Monday, February 3, 2014

Setulus Menanti Hujan

Playlist #1 You Make It Real-James Morrison

Angin dingin berdesir, meniupkan helaian rambutku. Kembali kurapatkan jaket berwarna hijau gelap, hangatnya masih setia melindungiku sejak tiga tahun lalu. Kiranya, selama itu pula aku menanti.
            
Tepat hari ini, tiga tahun yang lalu. Saat itu hujan deras mengguyur kota Bandung. Secangkir teh hangat dan beberapa potong kue tape buatanku tadi pagi mempercantik meja teras siang itu. Engkau tengah mengenakan sepatu hitam yang telah kau semir hingga mengkilat, lalu kau ikat talinya erat-erat. Terlalu sibuknya dirimu dengan kedua utas tali itu hingga tak sadar aku tengah berdiri di situ membawakan jaket hitam dengan lambang Timnas Perancis dan tulisan terbordir rapi di bagian punggungnya, “FRANCE” begitulah bunyinya, seperti yang kausukai.
            Aku tak pernah membenci hujan. Kau pun tidak—setidaknya itu yang aku ketahui. Aku ingat bagaimana kita menyukai hujan, menikmati teh atau kopi dengan beberapa cemilan kapanpun saat kau di rumah, berfilosofi tentang setiap tetesannya yang jatuh ke tanah, atau sesekali berdansa seperti orang gila dengan lagu kesukaanmu mengalun lewat stereo yang kau putar keras-keras.
            Tapi siang itu, hujan nampaknya ingin memberitahukan kepada kita tentang kekuatannya yang tak hanya dapat memberikan kita kebahagiaan, tetapi juga kesedihan. Seperti perpisahan kita siang itu. Aku ingat siang itu bagaimana aku membantumu mengenakan jaket hitam kesukaanmu perlahan sambil menghirup wangi parfummu—Hugo Boss edisi Musim Panas. Aku ingat bagaimana kau tidak menyukai wewangian, tetapi tidak untuk yang ini.
            Siang itu, kau menyuruhku duduk di sampingmu. Aku tak akan pernah lupa bagaimana kau terus memegang tanganku, seakan tak pernah ingin melepaskannya. Lalu kau mengeluarkan sesuatu berbentuk persegi panjang dengan warna metalik dan seutas kabel putih kecil yang melingkari permukaannya. Beno, begitulah kau memanggil iPod yang telah menemanimu selama bertahun-tahun itu. Kau pasangkan satu ujung headsetnya di telinga kirimu, dan memberikan ujung yang lain kepadaku. Kupasangkan ujung headsetnya ke telingaku, saat itu suara derasnya hujan masih terdengar  jelas. Kali ini wajahmu beralih ke iPod kecil di tanganmu—jangan, tolong jangan alihkan pandanganmu. Sekarang kau tampak sibuk, mencari lagu untuk didengarkan bersama di tengah hujan yang tak kunjung reda.
There's so much craziness surrounding me
Aku tahu kau akan memutarkan lagu ini, lagu kesukaanmu, lagu yang selalu kau pakai untuk berdansa di ruang tengah, dan anehnya aku selalu menikmati kekonyolan-kekonyolan yang kau buat tanpa pernah bosan.
When my head is strong, but my heart is weak,
I'm full of arrogance and uncertainty
When I can't find the words, you teach my heart to speak,
You make it real for me
James Morrison terus menyanyikan bait demi bait lagunya. Aku yakin, dia bahkan tak sadar musiknya telah membuat kami larut dalam kesedihan. Bukan kesedihan yang tercipta karena cerita pada lagu yang ia nyanyikan. Namun, kepada kenangan-kenangan yang telah kami ukir di tiap-tiap baitnya. Kali ini matamu terpejam dengan senyum penuh kedamaian yang tergambar jelas di wajahmu dan jemarimu yang semakin erat menggenggam tanganku. Sementara aku terus saja menatapmu dari tempatku duduk. Aku ingin terus menatapnya, memandanginya, bahkan aku tidak ingin mengedipkan mata walau hanya sepersekian detik. Karena siapa yang tahu, akan ada waktu seperti ini lagi di masa depan.
James Morrison telah menyelesaikan tembangnya. Saat itulah kau membuka mata dan jemarimu merenggangkan genggamanmu. Kala itu kau tersenyum, bukan senyum yang seperti biasanya. Jika saja aku bisa berkata lebih banyak, aku ingin kau tidak tersenyum, aku ingin kau menangis saja, setidaknya itu lebih baik daripada kau berlindung dibalik sebuah senyum kepalsuan. Namun itulah kau, selalu saja berusaha menyenangkan orang lain, hingga kadang lupa akan dirimu sendiri.
Kau lihat jam hitam yang melingkar di pergelangan tangan kirimu, berdiri tegap setelahnya. Memandangku, tepat di bola mataku. Jenis tatapan yang dalam, kuat namun juga rapuh.
“Kau tahu, aku pasti pulang.”
Lidahku kelu, aku tak mampu berkata apa-apa.
“Namun, jika aku tidak pulang, kau tahu apa yang harus kau lakukan.”
Tenggorokanku tercekat mendengar kata-katamu. Tak mampu aku membalasnya, bahkan untuk sekedar bergumam pun aku tak mampu. Aku tak mampu lagi menahannya, bulir demi bulir air mata pun jatuh, membasahi pipi.
Siang itu, kau tinggalkan aku dengan sebuah kecupan di kening dan pelukan hangat yang tak ingin aku lepaskan. Siang itu, aku memulai masa penantianku, dengan harapan dan doa yang tak henti aku ucapkan di setiap siang dan malamnya.
Selama tiga tahun, teh atau kue tape yang aku buat tak lagi ada rasanya di lidahku. Selama tiga tahun, James Morrison tak terasa bernyanyi seperti dulu lagi saat kita berdansa bersama. Selama tiga tahun pula, hujan tak lagi menjadi hal yang aku suka, dinginnya justru membakar perasaanku dengan rindu. Aku menunggu hujan dengan rasa yang sama seperti kala itu saat kau ada di sini. Aku menunggu hujan yang itu, setulus aku menunggumu.
Kini, tiga tahun sudah aku menanti. Hari ini, aku menantimu di teras rumah dengan teh hangat dan beberapa potong kue tape kesukaanmu. Dengan headset yang terpasang rapi dan James Morrison yang menyanyikan lagunya, laguku dan lagumu.
Mobil hitam mengkilat memasuki pelataran. Di awali dengan beberapa penjaga yang keluar dari mobil mereka, hendak melakukan pengawalan. Kau datang. Namun, yang terlihat justru orang tua dengan kepala hampir botak dengan stelan necis menghampiri tempatku berdiri.
“......
“Di sini kami ingin memberi kabar duka atas meninggalnya Bapak Sony di medan perang. Beliau menghembuskan nafas terakhirnya di tenda darurat setempat akibat parahnya luka tembak yang beliau terima dari tentara lawan.”
Satu-satunya yang kuingat setelah itu adalah James Morrison menyanyikan bait terakhirnya di telingaku.
And I am running to you baby,
'Cause you are the only one who saves me
That's why I've been missing you lately,
'Cause you make it real for me
You make it real for me

Kemudian semuanya gelap.





No comments:

Post a Comment