Wednesday, January 22, 2014

Rumah.

Selamat malam dari salah satu sudut kota Tangerang, tepatnya dari Cipadu; kawasan perniagaan khususnya tekstil yang santer diberitakan omset per harinya mengalahkan Pasar Tanah Abang di Jakarta. 24 derajat celcius, cukup dingin dari hari-hari biasanya, bagaimana tidak, hujan terus mengguyur kota ini semenjak 3 hari yang lalu. Tak heran ketigabelas sungai yang mengalir di tubuh Jakarta ikut meluap, mengakibatkan banjir di berbagai daerah, begitupun daerah-daerah di luar Jakarta yang berada di sekitarnya. Jakarta dikepung banjir, begitulah headline berita di televisi dan media massa lainnya.

Pertama, aku akan mengatakan bahwa (alhamdulillah) tempat tinggalku bukan merupakan wilayah yang pasti kedatangan tamu 5 tahunan sekali atau sepertinya Si Tamu sekarang memajukan sedikit jadwalnya menjadi 1 tahun sekali. Walaupun sedikit tenang, siapa bilang aku dan orang-orang yang tinggal di wilayah ini tidak ikut pusing dengan banjir yang ada di setiap sudut kota. Bagaimana tidak, dari mulai genangan air setinggi 50cm atau setinggi betis orang dewasa hingga 5 meter sudah sukses memutuskan akses para warga untuk melakukan aktivitasnya masing-masing. Anak tak bisa sekolah, orang dewasa tidak bisa bekerja, para ibu pusing karena di saat yang bersamaan harga bahan pokok melonjak drastis, sementara itu yang lainnya sibuk merekam segala keluhan, situasi dan kondisi sekitar untuk dijadikan bahan tulisan.

Apa yang kalian ingat jika mendengar kata Ibukota negara kita? Kebanyakan sih menjawab "Macet, Banjir dan Sampah". Setidaknya lebih banyak yang ingat akan 3 hal tersebut dibandingkan dengan "Monas, Ondel-Ondel, Mall, atau setidaknya Ancol." 3 ikon buruk itu berhasil menggeser ikon baik lainnya, nila setitik rusak susu sebelanga. Curah hujan yang terus menerus mengguyur kawasan ibukota dijadikan tersangka atas terjadinya banjir di ibukota selama hampir 2 minggu terakhir ini. Semoga Tuhan memaafkan hambaNya yang telah menganggap berkah yang Dia turunkan sebagai suatu hal yang justru dibenci. Namun, sepertinya kita memang harus menelan bulat-bulat omongan kita saat merutuki hujan yang turun, karena seperti yang dilansir dari harian online Tempo, Kepala Bidang Peringatan Dini Cuaca Ekstrem BMKG, Achmad Zukri mengatakan,
"penyebab banjir di Jakarta tahun ini bukan karena faktor alam. Sebab, curah hujan di kawasan Ibu Kota pada 2014 lebih rendah dibanding 2013 ketika terjadi banjir lebih besar."
Kalimat barusan cukuplah untuk menyumpal mulut mereka yang masih saja merutuki nikmat Tuhan. Di luar apakah curah hujan yang memang lebih rendah dari tahun sebelumnya--jujur saja aku tidak terlalu memperhatikannya karena sekali hujan berarti hujan, nikmati saja kesyahduan suasananya dengan secangkir kopi atau coklat panas, banjir yang terjadi di ibukota tidak hanya sekadar peristiwa yang disebabkan oleh alam, karena manusia juga ikut berkontribusi di dalamnya(bahkan lebih besar konstribusinya tinimbang alam itu sendiri). Maksudku, sederhana saja kawan, air akan selalu mengalir ke tempat yang lebih rendah bukan? Anak SD pun tahu akan hal itu. Lihat sekarang letak geografis ibukota memang sudah berada di dataran yang lebih rendah di banding dengan kawasan Bogor. There's no such thing as 'banjir kiriman'. Sudah tau begitu, masih saja para pemilik modal membangun gedung-gedung bertingkat, menyedot air tanah secara berlebihan, yang membuat permukaan tanah di ibukota semakin turun. Belum lagi lahan-lahan yang seharusnya dijadikan taman kota berubah menjadi hutan beton, dibangunlah pusat-pusat perbelanjaan, tak ada lagi berjalan beralaskan tanah merah atau rumput hijau yang menyegarkan permukaan kulit kaki, digantikan dengan aspal panas yang disediakan untuk kendaraan yang pertumbuhannya makin tidak bisa dikendalikan, bahkan oleh yang-membuat-regulasi. Masih dari pemilik modal, belum cukup dengan metamorfoshit yang sudah dilakukan, sekarang ia pergi ke daerah yeng lebih tinggi, berpikir, 
"Orang-orang yang tinggal di hutan beton sana itu adalah survivor, mereka bekerja siang dan malam, mereka akan lelah, suasana di sini menyenangkan, mereka pasti menyukainya, mereka pasti mau beristirahat di sini. Akan aku berikan tempat peristirahatan yang tidak akan mereka dapatkan di tempat mereka sekarang tinggal."
Di bangunlah berhektar-hektar tempat peristirahatan, untuk menyenangkan orang-orang kota, untuk meningkatkan pendapatan daerah, untuk berbagai macam alibi yang hanya menguntungkan beberapa pihak saja juga kebahagiaan sementara bagi para warga sekitar. Di waktu yang bersamaan, 'tanah tinggi' itu kehilangan berhektar-hektar hutan lindungnya yang selama ini telah menjadi savior untuk wilayah yang lebih rendah, yang menahan air, mencegah banjir, tanah longsor segala hal yang lebih bermanfaat bagi umat, tidak hanya bagi beberapa saku orang saja. Hampir saja lupa, beberapa kali aku menyebutkan kata 'pemilik modal' tak perlu jugalah kalian yang membaca ini 'pemilik modal' berarti mereka yang membangun gedung-gedung bertingkat dan lain sebagainnya, karena toh mereka yang memiliki uang tiga ratus ribu rupiah untuk membangun kios 3S(Sederhana dan Sangat Sempit) di bantaran kali pun juga termasuk para 'pemilik modal'--lebih jelasnya pemilik modal yang melakukan dosa-dosa ekologis.

Dosa Ekologis. Pernah diangkat di program pagi salah satu televisi swasta. Kata-katanya cukup untuk menohok (mereka yang senantiasa terus membuka mata, telinga, pikiran juga hati mereka). Karena seringkali masyarakat terlalu sering menuntut A-Z agar kotanya bersih, agar kotanya indah, agar kotanya apik, agar kotanya aman, dan berbagai pengharapan lainnya. Tidak ada salahnya berharap kepada pemerintahan yang orang-orangnya sudah mereka pilih langsung, namun pengharapan-pengharapan tersebut hanya akan menjadikan mereka masyarakat yang naif ketika bahkan kinerja pemerintah tidak bersinergi dengan perilaku masyarakat itu sendiri. Itulah masyarakat kita terlalu fokus dengan hasil namun lupa akan satu hal yang selalu ada dibalik hasil, apalagi kalau bukan proses itu sendiri. Bahkan pemerintah yang baru saja memasuki tahun keduanya memerintah sudah menerima kecaman "Lah ini masih banjir juga!" Maksudku, ayolah kawan, bahkan bayi yang baru lahir tidak bisa langsung berlari bukan? 

Banjir itu Refleksi. Bukan, aku bukan membicarakan tentang pijat refleksi yang ada di pusat-pusat perbelanjaan yang membuat kita merogoh kocek sebesar sepuluh ribu rupiah sampai dua puluh lima ribu rupiah untuk merasakan pijatan dari kursi-kursi besar ajaib yang ditaruh berjejer itu. Banjir adalah refleksi untuk masyarakat, sudah sebanyak apa sampah yang mereka buang ke sungai hanya karena alasan "Nggak ada TPS deket sini." atau "Tukang sampahnya nggak sampe sini, kalo nyuruh sampe sini bayarnya lebih mahal" atau ke jalan atau ke tempat-tempat lainnya selain tempat sampah. Banjir adalah refleksi bagi masyarakat, sudahkah seharusnya mereka pindah rumah, dari bantaran kali ke rumah-rumah susun yang telah disediakan pemerintah, selain menghindari banjir sekaligus ikut menyukseskan program pemerintah dalam membebaskan lahan di bantaran sungai. Tidak hanya untuk masyarakat, banjir adalah refleksi untuk pemerintah kota sudah sejauh mana keseriusan mereka dalam menangani hal ini, sudahkah mereka benar-benar mendengarkan kata-kata dari ahli lingkungan, ahli tata kota atau ahli-ahli lainnya tanpa hanya menjadikan pendapatan daerah, ekonomi, kota bisnis dan lain lain sebagai tameng. Banjir juga merupakan refleksi bagi seluruh lapisan, baik masyarakat dan pemerintah daerahnya, bahwa masalah banjir yang terjadi di ibukota bukanlah suatu hal yang bisa dituntaskan sendirian, karena kompleksnya masalah ini perlu adanya kerjasama antar masing-masing daerah untuk menyelesaikannya. 

Ibukota sudah menjadi tempat hidup bagi kurang lebih 9,6 juta jiwa.
Sayang sekali, beberapa dari mereka hanya sekedar hidup.
Tak ada bedanya dengan parasit.
Mengambil segala keuntungan dan membuat tempat yang didiaminya mati.
Andai saja seluruh 9,6 juta manusia ini merasakan ibukota sebagai rumah.
Rumah yang akan senantiasa dijaga dan dirawat.
Karena, ke mana lagi kita akan pulang kalau bukan ke rumah kita sendiri?
Begitulah rumah, seburuk apapun keadaannya tetap saja selalu membuat kita nyaman. Jika yang buruk saja sudah membuat kita nyaman, apalagi jika keadaannya sangat baik? #BetterJKT





2 comments:

  1. Iya kesel juga sama yg suka nyalahin alam. Ini mah salah kita yg jadi manusia ga becus ngejaga bumi ini.
    Alhamdulillah di sini ga kena banjir, tapi cuma bisa ngebangke di rumah aja. Dininabobokan hujan dan suhu dingin.

    ReplyDelete
    Replies
    1. iyap betul banget, tapi banjir bukan hanya masalah buat mereka yang kebanjiran, soalnya yang kena imbasnya rata ke semua orang hehe-_- hujan jadi kehilangan esensinya sebagai berkah gitu di mata masyarakat. Semoga ke depannya bisalebih baik lagi :)

      Delete