Monday, February 24, 2014

22 Februari

And the memories come in flashes asking me what happened on February 22

Di 22 Februari, yang bukan milik akhirnya dikembalikan
Di 22 Februari, yang bukan pemilik harus merelakan
Di 22 Februari, Tuhan meminta apa yang selama ini dipinjamkan
Di 22 Februari, aku mendengar "Sekarang kamu pemimpinnya"

Siapa yang sangka hidupku akan berubah dalam hitungan jam setelah terakhir aku merecokinya main Zuma. Siapa yang sangka, saat aku tak bisa bangun dari tempat tidur karena maag yang tiba-tiba kambuh, ternyata seseorang tengah meregang nyawa di ruang tamu, di depan Butet Kertaradjasa dengan lawakan-lawakan cerdasnya lewat acara televisi, kesukaannya.

Aku tak ingin berusaha mengingatnya. 4 tahun, waktu yang cukup lama walau terasa sangat singkat. Namun, tidak juga bisa menghapus kenangan selama kurang lebih 15 tahun bersamanya. Orang yang selalu dibilang kakak saat kami berjalan bersama. Orang yang selalu dibilang mirip orang Arab(atau orang India) saat kami berjalan berdampingan. Orang yang selalu meminum coffeemix dan menghisap satu puntung rokok di pagi sebelum berangkat ke kantor dan di malam hari saat pulang. Orang yang selalu membuatku dan adik berlomba-lomba membuka pintu gerbang rumah saat mendengar suara motornya dari kejauhandan tebakan kami tidak pernah salah. Orang yang selalu menyanyikan lagu-lagunya Manthous, dan selalu diulang-ulang saat playlistnya sampai ke Wuyung. Orang yang membuatku ikut menonton bola, menggilai Liverpool, teriak jam 2 pagi, lantas membuat Mama keluar kamar mengomeli kami sementara kami hanya saling menatap dan menyalahkan satu sama lain, dan dengan cengiran super lebar kami lanjut menonton bola seakan tidak terjadi apa-apa. Orang yang mengajarkan aku naik motor, dan sukses aku terjunkan ke sawah tetangga karena aku terlalu takut, asing dengan stang motor dan lupa menaikkan persenelingnya. Orang itu yang selalu menjadi partner in crime untuk menghabiskan potongan pizza terakhir. Orang itu yang membelikanku sepatu sandal, dress berwarna merah muda dengan motif floral, mungkin orang itu lelah melihat anak perempuannya jauh dari kata feminin, memakai celana pendek plus kaos dan converse ke manapun ia pergi. Orang itu yang pernah marah denganku karena aku tidak tidur sampai jam 3.00 pagi untuk online, imbasnya? Jelas, untuk bulan berikutnya, no more WiFi in the house. Orang itu yang selalu aku larang untuk hadir saat aku mengikuti suatu lomba. Orang itu yang melarangku masuk Jurusan Hukum saat aku kuliah. Orang itu yang kadang selera humornya tidak bisa aku mengerti tapi caranya tertawa selalu bisa membuat aku tersenyum. Orang itu, untuk terakhir kalinya menggenggam tanganku dan mengatakan, "Jangan jijik sama Bapak.", saat pembuluh darahnya pecah, dan terus memuntahkan air tanpa henti. Orang itu yang pernah memintaku memanggilnya "Papa" agar matching dengan bagaimana aku memanggil Mama, namun tak pernah aku lakukan. Akhirnya, dari dulu hingga sekarang, orang itu selalu aku panggil, Bapak.
Sekarang kamu pemimpinnya―Sumarno
 Pagi 22 Februari. Langitnya cerah, burung-burung tetap berkicau, matahari juga dengan baik melakukan tugasnya. Sayang, cerahnya langit tak sebanding dengan rentetan scene cepat yang aku alami bebera jam terakhir. 4.30 WIB tubuhnya dibawa pulang dari rumah sakit, dan waktu berjalan sangat cepat kala itu, pukul 7.00 WIB aku sudah ada di dalam mobil , perjalanan menuju Gunungkidul, Yogyakarta. Kota kelahiran orang seseorang yang sangat berharga, yang menutup usianya di angka 48.

22 Februari punya makna sendiri. 22 Februari yang akhirnya memaksaku keluar dari zona nyaman. Bukan hanya sentilan, tapi aku merasakan kali ini Allah sudah menamparku. Menyadarkanku, betapa jauhnya posisiku saat itu dari keluarga. Anak kelas 3 SMP yang lebih senang menghabiskan waktu dengan teman-temannya, punya dunia sendiri di kamarnya saat ada di rumah. Entah apa yang aku pikirkan saat itu, mungkin aku berpikir, bahwa mereka akan ada terus menerus sepanjang aku hidup. Saat itu aku pasti lupa.

22 Februari, akhirnya aku diseret keluar dari zona nyamanku, bukan hanya sekedar dikitik-kitik agar menyingkir tapi di-se-ret. Digelandang menuju tempat yang baru akibat janji yang kubuat sendiri tanpa memikirkan konsekuensi yang mungkin aku dapatkan jika aku tak mampu memenuhi apa yang aku sanggupi. Dengan berbekal janji yang harus aku tepati, aku bertekad untuk memulai lagi segalanya dari nol. Juga kata-kata Pakde pagi itu, "sekarang kamu pemimpinnya", benar-benar mengingatkanku akan dua orang paling berharga yang nantinya akan aku topang. Posisinya tentu tidak akan pernah bisa tergantikan, namun di sini, sbeagai anak pertama dari keluarga mungil kami, aku merasa memiliki tanggung jawab untuk meneruskan tongkat estafet yang dulu pernah dibawa Bapak yang kini berada di tanganku untuk di bawa lari, melanjutkan perjuangannya. Aku bertekad merubah kebiasaan lamaku, dan mulai 'mencari'.

Hari pertama masuk di SMA, aku berpikir, aku harus jadi orang yang aktif, aku tidak mau menjadi orang yang hanya pasif, menjadi murid yang baik dik akademis namun gagal bersosialisasi, aku harus bisa menyeimbangkan keduanya. Walau aku tahu, aku tidak bisa bahasa Jawa sama sekali, aku yakin, bahasa bukan kendala untuk berinterakasi dengan yang lain―walau sebenarnya bahasa adalah salah satu macam 'noise' dalam proses komunikasi

Pertama, aku mulai masuk ke ROHIS SMA. Aku merasa selama ini aku jauh sekali dari agama, jujur saja. Orang tua memang mengajarkanku tentang agama islam, namun aku rasa itu belum cukup. Aku tidak ingin menjadi muslim karena keturunan―tetapi tentu saja, aku bersyukur terlahir dari sebuah keluarga muslim. Aku harus menemukan esensi Islam, mengenal Allah, belajar apa yang selama ini aku lewatkan di bangku SMP. Belum terlambat untuk mempelajari semuanya. Masuk ke ruangan ROHIS, bertemu dengan ukhti-ukhti yang baik dengan senyum rupawan, dengan kondisiku yang bahkan belum menutup aurat. Sangat bersyukur mereka bisa menerimaku dan dengan sabar membimbingku lewat kajian atau personal sharing saat aku mulai mempertanyakan apa saja, seperti "Mbak kenapa sih ......." atau "Terus kenapa nggak boleh ........" Syukurlah mereka tidak pernah merasa lelah untuk menjawab semuanya. Rohis akhirnya membawaku ke tempat di mana akhirnya aku memutuskan untuk menutup aurat, walau masih dengan skala kecil, dan bertahap. Setelah sering dikitik-kitik oleh salah satu alumni, akhirnya aku menemukan esensi berhijab untukku yang baru memulai kala itu. Aku juga pernah menorehkannya di halaman ini. Terima kasih kepada Kelompok Amaliyyah Remaja yang mengajarkanku tentang keluarga, persahabatan, agama, juga bersedia menerimaku masuk di dalamnya dan menggenggam tangan ini untuk berjalan bersama dan tak pernah membiarkannya jatuh dua kali.

Kedua, OSIS. Harus aku akui, OSIS SMP jaman baheula dulu, sangat jauh dari kata aktif. Aku pun bukan salah satu yang berkecimpung di dalamnya. Namun, dengan tekad 'self-searching', OSIS menjadi organisasi wajib keduua yang harus aku ikuti. Dengan pengalaman berorganisasi yang masih nol, relasi di Gunungkidul yang juga nol, aku tetap membulatkan tekad untuk masuk ke dalam organisasi ini. Periode pertama, tak menyangka aku terpilih menjadi BPH OSIS Widyatama 2010/2011. Kaget. BANGET. Bagaimana tidak, aku yang bukan apa-apa, istilahnya 'anak tempe' ini, tiba-tiba ditempatkan menjadi sekretaris dua, untuk membantu partnerku yang sudah duduk di kelas XI. Berulang kali aku mengingatkan mereka tentang pengalamanku yang masih secimit bahkan nol. Tetapi mereka tidak juga merubah keputusannya. Entah apa yang ada di dalam diriku, mereka yakin aku bisa menerima tanggung jawab ini. Walau akhirnya aku akan pusing dengan segala macam hal tentang persuratan, proposal, schedule seminggu, dua minggu, sebulan, namun aku tetap senang berada di dalamnya. Lagi, lewat organisasi ini aku diajarkan tentang ketekunan, keuletan, intrik politik juga sesekali, dan yang paling penting aku menemukan 10 orang sahabat yang sampai saat ini masih sering kumpul-kumpul untuk sekedar ngopi-ngopi, aku memanggil mereka, Cawetrangers.

Exploring talents. Kalian harus percaya saat aku mengatakan aku bukanlah orang yang memiliki keberanian ataupercaya diri seperti apa yang terlihat―setidaknya itu yang apa teman-teman katakan. Hal ini dapat dilihat dari bagaimana aku selalu merasa aku tidak punya talenta yang membanggakan, entah di bidang musikk atau kepenulisan, dua hal yang sangat dekat denganku. Namun, setidaknya di SMA aku jugamenjadi lebih berani berkat bimbingan guru-guru pembina yang sabar menghadapi manusia kepala batu sepertiku. Ikut lomba menyanyi solo walau akhirnya tidak bisa pulang membawa piala, namun beberapa bulan kemudian mendapat kesempatan untuk mengisi acara halal bihalal PNS se-Gunungkidul untuk menyanyi di sebuah GOR di Gunungkidul, dan itu kali pertamanya akhirnya aku bisa menghasilkan uang sendiri, haha bangga sekali rasanya. Juga tahun 2011 sampai 2012. Masa-masa kelas 11 di mana aku harus membagi antara akademis, organisasi dan konferensi, juga dua lomba yang aku ikuti. Syukurlah dengan segala kegiatan yang ada, setidaknya aku bisa mentas dari masa-masa itu hidup-hidup tanpa mencederai nilai-nilai di bangku kelas XI. Bagian hidupku yang ini mengajarkanku tentang berharganya setiap detik waktu, tentang pentingnya melihat ke dalam diri dan menemukan passion kita, juga tentang tanggung jawab yang harus dipenuhi tidak peduli ada berapa banyak tangguung jawab yang kita pegang di waktu yang bersamaan.
"Belajar adalah proses sepanjang hayat"―Eka Nanda
Memang menakjubkan cara Allah mengajarkan seseorang tentang sesuatu yang lebih besar yang ada di depannya, tentang penghargaan kepada keluarga, tentang keikhlasan, tentang pilihan, tentang menjadi seorang pemimpin, tentang keluar dari zona nyaman, tentang menghargai hidup, dan pelajaran lain yang tak pernah aku pikirkan sebelumnya. Dan ternyata, aku dapat semuanya itu dari sebuah kehilangan. Aku jadi teringat salah satu lirik Breakeven yang dinyanyikan oleh Danny O'Donoghue bersama The Script, "bad things happen for a reason". Tapi, mungkin kurang tepat juga jika aku mengatakannya sebagai suatu hal buruk, bagaimana kalau sebenarnya itu adalah hal baik? Bukankah selalu ada makna dibalik setiap peristiwa? Bukankah Rencana Allah adalah rencana yang terbaik? :) 
We're a planner, but we must remember that Allah is the only Master planner above all ― Anindya Roswita
I hope you're up there with God saying that's my kid―The Script(If You Could See Me Now). 
Someday I'm gonna make you proud. 
Someday I'm gonna make your tears stream down your face for the good thing I did. 
Someday, I'm gonna make those dreams you haven't reach, reached.

22 Februari akan terus menjadi tanggal bersejarah, pintu gerbangku melihat dunia yang lebih luas dari sekedarr zona nyamanku. Bapak, kepergiannya mengajarkanku banyak hal :)

Monday, February 17, 2014

Kelud, Kami Bergerak!

Kamis, 13 Februari 2014
Pukul 22.49 WIB
Sebuah gunung berapi dengan ketinggian 1.731mdpl yang terletak di Provinsi Jawa Timur, seakan bangun dari tidurnya. Gunung Kelud. Berada di perbatasan Kabupaten Blitar, Kabupaten Kediri dan Kabupaten Malang. Ia akhirnya memuntahkan material-material yang selama ini dikandungnya. Luka saudara-saudara di Sinabung belum juga mengering, kini Kelud menggores bagian lain tubuh Ibu Pertiwi. Negeri ini terhenyak.

Kelud dan Sapu.
Malam itu terdengar bunyi gemuruh dari arah timur yang tak berkesudahan. "Mungkin malam ini akan hujan." Setidaknya itulah yang aku pikirkan sebelum melihat info di lini masa Twitter tentang telah meletusnya Gunung Kelud. Diikuti dengan kepanikan-kepanikan orang-orang yang mendengar bunyi gemuruh tadi, yang mendapati kaca bahkan tanah yang mereka pijak bergetar. Belum lagi perasaan takut dan tidak aman lainnya yang menghinggapi siapa saja, sambil menerka-nerka seberapa dahsyat letusan Gunung Kelud di daerah Blitar, Kediri atau Malang, karena bahkan untuk kawasan macam Purwokerto, Surakarta dan Yogyakarta pun masih mendengar suara gemuruhnya. 
Kelud yang sering ditulis "Kelut" dalam bahasa Jawa berarti Sapu. Seperti yang kita tahu, sapu sendiri adalah salah satu alat yang digunakan untuk berbenah, membersihkan lantai, dinding atau langit-langit dari kotoran dan debu. Kelud dan sapu. Lalu aku mulai berpikir, sekaligus menerka-nerka, mengandai-andai, apakah mungkin ini cara Allah menyapu kebathilan yang ada di Pulau Jawa. Eh, bukan menyapu. Tapi lebih ke menyuruh kita, orang-orang bodoh yang kadang lupa diri, merasa sok pintar akan suatu keahlian hingga lupa masih ada langit di atas langit, dan masih ada lapisan batuan lain di bawah tanah yang kita pijak. Mungkin ini cara Allah mengingatkan diri untuk segera menyapu, berbenah, melakukan bersih diri dari segala kekhilafan yang kita lakukan saat nyawa masih ada di dalam badan. Mungkin ini caranya Allah mengingatkan kita bahwa tidak ada yang abadi, segalanya dapat berubah sesuai dengan keinginanNya. Mungkin ini caraNya mengingatkan kita yang sering lupa.

Minggu, 16 Februari 2014
@ Car Free Day Slamet Riyadi, Surakarta
Pukul 06.00-09.00 WIB
Pagi-pagi sekali kami berkumpul, di depan Taman Sriwedari. Dengan harapan dan semangat. Dengan senyuman dan kepedulian. Dengan rasa cinta dan kasih kepada sesama. Berbalut jas almamater Biru Ndog Asin, memegang kotak bertuliskan "Gerakan Mahasiswa se-UNS Peduli Bencana" kami mendatangi satu per satu pengunjung Car Free Day hari Minggu itu. Menanggalkan rasa gengsi ataupun malu, kami ingin saudara-saudara kami di sana dapat tersenyum seperti dulu. Matahari pagi senantiasa menemani langkah kami, menembus kerumunan, tersenyum kepada siapa saja sambil menyodorkan kotak kami, siapa tau mereka ingin membagikan rezekinya untuk saudara mereka yang kini sedang kelaparan karena makan pagi belum datang dari posko pengungsian. 
Seribu, dua ribu, lima ribu, sepuluh ribu... semua kami terima, membalas mereka, baik yang membagikan rezeki mereka maupun yang tidak, dengan senyuman dan doa, semoga keberkahan selalu diberikan kepada mereka. Namun, tidak semuanya mulus, baik-baik saja, tanpa kendala. Ada pula saat di mana kami bertemu dengan mereka yang sibuk dengan gadget mereka, mengacuhkan kami, mengatakan "tidak" untuk membantu saudara mereka yang mungkin saat ini sedang kesusahan mencari sehelai masker. 
Sebegitu tak pedulinyakah? Namun, apa daya kami? Ini adalah gerakan yang mengajak siapapun untuk berkontribusi dari hati, tidak ada satu orang pun yang memaksa. Ini adalah gerakan dari hati untuk negeri. Sehingga mendapat perlakuan seperti itu, tidak membuat kami patah arang, kami terus bergerak, terus berjalan, mengetuk pintu hati orang satu per satu, membuka mata hati mereka, menyadarkan mereka yang tengah disibukkan dengan dunia, memperlihatkan bahwa ada banyak saudara kita yang hari ini kehilangan lahan untuk bertani atau mendapati hewan ternaknya mati. 
Ternyata benar juga,perjuangan kami tidak sia-sia. Dengan usaha yang dilakukan semaksimalkan mungkin, hasil yang kami peroleh juga rupanya tidak mengecewakan, justru membahagiakan. Terima kasih tak lupa diucapkan untuk Allah Yang Maha Esa yang masih menyelipkan orang-orang baik di antara ratusan manusia yang mengunjungi CFD pagi itu. 

Semangat Berkontribusi.
Kontribusi. Kontribusi memang bisa dilakukan dengan banyak hal. Doa juga merupakan salah satu kontribusi yang tidak boleh dilupakan. Namun, apa doa saja cukup? Doa perlu didukung dengan usaha. Begitu juga saat kita memutuskan untuk ikut berkontribusi dalam suatu pergerakkan. Dibutuhkan doa yang tak putus-putusnya, juga usaha yang tak henti-hentinya.
God counts every efforts that you make― Anindya Roswita
Allah selalu menghitung segala usaha yang kita lakukan. Prof. Sukonto Legowo, seorang dosen pembimbing untuk mahasiswanya yang tak kunjung lulus, Ian. Salah satu tokoh yang ada di dalam novel "5cm" karangan Dhonny Dirgantoro. Sangat menginspirasiku selama 1,5 tahun belakangan ini. Pemikirannya tentang pengandaian adanya bejana di atas sana, yang akan terisi dengan setiap usaha dan doa yang kita lakukan, sungguh brilian menurutku. Tentang bagaimana bejana yang penuh dengan doa dan usaha itu akan diturunkan olehNya melalui keberkahan dan hikmah-hikmah Allah lainnya. Analogi itu cukup membuatku terdiam saat aku gagal, mencoba tidak mengutukki keadaan saat aku gagal dan melihat ke dalam diri dan bertanya, "udah maksimal belom ya usaha gue?" "terus, ibadah gue udah bener belom ya?" Dan mendapatkan aku menertawai diri sendiri saat menyadari ada di antara dua hal tadi yang tidak maksimal."
"... Bersinergi dengan aksi.."

―Anis Chaerunisa
Bahwa dalam setiap ucapan dan harapan, harus kita sinergikan dengan aksi-aksi yang proaktif dan solutif. Jangan sampai menjadi anak muda(apalagi mahasiswa) yang punya banyak harapan, ambisi atau wacana, memiliki idealisme setinggi langit Zeus, namun tidak pernah ambil bagian untuk menjadikannya menjadi suatu hal yang nyata. Hanya puas hidup di dalam pikiran-pikiran imajinatif akan sebuah negeri yang aman, damai dan tenteram saat tanpa disadari justru terkungkung di dalam sangkar emas buatannya sendiri. Ucapan harus disinergikan dengan Aksi. Sama seperti doa yang juga harus bersinergi dengan usaha. Agar Allah senantiasa meridhoi setiap apa yang kita lakukan dan kita pun terus berada di jalanNya.

Buka hati, mata dan telinga, bangkit dan berkontribusi dengan cinta, bantu mereka yang tengah lara menghapus air mata, mengembalikan tawa yang dulu mereka punya...




Tuesday, February 11, 2014

Harga Sebuah Telor Mata Sapi

Kepada Solo malam hari yang dingin

Kepada angin yang menelisik kerah jaket, menusuk pori-pori kulit
Kepada ratusan lampu yang menyoroti Jalan Slamet Riyadi
Tahukah kalian harga sebuah telor mata sapi?
Jelas tidak tahu, mereka benda mati. Mencicipinya saja pasti belum sama sekali.
Lalu aku bertanya lagi
Kepada tukang parkir yang ada di persimpangan Paragon arah Kalitan
Kepada pengendara yang bertarung dengan waktu dan bertaruh keselamatan untuk sampai di rumah
Kepada seorang manusia setengah baya yang tiap pagi membuatkan telor mata sapi untuk si cucu tercinta
Dan kepada si cucu yang tidak pernah memakan telor mata sapi setiap kali dibuatkan.
Tahukah kalian harga sebuah telor mata sapi?
Telor mata sapi. Sunny side up. Jenis makanan yang biasa dimakan di pagi hari, kadang menjadi pengganti daging untuk sandwich, kadang menjadi teman sepiring nasi goreng, kadang juga dengan percaya dirinya tampil sendirian di atas piring tanpa makanan lain sebagai pendamping untuk dilahap oleh yang punya saluran pencernaan saat hampir terlambat.
10 Februari, akhirnya kembali lagi aku ke gedung oranye yang terletak di sudut universitas negeri di Surakarta. Kembali memeluk rutinitas-rutinitas di dalamnya, berusaha berdamai dengan maereka agar paling tidak......semuanya bisa beres sampai di penghujung semester nanti, dengan output yang bagus dan tidak kekurangan sesuatu apapun seperti kadar kewarasan misalnya.
10 Februari, mulai lagi berangkat ngampus pukul tujuh dan (harapannya maksimal) sampai rumah pukul sepuluh walau kenyataannya sampai pukul sebelas, atau dua belas, tidak pernah lebih. Asal positif, bermanfaat dan tetap bertanggung jawab, kenapa tidak? Aku pikir, lebih baik berada di luar rumah, berkumpul dengan teman-teman yang menginspirasi, bergerak, melakukan sesuatu yang bermanfaat ketimbang di rumah, duduk di depan laptop, online sosial media atau parahnya sampai menghabiskan waktu panjang masa mudamu dengan nonton acara joget haha-hihi.
Lalu apa yang salah dari pulang jam sekian kalau memang kegiatan yang diikuti positif? Kali ini urusan perut. Bukan yang kumaksud bukan tentang survey burjo dengan Magelangan terenak di sekitar kampus atau tentang harga ayam penyet di warung makan Sinar lebih mahal daripada di warung makan Kilat.

Cerita kali ini tentang dua mangkuk sayur bayam yang berturut-turut tidak dimakan dan sebuah telor mata sapi yang akhirnya teronggok dingin dan dipencloki lalat. Bukan, ini tentang mubadzir atau hukum agama lainnya, fokusku bukan ke sana sekalian ngingetin diri sendiri biar nggak salah fokus.
Cerita kali ini tentang seorang wanita setengah baya yang bangun pagi-pagi walau udara dingin menelisik pori-pori daster merah muda yang  ia kenakan, walau dengan susah payah ia berjalan menuju tukang sayur dengan kaki yang sering keram saat berjalan jauh hanya untuk mencari 1 ikat bayam segar dan seperempat kilo telur ayam untuk dimasak dan dihidangkan di meja makan yang umurnya mungkin juga setua dirinya, untuk siapa lagi kalau bukan untuk cucunya tercinta.
Cucunya sedang mandi, sedangkan si wanita separuh baya itu memasak bayam tadi menjadi sayur bayam−seperti kesukaan cucunya, sambil mendengarkan lagu-lagu yang dilantunkan cucunya dari dalam kamar mandi, tetap didengarkan walaupun ia tak mengerti apa yang dinyanyikan, lagu-lagu yang asing dari telinganya. Tapi ia senang, setidaknya cucunya itu tidak kesiangan bangun, masakannya akan dimakan kali ini, setidaknya begitu yang ia percayai.
Si cucu keluar dari kamar mandi, setengah berlari lalu masuk ke kamar. Bersiap-siap. Setengah jam kemudian, cucunya keluar kamar, dengan headset, kaus tangan dan kaki serta jaket yang sudah terpakai rapi di badannya. Sambil menggenggam handphone dengan kabelnya yang terjuntai dan terselip dibalik kerudung merah marunnya.
“Aku berangkat ya Mbah.”
Yo sarapano sek
“Ini udah telat.”
Aku wis masak ket wingi ora dipangan, mbok yo dihargai ngono nek aku masak.”
Si cucu terdiam.

Be grateful for the home you have, knowing that at this moment, all you have is all you need Sarah Ban Breathnach
Berapa banyak waktu yang sudah kau habiskan di luar, dengan teman-teman, dengan organisasi, dengan berbagai macam kegiatan yang katamu positif, dan segala kesibukkan lainnya yang tak dimengerti orang tua di rumah?
Berapa lama dalam seminggu ini kau habiskan waktu untuk sekedar nonton televisi, rebutan channel, ngeteh atau ngopi bersama ayah?
Berapa piring masakan ibu yang kau habiskan minggu ini?
Apakah rumah kali ini benar-benar hanya menjadi tempat tidur?
Bukankah mereka yang selama ini memberi tempat tinggal, makan, bahkan hingga sikat gigi?
Lantas tak berhakkah mereka atas waktu bersama kita yang katanya aktivis kampus, yang katanya mahasiswa kura-kura, yang katanya orang-orang yang akan berdiri di garda depan untuk membela rakyat, barang tiga puluh menit untuk sekedar makan bersama?
Terbayarkah telor mata sapi buatan ibumu dengan hidangan burjo di dekat kampus atau mungkin dengan canda dan tawa dari teman-teman?



Malamnya, si cucu pulang lebih awal, minum teh hangat tawar sambil melihat wanita setengah baya itu melahap martabak manis coklat sambil menonton acara joget haha-hihi, kesukaan si wanita setengah baya itu.









Monday, February 10, 2014

It's PASSION! So Don't Pass It!

Akhirnya sampai juga di kamar dengan secangkir teh hangat yang tetap tawar seperti biasanya, dengan Adam Levine yang menyanyikan lagu demi lagu di album "Hands All Over" setelah berpacu dengan waktu, berspekulasi dengan kendaraan lain di jalan sambil sesekali melirik jarum penunjuk speedometer yang jarumnya tak berlari dari angka 60. 

Solo malam ini dingin, cukup dingin untukku yang punya alergi dingin, cukup dingin untuk membuatku memakai tanktop ditambah kaos oblong ditambah cardigan ditambah jaket tebal ditambah sarung tangan dan kaos kaki, juga masker untuk menembus angin semberibit yang sedari tadi terus menelisik masuk ke dalam pakaian yang kukenakan, menggelitik kulit.

Solo malam ini cukup sepi jika dibandingkan dengan malam-malam biasanya. Entah ke mana perginya anak-anak muda penghias kota kala malam itu yang membuat Solo menjadi lebih semarakuntuk yang ini aku tidak keberatan menjadi sekedar penonton atau orang yang lewat di jalanannya saja. Mungkin karena ini malam Senin, dan orang-orang sudah menarik selimut mereka hingga ke leher dan terjun ke dunia mimpi untuk menyambut Senin yang akan hadir beberapa menit lagi.

Namun, Solo selalu punya cerita, cerita-cerita yang muncul kapan saja saat potongan peristiwanya tertangkap oleh kedua bola mata ini. Cerita-cerita yang tak bisa aku telan bulat-bulat sendiri, untuk itu aku bagikan di sini. Jadi begini, .... Sebentar aku seruput teh hangatku dulu, keburu dingin.

Sore ini, kata-kata yang cukup membuatku tergerak untuk menulis tentangnya adalah kata-kata yang keluar dari seorang kakak senior saat aku mengikuti sesi interview untuk screening sebuah organisasi pergerakkan di universitas, kata-katanya sederhana,
Di sini semua tentang passion, kita juga nggak mau masukkin kamu ke kementrian atau divisi yang bukan passion kamu, walau kemungkinan ada, tapi yang kita prioritaskan tetap yang kamu pilih. Sekali lagi, ini tentang passion kamu. ―Fajar Baskoro
Passion. Siapa tak mengenal passion? Sebuah kata yang berarti kegemaran, semangat dan lain sebagainya yang menggambarkan sebuah perasaan kuat yang kita miliki akan suatu hal. Passion tumbuh dalam diri seorang individu, dapat dilihat melalui hasil karya maupun kinerja yang dilakukan oleh individu tersebut.

Passion yang dibilang telah menjadi bagian dari diri kita, siapa bilang tak mungkin memunculkan suatu masalah? Bagaimana bisa? Tentu saja bisa, masalah biasanya datang saat passion yang kita punya berbenturan dengan mindset seseorang, kultur lokal ataupun kebiasaan. 

Sebuah contoh kecil, ada seseorang yang kita sebut saja namanya X, dengan hobinya menulis, membaca buku-buku sastra, ia tertarik untuk melanjutkan studinya ke jurusan Sastra Indonesia. Ia yakin, ia akan berkembang di sana, bahkan ia berani bermimpi bahwa ia akan menjadi orang yang menelurkan buah karya yang tak habis dimakan zaman seperti milik Chairil Anwar atau Pramoedya Ananta Toer. Sayang seribu sayang, orang tuanya tidak memiliki pandangan yang sama dengan X, orang tuanya percaya melanjutkan ke jurusan Tekniklah yang terbaik. Lebih berprospek dan lebih menjanjikan finansial X di tahun-tahun ke depan. Jika kau menjadi X, kira-kira mana yang akan kau pilih?

Pilihan sulit? Memang, dengan kultur Indonesia yang sedemikian rupa, membuat segelintir anak kurang bebas dalam menentukan sendiri masa depannya. Orang tua seringkali berpikir pilihannyalah yang terbaik bagi si anak, walaupun memang tidak bisa dipungkiri setiap orang tua menginginkan yang terbaik untuk anak-anak mereka, itu juga tidak salah. Namun, seringkali ego yang dimiliki orang tua justru menggusur kebebasan anak dalam membangun jalannya sendiri. Seringkali, orang tua terlalu bersemangat menyediakan material, kerikil, semen, batako atau air guna membangun jalan menuju masa depan si anak, namun lupa tujuan akhir yang sesungguhnya diinginkan si anak. Aku, jadi teringat sepatah dua patah kata yang diungkapkan Kahlil Gibran,
Anak-anakmu bukanlah anak-anakmu
Mereka adalah putra-putri kehidupan
Kau bisa berikan kasih sayangmu
Tapi tidak pikiranmu―Kahlil Gibran
Orang tua wajib memberikan wejangan-wejangan yang baik untuk anak-anak mereka, namun harus disadari lagi, anak memiliki hak mereka sendiri untuk menolak ataupun menerima wejangan tersebut. Dan tentu saja, apapun keputusan yang diambil, keluarga tetap menjadi rumah bagi si anak, kapanpun dan bagaimanapun kondisinya.
Passion is energy. Feel the power that comes from focusing on what excites you
―Oprah Winfrey
Passion adalah energi. Tidak heran saat mas Fajar mengatakan "... kita juga nggak mau masukkin kamu ke kementrian atau divisi yang bukan passion kamu", karena pasti ia juga paham bahwa mereka yang bekerja atas dasar passion tidak akan pernah merasa lelah, apapun yang dikerjakan dengan suka hati pasti akan membawa hasil yang maksimal dan kepuasan tersendiri bagi yang mengerjakannya. Itulah yang diinginkan organisasi ini saat menyaring calon pengurusnya dan menempatkannya sesuai dengan passion mereka masing-masing, apalagi kalau bukan untuk mendapatkan hasil yang maksimal dan terbaik dari masing-masing divisi atau kementrian.
Choose a job you love, and you will never have to work a day in your life―Confucius
Passion, passion, passion. Apa yang aku lakukan sekarang juga karena passion. Pikir saja sendiri, siapa pula yang sudi begadang hingga lewat tengah malam hanya untuk menulis satu atau dua pos di blog yang entah ada pengunjungnya atau tidak walau harus bangun pagi keesokan harinya? Namun, itulah passion, membuatmu melakukan apa yang kau suka walau kadang terdengar ekstrem atau berat, tetapi tidak pernah membuatmu merasa kesusahan karenanya, justru kepuasan yang kau dapat setelahnya. 

Lalu, bagaimana jika satu saat nanti ada yang tidak peduli dengan passion kita dan memaksakan kehendak mereka? Pertanyaan yang kedengarannya akan membuat siapa saja merasa insecure jika ada di kondisi yang sama.
Sometimes It's good to break the rules―Sean(Step up 4 Revolution)
Sekarang kembali ke mereka yang menerima pertanyaan itu, beranikah bilang "tidak" lalu melanjutkan hal-hal yang sesuai dengan passion yang dimiliki, berkarya di dalamnya, atau mengikuti apa saja yang orang lain inginkan? Aku pribadi telah melakukannya satu kali, yang pertama saat memilih jurusan saat SMA, keluarga menginginkanku masuk ke jurusan IPA, mereka berpikir, jurusan itulah yang terbaik dengan prospek kerja yang menjanjikan blahblahblah, walau nilaiku mencukupi, namun aku lebih memilih jurusan IPS, aku salah satu orang yang percaya kepada passion. Kecewa dari pihak yang ditolak sugestinya pasti ada, namun setelahnya adalah bagaimana kita bisa memberikan pembuktian kepada mereka bahwa apa yang kita pilih memang pilihan yang benar. Lagi pula, aku lebih memilih menjadi orang yang 'cemerlang' dengan hal-hal yang aku sukai dibanding dengan menjadi salah satu dari 1000 manusia yang berusaha menyenangkan orang lain melalui pilihan hidup yang bahkan tidak kita sukai. Hasilnya? Aku juga tetap berprestasi, memenangkan lomba debat walau hanya tingkat kabupaten dan mendapat medali perak untuk lomba karya ilmiah di tingkat provinsi, juga ikut serta di dalam konferensi internasional di Bandung. Suatu hal yang tak mungkin bisa aku dapatkan jika aku masuk ke jurusan yang tidak bisa memberiku stimulus untuk berkembang. Pembuktian macam itulah yang akhirnya dapat memberikan pandangan baru kepada keluarga untuk mempercayakan urusan memilih(walau tetap terus dibimbing) pilihan-pilihan krusial dalam hidupku, akhirnya. Lagi pula, kita tidak akan pernah bisa selalu menyenangkan semua orang bukan?
Kini pilihannya ada dua, apakah kau akan mengikuti passionmu untuk membentuk masa depanmu atau memberikan kesempatan itu kepada orang lain utnuk melakukannya? Yang jelas, seiring bertambahnya umur, pilihannya bukan lagi antara manisnya gula atau pahitnya buah pare, tetapi tentang memilih antara roti bakar coklat atau roti bakar keju, yang keduanya sama-sama enak dan irresistible―Anindya Roswita 

Kuliah pertama di semester 2, pukul 7.30 WIB. Aku tidak boleh terlambat. Selamat malam dunia, selamat beristirahat dan berkarya di keesokan harinya dengan passion kita masing-masing :)



NB: Ingatkan aku untuk mengganti lampu utama motor, sinar jarak jauhnya sudah mulai meredup.





Sunday, February 9, 2014

The Germs and The Thoughts.

"Bekas tisu sudah menggunung di tempat sampah di sebelah meja tulis. Di lempar sekenanya, yang tidak masuk tong sampah, diurus keesokan harinya saja. Yang empunya terlalu malas menggeser satu inchi pun dari tempatnya duduk. Jangan tanya bagian kamar yang lain, tidak luput dari ketidakpedulian yang empunya kamar. Sprei yang sedikit keluar dari tempatnya, belum juga dibenahi, sajadah sholat juga belum digulung, tas-tas ditaruh sekenanya, baju kotor tidak sempurna masuk keranjang, beberapa lengan baju atau celana masih menjuntai keluar. Siapa yang punya kamar ini? Astaga apa saja pekerjaannya?!!!"
Aku. Aku yang punya kamar itu. Aku yang mengetik post ini, di depan laptop, duduk di sajadah sholat yang belum digulung sedari tadi terakhir melaksanakan kewajiban yang lima waktu itu, yang sesekali menarik tisu baru dari dalam plastiknya kemudian mengeluarkan cairan dari hidung, yang membuat kepalaku berat sedari pagi. 

Serangan dadakan virus influenza akhirnya tidak bisa lagi kuhadang. Mungkin benar kata beberapa artikel yang aku baca tentang golongan darah, bahwa manusia dengan golongan darah A paling mudah terserang virus, salah satunya adalah influenza. Yasudahlah, toh aku tidak bisa meminta Tuhan di atas sana untuk mengganti golongan darahku bukan? Syukuri dan nikmati saja.

Berapa hari aku meninggalkan blog ini? Ya, dua hari. Dua hari sudah cukup untuk mengacaukan project-ku sendiri untuk menulis musik di playlist yang biasa aku dengarkan. Suck! 
Srooooooooot!
Sebelum menulis lebih jauh lagi, aku ingin mengucapkan apresiasi yang sebesar-besarnya kepada mereka yang konsisten menulis dengan mengikuti tema yang beragam selama tenggat waktu yang ditentukan seperti #30DaysChallenge blablabla, mereka hebat, aku harus mengakui itu, konsisten menulis dan menghasilkan karya selama 30 hari berturut-turut. Aku harus belajar banyak dengan mereka. #30DaysChallenge bukanlah kontes, setidaknya aku tidak pernah memikirkannya sebagai sebuah kontes. Itu adalah semacam motivasi yang tidak cukup memotivasi untukku bagi siapapun untuk terus menulis.

Tetapi kembali lagi seperti tulisanku yang sudah-sudah, bagiku menulis adalah tentang kejujuran, tentang kebebasan dan tentang sebuah dunia yang hanya bisa dimasuki oleh Sang empunya pikiran. Akhirnya aku berpikir untuk melupakan 30 days challenge, 7 days challenge, 1 day challenge dan challenge-challenge lainnya yang justru menjadikan kegiatan tulis-menulisku yang awalnya bermaksud untuk mengeluarkan pikiran-pikiran yang tidak semua bisa dikatakan menjadi sebuah kegiatan untuk mengejar target belaka. 
You Only Iive OnceDrake
Saat hidup telah dipenuhi dengan berbagai target yang harus dipenuhi, ditambah tenggat waktu yang membuat siapa saja seakan tidak ada punya waktu untuk sekedar ngopi-ngopi, tidak bisakah kita menyisakan sebuah ruang sempit, kecil namun tetap bisa membantu kita merelaksasikan pikiran, di mana akhirnya kita bisa duduk, memejamkan mata, mendengarkan dunia berbicara dan mengatakan, "let it go with the flow"?

Sisanya, dipikir nganggo ngopi wae sek, lur.




Wednesday, February 5, 2014

Lights

Playlist #3 Lights-Ellie Goulding
Solo malam ini seperti malam-malam biasanya, indah dan berkharisma. Pernah aku tulis juga beberapa patah kata keindahan tentang Solo di sini. Solo malam hari, yang makin larut justru makin hidup, banyak anak muda berjajar di depan gedung BI, sekedar bersenda gurau, menikmati bakso bakar atau bisa juga memotret satu atau dua foto untuk dijadikan display image di media sosial. Ada juga yang berjajar di sepanjang Jalan Slamet Riyadi dengan motor yang sudah dimodifikasi, ajang unjuk kreativitas atau......lupakan.
You show the lights that stop me turn to stoneYou shine it when I'm alone
 Ellie Goulding mulai menghentakkkan telingaku, bertepatan dengan motorku yang mulai melaju di kawasan Pasar Gede. Perfect moment didn't come twice. Seperti lagu ini yang disambut dengan warna merah menyala dari lampion-lampion yang bergantungan menyeberangi satu bangunan dengan bangunan yang lainnya. Kulambatkan laju motor matic yang telah menematiku kurang-lebih sleama 3 tahun, untuk sekedar menikmati suasana di bawah sinar-sinar yang terpancar dari lampion merah. Mendadak aku tidak ingin cepat pulang.

Keluar dari kawasan Pasar Gede, aku memasuki kawasan Gladak. Suasana merah menyala tadi langsung berubah drastis dengan warna kuning keemasan yang terpantul dari lampu jalan, dan lampu-lampu kendaraan yang lalu lalang di jalan tersebut.

Cause they're calling, calling, calling me home
Calling, calling, calling home
Berulang kali aku mendengar Ellie menyebut kata home tapi semakin aku tidak ingin cepat sampai di rumah. Aku ingin berada di dalamnya, menikmatinya sampai pagi saat semua lampu-lampu yang mempercantik kota dimatikan, digantikan sinar abadi dari Sang Surya.

Selain musik, kopi, dan hujan, aku juga suka cahaya. Cahaya dengan hingar-bingarnya, kesan kuat, glamor, mungkin juga arogan, tetapi aku masih menemukan keindahan yang tak tergantikan di dalamnya. Cahaya, seringkali diijadikan sebagai analogi tentang suatu petunjuk, kebenaran dan banyak hal lainnya.

Bagiku, cahaya adalah suatu ketenangan. Entah bagaimana bisa kusebut dengan ketenangan, namun, aku yakin hal ini memang sudah ada, tertanam jauh dan hanya diketahui bagi mereka yang menginginkannya. Ketenangan yang sama aku temukan pada kegelapan. Kegelapan dalam arti sebenarnya. Seperti halnya saat dalam gelap kita bisa lebih tenang dan tertidur dengan lebih nyenyak atau saat kita bisa berpikir lebih banyak di dalamnya.

Kini kalian tahu, cahaya memiliki konten yang sama dengan kegelapan. Ketenangan. Suatu hal yang dapat ditemukan bagi mereka yang berpikir jauh ke dalamnya. Light is now like an open book, you know it if you read it.
Cahaya dan kegelapan adalah hal yang sama, hanya dilihat dari sudut pandang yang berbeda. Lihat saja sekarang, tak sedikit orang yang merasa dirinya sudah menjadi 'penerang' walau sebenarnya tak beranjak sedikitpun dari kegelapan.  Anindya Roswita
Solo malam hari, indahnya tak akan mungkin bisa dipungkiri, sekali lagi Ellie menyanyikan bait terakhir dari lagu yang menemani sedari tadi.

You show the lights that stop me turn to stone
You shine it when I'm alone


Tuesday, February 4, 2014

The Time

Baiklah kita tepati janji yang kemarin telah terucap.
Playlist #2 Live Like We're Dying-The Script
24 derajat Celcius. Bukan suhu udara yang membuat badanmu menggigil atau gigimu bergemerutuk, namun sangat cukup untuk membuatmu merasa nyaman tidak melakukan apapun kecuali membungkus tubuhmu dengan selimut dan membaca novel favorit yang sejak minggu kemarin belum juga selesai kau baca.

Kini aku pasrahkan moodku seluruhnya diatur oleh sebuah aplikasi musik di telepon genggamku. Mereka bilang musik juga seperti hujan, mereka suka membawamu kepada kenangan sedih maupun bahagia lewat bait-bait liriknya. Namun, tidak hanya itu, musik juga memberikan kita optimisme, semangat baru dan kekuatan untuk menghadapi tantangan-tantangan di hadapan kita. Akan terdengar sangat berlebihan, namun itulah kekuatan musik, suka atau tidak suka, sadar atau tidak sadar.

Aku ingat intro lagu ini, hentakkan drum, dan petikan gitar yang bergabung membentuk suatu irama yang membuat siapa saja yang mendengarnya mengusir rasa kantuk atau rasa sendu mereka.
Sometimes we fall down, can't get back up
Danny menyanyikan lirik pada bait pertamanya, dengan suara khas yang selalu membuatku heran, suatu keheranan kepada setiap mereka orang Inggris sebenarnya, karena saat mereka bernyanyi aku tak lagi mendengar aksen kental mereka yang menurut banyak orang sangat seksi itu. Tapi, sudahlah, aku tidak ingin membahas aksen mereka di sini.

Live Like We're Dying.
Apa yang kau pikirkan saat mendengar kata-kata tersebut? Aku pribadi merasakan sebuah optimisme yang coba ditularkan oleh si penyanyi kepada siapapun yang mendengarnya. Aku pikir ini lagu yang sangat cocok untuk mereka yang baru saja ingin memulai suatu langkah, besar atau kecil. Lagu yang juga sangat tepat untuk mereka yang berpikir bahwa  hidup mereka sia-sia, dan lupa akan setiap detail syukur yang telah diberikan olehNya.
We gotta startLooking at the hands of the time we've been givenIf this is all we got and we gotta start thinkingIf every second counts on a clock that's tickingGotta live like we're dying
Sudah berapa detikkah kita lupa akan waktu singkat yang diberikanNya sementara kita terus menyia-nyiakannya, membiarkannya terbuang tanpa arti dan manfaat?
Sudah berapa lama detik yang kita buang untuk membenci segala hal yang kita punya?
Sudah berapa lama detik yang kita buang dengan tidak bersyukur?

Lagu ini telah menjadi pengingat tentang bagaimana kita seharusnya memperlakukan waktu. Bagaimana waktu yang telah terbuang tidak akan mungkin kembali. Bagaimana terkadang kita lupa bahwa hal yang paling jauh dari diri kita adalah waktu.


Live like we're dying
Live like it's your latest second for a living
Live like it's your last chance for loving
Live like it's your time to make things better and never regret a thing





Monday, February 3, 2014

Setulus Menanti Hujan

Playlist #1 You Make It Real-James Morrison

Angin dingin berdesir, meniupkan helaian rambutku. Kembali kurapatkan jaket berwarna hijau gelap, hangatnya masih setia melindungiku sejak tiga tahun lalu. Kiranya, selama itu pula aku menanti.
            
Tepat hari ini, tiga tahun yang lalu. Saat itu hujan deras mengguyur kota Bandung. Secangkir teh hangat dan beberapa potong kue tape buatanku tadi pagi mempercantik meja teras siang itu. Engkau tengah mengenakan sepatu hitam yang telah kau semir hingga mengkilat, lalu kau ikat talinya erat-erat. Terlalu sibuknya dirimu dengan kedua utas tali itu hingga tak sadar aku tengah berdiri di situ membawakan jaket hitam dengan lambang Timnas Perancis dan tulisan terbordir rapi di bagian punggungnya, “FRANCE” begitulah bunyinya, seperti yang kausukai.
            Aku tak pernah membenci hujan. Kau pun tidak—setidaknya itu yang aku ketahui. Aku ingat bagaimana kita menyukai hujan, menikmati teh atau kopi dengan beberapa cemilan kapanpun saat kau di rumah, berfilosofi tentang setiap tetesannya yang jatuh ke tanah, atau sesekali berdansa seperti orang gila dengan lagu kesukaanmu mengalun lewat stereo yang kau putar keras-keras.
            Tapi siang itu, hujan nampaknya ingin memberitahukan kepada kita tentang kekuatannya yang tak hanya dapat memberikan kita kebahagiaan, tetapi juga kesedihan. Seperti perpisahan kita siang itu. Aku ingat siang itu bagaimana aku membantumu mengenakan jaket hitam kesukaanmu perlahan sambil menghirup wangi parfummu—Hugo Boss edisi Musim Panas. Aku ingat bagaimana kau tidak menyukai wewangian, tetapi tidak untuk yang ini.
            Siang itu, kau menyuruhku duduk di sampingmu. Aku tak akan pernah lupa bagaimana kau terus memegang tanganku, seakan tak pernah ingin melepaskannya. Lalu kau mengeluarkan sesuatu berbentuk persegi panjang dengan warna metalik dan seutas kabel putih kecil yang melingkari permukaannya. Beno, begitulah kau memanggil iPod yang telah menemanimu selama bertahun-tahun itu. Kau pasangkan satu ujung headsetnya di telinga kirimu, dan memberikan ujung yang lain kepadaku. Kupasangkan ujung headsetnya ke telingaku, saat itu suara derasnya hujan masih terdengar  jelas. Kali ini wajahmu beralih ke iPod kecil di tanganmu—jangan, tolong jangan alihkan pandanganmu. Sekarang kau tampak sibuk, mencari lagu untuk didengarkan bersama di tengah hujan yang tak kunjung reda.
There's so much craziness surrounding me
Aku tahu kau akan memutarkan lagu ini, lagu kesukaanmu, lagu yang selalu kau pakai untuk berdansa di ruang tengah, dan anehnya aku selalu menikmati kekonyolan-kekonyolan yang kau buat tanpa pernah bosan.
When my head is strong, but my heart is weak,
I'm full of arrogance and uncertainty
When I can't find the words, you teach my heart to speak,
You make it real for me
James Morrison terus menyanyikan bait demi bait lagunya. Aku yakin, dia bahkan tak sadar musiknya telah membuat kami larut dalam kesedihan. Bukan kesedihan yang tercipta karena cerita pada lagu yang ia nyanyikan. Namun, kepada kenangan-kenangan yang telah kami ukir di tiap-tiap baitnya. Kali ini matamu terpejam dengan senyum penuh kedamaian yang tergambar jelas di wajahmu dan jemarimu yang semakin erat menggenggam tanganku. Sementara aku terus saja menatapmu dari tempatku duduk. Aku ingin terus menatapnya, memandanginya, bahkan aku tidak ingin mengedipkan mata walau hanya sepersekian detik. Karena siapa yang tahu, akan ada waktu seperti ini lagi di masa depan.
James Morrison telah menyelesaikan tembangnya. Saat itulah kau membuka mata dan jemarimu merenggangkan genggamanmu. Kala itu kau tersenyum, bukan senyum yang seperti biasanya. Jika saja aku bisa berkata lebih banyak, aku ingin kau tidak tersenyum, aku ingin kau menangis saja, setidaknya itu lebih baik daripada kau berlindung dibalik sebuah senyum kepalsuan. Namun itulah kau, selalu saja berusaha menyenangkan orang lain, hingga kadang lupa akan dirimu sendiri.
Kau lihat jam hitam yang melingkar di pergelangan tangan kirimu, berdiri tegap setelahnya. Memandangku, tepat di bola mataku. Jenis tatapan yang dalam, kuat namun juga rapuh.
“Kau tahu, aku pasti pulang.”
Lidahku kelu, aku tak mampu berkata apa-apa.
“Namun, jika aku tidak pulang, kau tahu apa yang harus kau lakukan.”
Tenggorokanku tercekat mendengar kata-katamu. Tak mampu aku membalasnya, bahkan untuk sekedar bergumam pun aku tak mampu. Aku tak mampu lagi menahannya, bulir demi bulir air mata pun jatuh, membasahi pipi.
Siang itu, kau tinggalkan aku dengan sebuah kecupan di kening dan pelukan hangat yang tak ingin aku lepaskan. Siang itu, aku memulai masa penantianku, dengan harapan dan doa yang tak henti aku ucapkan di setiap siang dan malamnya.
Selama tiga tahun, teh atau kue tape yang aku buat tak lagi ada rasanya di lidahku. Selama tiga tahun, James Morrison tak terasa bernyanyi seperti dulu lagi saat kita berdansa bersama. Selama tiga tahun pula, hujan tak lagi menjadi hal yang aku suka, dinginnya justru membakar perasaanku dengan rindu. Aku menunggu hujan dengan rasa yang sama seperti kala itu saat kau ada di sini. Aku menunggu hujan yang itu, setulus aku menunggumu.
Kini, tiga tahun sudah aku menanti. Hari ini, aku menantimu di teras rumah dengan teh hangat dan beberapa potong kue tape kesukaanmu. Dengan headset yang terpasang rapi dan James Morrison yang menyanyikan lagunya, laguku dan lagumu.
Mobil hitam mengkilat memasuki pelataran. Di awali dengan beberapa penjaga yang keluar dari mobil mereka, hendak melakukan pengawalan. Kau datang. Namun, yang terlihat justru orang tua dengan kepala hampir botak dengan stelan necis menghampiri tempatku berdiri.
“......
“Di sini kami ingin memberi kabar duka atas meninggalnya Bapak Sony di medan perang. Beliau menghembuskan nafas terakhirnya di tenda darurat setempat akibat parahnya luka tembak yang beliau terima dari tentara lawan.”
Satu-satunya yang kuingat setelah itu adalah James Morrison menyanyikan bait terakhirnya di telingaku.
And I am running to you baby,
'Cause you are the only one who saves me
That's why I've been missing you lately,
'Cause you make it real for me
You make it real for me

Kemudian semuanya gelap.





Saturday, February 1, 2014

Secangkir Kopi. Sahabat. Lembayung.

Pasti akan tiba masanya, saat rambut hitam ikalku berubah menjadi putih, keriput yang muncul berbarengan dengan gelambir-gelambir akibat lemak-lemak yang malas aku bakar saat masa muda dulu, atau saat kaki yang mulai gemetar untuk melangkah hingga akhirnya aku harus bertumpu pada tongkat penyangga atau bahkan kursi roda. Siapa yang akan tahu masa depan? Saat itulah aku akan mengingat tentang sebuah malam bersama sahabat.

Malam itu, pukul dua puluh satu, suhu udara kota Jogja mulai berangsur-angsur menurun. Namun, tdak juga menyurutkan niatku untuk menikmati malam bersama sahabat sambil ngopi-ngopi atau hanya sekedar memanfaatkan sinyal wifi
"Cobain nih, enak!" Kata seoarang sahabat sambil menyesap cairan hitam pekat yang memenuhi cangkir beling di hadapannya.
Baiklah, berkat rekomendasi sahabat, dengan sedikit gaya bintang iklan yang tengah menikmati secangkir kopi, malam ini pilihanku jatuh kepada secangkir Kopi Jahe untuk menemaniku bersenda gurau dengan sahabat-sahabat lama. Kubiarkan 'Cut Nyak Dhien' yang menyelesaikan urusan transaksi antara aku dan Si Empunya Warung Wedangan. Tak lama kemudian, secangkir kopi hitam dengan jahe bakar yang digeprek sudah dihidangkan oleh seorang pelayan di hadapanku. 

Anggaplah ini sebagai saran dari seorang kawan, jangan terburu-buru menenggak kopimu. Minum kopi adalah seni menikmati hidup. Hirup aromanya, biarkan setiap asap yang kau hirup masuk ke dalam hidung, menggoda dan bermain-main dengan indera penciumanmu, mengisi setiap relung di pau-parumu dan menari-nari di pikiranmu. Sesap perlahan, saat otak dan indera penglihatanmu dipenuhi akan bayangan kenikmatan sekaligus kepahitan akan rasa kopi atau semerbak aromanya yang bagai tak kenal lelah menari-nari di pikiranmu, sejujurnya kawan, sesapan pertama itulah momen krusialnya. Karena kala itu, kau akan merasakan pahit dan manis yang entah berkat Tuhan yang mana yang dapat membuat dua rasa yang saling berlawanan ini bersanding dalam satu minuman yang tumpah di waktu yang bersamaan di dalam mulutmu. 
“It doesn't matter where you're from - or how you feel... There's always peace in a strong cup of coffee.” ― Gabriel BáDaytripper
Hal ini mengingatkanku tentang hidup. Bagaimana terkadang kita mendapatkan hal-hal pahitmenyakitkan bahkan, jika itu adalah sebuah rasa dan jika kita memiliki kesempatan untuk memuntahkannya, pasti akan kita lakukan; saat kita sedang menikmati masa-masa manis membahagiakan yang membuat kita ingin terus tinggal di dalamnya.

Kopi adalah kopi. Beberapa orang menyebutnya minuman pahit, tidak enak dan pembawa penyakit. Sedangkan beberapa yang lain menyebutnya gerbang menuju ranah inspirasi, a taste of heaven, bahkan yang lain telah mengatakan betapa sulitnya mereka untuk menikmati hidup tanpa setetespun kopi mengisi hari mereka. Tak masalah, ini soal selera.
Malam ini, secangkir kopi jahe panas ini menjadi saksi bagaimana aku dan sahabat bukan lagi mereka yang masih mengenakan seragam putih abu-abu, sekumpulan bocah ingusan yang selalu menyempatkan diri untuk berkumpul di kantin Ibu Tukino untuk sekedar memesan kopi(aku lebih suka menyebutnya susu, karena aku bahkan tidak merasakan kopi saat menenggaknya) Goodday, atau bocah-bocah ini yang selalu meneriakiku untuk tidak memesan Coffeemix hangat tanpa tambahan gula di gelas kecil sambil mengingatkan maag atau migrain yang kapan saja mengintai kesehatanku. 

Malam ini kami berkumpul di sebuah Warung Wedangan. Lembayung namanya. Cocok dengan suasana ruangan yang diciptakan, dengan duduk lesehan, lampu remang yang memancarkan warna kuning kemerahanterutama yang outdoor. Menikmati kopi kami masing-masing, mengenang masa lalu, membicarakan masa kini dan menerka sambil melempar harap untuk masa depan menjadi kegiatan yang kami lakukan malam itu. Pukul dua puluh dua, terasa masih sangat sore untuk Jogja malam ini. Kami masih membicarakan harapan yang belum terkabul, filosofi hidup kami, mimpi kami, negara kami, hingga pemerintahannya.
“Coffee - the favorite drink of the civilized world.” ― Thomas Jefferson
Membaca kutipan dari Thomas Jefferson buatku sebagai peminum kopi tingkat awal menjadi bangga. Hal ini menjadi mungkin saat mungkin orang-orang di luar di sana membutuhkan kadar kafein lebih di dalam darahnya untuk menjernihkan pikirannya dan menajamkan fokusnya untuk berpikir lebih banyak untuk orang-orang sekitarnya, lingkungannya bahkan negaranya. Kopi telah lama menjadi sebuah pemantik semangat untuk terjun aksi, menyalakan semangat dan memulai untuk merubah dunia. Bayangkan saja jika tokoh-tokoh dunia yang namanya kini seharum aroma kopi itu tidak menenggak scangkir kopinya pada masa itu, aku tak yakin akan ada orang-orang seperti mereka walau mungkin nanti akan muncul generasi peminum teh, susu atau air mineral. Tengok saja David Lynch, seorang yang sangat diapresiasi karya-karyanya dalam bidang perfilman, seni visual dan musik ini menganggap kopi merupakan sebuah "seni kehidupan". Baginya, kopi telah menjadi sumber inspirasi dan perangsangnya untuk berpikir. Kopi memang minuman yang membuat siapa saja yang menyesap pahit-manisnya berpikir.

Kembali ke salah satu meja lesehan di Warung Wedangan Lembayung, dengan 4 orang sahabat lainnya. Kopi Jahe untukku dan dua sahabat lainnya. Dan 1 Kopasus(Kopi Pake Susu) untuk 1 orang sahabat sisanya. Sedang sahabat lainnya cukup puas dengan mencicip kopi milik kami, terlanjur memesan Es Tape katanya. Dengan segelas kopi di muka masing-masing dari kami, topik demi topik kami bicarakan. Kali ini aku tidak bisa menentukan, apakah memang perbincangan yang terus mengalir ini disebabkan oleh kopi yang kami tenggak ataukah memang rasa rindu kepada masing-masing dari kami yang akhirnya dapat diluapkan di tengah syahdunya malam di kota Jogja. 
"Good communication is just as stimulating as black coffee, and just as hard to sleep after."Anne Morrow Lindbergh 
Renyahnya tawa, sarkasme yang dilontarkan masing-masing dari kami, kritik, saran, pendapat, rindu, semua lebur, tumpah ruah, mengisi ruang kosong di dalam hati kami yang telah lama menginginkan masa-masa ini, wajah-wajah ini mengisinya sampai tak ada ruang kosong lagi yang tersisa. Sahabat-sahabat yang kini duduk di hadapanku ini, mereka adalah kopi hitamku. Sederhana dan apa adanya. Tidak seperti Cappucino yang tampil menawan dengan pemanis, gula dan susu, tak cukup dengan itu, masih ditambah kayu manis sebagai toping; atau Macchiato yang punya paten kesempurnaan dalam tata cara menghidangkannya ke meja pelanggan, 4:1 antara espresso dan susu rebusnya; namun di sinilah si Kopi Hitam, tanpa banyak embel-embel, sangat percaya diri bahwa kesederhanaan yang dimiliki tetap dapat  menunjukkan sisi kecantikkan bagi siapa saja para pencintanya. Itulah mereka, sahabat-sahabat yang saat ini duduk menikmati kopi mereka masing-masing, sangat percaya dengan kualitas diri mereka masing-masing, kepercayaan diri mereka tentang mendapatkan seorang atau sekelompok sahabat dengan sifat khas mereka yang lebih senang berbicara kejujuran walau meyakitkan daripada memberi sweetener untuk menambal boroknya kebohongan. 
"Kopi Hitam adalah tentang kejujuran dan kepercayaan diri. Dan bagiku, itulah orang-orang yang kini duduk di hadapanku."―Anindya Roswita
Aku bukanlah seorang fanatik kopi yang mungkin sempat terlintas di pikiran kalian saat kalian membaca post ini. Bukan pula seorang ahli dalam hal kopi yang tahu bagaimana kopi yang sempurna dan kopi yang sangat buruk dan tidak layak dinikmati bagi mereka pecinta kopi. Aku bahkan tidak memiliki spesifikasi khusus untuk setiap kopi yang aku tenggak. Menurutku itu semua soal selera. Dan skala 1-10 setiap orang pastilah berbeda. 

Sejujurnya, aku hanyalah seseorang yang penasaran, mengapa Sang Ayah selalu menyeduh 1 bungkus kopi di pagi hari sebelum beliau berangkat ngantor dan malam hari setelah ia pulang. Aku hanyalah seseorang yang jatuh cinta dengan rasa unik yang tercipta di dalamnya, paduan antara pahit dan manis, sesuatu yang kontras namun nyatanya tetap juga bisa disatukan. Aku hanyalah seseorang yang heran dari mana datangnya inspirasi-inspirasi yang hadir di setiap teguknya. Aku hanyalah seseorang yang mencintai filosofi-filosofi di balik satu cangkir yang selalu mengharapkan kehadiran bibir ini kembali di lain hari. 
“Even bad coffee is better than no coffee at all.”―David Lynch
Pukul dua dini hari, Warung Wedangan Lembayung sudah sejak dua jam yang lalu menutup kiosnya. Kopi yang kami pesan kini hanya meninggalkan ampas di dasar cangkirnya. Sudah waktunya pulang. Saat aku melangkahkan kaki keluar dari warung itu, aku tahu karena aku yakin, suatu saat nanti aku akan kembali ke sini, bernostalgia dengan rasa.