah ke ruang tamu, standby laptop, handphone dan buku Pengantar Ilmu Politik untuk ngerjain tugas tentang good governance dan segala paradoksnya di era orde baru(bagian ini sebenarnya bisa juga masuk di ekspektasi), tapi akhirnya walau udah ngejogrog 2 jam sepatah katapun belum keluar buat sekedar latar belakang. Yang dilakuin udah ketebaklah, dari browsing artikel sampai video yang akhirnya cuma jadi intermezzo dan gak ada hubungannya sama si tugas.

  I could stay awake just to hear you breathing
  Watch you smile while you are sleeping
  While you're far away and dreaming
  I could spend my life in this sweet surrender

Akhirnya giliran Aerosmith nyanyiin I Don't Wanna Miss A Thing. Dan Blog jadi pelarian dari segala unspoken words yang ada di otak. Berharap juga habis cerita satu atau dua paragraf di sini bisa lebih ngayemke pikir, dan melanjutkan memulai tugas pengantar ilmu politik.

Sekarang aku ngerti apa itu yang dimaksud pelarian. Mau gimana juga konteksnya, toh spertinya kita memang butuh pelarian. Paling nggak untuk menyiapkan diri ke hal lain yang bahkan belum kita tau di depan.



Thursday, November 7, 2013

Tiba-Tiba Rindu

Entah apa yang harus aku tulis. 
Otakku masih terus mencari kata apa yang tepat untuk potongan memori yang terlintas di kepalaku ini. 

Sekarang ia memutar memori saat....
Aku dan bocah-bocah gila itu makan di kantin paling Utara di kantin sekolah
kami berbalas lelucon, membahas pelajaran, kadang juga rasan-rasan guru barusan
Nia dan Denali memesan Es Jeruk, 
Aku, Anggra, Rifani, Thoriq, Ramdhan, Lingga memesan Kopi Gooday(walau akhirnya aku selalu mengeluh kenapa bu Tukino nggak nyediain Coffeemix)
Yudha, Firohman dan Adha memesan Es Teh.
Nia dengan tertawanya yang mengikik seperti......(yah tau sendirilah apa yang kumaksud) dan Aku tertawa paling keras(seperti baisa), dan selalu disambut dengan kata "ora kenaaaaaal" oleh Anggra-satu kata untuknya, absurd, dan beberapa yang lain.
Tuan-tuan Sarkas(kalau aku bisa bilang) Thoriq dan Firohman, yang saling berbalas lelucon(atau cemooh yang berbau sarkasme, tapi tetap saja bukannya membuat orang marah malah tertawa mendengarnya,entahlah apa cuma aku yang seperti itu)
Lalu ada Adha, Yudha dan Ramdhan yang hmm.... lempeng-lempeng aja sedikit lebih diam(aku bilang sedikit, nggak banyak)
Rifani dan Lingga.....Aku masih berpikir bagai mana bisa mereka terus berbicara dan tak juga lelah, dan masih bingung ingin menaruh poin yang itu di kolom kelebihan atau kekurangan.
Dan Denali....Dia juga lempeng, tapi juga banyak bicara, dia sopan tapi juga sarkas(terutama kalau sama aku), otak-otak politisi(rada bersyukur dia masuk manajemen sekarang), 3 tahun kami sekelas dan.......entah sudah berapa kali dia beristigfar untuk duduk sekelas bahkan sebangku dneganku.

11 orang ini. Aku tidak punya kata yang lain.
Hanya saja, keberadaan mereka memang selalu istimewa, tidak terganti
Aku mungkin menenukan banyak teman-teman sekarang, di sini
Tapi yang seperti mereka? Aku rasa tidak ada.

Mereka yang akhirnya buat aku percaya,
adalah tidak mungkin untuk hidup dan tidak terikat dengan apapun dan siapapun di suatu tempat,
nyatanya, setelah ada perpisahan, mereka yang paling aku rindukan.

Mereka yang mengajarkan aku,
adalah salah untuk menangisi masalah,
mereka mengajarkanku untuk menertawainya.

Saat aku berpikir dunia sudah cukup jahat,
saat tidak ada lagi tempat yang membuatku nyaman,
saat aku pikir semua orang sama egoisnya,
Mereka yang membuatku merasa di rumah.

Aku sering bilang,
mereka yang keluar dari zona nyaman,
sebenarnya pergi untuk mendapatkan zona nyaman yang baru,
Aku tahu, aku sudah menumakannya.
Karena saat aku mendengar "zona nyaman" saat itu pula aku mengingat mereka.

Sahabat, tiba-tiba aku rindu...



Sunday, November 3, 2013

We Should've Loved it


Siang itu posisi matahari tergak lurus dengan bumi Solo. Terik. Sangat terik. 28 derajat Celcius tapi sudah terasa di padang pasir, ya terima kasih padatnya lalu lintas, minimnya ruang terbuka hijau, terima kasih karenanya Solo menjadi berkali lipat panasnya. 

Sementara itu, aku berlari-lari dengan tas punggung orange yang sudah menemaniku hampir 5 tahun terakhir menuju ruang tunggu Stasiun Balapan untuk menemui Yanna yang sudah menanti dengan dua tiket yang sebelumnya sudah ia beli.

"Anin! Akhirnya dateng juga, nih tiketnya, keretanya udah dateng, masuk yuk." Katanya sambil memberikan selembar tiket Kerete Prameks jurusan Solo-Jogja dengan keberangkatan pukul 13.00 WIB, tepat 10 menit sebelum keberangkatan.

Naik ke gerbong kereta, sempat celingak-celinguk mencari tempat duduk yang mungkin masih kosong, benar saja, semua tempat telah terisi. 

"Yah, bener nggak ada tempat duduk nih."
"Yaudahnanti kalo udah jalan kita duduk aja."
"Beneran?"
"Iya beneran, nanti malah bisa selonjor haha"

Singkat cerita, Kereta kami akhirnya melaju, jugijagijugijagijug jangan bayangkan kereta tercepat di Jepang, karena Prameks...yah sangat jauh dari kereta yang itu, namun setidaknya dengan ini, aku bisa lebih memperhatikan hal-hal di sekitarku. Melihat pemandangan, hamparan sawah luas, siluet Gunung (entah gunung apa) di kejauhan, rumah warga yang tersusun agak berantakan di pinggir pinggir rel, lewat kaca lebar kereta ini.

Stasiun Klaten sudah dilewati, aku mulai bosan. Perjalanan kali ini sungguh berbeda dengan perjalananku yang biasanya. Orang-orang di kereta ini tampak lebih sibuk dengan gadget mereka masing-masing, ada yang main game, mendengarkan musik, bahkan salah seorang penumpang di sebelahku yang juga mahasiswa, membaca materi untuk UTS dari tabnya. Mungkin karena penumpangnya yang mayoritas adalah anak muda sehingga tidak heran jika dari awal masuk ke gorbang yang ingin ditemukan adalah "Me-Time", Berbeda halnya dengan orang-orang tua yang aku temui, mereka cenderung lebih responsif dan kepo dengan orang-orang yang baru saja mereka kenal. Pada saat itu, untuk pertama kali aku rindu naik bis. Karena tak ada lagi yang bisa dilakukan, akhirnya aku memasang headset, dan mulai menshuffle playlist yang ada di telepon genggam kecil ku ini, Nokia 101/ HP Cawetrangers.

  My head is stuck in the clouds
  She begs me to come down
  Says, "Boy, quit foolin' around"
  I told her, "I love the view from up here
  Warm sun and wind in my ear
  We'll watch the world from above
  As it turns to the rhythm of love"


Perlahan, dengan mantap suara Tom Higgenson mulai menyanyikan Rhythm of Love. Angin berdesir dari jendela kecil di atas kepalaku. Rumah-rumah warga yang ada di depan pandanganku seakan berlomba, berkejaran dengan kereta yang aku naiki siang itu. Syahdu.

"PRAAAAAAK!"

Tiba-tiba ada bunyi memekakkan telinga di bagian lain tempat duduk, di gerbong yang sama yang aku naiki. Seketika itu pula, para penumpang berdiri, ekspresi kaget terlihat dari setiap penumpang. Aku juga merasakan hal yang sama. Masih mencari sumber suara, pihak keamanan kereta pun datang ke gerbongku. Rupanya ada yang melempari kereta kami dengan batu. 

"Oh, dilempar batu, biasanya anak-anak sih kayak gitu." Kata penumpang di sebelahku yang menanggapainya seakan itu merupakan hal yang sudah sangat biasa terjadi,lalu kembali ke tab dan materi UTSnya.

Kini Tom tak lagi terdengar di telinga. Otak ini sibuk merekonstruksi kejadian yang baru saja terjadi. Seorang anak memang mungkin saja melakukan hal itu, namun, apa motifnya? Iseng? Penasaran? Entah apa motifnya, aku pribadi menyimpulkan ini bukan saja tentang keisengan anak-anak untuk melakukan pengrusakkan atas fasilitas umum, namun lebih karena tidak adanya kesadaran dalam diri anak-anak untuk menjaga fasilitas umum, tidak adanya kesadaran bahwa fasilitas ini adalah milik bersama, untuk kepentingan bersama yang harus dijaga bersama. Terlepas darisiapa yang bersalah atas kejadian ini, kembali ke lembaga-lembaga di masyarakat terkait yang bertanggung jawab atas perkembangan anak-anak untuk dapat menanamkan rasa kecintaan dan kesadaran akan fasilitas-fasilitas umum, bukankah akan indah jika setiap orang menjaga, merawat dan mencintai fasilitas umum seperti mereka memperlakukan itu kepada diri mereka sendiri?

Kemudian petugas keamanan menyapu pecahan kaca, dan setiap orang kembali duduk ke tempat semula. Kembali memasang heaadset mereka, mendengarkan musik mereka, memasang sekat tinggi dan sulit dipanjatb atau diruntuhkan, kembali masuk ke dalam dunia mereka masing-masing. Sampai tiba di stasium istimewa, Stasiun Tugu.



Friday, November 1, 2013

Pulang

Saat setiap orang berlomba pergi ke sebuah tempat.
Saat itu pula mereka lupa akan pulang ke rumah.

Saat setiap orang berlomba membangun bangunan menjulang.
Dengan segala di dalamnya; air panas atau kolam renang.
Mereka tetap saja seperti orang 'hilang'.

Saat setiap orang mangatakan "aku ingin pulang"
Saat itu pula mereka teringat, telah lama mereka kehilangan rumah.
Saat itu pula mereka kehilangan makna dari sebuah rumah.
Saat itu pula mereka sadar, mereka terlalu jauh dari rumah.

Sekarang mereka ingin kembali.
Masa bodoh sudah dengan air panas atau kolam renang.
Masa bodoh sudah dengan tempat yang dulu mereka elu-elukan.
"aku ingin pulang.....ke rumah"
tempat nyaman dengan kehangatan senyum dari bapak.
tempat yang selalu dirindukan dengan kelembutan dari ibu
tempat riang yang selalu menggembirakan dari adik.

Pulang.
Ke mana aku pulang?



Thursday, October 24, 2013

Sebongkah Senyum di Jalan Jogja-Solo

Waktu menunjukkan pukul 16.45 WIB. Bukannya berada di dalam gerbong kereta yang akan membawaku ke Kota Istimewa itu, aku masih duduk di lobi Stasiun Purwosari, mencoba menelpon Ibu di Ibukota. Kertas HVS ukuran A4 yang bertuliskan "Kereta Jurusan Solo-Jogja berangkat pukul 20.30 Tiket Dijual pukul 20.00" masih merekat erat di depan tempat penjualan tiket, sementara di dalamnya tidak ada satu orang petugaspun  yang muncul untuk dimintai konfirmasi.

"Ah gagal naik kereta" Ujarku.

Sekelompok anak muda dengan membawa tas punggung yang penuh, dengan dandanan khas macam traveler, celana kulot, tees, kacamata hitam, topi, sandal gunung, ada di baris bangku lain, bersenda gurau, tertawa keras seakan mereka adalah pemilik alam. Di depan mereka duduk seorang ibu dengan dandanan menor, dengan travel bag dan kardus yang entah berisi apa namun terlihat penuh tersusun rapi di sebelah kakinya. Di depan dan di belakangku sangat terlihat dari pakaian yang mereka kenakan, pegawai kantoran, berusia sekitar 30an, dengan wajah kecewa, menunduk dan memainkan handphone mereka. "Nggak ada tiket mbak", kata laki-laki yang duduk di depanku, wajahnya masam, kekecewaan jelas sekali terlihat.

Setelah beberapa kali menelpon dengan ibu dan beberapa sahabat, aku mantapkan pilihan untuk melanjutkan perjalanan ke Jogja, baiklah kali ini aku akan naik bis saja. Dengan menaiki ojek aku sampai di shelter bis di depan Solo Square, kali ini waktu menunjukkan pukul 17.00 WIB.

"Ajeng teng pundi mbak?"
"kula badhe teng Yogya, Pak"
"Wah bisnya lagi wae jalan mbak, yowis ditunggu mawon mbak"
Sial...
"Oh, nggeh pak"

Angin dingin mulai bertiap, entah kenapa matahari meninggalkan panggungnya begitu cepat, digantikan mereka awan-awan hitam. Langit makin gelap, dan bis jurusan Yogya-Solo belum juga datang.

"Kayaknya bakal ujan" Batinku.

Benar saja, tak lama kemudian, hujan deras mengguyur kota Solo senja itu, diiringi dengan petir yang menyambar-nyambar belum lagi angin yang berderu kencang. Aku masih di shelter bus, menunggu giliran bisku datang dan mengantarku ke kota pelajar itu. Orang-orang di sekitarku mulai berhimpit ke tengah shelter, mencoba melindungi diri dari tampias air hujan menutupi tas, wajah, atau buku-buku sebisanya. Namun ada juga yang masih asik dengan telepon genggamnya, entah memperbarui status atau mengabarkan keluarga di rumah. Wajah yang aku lihat di stasiun kereta tadi berkali-kali lipat lebih banyak di shelter bus ini. wajah-wajah kecewa, wajah dongkol, wajah kesal.

"Nikmati momennya... Nimati momennya... Nikmati momennya...." Kataku berulang-ulang di dalam hati, berusaha untuk tidak terpengaruh emosi yang ada di sekitarku. Aku pun menunduk mencoba merasakan setiap titik air yang terciprat ke wajahku, merasakan dinginnya dan berdoa agar paling tidak hujan ini cepat mereda.

18.00 WIB akhirnya bisku tiba. Dengan tertib para penumpang masuk ke bis yang akan mengantar mereka ke kota gudeg itu. Aku duduk di baris kursi nomer 5 dari kursi supir. Setelah menyamankan diri tiba-tiba seorang suara wanita di sebelahku menyapa.

"Kamu UNS juga?"
"Eh... iya hehe, kamu juga?"
"Iya, hehe, kamu dari fakultas apa?"
"Aku FISIP, kamu apa?"
"Aku FKIP."

Dan begitulah akhirnya kami berkenalan. Kami bercerita tentang mimpi kami yang akhirnya harus pupus, bagaimana kami harus bangkit lagi, berusaha optimis di jalan yang sudah di Desain oleh Sang Maha Arsitektur kehidupan. Obrolan kami suungguh asik hingga aku tak sadar kalau langit-langit tepat di atas kepalaku bocor. Setelah melihat akhirnya aku memutuskan untuk berdiri saja hingga menemukan tempat kosong yang lain. Sedih sekali harus mengakhiri pembicaraan dengan Ayu, si teman baru dari FKIP, UNS.

AHA! Ada tempat kosong rupanya di sebelah bapak paruh baya itu, saat aku ingin menghampirinya, sayang sekali, rupanya tempat yang tidak diduduki itu juga bocor, baiklah, sebentar lagi pasti  ada yang turun, berdiri sebenetar nggak apa-apa kok, kataku dalam hati berusaha untuk menaikkan mood sendiri dengan berpositive thinking. Baru saja berusaha untuk menyeimbangkan badan di bis, seorang bapak yang duduk di sebelahku berkata,

"Di sini aja, Mbak"
"Oh, ndak apa-apa Pak"
"Lha ya nggak papa, di sini aja"
"Lha nanti Bapak gimana?"
"Saya nggak papa"

Serta merta Si Bapak berdiri, dan mempersilahkan aku untuk duduk di tempat duduknya.

"Subhanallah, baiknya..."

Bapak itu berdiri di jalan sempit di sebelahku, satu sisi aku merasa bersyukur atas hati nurani si bapak ini yang masih tergerak namun di sisi lain aku prihatin akan nurani entah berapa puluh orang yang ada di bis ini yang mungkin saja mempersilahkan aku duduk di tempatnya duduk namun nyatanya tidak mereka lakukan. Terima kasih tak lupa kepada Tuhan atas rahmatNya yang telah menyelipkan orang-orang baik di tengah krisis moral dan nurani di negeri ini. Di sebelahku duduk seorang laki-laki warga negara asing bersama teman wanitanya, mereka mengobrol asik tentang apa saja, film, musik, segala obrolan standard khas orang baru berkenalan, aku rasa. Tiba-tiba si wanita di sebelah pria bule itu menepuk tanganku.

"Mbak mau ke Jogja juga?"
"Iya"
"Oh, mau turun di mana?"
"Di Prambanan mungkin"
"Oh kalau Maguwo itu setelah prambanan kan ya Mbak?"
"Iya, nanti juda kernetnya bilang kok kalo udah di Maguwo"
"Oh yaudah, makasih ya Mbak"

Cukup untuk hari ini. Aku ingin menggunakan waktu sempitku sebentar untuk menikmati me-time. Aku rogoh headset dan handphone dari dalam tasku. Lantas kumainkan playlist yang ada. Perlahan musik mulai mengalun, Ronan Keating mulai menyanyikan bait demi bait lagu yang berhasil mereka cover dari The goo Goo Dolls berjudul Iris. Di tengah hujan yang mulai mereda entah di sebelah mananya Klaten aku berada, aku merasa syahdu.

"... And I don't want the world to see me...
Cause I don't think that they understand...
When everything's made to be broken...
I just want you to know who I am..."

Aneh. Aku merasa ada mata yang tengah memperhatikanku. Lalu aku menengok ke kanan dan kiri. Benar saja, kedua bola mata bapak tadi memang tengah memperhatikanku lewat lirikkannya. Senyum hanya itu yang bisa aku lakukan.

"Mbak mau ke Jogja?"
"Iya pak, bapak juga?"
"Oh nggak mbak, saya cuma sampai Waru"
"Oh gitu, Jogja masih lama ya pak?"
"Ya mungkin nyampai sana sekitar jam 7.30 mbak, lha mbak mau ke mana?"
"Saya mau ke Gunungkidul, Pak"
"Oh, tapi sekolah di Solo? Di mana mbak?"
"Udah kuliah, Pak, hehe. Saya kuliah di UNS"
...........

Lalu secara otomatis percakapan kami mengalir begitu saja, Si Bapak bercerita tentang dirinya, tentang keluarganya, tentang anak-anaknya, tentang Klaten dan tak lupa tentang cuaca. Kami bercengkrama dengan sangat akrab kala itu, persis seperti seorang keponakan dengan pamannya.

Singkat cerita si Bapak turun setelah sebelumnya sempat mengucapkan doa semoga aku sampai dengan selamat di rumah, diikuti bebeberapa penumpang lainnya. Bis yang aku tumpangi makin sedikit penumpangnya., akhirnya ada juga dua bangku kosong untukku duduk. Duduk di pinggir kaca, sambil melihat titik-titik air sisa hujan tadi, kembali dengan headset dan playlist dari handphoneku, kali ini giliran Hayley Williams yang mengguncang telingaku dengan Pressure-nya.

"...I can feel the pressure
It's getting closer now
We're better off without you..."

Lalu ada seorang ibu yang tengah kesulitan untuk menempatkan dirinya untuk duduk.

"Mari Bu..." Sambil menyingkirkan tasku dari kursi di sebelah
"Makasih mbak, aduh saya nunggu bisa udah hampir sejam baru deh dateng ini, hujan deres banget tadi di sini...."

Kata Si Ibu dengan antusiasnya cerita. Diam-diam aku mencopot headsetku dan mulai mendengarkan ceritanya. Kali ini aku sempat berkenalan dengannya, namanya Ibu Angelika. Dia bercerita lebih banyak, tentang kehidupannya, tentang pekerjaannya, anak-anaknya, dan bagaimana ia harus bolak-balik setiap hari dari Jogja ke Klaten untuk mengurus keluarga, bekerja di rumah sakit dan mengurus ibunya. Ia juga bertanya tentang bagaimana latar belakangku, di mana sekolahku, dari mana asalku, dan........sukakah aku tinggal di Jogja? atau Betahkah aku tinggal di Solo. Segala pertanyaan yang mungkin akan dianggap orang sebagai pertanyaan yang tidak penting dan terlalu banyak basa-basi, namun, ya itulah kami malam itu, kami bertukar cerita, bertukar pandangan tentang tempat yang membuat kami nyaman dan merasakan sensasi dari hidup yang tak hanya sekedar bernafas untuk bertahan, tetapi juga menikmatinya.

Dari Ibu Angelika, malam itu saya belajar bahwa yang kita butuhkan untuk terus melanjutkan hidup adalah menjalaninya. Tak perlu banyak berteori, apalagi ketakutan-ketakutan akan apa yang bahkan belum kita temukan.

"Iya Mbak Anin, jalani aja, nanti juga nggak kerasa kok, yang penting tetep ngelakuin yang terbaik"

Sepenggal kata dari Ibu Angelika yang akan selalu kuingta. Juga ekspresinya saat mengatakan kalimat itu, sebongkah senyum di bibirnya dipoles gincu merah merekah, terlihat kerut-kerut di wajahnya, menandakan usianya sudah tak lagi muda, namun tetap indah. Juga doanya, agar aku lancar di dalam prosesku menempuh pendidikan tinggi dan sukses untukku di kemudian hari.

"...aamiin"


Hari itu akhirnya aku melakukan perjalan lagi dengan angkutan umum. Malam itu aku punya cerita baru tentang orang-orang baru yang mewarnai jalan panjangku. Malam itu aku membuktikan kepada kalian semua yang membaca ini, bahwa berpergian sendirian tidak seburuk itu. Dan karena malam itu, sekarang aku berseru kepada kalian yang membaca ini, jangan takut untuk berpergian sendiri dengan bus kota. Jika kalian sudah melakukannya, buka mata, buka telinga dan buka hati kalian, ada banyak cerita yang bisa kau ukir di sana, di dalam bus kota.



Thursday, September 26, 2013

Negeri Para Petani

Hai
Panggil saya Pertiwi
Saya punya cerita dari sebuah negeri
Negeri Agraris yang katanya makmur nan asri
Dia bilang di sanalah Petani berseri
Petani Sawit, sayur, buah, juga padi

Tapi, ke mana senyum dengan gigi?
Saat yang terlihat matinya pari
Bibit dan pupuk yang harganya semakin tinggi
Ke mana perginya senyum dengan gigi?
Mengapa yang terdengar malah jerit hati?

Gusti
Saya Pertiwi
Saya punya mimpi
Untuk Negeri Para Petani
Kembalikan senyum dengan gigi
Kembalikan hati yang berseri
Agar nanti aku bisa menjadi saksi
Mereka yang tersenyum saat komoditi
Berhasil menjadi raja di negeri sendiri




Selamat Hari Tani



Tuesday, August 27, 2013

Happy.

After a very long time, finally I could write some more here. I've told you right that my laptop was broken so, sometimes I should just borrowed my brother's, well overall that's why I didn't post anything here for a couple of weeks, but just because I didn't post anything, didn't mean I stopped writing, cause I still do. I write, I meant literally write in a note book that I brought everywhere I go.

Well, another life phase has come, finally I should just leave my High School era(wutt). Leave the era that has made me who I am now. The laughter, the struggles, the tears, the desperation, the screams, the sickness, those stuffs that I ever laugh and cry off, are stuffs that I would never forget till those times when I got my hair turns to grey, my feet becomes weak, wrinkles on my face, and that day when I should just sleep.

And then, I should move to another town, uumm I actually got a bit confused to call this city cause it's not that big to call it as a town or a city, but to call it a village, all of those modernization has been injected to the culture and the people. It's Solo or Surakarta, the place that I live in now.

Solo. Just don't bother the name of this city. If you're a single man/woman, it doesn't make you any better just to find the city's name is the same as your status, cause the fact is it would make feel MORE alone. Why? In my point of view, Solo is a little city with the Javanese culture that rules every part of people's living here. Like the norms, the politeness, the language, and the rituals that some people still do. Solo itself has its own slogan, "Solo The Central of Java" it assigned that here in Solo you can find everything, culture, education, local wisdom, culinary, fashion, lifestyle, everything, because this city is where it all come from. And why did I said that Solo will make you feel more alone when you're single? because there's just so much beautiful places you can explore here, and that's just hmmm a bit pathetic when you're doing it alone. BUT, who says you can't call off all of your friends to explore this city? Call them off and just go ride from the West to the East and from the North to the South. And for me, Solo is a perfect place for those who love to do Culinary Traveling. Trust me. You can find so much cafe, street vendor, Angkringan that would give you the best culinary from Solo, and the most important is, they're cheap! So if you love to eat, you would not regret anything for coming here. Oh and, don't wear any belt ;)

But still, I love Yogyakarta more. I know everything takes time for the process, but I don't think that I would love this city as much as I love Yogyakarta. Something magically has made me love that city, I wish I could come back there, build a house in a country side, far from the crowded road, there's just me and my future hubby, spending time together till the death separate us. Ok, that would be just princesses' story, and I'm not one of them. 

The fact is I'm not feeling that sad like the first time I move to Gunungkidul, now is different. I think I've grown up? I don't exactly know why, but it's just something makes me believe, something's buried deep inside my heart, saying that everything's gonna be okay and I can get through this. And something like confidence, remind me that it's not my first time to move to another city without parents follow me yet I could still do that, So, I'm gonna do this for the next 4 years(or less? aamiin). The question that my mom always asked whenever she felt doubt of me, "Are you happy?"

At times, yes I answered that I'm happy, just to make my mom feels relief. But one week, two weeks, the time pass me by, I'm finding my own definition about happy.
  1. Being happy is not about with whom I live with in a house, but feeling complete because of those people who live right in my heart and I'm sure that they'd never leave.
  2. Being happy is about feeling grateful for what God has planned, has given, has made for me.
  3. Being happy is when I looked at my wallet, I think I've had enough, no matter how many the bucks.
  4. Being happy is when I'm releasing my emotions through writings, music, songs, or movies.
  5. Being happy is about the choice, and the choice is always be mine to choose whether I choose to be happy or not to be.
  6. Being happy is a right, but it's not just something you get pricelessly, I just gotta work for it.
So, are you happy? What's your definition for "HAPPY"?




Tuesday, August 20, 2013

Pemimpin Ideal Bangsa



                Sesungguhnya setiap manusia yang hidup di dunia terlahir sebagai seorang pemimpin. Hanya saja dari sekitar 7 Milyar manusia yang tinggal di bumi, hanya segelintir orang yang menyadari bahwa dirinya adalah seorang pemimpin. Seseorang yang bisa memimpin tidaklah harus seseorang yang memiliki jabatan tertentu di suatu organisasi atau kelompok tertentu. Karena pada hakikatnya minimal sesorang pemimpin adalah mereka yang bisa memimpin dirinya sendiri.
                Memimpin diri sendiri dapat dilakukan dengan cara self-controlling atau pengendalian diri. Yang dimaksud di sini adalah dengan mengendalikan diri dari nafsu yang membabi buta dan senantiasa memikirkan sesuatu dengan matang dan tidak tergesa-gesa demi kebaikan masa depan diri sendiri maupun orang-orang yang dipimpin.
                Selain itu, pemimpin adalah mereka yang belajar sedikit demi sedikit dari proses kehidupan atau pencapaian yang ada. Pemimpin bukanlah sekedar predikat yang didapat dengan sekejap mata, melainkan suatu tanggung jawab yang diraih melalui tahap-tahap yang berliku dan nantinya dipertanggungjawabkan kepemimpinannya. Pemimpin bukanlah suatu pencapaian instan yang dilalui tanpa rintangan dan kesakitan.
                Di samping itu, pemimpin haruslah seseorang yang visioner. Ia haruslah seseoarang yang memiliki wawasan ke depan, serta idealis dalam mempertahankan mimpinya untuk menjadikannya kenyataan. Namun yang harus diperhatikan adalah seorang pemimpin hendaknya memiliki visi yang sama dengan mereka yang dipimpin agar pada nantinya tidak terjadi perbedaan pendapat yang mengakibatkan disintegrasi. Hal ini dipaparkan Pandji Pragiwaksono dalam bukunya, Berani Mengubah, ia menjelaskan bahwa di tangan yang salah, arah Indonesia ini bisa diputarbalikan.  Sehingga pada akhirnya mereka yang dipimpin akan mendapat kekecewaan besar atas kepeimpinan pemimpinnya yang tidak berhasil mewujudkan visi atau mimpi mereka yang dipimpin.
                Terakhir, pemimpin tidak seharusnya memihak golongan manapun. Pemimpin seharusnya berada di posisi senetral mungkin. Satu-satunya acuan pemimpin dalam membuat suatu kebijakan adalah visi bersama dalam sebuah organisasi atau kelompok, bukanlah kepentingan segelintir orang yang memiliki visi-visi tertentu. Inilah yang masih menjadi PR untuk para pemimpin di negeri ini, untuk bertindak adil, tidak memihak dan tetap fokus kepada kepentingan bersama. Karena seringkali pemimpin di negeri ini terkesan plin-plan dan ragu dalam pengambilan kebijakan karena pilihan-pilihan yang memungkinkan merugikan golongan dari di mana ia berasal.
                Untuk itu pemimpin ideal untuk bangsa kita adalah seorang pemimpin yang memiliki tiga karakter dasar diantaranya adalah, dapat mengendalikan dirinya sendiri, visioner serta adil dalam pengambilan kebijakan. Rakyat akan terjamin kesejahteraannya jika seorang pemimpin memiliki tiga karakter dasar tersebut.

Daftar Pustaka

Pandji Pragiwaksono (2011). Indonesia Butuh Anda. From http://pandji.com/indonesia-butuh-anda/, 20 Agustus 2013
Pragiwaksono, Pandji (2012). Berani Mengubah. Yogyakarta: PT Bentang Pustaka.  

PRODUKTIF IS THE BEST \m/

Tim Produkktif @ Ruang SOPO FISIP UNS

Monday, August 19, 2013

TATA TERTIB KEHIDUPAN MAHASISWA DI UNIVERSITAS SEBELAS MARET


TATA TERTIB KEHIDUPAN MAHASISWA DI UNIVERSITAS SEBELAS MARET
(SK REKTOR NOMOR: 828/H27/KM/2007)

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1

Dalam kutipan yang dimaksud dengan:
1.          Universitas adalah Universitas Sebelas Maret.
2.          Rektor adalah Rektor Universitas.
3.          Fakultas adalah fakultas-fakultas yang ada di Universitas Sebelas Maret.
4.          Pimpinan Fakultas adalah Dekan dan Para Pembantu Dekan.
5.          Mahasiswa adalah peserta didik yang terdaftar secara sah dan belajar pada salah satu Fakultas yang diselenggarakan oleh Universitas Sebelas Maret.
6.          Tata tertib mahasiswa adalah ketentuan yang mengatur tentang kehidupan mahasiswa yang dapat menciptakan suasana kondusif dan menjamin berlangsungnya proses belajar mengajar secara terarah dan teratur.
7.          Larangan adalah hal-hal yang tidak diperkenankan dikerjakan oleh mahasiswa mengenai hal-hal yang dapat mengganggu ketentraman baik di tingkat Jurusan, Program Studi, atau Bagian yang ada di universitas.
8.          Pelanggaran adalah suatu tindakan yang bertentangan dengan ketentuan tata tertib ini.
9.          Sanksi adalah tindakan yang perlu dikenakan kepada mahasiswa yang ternyata terbukti melakukan pelanggaran.
10.      Komisi Disiplin adalah komisi memantau pelaksanaan tata tertib untu kemudian melaporkan dan memberikan masukan kepada Rektor atau Dekan.
11.      Kampus Universitas Sebelas Maret adalah semua tempat dalam wilayah Universitas Sebelas Maret beserta seluruh fasilitas, sarana dan prasarana yang ada di dalamnya.
12.      Minuman keras adalah segala jenis minuman yang mangandung alkohol seperti diatur dalam keputusan Menteri Kesehatan RI.
13.      Narkotika adalah bahan yang diidentifikasikan sebagai narkotika dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika.
14.      Psikotropika adalah bahan yang diidentifikasikan sebagai psikotropika dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika.
15.      Perjudian adalah permainan yang menggunakan alat bantu baik secara langsung ataupun tidak langsung untuk digunakan sebagai media taruhan dengan uanag atau barang lainnya yang berharga.
16.      Senjata adalah segala jenis alat yang membahayakan atau mematikan jika digunakan, seperti diatur dalam Undang-Undang.
17.      Bahan peledak adalah bahan atau zat yang berbentuk padat, cair, gas, atau campurannya yang apabila dikenai atau terkena sesuatu aksi berupa panas, benturan, atau gesekan akan berubah secara kimiawi dalam waktu yang sangat singkat disertai efek panas dan tekanan tinggi, termasuk di dalamnya adalah bahan peledak yang digunakan untuk keperluan industri maupun militer.
18.      Publikasi adalah pengumuman, penerbitan dan lain-lain.
19.      Poster adalah plakat yang dipasang di tempat umum (berupa pengumuman atau iklan).
20.      Spanduk adalah kain pentang berisi slogan/ propaganda atau berita yang perlu diketahui umum.
21.      Umbul-umbul adalah bendera kecil beraneka warna yang dipasang memanjang ke atas, dipasang untuk memeriahkan suasana serta menarik perhatian.





BAB II
HAK DAN KEWAJIBAN
Pasal 2

(1)    Mahasiswa mempunyai hak:
a.    Menuntut menggunakan kebebasan akademik secara bertanggung jawab untuk dan mengkaji ilmu, teknologi dan seni sesuai dengan norma dan susila yang berlaku dalam lingkungan masyarakat akademik;
b.   Memperoleh pengajaran sebaik-baiknya dan layanan bidang akademik sesuai dengan minat/ bakat, kegemaran dan kemampuan;
c.    Memanfaatkan fasilitas universitas dalam rangka kelancaran proses belajar;
d.   Mendapat bimbingan dari dosen yang bertanggung jawab atas program studi yang diikuti dalam penyelesaian studinya;
e.   Memperoleh layanan informasi yang berkaitan dengan program studi yang diikuti serta hasilnya;
f.     Menyelesaikan studi lebih awal dari jadwal yang ditetapkan sesuai persyaratan yang berlaku;
g.    Memperoleh layanan kesejahteraan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
h.   Memanfaatkan sumber daya universitas melalui perwakilan-perwakilan/ Organisasi kemahasiswaan untuk mengurus dan mengatur kesejahteraan, minat, bakat, penalaran, dan tata kehidupan masyarakat;
i.      Pindah ke Perguruan Tinggi lain dan program studi lain, di lingkungan universitas, bilamana memenuhi persyaratan penerimaan mahasiswa pada perguruan tinggi atau program studi yang diinginkan, dan bilamana daya tampung perguruan tinggi atau program studi yang bersangkutan memungkinkan;
j.     Ikut serta dalam kegiatan organisasi mahasiswa universitas sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
k.    Memperoleh pelayanan khusus bilamana menyandang cacat sesuai dengan kemampuan universitas;

(2)    Setiap mahasiswa berkewajiban
a.    Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b.   Ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan kecuali bagi mahasiswa yang dibebas tugaskan dari kewajiban tersebut sesuai dengan peraturan yang berlaku;
c.    Menggunakan masa belajar di Universitas dengan sebaik-baiknya;
d.   Berdisiplin, bersikap jujur, bersemangat dan menghindari perbuatan yang tercela;
e.   Menjaga kewajiban dan nama baik universitas;
f.     Menghormati dan menghargai semua pihak demi terbinanya suasana hidup kekeluargaan sebagai pengamalan pancasila dan UUD 1945;
g.    Bertenggang rasa dan menghargai orang lain;
h.   Bersikap dan bertingkah laku terhormat sesuai dengan martabatnya;
i.      Menghormati dan menghargai kepada tenaga kependidikan;
j.     Berusaha mengembangkan kemampuan yang dimiliki agar dapat bekerja dengan sebaik-baiknya;
k.    Menjaga kesehatan dirinya dan keseimbangan lingkungan;
l.      Mematuhi semua peraturan/ ketentuan yang berlaku di universitas;
m. Memelihara dan meningkatkan mutu lingkungan hidup di kampus;
n.   Menghargai dan menjunjung tinggi ilmu pengetahuan, teknologi dan atau seni;
o.   Menghargai dan menjunjung tinggi kebudayaan nasional; dan
p.   Berpakaian sopan dan tertib sesuai dengan ketentuan yang berlaku di universitas.





BAB III
LARANGAN
Pasal 3

Mahasiswa dilarang:
1.       Melalaikan kewajibannya seperti tersebut pasal 2.
2.       Mengganggu penyelengaraan pendidikan, penalaran, minat, bakat, karier dan kesejahteraan mahasiswa.
3.       Melanggar etika akademik seperti plagiarisme, menyontek, memalsu nilai, memalsu tanda-tangan, memalsu cap, memalsu ijazah dan/atau perbuatan lain yang melanggar ketantuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
4.       Melakukan tindakan tidak terpuji yang dapat merusak martabat dan wibawa universitas.
5.       Mengatasnamakan universitas tanpa mandat atau izin dari Rektor dan atau pejabat yang berwenang.
6.       Menjadikan kampus sebagai ajang pertarungan kelompok, kepentingan politik dan/ atau yaang berbau sara.
7.       Menginap di lingkungan kampus, kecuali ada izin dari Universitas dan atau fakultas yang berkaitan dengan kegiatan proses belajar mengajar.
8.       Merokok di ruang kuliah, perpustakaan, laboratorium, kantor dan tempat lain pada saat proses belajar mengajar berlangsung.
9.       Memasuki, mencoba memasuki atau menggunkan dan memindah tangankan tanpa izin yang berwenang, ruangan, bangunan, dan sarana lain milik atau dibawah pengawasan universitas.
10.   Menolak untuk meninggal atau menyerahkan kembali ruangan bangunan atau sarana lain milik atau di bawah pengawasan universitas yang digunakan secara tidak sah.
11.   Mengotori atau merusak ruangan, bangunan dan sarana lain, milik atau di bawah pengawasan universitas.
12.   Menggunakan saran dan dana yang dimiliki atau di bawah pengawasan universitas secara tidak bertanggung jawab.
13.   Memiliki, membawa, menyimpan, memperdagangkan atau mengedarkan serta membuat maupun mengkonsumsi minuman keras, bila berada di dalam lingkungan kampus.
14.   Memiliki, membawa, menyimpan, memperdagangkan atau mengedarkan serta membuat maupun mengkonsumsi narkotika atau psikotropika, bila berada di dalam lingkungan kampus.
15.   Melakukan kegiatan yang dapat dikategorikan sebagai perjudian, bila berada di dalam lingkukangan kampus.
16.   Membawa, menyimpan, membuat, memperdagangkan serta menggunakan senjata, tanpa ijin yang berwenang, bila berada di dalam lingkungan kampus.
17.   Membawa, menyimpan, membuat, memperdagangkan, atau mengedarkan serta menggunakan bahan peledak, tanpa izin yang berwenang, bila berada di dalam lingkungan kampus.
18.   Melakukan perbuatan asusila, pelecehan dan atau tindak kejahatan seksual seperi:
a.    Perzinaan;
b.   Mengucapkan kata-kata yang tidak senonoh;
c.    Menyakiti seseorang secara seksual;
d.   Memperkosa dan melakukan perbuatan asusila lainnya;
Tindakan sebagaimana tersebut diatas dilaporkan oleh:
a. Pihak yang langsung terkena atau korban;
b.Pihak yang mempunyai hubungan langsung dengan korban;
c. Saksi yang melihat dan atau mendengar terjadinya perbuatan asusila, pelecehan dan pelanggaran seksual tersebut;
Korban ataupun saksi dapat melaporkan secara tertulis maupun lisan, kejadian yang dialaminya kepada pejabat di bidang kemahasiswaan dan atau kepada Komisi Disiplin Mahasiswa.



BAB IV
FASILITAS, SARANA DAN PRASARANA
Pasal 4

(1)    Demi kelancaran dan kelangsungan kegiatan belajar mengajar, setiap mahasiswa wajib menjaga dan memelihara fasilitas, sarana dan prasarana universitas.
(2)    Setiap perubahan, perpindahan, dan pengambilan fasilitas yang dimiliki universitas harus seizin pejabat yang berwenang.

BAB V
KEGIATAN DAN PERIZINAN
Pasal 5

(1)    Kegiatan mahasiswa di universitas meliputi:
a.    Kegiatan kurikuler
b.   Kegiatan ekstra kurikuler
(2)    Kegiatan lain di luar ayat (1) akan diatur dalam peraturan tersendiri.

Pasal 6
(1)    Demi kelancaran kelangsungan kegiatan, setiap kegiatan harus mendapatkan izin:
a.    Kegiatan kurikuler di kampus di luar waktu yang telah ditentukan, atau pada hari libur dan hari besar;
b.   Kegiatan ekstra kurikuler
c.    Kegiatan lain.
(2)    Semua penggunaan fasilitas yang dimiliki oleh fakultas, jurusan, bagian, program studi, di universitas harus seizin Dekan atau Rektor.
(3)    Dekan/ Rektor melimpahkan wewenang pemberian izin yang dimaksud pada ayat (2) kepada Pembantu Dekan/ Pembantu Rektor sesuai bidangnya masing-masing.
Kegiatan mahasiswa yang dilakukan di dalam lingkungan fakultas harus mendapat izin dari Dekan, sedangkan kegiatan di luar lingkungan fakultas harus mendapat izin dari Rektor.

BAB VI
POSTER, SPANDUK, UMBUL UMBUL DAN MEDIA PUBLIKASI LAIN
Pasal 7

(1)    Pemasangan poster, spanduk, umbul umbul dan sejenisnya serta penyebaran selebaran, dan sejenisnya hanya dilakukan pada tempat tempat yang telah ditentukan.
(2)    Pemasangan poster dan lain sebagainya sebagaimana tersebut diatas pada ayat (1) harus mendapat izin dari pihak berwenang.
(3)    Gambar maupun tampilan pada poster, spanduk, umbul-umbul harus sesuai dengan norma dan etika yang berlaku.

BAB VII
BUSANA
Pasal 8

(1)    Setiap mahasiswa harus berpakaian sopan dan rapi dengan norma-norma yang berlaku.
(2)    Jenis dan macam pakaian disesuaikan dengan kegiatan yang sedang dilaksanakan.
(3)    Mahasiswa dilarang mengenakan kaos oblong dan sandal pada saat kegiatan kurikuler di dalam ruang kuliah.



BAB VII
SANKSI
Pasal 9

(1)    Setiap pelanggaran terhadap peraturan tata-tertib ini akan dikenakan sanksi sesuai dengan berat ringannya pelanggaran, yang berupa:
a.       Peringatan lisan;
b.      Peringatan tertulis
c.       Pencabutan sementara haknya menggunakan fasilitas universitas maupun fakultas;
d.      Larangan melakukan kegiatan akademik dalam periode waktu tertentu (skorsing);
e.      Pencabutan statusnya sebagai mahasiswa.
(2)    Penetapan dan penjatuhan berat ringannya sanksi diatur dalam peraturan tersendiri.

BAB IX
PENGHARGAAN
Pasal 10

(1)    Mahasiswa yang berprestasi dan atau berprestasi luar biasa baik dalam bidangnya atau di luar bidangnya, baik dalam lingkungan kampus maupun di luar lingkungan kampus dapat diberi penghargaan dari Universitas.
(2)    Sebelum memberikan penghargaan kepada mahasiswa yang berprestasi luarbiasa, Rektor perlu mandapatkan pertimbangan Senat Universitas.
(3)    Bentuk dan sifat penghargaan ini akan diatur dalam peraturan tersendiri.

BAB X
KOMISI DISIPLIN
Pasal 11
Untuk mengefektifkan pelaksanaan Tata Tertib Kehidupan Mahasiswa di Universitas Sebelas Maret dibentuk Komisi Disiplin Mahasiswa. Bentuk organisasi, susunan keanggotaan, tugas, kewenangan dan tanggung jawabnya diatur dalam peraturan tersendiri.

BAB XI
KOMISI ADVOKASI
Pasal 12

Untuk membantu mahasiswa yang bermasalah dibentuk Komisi Advokasi, yang akan memberi konsultasi, pembinaan dan atau bantuan hukum kepada mahasiswa. Bentuk organisasi, susunan keanggotaan, tugas, kewenangan dan tanggung jawabnya, diatur dalam peraturan tersendiri.

BAB XII
KETENTUAN LAIN
Pasal 13

Hal-hal yang belum diatur dalam peraturan ini akan diatur kemudian.

BAB XIII
KETENTUAN UMUM
Pasal 14

(1)    Tata Tertib Kehidupan Mahasiswa di Universitas Sebelas Maret ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.
(2)    Keputusan Rektor Universitas Sebelas Maret Nomor: 487A/J27/KM/2005 tentang Tata Tertib Kehidupan Mahasiswa di Universitas Sebelas Maret dinyatakan tidak berlaku lagi.