Friday, February 13, 2015

Tempat untuk Pulang

@ Sebuah Convenience Store di bilangan Senayan

RegularHot Chocolate2 x Hazelnut
1 x Vanilla
1 x Caramel

Jauh atau dekat saat itu keluar dari rumah, saya anggap sebuah perjalanan, karena kita tidak akan pernah tahu, berapa langkah kita dari rumah dan akan bersimpangan dengan jalan orang lain tau takdir-takdir lainnya.

Saya suka berjalan di trotoar , berjalan di jalan yang sudah hak saya. Seperti saya punya kesempatan untuk melihat lebih dekat dan lebih detail. Pantas saja, Pak Endar, ayahnya Denali suka sekali naik motor pelan-pelan, katanya agar tahu apa saja yang ada di sepanjang jalan. Kalimat bukan tentang seberapa cepat kita bisa sampai tujuan, tetapi bagaimana kita bisa menikmati sebuah perjalanan pun jadi terasa realistis. 

Saya juga suka berjalan di trotoar Jakarta, iya saya suka, hanya jika saya mengesampingkan suara mesin kendaraan yang menderu, atau asap knalpot yang mengepul, semuanya saya lewati dengan as simply as putting my headset on, enjoy the song and the memories of people that comes after the lyric. 

Selimut mendung dan Jalan MH. Thamrin


Makin indah kalau sedang mendung-mendung syahdu,  Langit bak tengah menggoda siapa saja untuk tetap di rumah, menyembunyikan kaki di bawah selimut atau sandal tidur hangat di temani teh atau kopi hangat, sambil menonton Tv Series atau sekedar scroll media sosial juga boleh.

Tapi hari ini, saya tengah duduk di salah satu Convenience Store, menunggu hujan reda, setelah berada di bis kota yang mengantarkan saya dari bawah Patung Dirgantara ke Slipi dan beralih ke bis lainnya yang akhirnya menurunkan saya di depan sebuah Mall besar kesekian yang ada di ibukota. Memandang langit, memandang billboard di jalanan, mendengar Geronimo-nya Sheppard, diselingi dengan suara pluit dari Tukang Parkir di bawah, atau klakson dari mobil mewah nan mengkilap. Saya tengah mencoba mencintai kota ini lagi, kota yang kata saya dulu adalah rumah, dan sekarang membuat saya bertanya apakah Jakarta masih bisa dibilang rumah untuk saya?  Tapi, bagaimanapun kota ini pernah membesarkan saya sampai empat belas tahun, hingga kemudian saya memutuskan untuk memenuhi janji, untuk merantau. Entah akan berakhir di mana , saya pikir , kota ini akan tetap menjadi tempat ke mana saya akan pulang. Sehingga tidak mungkin saya hanya mencintai kemudahan aksesnya, kedekatan untuk menjangkau segala tempatnya, kegigihan orang-orangnya untuk bertahan kalau saya tidak mencintai macetnya, banjirnya, kerasnya kota ini. 

Saya tengah mencoba mencintai kota ini sembari mengingatkan diri, di balik macetnya jalanan ada kewajiban sholat 5 waktu yang harus tepat waktu, dibalik mahalnya harga satu kali makan jika dibandingkan di kota kota lain, ada kewajiban untuk bersodaqoh di setiap Rupiah yang kita punya dan bahkan dari remahan makanan yang kita punya, di balik tangis dan tawa yang tersebar, ada harap dan do'a dari mereka yang selama ini gigih berusaha.


Dari orang lain yang datang dan pergi,
di Jakarta.




Sunday, February 8, 2015

Merekam (2)

"Mbak mbak, ngko awake dhewe ning kali sing wingi meneh?(Mbak mbak, nanti kita di kali yang kemarin lagi?)"
"Mbak mbak, aku nek dolan Pe-Es neng kene lho... (Mbak mbak, aku kalo main Playstation di sini lho...)"
"Mbak, aku nasine tambah (Mbak, aku nasinya tambah)"
"Mbak, larinya dari situ aja, aku maunya yang jauh..."
"Mbak, iki lho Petra bercanda terus..."
"Hayoo, katanya jam 4, nanti Tegar di strap lagi sama Bapaknya..."

Hari ini, lokasi pengambilan gambar dilakukan di daerah Jagalan, dekat dengan SD N Kalangan, dan juga berdekatan dengan sebuah rumah yang di dalamnya di penuhi keceriaan anak-anak yang belajar dan bermain, Rumah Ceria. 

Ini kali pertama saya bertandang ke Rumah ini, bersama Tim kami, Tasya, Tegar dan Petra. Meminjam sebuah ruangan, sambil membuka perbekalan, kami langsung melahap makan siang sederhana kami, nasi dan lele yang cukup untuk ketiga adik kami yang setelah ini akan beraksi di depan lensa. Sambil makan, saya menemani adik-adik ini dengan menceritakan jalan cerita yang akan kami lakukan nanti di depan SD N Kalangan, sekaligus membuat kesepakatan bersama ketiga anak-anak ini.
"Nanti maunya pulang jam berapa?"
"Jam 4 Mbak.."
"Setuju semua jam 4?"
"Iya Mbak.."
"Oke, Kalo mau pulang jam 4 berarti nanti jangan sambil bercanda ya, biar bisa pulang jam 4"
"Wingi Petra lho Mbak"
"Koe yo Ho'o..."
"Udah-udah, tapi jam 4 ya? Kalo bercanda nanti diulang 1x, bercanda lagi diulang 2x, bercanda lagi diulang 3x, sampe banyaaaak, hii mau?"
"Nggak Mbak..."
Hasil merekam hari ini, sudah lebih baik dari hari yang kemarin. Anak-anak sudah lebih banyak bisa diajak bekerjasama. Saran Mbak Deka dan Mbak Yua dalam membuat kesepakatan sebekum dilakukan proses pengambilan gambar sangat membantu kami para crew film, haha gaya banget bilangnya crew film. Hanya memang tidak bisa dipungkiri kami kekurangan orang untuk "membersihkan area" saat proses pengambilan gambar sehingga akhirnya banyak bloopers saat adegan demi adegan kami lakukan. Kendala teknis di hari ini juga lebih banyak terjadi, seperti misalnya tiba-tiba kamera yang tidak bisa kami lakukan untuk merekam, dan tadaaaa, terima kasih Mas Zefa yang telah memberi kami berempat jalan keluar untuk kendala teknis yang ini. Akhirnya dengan terpaksa kami harus mengulangi adegan kami lagi, untung saja adik-adik yang mulai bosan ini masih semangat untuk diambil gambarnya, salah satu cara membangkitkan mood mereka adalah dengan bermain tebak-tebakan.
"Sapi sapi apa yang warna biru?"
"Apa ya...nggak tau mbak"
"Sapidol Biru!"
"Putih kecil bisa terbang cepet banget?"
Tegar geleng-geleng tanda tidak tahu apa jawabannya.
"nasi nempel di pesawat jet!"
Obrolan yang bagi orang dewasa yang masuk ke dalam kategori garing alias tidak lucu, tapi tidak bagi kami hari itu, melihat timbal balik dari teman-teman kacil kami yang ikut tertawa saat kami tidak bisa menjawab tebakan mereka atau semangat mereka yang dengan sesegera mungkin bangkit hanya karena bermain tebakan.

Satu hal yang saya pikirkan di detik detik setelahnya, kenapa kita seakan lupa bagaimana berinteraksi dengan anak kecil padahal kita pernah melewati masa itu? Apakah saat kita menjadi dewasa, tandanya kita benar-benar membuang segala jiwa anak kecil dalam diri kita? Ke mana jiwa-jiwa kecil mungil yang belasan tahun lalu hinggap di dalam diri kita? Tak tersisakah walau hanya sedikit? Walau hanya dipergunakan untuk berbicara dengan anak kecil? Hahaha apa ini, tulisannya menjadi tulisan curhat saya yang justru terlihat seperti orang yang bosan menjadi orang dewasa, eh tapi blog ini memang sebagian besar tentang curhatan saya sih.

Atau anak-anak Rumah Ceria yang bisa dibilang baru pertama kali bertemu dengan saya, mengingat ini pertama kalinya saya bertandang ke rumah mereka. Dua kata untuk mengungkapkan satu hari di Rumah Ceria, Menyenangkan dan Menginspirasi. Anak-anak ini menginspirasi saya dari cara mereka menjalin hubungan persahabatan dengan saya, katakanlah saya orang asing, tapi tidak ada rasa canggung yang muncul di anatara kami, mereka dengan sigap meraih tangan saya untuk bermain bersama mereka sebelum kami melakukan proses pengambilan gambar, menunjuk berbagai tempelan alphabet di dinding lengkap dengan gambar-gambar binatang sesuai dengan inisialnya, berlomba mencuri perhatian saya *ciye kepedean* dengan menyebutkan nama-nama binatang dengan lantang sambil menarik-narik tangan saya, jika ternyata fokus mata saya masih belum beralih dari satu anak ke anak lainnya, maafkan Mbak Anin ya sayang. Atau menemani Naja mewarnai dan tidak ingin ditinggal sampai-sampai ia tetap mengikuti dan kekeuh membawakan tas saya, walau isinya cukup berat, duh sayang.

Dua hal yang saya dapat hari ini, percaya dan mau memberi kesempatan. Ya, anak-anak menurut saya mudah sekali memberi kepercayaannya untuk orang baru sekalipun, di luar fakta dari sikapnya yang ini membuatnya menjadi sasaran empuk para penculik anak, tetapi hal tersebut menandakan betapa percayanya anak-anak ini bahwa di dunia ini dipenuhi oleh orang-orang yang baik. Walau kenyataannya tetap saja ada yang bertindak jahat terhadap orang lain, namun entah mengapa, saya masih berpikir, bahwa semua orang bisa saja baik, dan mereka diciptakan dengan baik untuk menjadi baik oleh Dia yang Maha Baik. Hanya saja seiring berjalannya waktu seringkali saya menemukan peristiwa oleh orang-orang yang bertujuan baik namun dengan cara-cara yang kurang baik, seperti halnya pada suatu waktu saya pernah membaca berita online di mana ada seorang ibu yang mencuri susu, demi memberikan susu untuk anaknya, beliau terpakasa menuri karena tidak mempunyai uang, dan di sisi lain, beliau ingin memberikan asupan yang bergizi untuk anaknya. Ibu ini baik, tetapi hanya caranya yang tidak tepat.

Dan anak-anak selalu memberikan kita kesempatan, kesempatan untuk dapat lebih dekat dengan mereka, kesempatan untuk diberikan maaf, kesempatan untuk memperlakukan mereka lebih baik lagi, dan kesempatan untuk belajar. Jika mereka tidak memiliki sifat ini, saya tidak yakin mereka akan dengan mudah menerima saya yang notabene orang asing untuk ada di sekitar mereka, bermain dan belajar walau hanya sebentar. Adik-adikku sayang,  terima kasih ya sudah memberi Mbak pelajaran hari ini, kalian memang guru-guru hebat dan favorit Mbak di mata kuliah kehidupan :)


Saya jadi ingat adik saya yang kelas 6 SD itu pernah bertanya, "Mbak Anin punya adik lain di Solo?"









Wednesday, February 4, 2015

Merekam (1)

"Hari ini kita jalan-jalan ke Kali Pepe di deket Solo Balapan ya..."
"Hayo, saiki mangan sik..."
"Mengko ngomonge ngene 'kok dijupuk to?' "
"Mbak, aku mlakune sko kene? Ora sko kono wae?"
"Adek capek?"
"Mbak, mulihe kapan?"
"Kui mimikku!!!" *banting tas*
"Aku Poca** Sw***, Mbaaaak!"
"Njaluk!!!"
...

Dan potongan-potongan percakapan lainnya yang terekam di otak saya dan kedua sahabat saya dalam proses pembuatan film untuk anak. Sempat diikuti rasa was-was mengingat ini kali pertama kami membuat sebuah film pendek dan juga di waktu yang sama kami melibatkan anak-anak.

Acara Sharing for Caring bersama Mbak Yua dan Mbak Deka beberapa hari yang lalu sangat membantu kami hari ini, walau pada akhirnya kami bertiga tetap harus semangat untuk menciptakan sebuah film untuk anak. Saling bahu membahu, menyemangati dan juga panik-panikan bareng, akhirnya tiba juga harinya di mana kami melakukan proses shooting untuk hari pertama. 

Hari Kesatu

Siang yang terik, tapi pukul 12.30WIB sambil menunggu anak-anak berkumpul, kami sudah siap di Pucangsawit dengan membawa peralatan seperti tripod, kamera dan logistik untuk di tempat pengambilan gambar. Sebelum pergi ke tempat pengambilan gambar, kami menunggu talent-talent cilik kami ini untuk mengganti pakaian seragam merah putih dan makan siang. Salah satu celetukan Tasya setelah mengganti pakaiannya adalah, "Bar sekolah, sekolah meneh (Habis sekolah, sekolah lagi)". "Nggak sekolah kok, ini jalan-jalan", sahut Yanna. Makan sudah selesai, setiap anak sudah kenyang, sudah semangat lagi untuk kegiatan selanjutnya, yak, shooting time!

TKP

Adegan demi adegan berganti. Ada juga yang beberapa kali harus diulang, ada yang karena kesalahan saya yang suaranya masuk ke zoom, ada juga yang karena lupa harus bicara apa, ada yang harus diulang karena tidak bisa menahan tawa, atau justru ada kontak mata ke kamera. Ini melelahkan, tidak bisa dipungkiri, tapi melihat adik-adiknya malah menertawakan kesalahan mereka sendiri justru menjadi pompa semangat tersendiri untuk saya pribadi. Sesekali bermain tebak-tebakkan, atau salah satu dari anak yang belum kebagian giliran untuk pengambilan gambar menaiki motor Cesar dan bergaya bak seorang pembalap, ada juga yang malah menggoda anjiing dengan meniru suaranya, memancing si anjing dengan gonggongan yang lebih keras, hayo siapa yang dulu waktu kecil pernah melakukan hal yang sama? Senangnya bersama anak-anak, mereka sangat jujur dengan apa yang mereka rasakan, sehingga tidak memerlukan kode-kode rahasia yang kadang bisa diterjemahkan, tapi kadang berakhir dalam diam. 
"Mbak, awake kapan mulih?"
"Tasya kesel?"
Dia hanya menjawab dengan anggukan pelan.
Ya, sejujur itu, dan saat itu juga, kami memutuskan untuk menghentikan proses pengambilan gambar, dan pulang. Ada lagi yang lucu, saat berkemas, kedua anak laki-laki yang ikut justru berebut minta diboncengi Cesar dengan motor besarnya.
"Aku sing ning ngarep."

"Moh, akuuuuuu!"

 Rekaman

Jika ini adalah sebuah lagu, maka lagu ini akan menjadi salah satu lagu yang saya putar terus menerus. Karena tak terhitung banyaknya pelajaran yang ada di dalamnya. Saya lupa siapa yang pernah mengatakannya tetapi sepertinya benar, "jika ingin belajar tentang kehidupan, belajarlah dari anak-anak", hari itu, saya belajar entah banyak atau sedikit tapi ada bagian-bagian yang saya garis bawahi, jika itu adalah sebuah bait lagu. Seperti misalnya, saya yang katany belajar ilmu komunikasi ini ternyata belum tentu bisa memahami bagaimana berkomunikasi dengan baik, terlebih karena saya terbiasa menjadikan anak-anak sebagai partner bermain dan belajar, ya walau mungkin setahun belakangan ini saya tidak aktif di dusun-dusun binaan yang ada di kampus, tapi kira-kira seperti itu saya memperlakukan adik saya dan ke-tujuh kurcaci saya saat kami berkumpul bersama. Beberapa saya merasa tidak enak saat meminta adik-adik ini untuk berperan dengan gestur A atau B, mengatakan C atau D, saya merasa saya tengah mengeksploitasi mereka, walau sebenarnya tidak juga, mengingat kami juga tetap memperhatikan kebutuhan dan keadaan mood teman-teman kecil kami ini.
Di sini saya belajar untuk lebih peka untuk merasakan kondisi psikis anak-anak dan mengkomunikasikan apa yang saya maksud kepada mereka. Saya jadi geli sendiri terhadap diri saya, kenapa bisa saya bingung tentang bagaimana mengkomunikasikannya kepada anak-anak, padahal anak-anak adalah masa yang dulu pernah saya lewati, haha "lucu" sekali.
Sensasi membuat film anak memang bukan main rasanya, setiap momennya pasti ada saja hal baru yang kami temukan. Dari sini, entah muncul dari mana, tapi semangat untuk membuat film pendek untuk anak semakin terpatri dalam hati. Harapan saya hanya sesederhana, kelak anak saya nanti, dapat menikmati film-film atau tayangan yang memang cocok untuk usianya, setidaknya itulah hal yang membuat saya tidak ingin berhenti di sini atau nanti setelah film pendek perdana tim kami selesai. Semoga ini bukan yang terakhir.

Untuk Petra, Tasya dan Tegar

Petra. Tasya dan Tegar sayang, Terima kasih sudah mengajarkan apa-apa yang mbak Anin selama ini belum dapatkan di bangku kuliah mbak, di ruang rapat organisasi mbak atau di ruang makan keluarga mbak. Terima kasih sudah menjadi inspirasi baru untuk mbak ya sayang. Terima kasih telah menularkan semangat-semangat untuk lebih berkontribusi lewat jalur ini ya sayang. Semoga kalian tumbuh menjadi anak yang pintar dan berani mewujudkan jejak-jejak mimpi kalian sebagai anak negeri.

Potret

Proses Reading sebelum pengambilan gambar "Kok Dijupuk to?" Kata Tasya.

Tasya sedang latihan untuk dialog selanjutnya nih


"Diulang meneh, diulang meneh" kata Petra, tapi tetep aja masih semangat buat ngulang adegan yang ini.


Petra dari awal tertarik banget sama kamera, mungkin saat dia sudah besar nanti bisa jadi fotografer handal di National Geographic.

"Okesip, kereen!" Kata Mbak Rahma utnuk talent cilik kita tiap pengambilan gambarnya sukses


Taken by: Enggak Tau Siapa, dapet aja pose kayak gini, ngaso bentar ya, naroh dagu di atas Tripod


Halo dari pinggir Kali Pepe!



Saya sadar,
saya bukan ahli film,
saya hanya seorang mahasiswa,
seorang kakak dan juga seorang perempuan,
yang punya mimpi bahwa adik atau anaknya kelak,
bisa punya tontonan yang layak untuk ditonton oleh anak-anak seusianya

Terakhir, semangat ya untuk sineas-sineas di luar sana yang tengah memperjuangkan dan mengusahakan film-film untuk anak, saya sekarang sedikit tahu bagaimana prosesnya, :')
Bravo Film Anak Indonesia!








Tuesday, February 3, 2015

Kesempatan.

Chapter 2 of 12.

Kalender bulan Januari akhirnya harus berganti. Februari, si bulan (yang katanya) penuh cinta, yang menurut saya lebih masuk akal jika disebut sebagai bulan yang penuh hujan dan bulan persiapan untuk menerima kiriman air yang berlimpah dari daerah tinggi di sekelilingnya untuk wilayah Jakarta dan sekitarnya.

Dini hari ini, saya kembali ke Third Eye Blind, salah satu lagu lama yang masuk ke dalam folder nggak-ada-matinya. Deep Inside of You mengalun mesra di telinga saya, tidak semesra bagaimana seorang kekasih tengah merayu kekasihnya, tapi menurut saya inilah mesra, alias menyamankan di telinga. 

Kembali ke 2 hari yang lalu, saya ada di Yogyakarta dengan beberapa sahabat. Bercanda sambil merancang salah satu proyek 2015 kami, membuat sebuah bioskop keliling anak. Berawal dari kegelisahan kami tentang sulitnya menemukan konsumsi media yang tepat dan baik untuk anak-anak. Kasihan, anak-anak era 2000an tidak merasakan serunya menonton Saras 008, atau cerdiknya Joshua di serial tv Anak Ajaib, atau asik terbang dengan Om Jin di Serial tv Jin dan Jun. Betapa mudahnya menemukan acara-acara yang memang dibuat untuk anak-anak pada masa itu. Sementara adik saya hari ini, seringkali mengamuk jika waktu menonton Ganteng-Ganteng Srigala-nya diganggu barang 2 menit saja. Atau adik saya yang lain yang membayangkan kehidupan anak Sekolah Menengah Atas yang diperbolehkan menggunakan rok setengah paha. Satu kata, prihatin. Berangkat dari kesamaan dan keterikatan bidang studi, saya, Yanna dan Rahma yang berkecimpung di dunia Ilmu Komunikasi, dan Yayak yang berada di bidang Keguruan, yang pastinya lebih ahli dalam hal didik-mendidik, kami bertekad untuk memberikan inovasi baru dalam dunia pendidikan di era yang apa-apanya dituntut untuk menggunakan teknologi. 

Film. mengapa kami memilih film? Hal tersebut berkaitan dengan bagaimana pesan-pesan yang diberikan secara audiovisual lebih mudah diterima oleh anak-anak, selain itu, hal ini juga disebabkan oleh pengamatan kami terhadap anak-anak yang ada di sekeliling kami, tentang bagaimana anak-anak sangat betah duduk ngejogrog di depan televisi dan menonton apa saja yang disiarkan hingga berjam-jam. Dengan daya filter anak-anak yang masih belum maksimal, tentu diperlukan adanya pengawasan dari orang tua dan siaran-siaran yang ramah anak dan sifatnya edukatif serta menyenangkan bagi anak. Untuk itulah, Bioskop Keliling Anak ini dibentuk, di sini kami berusaha memberikan sarana belajar baru yang mana akan diselenggarakan di setiap dusun binaan dan sifatnya berpindah-pindah. Semoga dapat epat terealisasi dan bermanfaatbagi anak-anak.

Sebelum mematangkan konsep ini, kami pun berusahan untuk bertemu beberapa orang-orang hebat yang ada di kota sebelah, Yogyakarta. Orang-orang hebat kami siang itu mungkin bukan orang-orang yang namanya sering terpampang di koran, atau sering pergi ke luar negeri. Tapi itulah rahasia Allah, ternyata kita bisa belajar dari siapa saja, tanpa harus mengenal pangkat, jabatan atau harta orang-orang itu.

Siang itu, kami bertemu dengan Mbak Yua dan Mbak Deka dari Sanggar Cantrik. acara sharing-sharing kami ditemani dengan cangkir-cangkir yang berisi teh pahit panas yang asapnya masih mengepul lengkap dengan setoples gula di sebelahnya. Obrolan dari pertanyaan-pertanyaan yang terlontar dari kami, permohonan untuk bisa diajak ikutan produksi, atau sesekali terbahak mendengar lelucon yang dilemparkan oleh siapa saja, padahal baru hari ini kami bertemu, tapi rasanya sudah dekat bagai sudah berkali-kali bertemu saja kami. Teh yang tadinya panas dengan asap mengepul, kini telah dingin, gula yang ditambahkan pun jadi sedikit lebih sulit untuk larut, tapi ilmu yang didapat tetap tidak sebanding dengan teh yang sudah dingin. Kesempatan ini membuat saya lebih banyak belajar dan bersyukur tak henti-hentinya.

Pelajaran pertama adalah tentang masalah anak-anak.
Percakapan singkat dengan Mbak Yua dan Mbak Deka Jumat itu telah membuka pikiran saya ke sudut pandang baru tentang anak-anak. Ini tentang ketelitian mereka dalam mengenalkan suatu hal yang baru terhadap anak-anak. Membuat kami benar-benar berpikir dari sudut pandang anak-anak. Bersama anak-anak, tidak hanya tentang membuat gesture atau suara kita seperti anak-anak. Tapi juga tentang pola pikir. Pagi itu, saya belajar, bahwa tidak semua permasalahan yang dihadapi oleh orang dewasa adalah permasalahan bagi anak-anak juga. Mbak Yua dan Sanggar Cantrik misalnya, saat mereka tengah menggarap sebuah proyek film pendek, dan mengadakan sebuah riset sebelum terjun ke ranah produksi, pertanyaan "apakah masalah X adalah masalah bagi anak-anak juga? ataukah X ini hanyalah masalah orang dewasa yang kita paksakan untuk diterima oleh anak-anak?" sering kali keluar. Jika ada hal yang baru bagi anak-anak, maka permasalahannya menjadi "bagaimana bisa membuat kegelisahan orang dewasa ini menjadi kegelisahan anak-anak juga?" lagi-lagi bagaimana kita membahasakannya ke anak-anak menjadi suatu hal yang penting. Seperti misalnya, untuk menanamkan sifat "anti korupsi" kita tidak bisa secara harfiah mengatakan "anti korupsi" kepada anak-anak, kalau kita tidak ingin anak-anak menjadi bingung. Namun, kita bisa menanamkan nilai-nilai kejujuran, kedisiplinan atau keyakinan misalnya.

Pelajaran selanjutnya adalah tentang semangat berkontribusi. Ini yang sering kali luput di era media seperti saat ini. Mungkin saya sendiri pernah melakukannya. Kenapa bisa saya kaitkan dengan media? Karena media selain memang fungsinya untuk menyebarkan informasi, namun kini telah berkembang menjadi alat pencapai prestige dan portofolio prestasi. Untuk hal yang terakhir, kita memang harus berkali-kali mengingatkan diri, akan niat yang ada di dalam hati agar selalu lurus. Salah-salah, bukan untuk menebar inspirasi malah jadi sumber riya' untuk diri sendiri, naudzubillah. Ada yang menarik dalam percakapan kemarin dengan Sanggar Cantrik. Saat, salah satu dari kami mengatakan,
"Wah, Sanggar Cantrik udah dapet penghargaan A, filmnya juga dapet penghargaan B, emang udah apa aja ya mbak penghargaan ya mbak?"
"Ah iya to? Kita nggak tau malah, nggak inget hahaha." Kata salah satu pengurusnya sambil tertawa lepas.
Aneh, kami tidak mendengar sedikitpun nada kesombongan. lagi kami belajar, capaian yang ingin diraih adalah lebih ke penguatan fungsi sekolah kepada anak-anak, kontribusi yang digaungkan, bukan tentang seberapa banyak award yang dapat diraih saat kita mencapai tingkatan tertentu. Salut!

Pelajaran ketiga adalah pentingnnya untuk berkumpul dengan orang-orang yang optimis. Saya termasuk orang yang mudah pesimis, orang yang pertama kali akan berpikir hal negatif apa saja yang mungin dapat kita hadapi agar kita dapat bersiap-siap. Pertama kali Yanna mengungkapkan ide gila ini untuk mengirimkan abstract kami ke sebuah acara, saya pikir, mana mungkin, dengan jarak di antara kami bertiga, saya di Jakarta, Yanna di Bandung dan Rahma di Solo untuk kemudian membuat sebuah abstraksi paper, tapi tak ada salahnya untuk mencoba. Tanpa harapan yang muluk-muluk, ternyata Allah justru memberikan kami kesempatan itu. Sepanjang perjalanan kami dari awal mencoba, sampai hari ini saya menulis posting ini, saya merasa bukan saya yang membuat diri saya bertahan, tetapi karena pertolongan Allah lewat orang-orang dengan energi positif dan optimismenya yang tinggi dan tetap rasional di logika saya, yang membuat saya untuk tetap bergerak. Maha suci Allah atas segala nikmatNya. Pada titik ini, saya mulai mengerti, bahwa rizki itu tidak hanya yang berbentuk uang atau berbagai material lainnya, bahkan kesehatan dan sahabat yang baik pun adalah sebuah rizki.

Pelajaran keempat adalah tentang bagaimana Allah lantas mengajarkan umatnya dengan berbagai cara dan berbagai jalan. Saya pernah menulis di salah satu posting saya yang lama. Memang unik dan misterius cara Allahh mengajarkan umatNya untuk terus belajar dan memetik makna. Bahkan untuk sebuah capaian pun dapat dilalui dengan jalan yang berbeda-beda pula. Ada orang yang ditinggal keluarganya untuk belajar bersyukur, ada juga yang diberi sakit untuk merasakan bersyukur, tapi ada juga yang kehilangan harta benda untuk merasakan nikmatnya bersyukur. Setiap kesempatan yang diberikanNya pasti membawa kita pada suatu jalan, dan memberikan kita suatu makna.


1 kesempatan dapat membuka 
10 pintu kemungkinan yang akan  memberi
100 pintu keberkahan untuk kemudian kita lipat gandakan hingga
1000 kali kebaikan untuk hari ini, esok dan seterusnya, maka yakinlah :)