Saturday, June 21, 2014

Berbagi Rasa

Hujan. Malam itu hujan gerimis mengguyur Kota Solo.
Dingin. Hangatnya Solo tak terasa, entah pergi ke mana.
Rapat. Kurapatkan lagi sweater yang kupakai, memanjangkan lengannya hingga menutupi jemariku.

Tapi, di sini berbeda dengan di luar.
Di mana ratusan orang berdiri berhimpitan, memandang satu panggung yang bermandikan cahaya lampu sorot berwarna-warni.
Ada yang berdiri, tertawa haha-hihi dengan sahabat sejawat.
Ada pula yang menikmati romantisme konser kecil, bergandengan tangan walau tidak ingin menyebrang dengan kekasih tercinta.
Ada lagi yang berdiri sendirian di tengah keramaian, gegap gempita, suara riuh rendah, menikmati setiap bait lirik yang dinyanyikan, menyelami dirinya sendiri, bahagia sendirian.



Tak perlu tertawa atau menangis
Pada gunung dan laut
Karena gunung dan laut
Tak punya rasa

Bukan lagu pertama yang dimulai malam itu. Bukan lagu yang dinyanyikan paling keras juga pada malam itu. Bukan lagu yang paling terkenal juga saya rasa, mengingat single pertama yang dikeluarkan adalah “Angin Pujaan Hujan”, yang menurut penilaian pribadi, adalah lagu yang dinyanyikan paling keras malam itu.

Cerita Tentang Gunung dan Laut mengingatkanku dengan teman-teman, tidak-tidak, hanya diriku sendiri. Seringkali saat aku bersedih, merasa bahagia, bersemangat, atau merasa penat dengan segala rutinitas yang selama ini membelenggu, yang ingin aku lakukan adalah pergi ke manapun, asal jauh dari tempat di mana aku melakukan segala kegiatanku, laut misalnya(hanya ke laut, karena sampai detik ini Mama belum juga memberikan izin untuk pergi ke gunung).  

Di sana di bibir pantai, kadang aku hanya duduk saja memandang laut, memandang langit, memandang anak-anak kecil yang asik bermain pasir. Di sana di bibir pantai kadang aku hanya bermain di pinggir pantai, membiarkan jilatan-jilatan ombak menggelitik permukaan kulit kakiku, melangkah dari karang ke karang hingga tanpa kusadari, aku telah jauh dari bibir pantai kemudian kembali ke tempat awal. Di sana di bibir pantai, kadang aku hanya mengambil beberapa foto, foto pasir, foto kerang, foto pecahan karang yang terbawa ke pasir pantai, foto sandal, foto orang , foto langit, foto selfie...

Tapi, biarlah, abaikan apa-apa yang aku lakukan, toh setiap orang pasti punya cara-caranya masing-masing untuk menikmati tempat-tempat terbaiknya. Payung Teduh dengan lagunya yang malam itu menggema ke penjuru Gor Manahan membawaku ke sebuah pertanyaan, 

“Mengapa kita harus susah-suah pergi ke suatu tempat yang jauh dari kehidupan kita, ke gunung atau ke laut untuk melepaskan apa yang selama ini membebani?”

Sebelumnya, inilah hasil interpretasiku soal lagu, kalau memang dangkal atau bahkan salah kaprah, tulis apa dan bagaimana seharusnya di kolom komentar, ajari aku. Kritik atau hina juga boleh, yang penting jangan biarkan aku salah berlama-lama.

Malam itu, “Cerita Tentang Gunung dan Laut” membuat pertanyaan yang tadi sudah aku lontarkan tadi bergema berkali-kali di pikiranku.

“Mengapa kita harus susah-suah pergi ke suatu tempat yang jauh dari kehidupan kita, ke gunung atau ke laut untuk melepaskan apa yang selama ini membebani?”

 Aku mempertanyakan kebiasaanku atau kita atau bolehlah hanya aku saja, yang suka sekali berlari ke tempat-tempat itu, untuk bercerita. Kita menangis, kita tertawa, kita menjerit, kita terbahak-bahak seakan mereka punya rasa, seakan mereka tahu bagaimana rasanya menjadi kita kala itu.

Aku mempertanyakan kebiasaanku atau kita atau bolehlah hanya aku saja, yang senang sekali menyampaikan apa-apa yang kita rasa, menceritakan soal rasa, mengutukki rasa, semua soal rasa, kepada sesuatu yang tak punya rasa.

            Gunung dan laut mereka tak punya rasa, tetapi kenapa kita masih saja mendatanginya untuk berbagi rasa? Aku berpikir, apakah kala itu kita lupa bahwa tak perlu jauh-jauh hingga ribuan meter di atas permukaan laut atau berkilo-kilometer ke pelosok negeri, mencari hingga dibalik perbukitan untuk menemukan ujung dari sebuah daratan dan bercerita, karena sesungguhnya ada di sana, selembar sajadah yang hanya terhitung 3 langkah dari di mana aku menulis pos ini, yang siap menjadi alas sujudku saat berbagi rasa kepada Dia yang menciptakan rasa, yang mengendalikan rasa, yang menghapus rasa. Kenapa harus berkilo-kilometer jauhnya untuk merasakan kedekatan spiritual tertinggi saat sesungguhnya Dia berada sangat dekat, lebih dekat daripada urat nadi kita sendiri?

Aku tak pernah melihat gunung menangis
Biarpun matahari membakar tubuhnya
Aku tak pernah melihat laut tertawa
Biarpun kesejukkan bersama tariannya

Malam itu ditutup dengan sepotong tahu bacem, setengah gelas kopi hitam dan rasa syukur kepadaNya atas makna yang selama ini aku tangkap di waktu-waktu yang tak pernah bisa aku duga. Dia memang selalu saja punya cara-cara istimewa untuk mengingatkan hambaNya.