Thursday, January 23, 2014

Tidak Semua Bisa Tinggal

What doesn't kill you makes you stronger
Stand a little taller
Doesn't mean I'm lonely when I'm alone
What doesn't kill you makes a fighter
Footsteps even lighter
Doesn't mean I'm over cause you're gone
Suara merdu Kelly Clarkson dengan musik yang menghentak di lagu "Stronger" berhasil mengaburkan suara hujan di balik ruangan dengan dinding kaca di luar sana. Seperti kata kutipan-kutipan yang berseliweran di media sosial, banyak dari mereka yang mengatakan, hujan yang turun tidak hanya membawa air, tetapi juga kenangan. Bella masih duduk di tempatnya, menatap kosong ke luar jendela di sebelahnya. Masih berusaha mencari suara tetesan-tetesan air yang berjatuhan, membasahi jalanan aspal. Bisu. Hujan kali ini terasa bisu, namun tetap saja tetesan-tetesan air itu seakan menyeringai dari kejauhan dan berkata, "Hai Bells, lihat apa yang aku bawa? Kenangan-kenangan ini siap aku tebarkan di kudapanmu malam ini, bersiaplah."
"Permisi kakak... Italian Red Soda dan Ocean Blue Soda-nya"
"Oh...eh...iya terima kasih."
Pelayan telah sukses mengacaukan lamunan Bella tentang kejahatan-kejahatan yang mungkin akan di bawa tetesan hujan kepada dirinya, Bella harus berterima kasih kepada pelayan itu sekarang. Hush! pikiran macam apa ini! Tetesan air hujan yang diberikan Tuhan adalah anugerah, lupakah Bella? Atau lupakah penulisnya? Kali ini Kelly Clarkson telah digantikan boyband asal Inggris yang menyanyikan salah satu singlenya yang berjudul "Little Things", One Direction.


Your hand fits in mineLike it's made just for me
But bear this in mind
It was meant to be
Pandangan Bella kini tertuju kepada seorang gadis kecil dengan pipi tembam seperti buah apel, rambut ikal kemerahan yang dikuncir kuda dengan jaket berwarna merah muda yang membungkus tubuhnya yang berisi. Sekarang dia tengah berusaha mengaduk Ocean Blue Soda yang ia pesan dan memainkan biji selasih yang ada di dasar gelas. Bella tidak menyangka memainkan biji selasih itu menyenangkan, hingga bahkan ia tidak menyadari bahwa dirinya telah diamati sejak beberapa menit yang lalu.

Bella dan adiknya tengah mengunjungi restoran yang dulu sering mereka kunjungi dengan keluarga besar mereka. Cukup aneh rasanya, mengingat setiap mereka ke sini, mereka sampai haru memesan sekitar 4-6 meja sekaligus dan kini mereka duduk berdua di meja berkapasitas 4 orang, berdua, terdiam seakan membiarkan keheningan menyeruak di antara mereka. Sementara itu, Bella lagi-lagi sibuk dengan lamunannya. Kali ini, kenangan-kenangan lamanya mulai berdatangan satu per satu. Tetesan-tetesan hujan tadi tidak main-main rupanya. Wajah ayahnya yang melahap pizza, adiknya yang minta tolong pizza di piringnya untuk dipotong-potong kecil dan dirinya yang sibuk makan sambil sms-an dengan kawan yang lain. Tersadar dari lamunannya, kembali di tatapnya lagi si adik yang kini tengah memainkan handphonenya.
"Kamu masih suka inget Ayah?"
Hening. Hanya gelengan pelan dari gadis kecil itu.
"Kok udah nggak inget?"
Ia terdiam, memberi gelengan pelan dan berkata lirih, "Nggak mau nginget."
Hening lagi.
Pelayan kembali datang untuk mengantarkan orderan mereka, keduanya langsung menyantap Fucilli Carbonara yang bertabur keju lembut di atasnya sebagai hidangan makan malam dalam diam.

Sepertinya, tidak hanya kenangan buruk yang tidak kita berikan tempat di dalam pikiran. Terkadang kenangan indah pun demikian. Tidak semua bisa tinggal.




Wednesday, January 22, 2014

Rumah.

Selamat malam dari salah satu sudut kota Tangerang, tepatnya dari Cipadu; kawasan perniagaan khususnya tekstil yang santer diberitakan omset per harinya mengalahkan Pasar Tanah Abang di Jakarta. 24 derajat celcius, cukup dingin dari hari-hari biasanya, bagaimana tidak, hujan terus mengguyur kota ini semenjak 3 hari yang lalu. Tak heran ketigabelas sungai yang mengalir di tubuh Jakarta ikut meluap, mengakibatkan banjir di berbagai daerah, begitupun daerah-daerah di luar Jakarta yang berada di sekitarnya. Jakarta dikepung banjir, begitulah headline berita di televisi dan media massa lainnya.

Pertama, aku akan mengatakan bahwa (alhamdulillah) tempat tinggalku bukan merupakan wilayah yang pasti kedatangan tamu 5 tahunan sekali atau sepertinya Si Tamu sekarang memajukan sedikit jadwalnya menjadi 1 tahun sekali. Walaupun sedikit tenang, siapa bilang aku dan orang-orang yang tinggal di wilayah ini tidak ikut pusing dengan banjir yang ada di setiap sudut kota. Bagaimana tidak, dari mulai genangan air setinggi 50cm atau setinggi betis orang dewasa hingga 5 meter sudah sukses memutuskan akses para warga untuk melakukan aktivitasnya masing-masing. Anak tak bisa sekolah, orang dewasa tidak bisa bekerja, para ibu pusing karena di saat yang bersamaan harga bahan pokok melonjak drastis, sementara itu yang lainnya sibuk merekam segala keluhan, situasi dan kondisi sekitar untuk dijadikan bahan tulisan.

Apa yang kalian ingat jika mendengar kata Ibukota negara kita? Kebanyakan sih menjawab "Macet, Banjir dan Sampah". Setidaknya lebih banyak yang ingat akan 3 hal tersebut dibandingkan dengan "Monas, Ondel-Ondel, Mall, atau setidaknya Ancol." 3 ikon buruk itu berhasil menggeser ikon baik lainnya, nila setitik rusak susu sebelanga. Curah hujan yang terus menerus mengguyur kawasan ibukota dijadikan tersangka atas terjadinya banjir di ibukota selama hampir 2 minggu terakhir ini. Semoga Tuhan memaafkan hambaNya yang telah menganggap berkah yang Dia turunkan sebagai suatu hal yang justru dibenci. Namun, sepertinya kita memang harus menelan bulat-bulat omongan kita saat merutuki hujan yang turun, karena seperti yang dilansir dari harian online Tempo, Kepala Bidang Peringatan Dini Cuaca Ekstrem BMKG, Achmad Zukri mengatakan,
"penyebab banjir di Jakarta tahun ini bukan karena faktor alam. Sebab, curah hujan di kawasan Ibu Kota pada 2014 lebih rendah dibanding 2013 ketika terjadi banjir lebih besar."
Kalimat barusan cukuplah untuk menyumpal mulut mereka yang masih saja merutuki nikmat Tuhan. Di luar apakah curah hujan yang memang lebih rendah dari tahun sebelumnya--jujur saja aku tidak terlalu memperhatikannya karena sekali hujan berarti hujan, nikmati saja kesyahduan suasananya dengan secangkir kopi atau coklat panas, banjir yang terjadi di ibukota tidak hanya sekadar peristiwa yang disebabkan oleh alam, karena manusia juga ikut berkontribusi di dalamnya(bahkan lebih besar konstribusinya tinimbang alam itu sendiri). Maksudku, sederhana saja kawan, air akan selalu mengalir ke tempat yang lebih rendah bukan? Anak SD pun tahu akan hal itu. Lihat sekarang letak geografis ibukota memang sudah berada di dataran yang lebih rendah di banding dengan kawasan Bogor. There's no such thing as 'banjir kiriman'. Sudah tau begitu, masih saja para pemilik modal membangun gedung-gedung bertingkat, menyedot air tanah secara berlebihan, yang membuat permukaan tanah di ibukota semakin turun. Belum lagi lahan-lahan yang seharusnya dijadikan taman kota berubah menjadi hutan beton, dibangunlah pusat-pusat perbelanjaan, tak ada lagi berjalan beralaskan tanah merah atau rumput hijau yang menyegarkan permukaan kulit kaki, digantikan dengan aspal panas yang disediakan untuk kendaraan yang pertumbuhannya makin tidak bisa dikendalikan, bahkan oleh yang-membuat-regulasi. Masih dari pemilik modal, belum cukup dengan metamorfoshit yang sudah dilakukan, sekarang ia pergi ke daerah yeng lebih tinggi, berpikir, 
"Orang-orang yang tinggal di hutan beton sana itu adalah survivor, mereka bekerja siang dan malam, mereka akan lelah, suasana di sini menyenangkan, mereka pasti menyukainya, mereka pasti mau beristirahat di sini. Akan aku berikan tempat peristirahatan yang tidak akan mereka dapatkan di tempat mereka sekarang tinggal."
Di bangunlah berhektar-hektar tempat peristirahatan, untuk menyenangkan orang-orang kota, untuk meningkatkan pendapatan daerah, untuk berbagai macam alibi yang hanya menguntungkan beberapa pihak saja juga kebahagiaan sementara bagi para warga sekitar. Di waktu yang bersamaan, 'tanah tinggi' itu kehilangan berhektar-hektar hutan lindungnya yang selama ini telah menjadi savior untuk wilayah yang lebih rendah, yang menahan air, mencegah banjir, tanah longsor segala hal yang lebih bermanfaat bagi umat, tidak hanya bagi beberapa saku orang saja. Hampir saja lupa, beberapa kali aku menyebutkan kata 'pemilik modal' tak perlu jugalah kalian yang membaca ini 'pemilik modal' berarti mereka yang membangun gedung-gedung bertingkat dan lain sebagainnya, karena toh mereka yang memiliki uang tiga ratus ribu rupiah untuk membangun kios 3S(Sederhana dan Sangat Sempit) di bantaran kali pun juga termasuk para 'pemilik modal'--lebih jelasnya pemilik modal yang melakukan dosa-dosa ekologis.

Dosa Ekologis. Pernah diangkat di program pagi salah satu televisi swasta. Kata-katanya cukup untuk menohok (mereka yang senantiasa terus membuka mata, telinga, pikiran juga hati mereka). Karena seringkali masyarakat terlalu sering menuntut A-Z agar kotanya bersih, agar kotanya indah, agar kotanya apik, agar kotanya aman, dan berbagai pengharapan lainnya. Tidak ada salahnya berharap kepada pemerintahan yang orang-orangnya sudah mereka pilih langsung, namun pengharapan-pengharapan tersebut hanya akan menjadikan mereka masyarakat yang naif ketika bahkan kinerja pemerintah tidak bersinergi dengan perilaku masyarakat itu sendiri. Itulah masyarakat kita terlalu fokus dengan hasil namun lupa akan satu hal yang selalu ada dibalik hasil, apalagi kalau bukan proses itu sendiri. Bahkan pemerintah yang baru saja memasuki tahun keduanya memerintah sudah menerima kecaman "Lah ini masih banjir juga!" Maksudku, ayolah kawan, bahkan bayi yang baru lahir tidak bisa langsung berlari bukan? 

Banjir itu Refleksi. Bukan, aku bukan membicarakan tentang pijat refleksi yang ada di pusat-pusat perbelanjaan yang membuat kita merogoh kocek sebesar sepuluh ribu rupiah sampai dua puluh lima ribu rupiah untuk merasakan pijatan dari kursi-kursi besar ajaib yang ditaruh berjejer itu. Banjir adalah refleksi untuk masyarakat, sudah sebanyak apa sampah yang mereka buang ke sungai hanya karena alasan "Nggak ada TPS deket sini." atau "Tukang sampahnya nggak sampe sini, kalo nyuruh sampe sini bayarnya lebih mahal" atau ke jalan atau ke tempat-tempat lainnya selain tempat sampah. Banjir adalah refleksi bagi masyarakat, sudahkah seharusnya mereka pindah rumah, dari bantaran kali ke rumah-rumah susun yang telah disediakan pemerintah, selain menghindari banjir sekaligus ikut menyukseskan program pemerintah dalam membebaskan lahan di bantaran sungai. Tidak hanya untuk masyarakat, banjir adalah refleksi untuk pemerintah kota sudah sejauh mana keseriusan mereka dalam menangani hal ini, sudahkah mereka benar-benar mendengarkan kata-kata dari ahli lingkungan, ahli tata kota atau ahli-ahli lainnya tanpa hanya menjadikan pendapatan daerah, ekonomi, kota bisnis dan lain lain sebagai tameng. Banjir juga merupakan refleksi bagi seluruh lapisan, baik masyarakat dan pemerintah daerahnya, bahwa masalah banjir yang terjadi di ibukota bukanlah suatu hal yang bisa dituntaskan sendirian, karena kompleksnya masalah ini perlu adanya kerjasama antar masing-masing daerah untuk menyelesaikannya. 

Ibukota sudah menjadi tempat hidup bagi kurang lebih 9,6 juta jiwa.
Sayang sekali, beberapa dari mereka hanya sekedar hidup.
Tak ada bedanya dengan parasit.
Mengambil segala keuntungan dan membuat tempat yang didiaminya mati.
Andai saja seluruh 9,6 juta manusia ini merasakan ibukota sebagai rumah.
Rumah yang akan senantiasa dijaga dan dirawat.
Karena, ke mana lagi kita akan pulang kalau bukan ke rumah kita sendiri?
Begitulah rumah, seburuk apapun keadaannya tetap saja selalu membuat kita nyaman. Jika yang buruk saja sudah membuat kita nyaman, apalagi jika keadaannya sangat baik? #BetterJKT





Tuesday, January 21, 2014

Nyaman

 ...
Nyaman adalah berbagi waktu tanpa perlu merasa canggung. Nyaman adalah menikmati keberadaan masing-masing, walau yang dapat kami berikan kepada satu sama lain hanyalah kehadiran itu sendiri. Nyaman berarti tak perlu meminta maaf saat lengan kami bersenggolan secara tak sengaja, merokok dalam mobil dan bebas mengotak-atik stereo tanpa meminta izin terlebih dahulu. Nyaman adalah meneleponnya tanpa alasan, hanya karena ingin mengobrol, atau karena ada film baru yang ingin kutonton, tapi tidak punya teman untuk diajak. Rasa ini tidak perlu dilabeli, diartikan, atau dianalisis.
...

Winna Efendi dalam Melbourne.



Secangkir Kata

Waktu sudah menunjukkan pukul 00.44 waktu Indonesia bagian barat. Liburan sudah sukses memutar balikkan jam biologis tidurku. Suatu hal yang biasa. eh iya kan? 

Lorde dengan sangat indah menyanyikan lagu demi lagu dari albumnya Pure Heroin yang aku download secara ilegal lewat internet gratis rumah Om beberapa hari yang lalu. Sayup-sayup suara rintik hujan yang sedari tadi masih juga mengguyur wilayah perbatasan Jakarta dan Tangerang terdengar, ikut menyemarakkan Selasa dini hari ini. Makin syahdu dengan secangkir teh anget tawar, yang tiap kali aku pesan saat makan bersama teman-teman selalu memunculkan respon "ih kayak bapak-bapak", "ckck... kayak mbah-mbah" atau yang lebih parah "lo diabetes?" yang cuma bisa pasrah aku jawab dengan "karena hidup itu udah manis, nggak perlu ditambah pemanis lagi"ngeles tingkat entah

Jurnal yang lama akhirnya dibuka lagi. Kawan, akhirnya aku menulis lagi.

Writer's block.
Ya kawan, aku mengalami writer's block tingkat entah. Masih bertanya-tanya apa itu Writer's Block? Writer's Block adalah suatu kondisi di mana kita tidak bisa mengeluarkan suatu kata pun untuk ditulis, kondisi di mana kita tidak fokus, kondisi di mana kita tidak bisa menulis. Kondisi paling aku benci saat otak terus saja memutar pengalaman indah, buruk, menyenangkan, menyedihkan hingga ke menjijikan, saat otak kanan terus menerus berseru semua bahan sudah cukup untuk menjadikannya satu atau dua artikel atau pos atau tulisan lainnya. Tapi di sana lah otak kiri menjalankan niat jahatnya untuk menumpulkan jariku, menutup rapat mataku dan membenamkan kepalaku dalam kubangan writer's block. Menyedihkan memang.

Expectation Vs Reality
Sekarang seakan semua yang ada di otak, tentang bagaimana tulisan yang harusnya aku tulis menjadi seperti apa, hanya sekedar omong kosong yang bahkan tidak akan menjadi nyata. Harapannya pupus begitu saja saat aku tidak bisa menemukan kata-kata yang tepat. Payah. Ekspektasi dari seorang penulis blog amatir sebenarnya cukup sederhana, menulis apa saja yang aku pikirkan tanpa ada intervensi dari luar, itulah kebebasan yang sesungguhnya. Tetapi ternyata hal itu tidak semudah hanya sekadar bermimpi, bahkan orang yang ingin bermimpi juga harus berusaha terlebih dahulu; tidur.
Belum lagi pikiran-pikiran jahil Si Otak Kiri dan kekhawatiran berlebihan dari Si Golongan Darah A yang selalu berpikir kualitas tulisan yang tak cukup layak untuk dipublikasikan, tulisan yang dihasilkan hanya akan dijadikan bahan tertawaan, atau juga gelengan dari banyak orang karena kualitas tulisan adalah standar anak SMA yang masih labil--bahkan anak SMA bisa melakukannya lebih baik lagi, yang ternyata ditulis oleh mahasiswi dari salah satu universitas ternama--universitasku ternama kan? Semua pikiran yang dibentuk oleh otak kiri dengan maksud baik untuk merasionalkan ekspektasi yang dibentuk oleh otak kanan sudah berhasil ditangkap salah sehingga pada akhirnya, aku tidak menuliskannya. Sungguh dosa besar bagi para penulis baik yang sudah expert ataupun yang masih amatir.

The X Factors
Bukan, ini bukan soal Fatin yang salah lirik atau bintang lainnya yang kini mulai tak terdengar kabarnya. Untuk menulis kadang butuh beberapa Faktor X untuk mendukung kelancaran dalam menulis itu sendiri. Kali ini, aku tidak sedang membicarakan tentang datang ke dukun membawa kembang tujuh rupa atau ritual penyembelihan ayam jantan hitam dan betina hitam atau semacamnya. Tidak tentu tidak, jurnal ini bersih dari hal-hal berbau gaib dan akan aku pertahankan ke depannya. Ok balik ke topik. The X Factors. Cara setiap orang yang menulis untuk keluar dari kubangan Writer's Block dapat bermacam-macam, seperti misalnya, mendengarkan musik, ngopi--yang akhir-akhir ini tidak aku lakukan karena tentu saja, Si Ibu melarang atas alasan maag yang sudah semakin sensitif dengan makanan-makanan pemicunya #halahmalahcurhat #lhakanpancencurhat, keluar dari rumah, jalan-jalan... Semua kegiatan yang menyuruhmu menjauhi laptop, buku catatan, Microsoft Word, Open Office dan lain sebagainya. Dan masalahku adalah,aku sering kali kebablasen, akhirnya melupakan tujuanku untuk melakukan X Factors-ku dan melupakan tujuan awalku, menulis. Lagi, dosa terbesar lainnya bagi para penulis.

Tuliskan dengan Jujur
Aku tidak mengerti lagi kenapa aku kehilangan semangat untuk menulis, untuk mempublikasikan mimpi, untuk memberitahukan dunia bagaimana aku melihat sesuatu dari mataku, bagaimana aku merasakannya. Resah sekali rasanya saat melihat teman-teman dengan tulisan-tulisannya yang berbobot dengan bahasa ilmiah mereka,kutipan-kutipan mereka yang menunjukkan betapa.....entah kata apa yang pantas untuk menggambarkan mereka, intelek, keren, kece, ah apalah, yang jelas mereka sangat menginspirasi. Pada akhirnya aku menginginkan kemampuan untuk bisa menulis seperti mereka, aku berpikir, apa saja yang aku lakukan selama ini? Menulis di blog personal dengan cerita-cerita seorang mahasiswi yang baru saja mentas dari masa-masa remaja ababil, aku merasa aku berada ribuan langkah jauh di belakang mereka. Gelisah, sangat. Malam ini aku melakukan percakapan singkat dengan salah satu kakak kelas waktu SMA kemarin, seorang yang sangat menginspirasi baik track record hidupnya, organisasinya, kecintaannya kepada anak-anak, juga usahanya hingga sekarang ia didaulat sebagai Pimpinan Umum PERSMA di kampusnya, siapalagi kalau bukan Mbak Irma. Waktu aku menceritakan keluh kesahku tentang kesulitanku untuk menulis ini, dia menjawab dengan jawaban yang sangat sederhana tetapi cukup untu membuatku menulis pos ini dan pos-pos selanjutnya--semoga istiqamah. 
"gak usah mikir ini itu, ungkapin yang ada di otak saat itu juga, gak usah liat dan hapus kalimat yang usah ditulis sampai kamu merasa cukup
"ungkapkan dengan bahasa sederhana


"gak semua hal harus dibahasakan ilmiah to"
Percakapan singkat yang nggak ada 15 menit ini sangat berharga. Kenapa? Karena aku lagi-lagi diingatkan hal yang tanpa sadar aku lupakan. Aku lupa menulis dengan jujur. Aku lupa menulis dengan bebas tanpa ada patokan apapun--kecuali menulis makalah atau paper untuk dosen. Aku terlalu sibuk celingak-celinguk melihat contoh sana-sini tetapi lupa, setiap orang punya gaya mereka masing-masing untuk menulis. Aku juga terlalu sibuk mengagumi tulisan sana-sini, menginginkan kemampuan untuk menulis seperti mereka tetapi lupa berlatih--hah keledai. Aku terlalu khawatir dengan hasil tulisanku yang bisa saja dinilai orang lain tulisan terburuk sepanjang abad, padahal setiap orang punya prosesnya masing-masing. Ya, aku lupa menulis dengan jujur.

Is it Writer's Block?
Pada akhirnya aku berani menyimpulkan bahwa apa yang terjadi bukanlah writer's block. It's my fault, cause I worried to much. Ini bukan writer's block, karena sebenarnya yang bermasalah adalah kepercayaan diri(ku) untuk merangkai kata demi kata. Bukan kawan, ini bukan writer's block, karena masalahnya adalah aku tidak fokus dengan apa yang akan aku tulis, terlalu banyak ekspektasi yang tidak aku susun dengan apik, akhirnya berantakan dan membuyarkan titik fokus. Now, It's not.

Jam dinding menujukkan pukul 2.21 waktu Indonesia  bagian barat. Sisa teh di dalam cangkir sudah tak lagi hangat. Jurnal hari ini sukup sampai di sini, mari ditutup namun jangan terlalu rapat. Karena esok pasti akan ada lagi masanya si Jari untuk bersilat.




Friday, January 10, 2014

Get Lost II : Tilik Museum

Follow my blog with Bloglovin
#latepost

Sedikit sedih karena post ini harus ditunda selama 1 malam. Terima kasih serangan migrain dan radang tenggorokkan akibat kebodohan sendiri meminum softdrink dingin di hari yang panas. Jalan-jalan kemarin disponsori oleh kegabutan mahasiswa di tengah liburannya. Begini ceritanya...

Pukul 7 pagi, saya masih di rumah, menerka-nerka kegiatan apa saja yang mungkin bisa saya lakukan hari ini, yang pasti tidak akan seperti kemarin, akibat jogging tanpa pemanasan sebelumnya, jadilah kaki dan badan sakit semua—I’m wondering when was the last time I do this kind of activity, alhasil hanya membunuh waktu dengan membaca novel, online, membaca novel di kamar—persis seperti babi.

Pukul 8 pagi, selesai mandi, sarapan, ngelenong, dan aktivitas tak terduuga lainnya, seperti mencari headset dan buku catatan. Yang terakhir saya harus berterima kasih kepada adik tercinta yang meminjamnya dan entah ditaruh di mana setelahnya. 8.15 WIB saya baru meninggalakan rumah, berbekal handphone plus headset Sang ibu, dompet, novel yang sedang saya baca, buku catatan, pulpen, payung, dompet recehan—kita tidak akan pernah tau kan berapa banyak pengamen di Metro Mini nanti, dan last but not least  mukenah—jangan sampai jalan-jalan yang maksudnya ingin memuji kebesaran Yang Menciptakan justru membuat kita lupa absen denganNya.

Perjalanan pertama dimulai dengan menaiki Angkutan Kota berupa Minkrolet atau biasa disebut dengan Angkot dari gang depan rumah sampai ke Jalan Raya Ciledug. 8.30 WIB, asar Kreo masih saja ramai pengunjung, ibu-ibu yang keluar masuk pasar dengan teng-tengan kanan-kiri dan peluh yang menetes di dahi mereka, tetap tidak menghentikan langkah mereka untuk belanja kebutuhan hari ini, mungkin juga besok.

15 menit menunggu datangnya Metro Mini 69 yang akan membawa saya hingga Terminal Blok M. Jarang sekali, perbandingannya1:10 untuk mendengarkan kata, “silahkan mbak yang duduk” kecuali di situasi tertentu, seperti saat modus misalnya, dari seorang laki-laki yang duduk di bangku penumpang menawarkan tempat duduknya untuk wanita di depannya yang berdiri. Beruntung saya masih mendapat tempat duduk di bari belakang, walau bukan barisan favorit. Saya duduk dengan seorang laki-laki berumur sekitar 50an. Scanning. Saya rindu naik bis di jalanan Jogja sampai Solo yang biasa saya lakukan saat saya ingin ke jogja atau sebaliknya. Di mana, saya masih bisa bertegur sapa dengan penumpang lainnya, di sini semua orang seakan memasang plang dengan tulisan besar-besar “JANGAN GANGGU AKU” dengan telinga yang tersumpal headset mereka masing-masing, entah musik apa. Oh, mungkin begini memang wajah ibukota, kata saya sambil memasang headset, The Temper Trap menyemarakkan imajinasi dengan Sweet Disposition-nya.

Sesaknya Metro Mini pagi ini.
No matter you're a female or male, when you don't get a seat. It means you DON'T get a seat.

Terminal Blok M, pukul 9.00 WIB. Dan saya masih belum tahu harus ke mana. Ikuti saja ke mana kakimu melangkah, katanya Si Hati. Masuk ke terminal bawah tanahnya, saya membeli tiket Transjakarta. Perjalanan pun di mulai. Sedikitmerasa bersyukur, karena setidaknya kaki saya tidak melangkah keluar terminal untuk menuggu Bis P.125, Jakarta pagi ini macet, seperti biasa. Sedikit tips, jika anda ingin berjalan-jalan di Jakarta, asumsikan anda sedang berada di kota di mana jalur transportasinya tidak hanya macet tetapi macet banget, sehingga anda akan memulai perjalanan lebih pagi lagi.

Halte Masjid Agung, terlihat beberapa pekerja proyek yang sedang menggali tanah untuk proyek besar Bapak Gubernur untuk mengeluarkan warga Ibukota dari masalah macet. Semoga bisa cepat rampung dan nggak hanya sampai tiang-tiang bernilai miliaran yang tidak genah apa fungsinya akibat mandeknya proyek tersebut. Transjakarta memang alat transportasi umum bebas macet, jelas karena angkutan umum ini memiliki jalan khusus bebas hambatan, belum lagi alat transportasi ini sudah terintegrasi dengan bis-bis dari luar-dalam kota, semakin mudahlah akses warga Ibukota, rasanya sudah tidak ada lagi alasan untuk menggunakan kendaraan pribadi, stuck di tengah macet berjam-jam untuk sampai ke tempat tujuan. Kalau kita naik angkutan umum, kita juga bisa mengurangi kemacetan kan? Udah 2014 nih, udah nggak jaman lagi, kita mikir naik mobil bakal keliatan mentereng dll. Karena akan percuma saat kita menuntut Pemerintah untuk mengurangi kemacetan tetapi dari warganya sendiri nggak bersinergi dengan regulasi yang dikeluarkan pemerintah.

Balik lagi ke cerita.
15 menit kemudian Transjakarta telah sampai di halte Monumen Nasional. Saya turun di sana, setelah duduk sebentar, dan membuka aplikasi Google Maps, melihat tempat-tempat menarik terdekat yang dapat saya sambangi. Ada Museum Nasional dan Monumen Nasional, akhirnya pilihan jatuh di Museum Nasional. Lampu hijau untuk pejalan kaki sudah menyala, dengan buru-buru saya melintasi zebra cross, namun masih saja ada pengendara yang menyerobot lampu merah saat lampu hijau pejalan kaki belum juga berganti merah.

10.30 WIB, dengan hanya merogoh kocek sebesar Rp 5000,- saya sudah dapat berkeliling Museum Nasional. Museum yang lahir pada tanggal 24 April 1778 ini memiliki koleksi Arca, hasil-hasil kebudayaan dari suku-suku yang ada Indonesia dari Barat hingga ke Timur, melihat hasil kerajinan tekstil, keramik, dan lain sebagainya.

Interior dan isi dari Museum Nasional ini emang keren banget. Di dalam juga tempatnya adem, nyaman pula dan yang paling penting, benar-benar bikin saya bangga dengan Indonesia akan hasil kebudayaan, keberagaman dan keunikan masing-masing suku yang benar-benar menggambarkan Indonesia adalah negeri yang kaya akan budaya.

Saat itu saya sedang berada di tempat kebudayaan Suku Asmat. Tiba-tiba ada serombongan pengunjung warga negara asing yang datang dengan didampingi oleh pemandu wisata. Saat itu juga saya sadar, sedari tadi hanya saya satu-satunya pribumi yang ada di ruangan saat itu, sedang 3 orang lain pribumi lainnya baru saja keluar ruangan. Dan lainnya adalah warga negara asing. Bahkan kemirisan negeri dapat dilihat dari Museum. Entah sudah berapa banyak uang yang dikeluarkan pemerintah untuk membagun, memperbaiki dan mempercantik Museum agar diminati oleh setiap masyarakat. Miris saat melihat ternyata warga negara asing lebih mengapresiasi benda-benda yang ada di Museum, selain itu secara tidak langsung pemerintah hanya menggelontorkan dana miliaran rupiah hanya untuk menyenangkan para turis saja. Ke mana para pribumi? Apa kita sudah sangat percaya diri akan segala budaya yang kita miliki? Tetapi jika kita bahkan tidak mengenalnya, bagaimana cara kita mengapresiasinya? Sekarang menjadi wajar saat ada kasus pencurian barang-barang berharga Museum, mungkin saat itu pencurinya berpikir, “Jika saya mencuri ini, mereka juga tidak akan tau. Mereka kan tidak peduli, jadi tidak akan ada bedanya antar ada dan tidak adanya barang ini.”

Dan ini beberapa yang bisa saya tangkap dari kamera telepon genggam sederhana saya

Deretan Arca yang ada di depan Taman Musium Nasional

Sepanjang lorong ini diisi dengan peninggalan arca-arca dari jaman kerajaan Hindu dan Budha

Beberapa koleksi Arca lainnya

Salah satu relief yang ada di Museum Nasional

Taman di Museum Nasional

Seperangkat Gamelan Bali

Kalung Gigi, hasil kebudayan masyarakat Dayak

Ayo berkunjung ke Museum!

11.30 WIB saya keluar dari Museum Nasional. Duduk di halte sebentar untuk memikirkan lagi ke mana lagi saya akan pergi. Terima kasih atas segala pelajaran yang tersampaikan lewat bahasa bisu, semoga bisa jadi bekal untuk diturunkan ke anak cucu.


Kaki, ke mana lagi sekarang? Saya belum ingin pulang.




Wednesday, January 8, 2014

Get Lost I: MeRaya ke Jakarta

Setelah 1 semester pertama akhirnya terselesaikan juga pergulatan tahap 1 dengan para dosen, mata kuliah, jadwal yang saling bertubrukan dan tugas-tugas yang berkembang biak bagai Amoeba. Akhirnya aku meRaya ke Jakarta. Ibu, aku pulang. Ke tempat penuh sesak, ramai, di mana kesenjangan sosial sangat terlihat jelas, dengan Gubernur baru yang tengah membenahi sistem dan infrastrukturnya dengan kekompleksan warganya, namun tetap saja aku panggil tempat ini rumah. Jakarta adalah sebuah rumah, bagiku dan bagi 9,6 juta manusia lainnya. 

Kali ini aku tidak sendiri. Tidak-tidak, maksudku bukan hanya dengan musik, atau cemilan atau air mineral atau imajinasi, tetapi benar-benar dengan seseorang. Nenek atau Eyang atau Simbah tolong jangan hilangkan H-nya. Beliau yang kali ini menemani perjalananku. Sedikit ralat, kali ini aku yang menemani perjalanannya. Pertama kalinya, aku harus berpergian jauh dengan orang tua yang notabene berumur puluhan tahun dan hanya berdua. Ini merupakan sesuatu yang baru bagiku. 

Jujur saja, aku sedikit menggerundel dalam hati saat melihat atau mendengar bagaimana sikap beliau. Baik saat persiapan--Beliau ingin membawa segala barang untuk oleh-oleh anak tersayang katanya. Belum lagi pertanyaan-pertanyaan beliau, entah tentang kekhawatirannya tentang bagaimana jika nanti di Jalan akan ada A atau B atau C atau abjad-abjad lainnya. Juga pertanyaan-pertanyaan retoris beliau yang selalu hadir di setiap menit perjalanan.

Butuh waktu sekitar seperempat perjalanan di atas bis Raya yang terus melaju di jalanan Solo menuju Semarang untuk memahami ini. Aku tipikal orang yang tidak ingin diganggu saat sedang memasang headset, mendengarkan White Shoes And The Couples Company dan membaca buku di sepanjang perjalanan, tiba-tiba harus menjawab pertanyaan-pertanyaan retoris yang, jika beliau berumuran sebaya sepertiku, aku mungkin akan menjawabnya dengan, "Yaelah Sob, gitu aja ditanyain."

Siang itu juga, aku sempat mengirim sms untuk Ibu di Jakarta, mengabarkan kami sudah dalam perjalanan sekaligus bilang kegusaranku atas ini. Namun, jawaban Ibu kali ini berbeda, dengan tawa renyahnya iya bilang, "Kamu jangan gitu... Nanti juga ngerasain, jalanin aja, berbakti sama Simbah..."

Sederhana memang, tetapi cukup membuatku terdiam sejenak dan berpikir tentang apa yang aku pikirkan selama ini. Kata-kata Ibu "nanti juga ngerasain..." awalnya aku telan mentah dan sukses mendapat respon dari otak "Idih ogah amat jadi kayak gitu..." Tetapi soal situasi di depan sana, siapa yang tahu, masih ada waktu yang kapan saja bisa merubah, dan ada Dia yang dapat membolak-balikkan segala keadaan.

Aku jadi berpikir, mungkin memang begitu siklusnya, menjadi seorang bayi yang baru dilahirkan, menjalani proses sosialisasi, menerima bantuan entah berjalan atau makan atau buang air kecil dan besar, menjadi balita, anak-anak, tumbuh menjadi seoarang remaja, menjadi orang dewasa dan setelahnya waktu berhasil mengubahmu menjadi manusia tua dengan uban dan keriput, mungkin juga tongkat atau alat bantu lainnya. Mungkin memang begitu prosesnya, semakin kita tua, tanpa kita sadari kita kembali menjadi anak-anak, raga yang sebelumnya gagah, kuat, independen kembali lagi menjadi raga layaknya bayi saat kita tua nanti, rapuh, renta, tergantung kepada bantuan orang lain(atau alat lain).

Perjalanan kali ini mengajak aku berpikir kembali tentang bagaimana seharusnya kita memperlakukan dan berpikir tentang orang tua. Karena bagaimanapun juga, mereka(orang tua) yang berjalan lambat di depan kita dengan tongkat, rambut yang memutih, kulit yang keriput dan tubuh yang menggelambir, mungkin adalah gambaran dari kehidupan masa tua kita nanti. Who knows.




Friday, January 3, 2014

Bad Coffee



Maybe now we're entering an era where being somebody else is a must
being somebody else is something that we can't refuse cause the society forced us to do so
that the society asked us to have one more face
and more face
and more and more face

And we will enter that era where we loose ourselves
but we don't even realize it
cause we're just too busy beautifying a new look
don't care where the last time we put ourselves on
who cares?! they like us this way

And that time, where being somebody else becomes a new addiction
deep inside, you know you hate it
but, it's been a part of you
and you can't put it off or even leave it

And that time you will feel like
you're drinking a cold coffee
bad thing to drink
but you do it anyway


--------------------------------------------------------------------------------------------------------



N.B:
sometimes it's the photo you took
the post you made
the song you wrote
that speak louder than your voice.






Wednesday, January 1, 2014

Closing 2013's Gallery



Family, friends, playlist, places, sunsets, coffees, books, movies and all the things that made my year!
Thanks for the memories! Hope that everything will be alright like we all want it to be.
Let's open the new journal, and now the page 1 of 365 begin!



2013's Bullets

No. it's not like I would tell you that I got shot by 2013 bullets or even mention 2013 bullets. It's about the thing that meant so much to me in 2013 that I should give bullet about it. let's check these out!

  • January
A daddy's birthday on the first day of the month had successfully made me feel blue for the whole New Year's Eve Party, like what it used to be for the last 3 years. This is the most tiring month of the year, where I should prepare for the National Exam and The Gymnastic Practical Exam. I was like leaving house at 6.30am and got home at 9pm, schooling, taking course, practice, sleep for 3 hours and it goes on routine over and over again that I feel like I might just throw up all the time. My habit of consuming coffee was going deep, but I can still control myself.

  • February
My daddy's "leaving-day" was in this month. 22nd Feb. It's been a deep black mark on this month for the last 3 years, and I think it's always gonna be like that for the next years. It's a "Love-month" they said. Well, for me it is. I got a kind of puppy love (Actually I barely use Monkey-Love, cause, yes I love puppy and I hate monkey, and this is what I hate). laugh and tears at the same time. I feel like, "Dammit! what kind of hell you put me through?!" but that's ok, I still went on and on, thank you for my silly people Cawetranger(don't mind the name, I told you silly group right?) for keeping me up up up up and accompany me whenever wherever. They are not just bunch of best friends for me, they are more like siblings, brothers and sisters, trash bags, diaries, pisuhable when you get mad or something but they never got mad, I love them. I was like finding my precious thing in this month and the bad thing as well for the broke up, of course (Now I feel like Gollum in Lord of The Rings). 

  • March
Getting closer to the National Exam's day, and still aching for the heart break someone put me through. Ever made a post here, entitled "She" and "When a Jerk Met That Naive Girl" to release the pain, and now I read them all and I feel like "EWH! how disgusting I was!" Haha but that's fine, everybody got that time for feeling hurt and feel embraced at the next day, right? This month, my habit of consuming coffee was getting uncontrollable! My stomachache  flare up more often and the migraine and the insomnia, stressed out by the "emotional-damage" and the pressure for the National Exam preparation. I feel, I'm fucked up for those shits around me. I tried not to give a shit out of me, but yes my blood type(which is A)'s instinct said, I can't and gotta think of it over and over again and deal with it. I got no escape.

  • April
This was the month! The month of National Exam. what I was doing in this month were studying harder and harder in injury time, suck I know. I should catch all the targets of the subject that I missed in Grade 11 cause I took too many dispensation for months, feeling like a college student and taking aside my academic stuffs. Hell yeah-_-' I promise to myself and to God not to consume coffee since day-a month to National Exam. My mom, Cawetrangers, friends, teacher, aunty start to worry about my habot of consuming coffee, cause I consumed it like in the morning and evening, just like an old man. And by the end of the month I got finished it. Yea! High School time was over by the last day of the National Exam on Thursday. I remembered, the time when we finished our(me and Cawetrangers) tests, we sat in front of the classroom, talking things we never knew we're gonna miss, laugh like we own the school and feeling hungry like a zombie craving for human's brain. Bu Tukino as my favorite supporter on Logistic sector was off that day. So we went to Ledoksari and played cards, watched movies, order Indomies, happiness is a simple thing, isn't it?

  • May
My mommy's birthday was on 28. I can't go back to Jakarta for the preparation of the SBMPTN with Cawetranger. Yes, we did study together, work together and laugh together, even I know we laughed more than we study that time. The first time I feel guilty for being dumped by my dream university, from my dream faculty and department. That's ok, cause I got 10 buddies that didn's get the golden ticket tho HAHA :v I remembered the first time I opened the announcement that time in Adha's and we just like smirked and said(started by me)  "ora entuk hahaha..." and we just laughed it off. But the time we arrived in our own home, we texted each other "iki tenan ra entuk?" you know how silly we were now. May made me worked out to loose some weight. This is no hoax. I lost my 7 kilos weight by the worked out, the jogging(3-4 times a week), the healthy food and drink, healthy sleeping time, and positive mind. This is surprised me, cause I dont think I can do this before, but back to my motto, "You are what you think you are" And I got the willing, so there I was. But don'y ask me for my right now-weight, I think the 7kilos that ran away that time, has got back.

  • June
The happiest and the saddest part of my life. Get outta the High School and separating with friends and Cawetrangers. Well I've lost some of my targets but God gave me another thing to substitute my target that is not even worse than my goal. Thank God. and yep I got the Kebaya that fit with me and my high heels for graduation day, that's great! And that time I got a news that the announcement for the university's test were fastened. Once again, I should thank God for placing me in the department I wanted the most since I was in Grade 11, Communication Science Department. I remembered how I opened the announcement through the website, and I got fever right one night before the announcement, I'm scared as hell if I don't get that chance, and right when I read that "Selamat Anda diterima blahblahblah..." I was like, "Thank God!" and kneel down, putting my head on the floor, for thanking God for making this kind of dream came true. And I got back to Yogya and to Solo right 2 days after the announcement. Lived in a rush in summer time, Well, I did.

  • July
My birthday's in this month. 24th. But the thing is, I don't remember what I got or what I did in My-Day. Except for the dinner with my buddies in Lingga's Angkringan, and getting birthday greeting from my brother, Mas Jovi for the very first time, it's surprising me since he never remembered my birthday before. That's all. The rest? I accidentally forgot it.

  • August
Gotta move to another city to continue my study in Surakarta(Solo). I can't believe that I've been in love with Gunungkidul, a place that I never ever planned to move to. Now I'm like, someday my hair turns to grey, and I got a lot of grandchildren, I should build a house here, it's gonna be a perfect place to enjoy my old days. Another tiring month, cause I got OSMARU, that's when I got a lack of sleep, hell much. And since I'm a newbie here in Solo, I often got lost, the worst was I got lost in the last day of OSMARU, so I got home too late-_-" and when I wanted to go to campus, again, I got lost to the place I've never been before, asking too many people but still, and after 1 hour turning around at the same place, finally I got that right way. August was about getting lost(literally), and finding the right way.

  • September
Trying to know the rhythm of the college's life. I joined one activity that influenced my point of view about college's life, student, and dream. Sekolah Penerus Bangsa, presented by BEM UNS. It's my honor to join this activity, everybody's here inspired me so much, deep inside, I wished I could be like them someday. Even better. An inspiring month? It is.

  • October
My sister's birthday was in this month. 16th. I remember how she begged for a birthday's present to me, "Mbak Anin...hadiahin aku flashdisk dong.." lol, sometimes this lil girl could be this innocent, cause if I were her, I would wish for another thing-_-' Makrab KMF is the coolest thing in this month. I met those people who are hilarious and kind and as absurd as I am. This month I came back to Gunungkidul for Eidl-Adha. Helped people to share the meats, it was great even after that I got a backache. This month I found an essential of taking journey, that it's better if I do it alone,cause I can enjoy all the talks with strangers, and enjoy my music and so. And I found that, people would care about us if we just took our time to care about them more.

  • November
Rain is coming!  But that doesn't matter. I love it tho(unless the part of I get myself rained, with my jacket's on, cause by then I'll get my allergic flare up). Great event in this month? Dialog Kebangsaan of course. That was the first time I see Wiranto, Hidayat Nur Wahid, and Yasin something (Makassar's Governor). And my favorite speaker is Mr. Yasin, the way he talked told us much that he's capable on what he's doing right now. In this month, I started to love Solo, especially the beauty of Solo in the night. That's why I'd rather going back home after Maghrib or around 7pm, first of all of course, I wanted to rip myself from the traffic jam that I might got, then I wanted to enjoy the lights, the serenity inside of my playlist, the people with their own activities. I almost catch the end of the semester here, and the lecturer just did good for giving us such as uncountable assignments.

  • December
Thunderstorm! The weather made my bed felt comfort every morning that I didn't want to separate myself from this thing. Cool event? Mata Najwa on Campus by Metro Tv! They invited Joko Widodo, Ganjar Pranowo, Abraham Samad, and Jusuf Kalla. Can't believe that I'm a lil closer to them, even though I got no chance to ask my question for them, sad I know :( The lecturer're giving us more and more assignments, typical of college's student in the last semester, being a library attendant. lol I've got the rhythm of the college's student(I guessed?) like finally, have my buddies in crime, and got the first chance to sing for an event after a long-long-long time. The weather is just not friendly enough to me, that sometimes I put on my jacket upon my cardigan on my long sleeves to keep my allergic out. Sadly I cant go to Jogja for New Year's eve to just gather with Cawetrangers, this time, rain ruined. But that's fine, I spent my new year's eve in front of my laptop, called my momma, and having a long-long-long chat with my friends and trying to make this post out last night but yes I got a lil writer's block here cause of a brain damage, so it's hard for me to remember moments, hope you guys understand. As I always did for the last 3 years, missing my daddy in the New Year's eve is a kind of thing that I uncontrollably did, now I got used to it. Happy birthday dad.


That's my 2013's bullets. Can't remember all those stuffs there in 2013. And so, that's the end 2013. Page 365 of 365 has been written, time to close the Journal and prepare for a new Journal with "2014" as a title, the pen, and those surprising moments that God has prepared for me.

Happy NewYear, New Dream, New Desires, New Days, New Ways, New You everyone!