Thursday, October 18, 2018

Bahagia Itu (Tidak) Sederhana

Terhitung kurang lebih 5 bulan sudah aku pulang.
Setelah bingung-bingung bertanya apa itu “pulang”, akhirnya aku memutuskan, untuk saat ini, definisi “pulang” adalah berada di tempat di mana ibu dan adik tinggal. Sebenarnya nggak bisa janji juga definisi ini akan bertahan lama, nanti pada saatnya pasti akan berubah lagi.

5 bulan ini mulai merasakan lagi naik turunnya “bianglala” seperti dulu, seperti yang kata Ibu pernah Ayah rasa. 5 bulan ini aku belajar, tapi sepertinya masih banyak yang remedial, tanda harus mengambil ulang beberapa SKS, sampai nanti benar-benar lulus.


Kali ini, aku mau “ngecipris” tentang kebahagiaan, biar selalu ingat, biar tidak lupa untuk bahagia. Beberapa hari yang lalu, tepat saat aku sedang bersiap ke kantor menjalani rutinitas seperti biasa, tiba-tiba otakku diganggu pikiran yang mengucap “emang bahagia itu sederhana?” Iya, pertanyaannya seperti itu, terus berulang sampai saat sarapanpun aku masih memikirkannya. Cukup sebal sih, kalau ada hal-hal yang tiba-tiba minta perhatian buat dipikirin kayak gini, padahal mungkin sebenarnya nggak penting-penting banget. Tapi, aku cukup bersyukur aku punya waktu buat memikirkannya waktu itu.

“Emang bahagia itu sederhana?”

Pasti kamu udah sering mendengar ungkapan “bahagia itu sederhana”. Biasanya ungkapan ini akan muncul saat seseorang merasakan suatu nikmat yang berasal dari suatu hal yang selama ini dianggap sebagai hal kecil.

“bahagia itu sederhana, seperti saat kamu berkumpul dengan keluarga misalnya”
“bahagia sederhana, seperti saat kamu dapat semangat dari sahabat misalnya”
“bahagia itu sederhana, seperti saat kamu dapat senyuman dari orang asing misalnya”

Pagi itu, pikiranku menolak setuju dengan ungkapan “bahagia itu sederhana.”

Allah dan alam semesta punya caranya sendiri dalam membuat kita berada di dalam suatu proses yang kompleks yang akhirnya membuat kita bisa merasakan kebahagiaan. Kesempatan untuk merasa bahagia dari segala jenis proses yang dilalui ini, yang nggak bisa dirasakan sama semaua orang.

Kalau memang bahagia itu sederhana, apakah kita sudah merasa bahagia saat bisa membedakan kiri dan kanan? Apa kita sudah merasa bahagia saat bisa menjalani rutinitas yang selama ini terlihat membosankan? Kalau memang suatu hal itu sederhana, bukankah seharusnya hal itu juga menjadi sumber kebahagiaan? Atau jangan-jangan karena hal ini sudah terlalu biasa dan melekat dalam diri, kita juga jadi lupa menganggap ini sebagai sumber kebahagiaan juga?

Otak pendekku ini berpikir, jangan-jangan selama ini kita dikelabuhi, kita secara tanpa sadar mengukur kebahagiaan secara materiil lewat suatu hal yang bisa dirasakan dari segi fisiknya, diukur nilai besarannya, atau bahkan memang karena kitanya aja yang nggak peka dalam menyadari kebahagiaan-kebahagiaan di sekitar kita.

bahagia itu sederhana, bisa berkumpul dengan keluarga misalnya” tapi dikatakan oleh seorang perantau yang waktu pulangnya mungkin 1 hingga 2 tahun sekali, maka berkumpul dengan keluarga bukan suatu hal yang sederhana. Jangan lupakan proses rumit yang bisa mengantarkan diri duduk bersebelahan dengan keluarga.

“bahagia itu sederhana, dapet snack sebagai penyemangat dari teman” dikatakan oleh dia yang selama ini diacuhkan. Butuh banyak tahap yang dilewati hingga bisa mengantarkan snack murah itu sampai ke mejamu, sobat. Kebahagiaan yang kamu dapat itu, bukanlah kebahagiaan yang sederhana.  
Pagi itu aku mulai berpikir, jika ada suatu hal yang bisa membuatku bahagia, maka hal itu bukan hal yang sederhana. Pasti ada proses-proses yang terjadi hasil konspirasi Allah dan alam semesta hingga menghadirkan suatu proses, dan yang pasti mengizinkan aku untuk merasakannya.

Suatu hal bisa dianggap sebagai suatu hal yang sederhana, bisa jadi karena selama ini kita secara tidak sadar mulai menaruh besaran nilai untuk suatu hal yang sifatnya tidak terhitung. Atau memang kita saja yang suka menyederhanakan nilai dari sebuah proses bahkan hal-hal besar?



Jangan lupa bahagia,