Friday, July 25, 2014

Sembilan Belas

Terima kasih kepada angin pembawa kabar gembira..
Terima kasih kepada air pembasuh lara..
Terima kasih kepada matahari yang menjadi pelita...
Terima kasih kepada api penyala asa..
Terima kasih kepada tanah pengubur luka..
Terima kasih kepada Allah Sang Pencipta segala...

Dua puluh empat di bulan ketujuh memang bukan tanggal biasa untuk makhluk yang menuliskan ini. Di mana sembilan belas tahun yang lalu dengan susah payah dilahirkan oleh seorang ibu dengan mempertaruhkan nyawa dan rasa sakit yang katanya seperti ditusuk seribu jarum itu.

Kata Mama, tak mudah membesarkan anak kecil seperti saya, dari sering menangis melebihi kebiasaan anak bayi biasa menangis, katanya diikuti oleh seseorang dari lain alam, step berkali-kali yang hampir melemahkan otak, atau entah berapa kali nyemplung di got depan rumah karena nekat main sepeda saat hari sudah gelap. Ah, masa kecil.

Sekarang yang menulis sudah berumur sembilan belas tahun, tapi seperti baru kemarin saja lahir ke dunia, bukan maksud sok imut, tapi lebih ke.....belum terlihat apa-apa hasil karya yang sudah ditorehkan dengan tinta emas, atau memegang bendera merah putih di tengah podium, entah podium mana. Belum, tetapi akan.

Sembilan belas adalah satu tahun sebelum akhirnya kepala saya tumbuh satu lagi. Terhitung satu tahun lagi untuk saya menyiapkan hati dan pikiran untuk menyambut masa dengan dua kepala kepala dua. Sebelum akhirnya masuk ke masa transisi dari remaja ke dewasa.

Sembilan belas menyuruh saya untuk melihat lagi daftar target yang saya tulis, memilah milihnya, melihat lagi mana yang sudah dicoret, mana yang belum, mana yang harus direvisi, mana yang harus diprioritaskan dan mana yang boleh dinomor duakan. Ibarat orang berlari, saat ini pemberi aba-aba sudah mengatakan “Siap...” sebelum mengatakan “Mulai...” Ya, sembilan belas memang angka siap-siap.

Sembilan belas, katanya saya harus dewasa. Tapi, umur tidak mendeskripsikan bagaimana tingkat kedewasaan seseorang. Toh faktanya, semakin kita tua, kita akan kembali lagi pola pikirnya seperti anak-anak. It’s about life cycle, in my opinion. Dewasa bukan saat kita berhenti menonton Petualangan Sherina, dan mulai menonton film-film fiksi ilmiahnya Tom Cruise, it doesn’t depend on what you put your interest to. Ini bukan pembelaan dari betapa saya menyukai Petualangan Sherina sampai teman-teman di sekitar jengah mendengar saya terus-terusan meng-impersonate seluruh karakter sampai suara backsound film tersebut ya. Dewasa itu tentang pola pikir, tentang bagaimana kita merespon suatu hal, tentang manajemen emosi, dan lain sebagainya, anda yang membaca pasti punya definisi tentang dewasa juga bukan? Boleh juga ditambahkan di kolom komentar. Bukan bermaksud nyinyir, tapi jaman sekarang hanya melihat sikap, once or twice lantas memberikan judgement bahwa seseorang itu dewasa sama saja hanya melihat apa yang dia pakai di luarnya. Sikap itu bisa diatur, tapi apa yang ada di dalamnya, that’s what matters the most. Sembilan belas, apa ini pelajaran pertamanya? Don’t judge the book by its cover?

Sembilan belas, ternyata sudah 5 tahun saya mengulang tanggal dua puluh empat tanpa kehadiran Bapak. Lama tapi tak terasa. Tapi, tahun ini tidak sesedih tahun-tahun sebelumnya. I try to keep my balance, cause falling for the same reason that won’t come back is wasting, and there’s a lot of things that we could do to make that-one-who-won’t-come-back proud. Tidur tenang di sana ya, Pak.

Sembilan belas, sampai di sini saja, saya mau siap-siap.


Selamat siap-siap.





Tuesday, July 15, 2014

Media di Tengah-Tengah Pemilu

“The mass media become the authority at any given moment for what is true and what is false. What is reality and what is fantasy, what is important and what is trivial.”
Ben H. Bagdikian dalam The Media Monopoly

Pesta Demokrasi yang biasa diselenggarakan setiap 5 tahun sekali, hajat paling krusial pada sebuah negara yang lumayan menguras APBN dalam penyelenggaraannya. Pemilihan Umum Presiden tahun 2014 adalah sebuah pertarungan terbuka bagi dua pasang yang diusung, dijagokan untuk menjadi orang paling nomor satu(dan nomor dua) di Indonesia.
Janji menyejahterakan, memperkuat pertahanan nasional, memberi pelayanan kesehatan yang terbaik hingga ke pelosok negeri, menjadikan Indonesia sebagai negara maritim yang kuat, dan janji-janji lainnya yang beberapa hari terakhir sudah seperti makanan sehari-hari bagi penulis. Bukan suatu hal yang salah, toh memang itulah saatnya untuk mengkampanyekan apa-apa sajja yang akan mereka lakukan untuk rakyat dan mengabdi kepada tanah air.
Yang menjadi masalah adalah saat proses kampanye yang dilakukan ternyata menggunakan sesuatu yang mana adalah milik rakyat secara cuma-cuma dan besar-besaran. Media. Media dewasa ini tidak hanya memiliki fungsi informatif sebagaimana pada mulanya media ditemukan. Media saat ini, telah beralih fungsinya menjadi suatu alat komunikasi bagi beberapa golongan untuk mencapai kepentingannya. Hal tersebut dapat dilihat pada media-media swasta Indonesia yang mulai secara terang-terangan menampakkan afiliasi instansi medianya dengan suatu partai atau suatu golongan tertentu. Pemberitaan-pemberitaan yang tidak berimbang, negative atau bahkan black campaign yang senantiasa mewarnai layar kaca pemirsa-pemirsanya di ruang keluarga. Mengutip salah satu kalimat dari Jim Morrison, Whoever controls the media, controls the mind”. Kalimat tersebut bisa dibilang cukup relevan jika dibandingkan dengan kondisi saat ini, karena tidak sedikit orang yang  terjebak dalam opini-opini dapur redaksi yang dianggap sebagai sebuah kebenaran walau kenyataannya apa yang diberitakan adalah apa yang media ingin rakyat tau, sehingga kualitas berita yang disiarkan saat ini cenderung tendensius dan tidak cover bothsides. Hal tersebut diperparah dengan tingkat pendidikan yang rendah dalam masyarakat masih menduduki strata pertama dalam segi kuantitasnya, sehingga tak heran budaya membaca, literasi media pun masih teramat jarang berkembang di masyarakat kita, hal tersebut yang menyebabkan mudahnya informasi yang masuk ke dalam pikiran audiensnya tanpa adanya tedheng aling-aling atau filter di tengah serbuan informasi yang minta dilahap oleh audiensnya.
Di saat seperti ini, kita diajak untuk kembali lagi membuka buku lama kita dan mengingat-ngingat 9 elemen jurnalisme yang seharusnya dijunjung tinggi oleh instansi-instansi media kita. Seperti pada elemen ke-empatnya, yaitu Jurnalis harus menjaga independensi dari obyek liputannya. Independen di sini berarti independen atas orang-orang yang diliputnya sehingga berita yang diliput pun tidak berat sebelah. Instansi media sudah seharusnya memisahkan program-program yang berdasarkan opini-opini dari ruang redaksi dengan fakta-fakta untuk disiarkan di layar kaca kata. Karena inilah yang akhirnya terjadi, masyarakat dibuat bingung tentang mana berita yang fakta dan mana yang hanya sekedar opini. Dari elemen ke-empat berkaitan erat dengan elemen ke-lima, yakni “Memantau kekuasaan dan menjadi penyambung lidah mereka yang tertindas”. Lewat tulisan, liputan dan produk-produk jurnalisme lainnyalah jurnalis menyuarakan hak-hak rakyat yang tertindas. Bukan menyembunyikan fakta-fakta di lapangan untuk memperkokoh kursi penguasa. Sehingga media benar-benar dapat dijadikan rujukan.
Saya merasa prihatin atas perkembangan media di era teknologi seperti pada masa sekarang ini. Merupakan suatu hal yang ironis memang, saat teknologi berkembang pesat namun, justru informasi-informasi yang beredar tidak bisa kita konsumsi dengan baik. Seperti itulah gambaran masyarakat hari ini di tengah banjir informasi dari instansi-instansi media yang berafiliasi. Beberapa dari masyarakat kita bahkan merasa bangga dan merasa paling benar saat mengungkapkan sesuatu yang tidak bisa diidentifikasi apakah hal tersebut adalah fakta atau opini, padahal kita semua tahu siapa orang-orang yang ada di balik instansi media tersebut.
Dalam Pemilu Presiden 2014 ini, media menjadi alat komunikasi paling efektif bagi para Timses dan Jurkam dari masing-masing calon. Hal tersebut tidak bermasalah saat instansi media masih mengindahkan elemen-elemen jurnalisme yang seharusnya ada dalam setiap pemberitaan. Namun, hari ini kita terus disuguhkan berita-berita dari televisi yang dipolitisasi dan dikonglomerasi untuk kepentingan beberapa golongan saja, termasuk capres dan cawapres yang akan berlaga di Pilpres 2014. Sehingga tak jarang dari berita-berita yang tendensius pada sebuah instansi media menciptakan iklim fanatisme pendukung yang akhir-akhir ini justru memecah persatuan antar sesama pendukung, sungguh hal yang sangat disayangkan.
Harapan penulis untuk siapapun Presiden terpilih nantinya adalah mampu mengembalikan kekuatan media, serta mampu mempertegas regulasi-regulasi pada sektor komunikasi dan informasi di Indonesia. Karena bagaimanapun juga salah satu faktor dari tumbangnya rezim Orba disebabkan oleh media, walaupun beberapawaktu sebelumnya media di Indonesia sempat mendapat julukan “Anjing Ompong” oleh para wartawan asing. Namun, bagaimana dengan saat ini? Anjing yang dulu Ompong, kini telah berubah menjadi “Anjing Bergigi Emas dan Tersumpal Gulungan MoU Golongan dengan Media”.

Refrensi:
Harsono, Andreas. 2014. A9ama Saya Adalah Jurnalisme. Yogyakarta: Kanisius.
Ibrahim, Idy Subandy. 2011. Kritik Budaya Komunikasi, Budaya, Media dan Gaya Hidup Dalam Proses Demokratisasi Di Indonesia. Yogyakarta: Jalasutra.


Anindya Roswita
Staff of Ministry of Foreign Affair, Division of Strategic Studies

BEM FISIP UNS





Saturday, July 12, 2014

Lembayung Lagi

"Kopi Jahe deh, Mas..."
Lagi, setelah 5 bulan berpisah akhirnya kami dipertemukan kembali di bawah sebuah kedai dengan suasana syahdu di temani hawa dingin semberibit Yogyakarta sehabis disiram hujan sore tadi.

Kami bersebelas duduk di meja yang sama dengan beberapa gelas kopi tubruk yang hanya tinggal sisa ampasnya, piring roti bakar, beberapa gelas tinggi yang memesan kopi 'kontemporer' macam capuccino atau latte, korek dan bungkus rokok, tapi dengan kesibukkan yang berbeda. Satunya sibuk mendengarkan musik lewat headsetnya setelah frustrasi menunggu orang di meja depan yang tak kunjung selesai meminjam gitar, dua orang yang matanya terpaku pada layar laptop dan jemarinya yang lincah menari di stick, main PES, dua yang lain ngobrol soal kota baru tempat menuntut ilmu di mulai dari karakteristik orang, harga barang hingga ke peluang usaha, tiga yang lain membantu mendesain Poster teman yang PKMnya lolos sambil sesekali melihat palet warna dari tab sebelah, satu lainnya pamit pulang dulu untuk mengaji, dan aku multitasking antara membalas chat, melihat timeline dan bersyukur, pada hari ini kami masih dipertemukan dalam keadaan sehat walafiat.

Tidak begitu mengerti apa yang aku ingin ceritakan. Antara rasa bersalah dan bersyukur kembali lagi ke halaman ini, setelah perjalanan jauh dan melelahkan mencoba bertahan dari segala macam deadline, hingga hampir saja aku lupa pulang ke halaman ini.
Setiap tempat punya cerita. Setiap sesap kopi mengandung banyak arti
−Anindya Roswita
Jika ditanya, what keeps you going so far? Maka aku akan menjawab, my faith to God, my spirit for Mom, my optimism for my nation and my sincerity for my religion. Lanjut pertanyaan selanjutnya, "what makes you going?" Then I'll answer it, short and crystal clear, "coffee".


...


Pukul 11.48 Waktu Indonesia bagian Barat. Sebenarnya masih di bawah pengaruh kopi jahe yang aku pesan semalam. Kopi yang ampas kopinya bahkan hampir setengah gelasnya, ditambah beberapa potong jahe yang ditumbuk. Cukup untuk membuat siapa saja yang menegaknya terjaga hingga pukul lima. Semacam uji nyali untukku yang punya maag  dan meminum kopi dicampur jahe, efek hangat yang jika maagku kambuh juga akan terasa efek "membakar"nya di lambung. Tapi, nikmat itu memang tidak bisa dibohongi, saat disodori list menu di daftar kopi aku seakan tidak memiliki pilihan lain untuk meminum kopi macam lainnya. Sudah cinta sepertinya.

Kopi dan sahabat mereka sama halnya dengan rumah. Tempat kita pulang dan beristirahat saat kita sudah pergi terlalu jauh. Saat kita mulai hilang arah. Sebagai pengingat akan mimpi-mimpi yang pernah tertuang di cangkir kopi kita masing-masing. Sebagai cambuk yang tak segan menampar kita saat kita sudah tersasar terlalu jauh. Sebagai cermin diri di mana kita tak akan ragu menjadi manusia merdeka seutuhnya.

Sesederhana kopi tubruk. Sehangat jahe tumbuk. Itulah sahabat. Tak perlu kriteria A-Z untuk mendapatkan sahabat seperti kesepuluh orang yang tadi malam duduk di depanku. Orang-orang yang selalu menerima kita dengan hangat dengan tawa renyah dan ramah sejauh dan selama apapun kita pergi. Lembayung sekali lagi membuatku berfilosofi dalam tawa sahabat, dalam iringan musik yang tumben nggak genah, dalam dinginnya Kota Yogyakarta malam itu.


Lembayung, nanti aku datang lagi
Masih dengan Kopi Jahe untuk yang kesekian kali