Thursday, July 16, 2015

Memilih Kapal

Bismillahirrahmanirrahim

Malam ke 30, malam terakhir di bulan Ramadhan.
Sebelum Mama saya kembali menyuruh membereskan ruang tamu, ada sedikit cerita(dari imajinasi saya sendiri) yang ingin saya bagikan di halaman ini.

Katakanlah, di suatu samudera, ada sebuah kapal yang tengah berlayar. Melaju dengan cepat. Lengkap dengan kompas, dan jaket keselamatan yang cukup untuk semua awak kapal yang ikut melaut. Satu-satunya tantangan yang mereka temui adalah cuaca yang mungkin bisa berubah dalam sekedip mata, atau batuan karang yang bisa membuat kapal mereka karam. Tapi tenang, awak-awak ini sudah terlatih, sudah diajak belajar mengenai lautan, dan siap untuk terjun kapanpun ke laut jika suatu hal darurat terjadi.

Di samudera lainnya, ada lagi sebuah kapal yang  ingin melaju, tapi ia tak punya kompas, jaket keselamatannya hanya tersedia beberapa saja, tidak cukup untuk semua awak yang ada di atas kapal tersebut. Awaknya pun bukan berasal dari sekolah kelautan atau lembaga lainnya yang mampu mendidik mereka untuk benar-benar terjun ke laut. Tapi tenang, kapal ini masih tetap melaju walau pelan-pelan, sangat pelan-pelan. Yang membuat kapal ini terus melaju walau pelan-pelan adalah karena awak-awaknya beberapa kali belajar dari orang-orang, ya walau tidak terus menerus diterapkan. Tantangan mereka tidak hanya cuaca dan batuan karang, tetapi melaut itu sendiri karena selama ini kurang begitu mengenal bagaimana harus bertahan di laut.

Kemudian cerita itu berhenti di situ saja, tak ada akhir. Tapi dua penggal paragraf itu menghasilkan sebuah kata tanya dalam otak saya, “Jika, disuruh memilih, kapal mana yang mau kamu tumpangi?”

Kau bisa saja memilih kapal yang pertama, kau justru bisa belajar banyak dari orang-orang yang sudah memiliki banyak pengalaman untuk melaut, kau juga bisa berlayar dengan aman, terang saja, kau punya kompas, kau punya jaket pelampung, secara kasat mata kau akan aman, Sobat.

Tapi, juga bukan suatu kesalahan atau kutukan ketika kau harus ditempatkan di kapal kedua. Walau memang tak cukup jaket pelampung untuk semua awak, dan mungkin kau adalah satu-satunya yang tak kebagian, tapi kau bisa mengajarkan semua awak untuk berenang, sehingga hidup kalian tak hanya digantungkan pada jaket pelampung. Tapi kau tak punya kompas? Lupakah kau, kalau kau sedang ada di laut, di mana polusi cahaya ditemukan paling sedikit kemungkinan bisa terjadi di tengah laut lepas? Di mana kau bisa melihat banyak bintang dan membaca arahnya untuk menuntunmu ke tujuanmu. Lagi pula, hal itu sudah pernah dilakukan oleh para pelaut terdahulu. Walau lebih banyak tantangannya, bukan tidak mungkin kau juga akan bertemu dengan mereka dari kapal pertama dengan menumpang di kapal kedua, Sobat.

Percayalah, Allah tidak pernah salah menempatkan kita di suatu tempat. Karena Dia tahu kapasitas hingga batas kemampuan kita.

Saat suatu tempat dilihat terlalu gelap untuk ditinggali,
mungkin saat itu Dia ingin kita yang menjadi awal dari cahaya abadi.


Taqabbal Allahu minna wa minkum

Happy Eid Mubarak 1436H





Sunday, July 12, 2015

Bunga Ramadhan

Foto ini diambil di rumah salah satu narasumber saat sedang melakukan liputan untuk salah satu program acara di UNS Tv


Salah satu kata-kata mutiara atau berlian atau perhiasan indah lainnya yang hari ini saya baca berbunyi, “Jangan sampai Ramadhan pergi tanpa meninggalkan bekas.”

Hari ini sudah menginjak malam ke 25 Ramadhan di tahun 1436 Hijriah. Jika kita ingin menghitung nikmat yang Allah beri, tentu akan kurang seluruh satuan angka yang ada di bumi, jika kita ingin menuliskannya, bisa gundul semua pohon yang ada di bumi karena kertas yang dibutuhkan akan sangat banyak sekali, jika kita ingin membicarakan seluruh nikmatNya, bisa mati kelelahan kita, karena tidak akan pernah ada hentinya berucap. Allahu Akbar.

Sering saya mengatakan sangat istimewa dan misterius bagaimana cara Allah mengajarkan umatNya, termasuk dalam pos kali ini. Segala puji bagi Allah, yang telah membukakan kesempatan-kesempatan yang tak terduga untuk saya di bulan Ramadhan. Setelah selama 1 semester saya “dianggurin” baik di jurusan saya yang entah kenapa kelewat santai, atau di organisasi saya yang bisa dibilang sedang vakum, bulan Ramadhan ini justru menjadi titik di mana saya bisa merasa lelah lagi. Allah maha baik yang telah mengabulkan doa saya, “Ya, Allah, Anin mau capek lagi kayak dulu.”

Orang lain meminta untuk tidak merasa lelah, dan saya berdoa sebaliknya? Tidak, ini bukan karena ada yang salah dengan otak saya. Saya secara sadar dan meminta itu kepadaNya. Kenapa?
Singkat cerita, saya tidak(merasa)memiliki kesibukan apapun, saat bahkan saya tidak merasa lelah, merasa terhimpit dengan waktu, saya merasa diri saya menjadi lebih santai dan kurang termotivasi. Tidak hanya dalam hal melakukan tugas-tugas baik kuliah maupun tugas-tugas di organisasi, termasuk juga dalam hal ibadah. Astagfirullah. Iya, kemarin saya sempat merasa seperti itu, kenapa? Karena saya merasa masih banyak waktu untuk melakukannya, perilaku buruk seperti menunda-nunda pekerjaan pun akhirnya menjadi suatu hal yang sering saya lakukan. Tapi, di tengah rutinitas yang seperti itu, saya rindu merasa lelah. Saya rindu terus berpindah dari satu sekre ke sekre lainnya, rapat satu ke rapat lainnya, buku satu ke buku lainnya. Saya juga rindu tekanan untuk bisa mendisiplinkan diri saya dengan membagi 24 jam waktu yang saya miliki, dan menyeimbangkannya antara urusan akhirat dan dunia. Saya juga rindu segarnya air wudhu saat membasahi wajah saya di tengah segala kesibukkan yang ada, di mana ibadah menjadi sebuah oase di padang kehidupan, karena saat itu, ibadah wajib terasa hanya seperti ritual, atau tilawah menjadi sebuah momen di mana saya bisa benar-benar kabur dari dunia, tapi saat itu, justru hanya terasa seperti mengejar targetan semata. Oh, jadi ini namanya futur. Saya benar-benar rindu merasa Lelah untuk Lillah. Lalu suatu hari, kakak saya mengatakan, “Memang amanah itu bisa menjaga kita.” Kata-kata yang terus terngiang hingga hari ini saya mengetikkan pos ini, dan membuat saya pada saat itu berspekulasi untuk pulang menjelang akhir bulan Ramadhan agar saya bisa beraktivitas di kampus. Pede betul saya kala itu, yang pengangguran, dan berharap punya kerjaan saat Ramadhan di kampus setelah satu semester bisa dibilang “vakum”.
Allah Maha Baik, Dia menjawab doa saya, dengan memberikan saya beberapa amanah yang harus saya selesaikan selama bulan Ramadhan di kota rantau. Tidur selama 2 jam karena harus mengerjakan beberapa deadline dan juga targetan Ramadhan dalam satu hari terasa ringan. Sangat berbeda dengan 11 bulan lainnya di mana waktu-waktu karena harus mengerjakan tugas sampai pagi dan hanya punya kesempatan untuk tidur selama 2 jam membuat saya mengeluh dan uring-uringan seharian. Dengan memaksimalkan waktu yang ada untuk ibadah dan beraktivitas seperti biasa, walau waktu terlihat pendek akan terasa panjang dan cukup, dan yang paling penting dengan meniatkan segalanya hanya untuk Allah. In shaa Allah, waktu kita akan semakin berkah di bulan Ramadhan ini.

And one thing that I take from all of these things, when we make time, I meant, we do really make time for Allah, not just spare our time, Allah will broaden the time that we had, and in that moment, we will feel nothing but grateful and blessed, besides, what are we looking for in a life full of misery aside of His blessings?

Layaknya bunga, Ramadhan seperti bunga yang mulai mekar, dan mati begitu saja sesaat kita akan memetiknya. Pastikan wanginya masih semerbak menempel di badan kita dan bertahan terus hingga kita diberi kesempatan untuk melihat bunga serupa di tahun setelahnya oleh Dia Si Pemilik Taman.




Salam bahagia,