Sunday, December 15, 2013

Solo Malam Itu...


Jalanan belum juga kering setalah diguyur hujan deras sesore ini. Solo masih diselimuti hawa dingin yang cukup untuk membuat tengkuk bergidik dan menenggelamkan tangan di saku-saku jaket atau di balik lengan panjang yang dipakai masing-masing manusianya.

Solo. Kota kecil dengan segunung budaya, komunitas, perkumpulan, dan beragam karakter manusianya, memang selalu aku anggap (re: setidaknya selama kurang dari 6 bulan terakhir) sebagai kota yang kharismanya muncul saat matahari sudah menempatkan diri di peraduannya, saat lampu-lampu di jalan mulai dinyalakan, saat satu per satu pedagang makanan Hidangan Istimewa Kampung atau yang lebih dikenal dengan HIK(re: he') membuka lapak mereka, dan saat itulah aku melintasi jalanan di tengah aktivitas-aktivitas kecil itu. Syahdu.

Malam ini, Pakde Iwan Fals dengan setia menemaniku dalam perjalanan kembali ke Makam Haji dari Kentingan menyanyikan Yang Terlewatkan. Waktu menunjukkan 23:15 WIB tadi, saat aku melintasi Jalan Slamet Riyadi, yang mana adalah akses jalan yang aku anggap paling vital yang ada di Solo ini. 23:15 WIB, saat di mana Mama dan Simbah mulai setiap 10 menit sekali menelpon dan menanyakan keberadaanku, dan setiap 10 menit sekali juga, aku harus menjawab pertanyaan yang sama. Sehabis hujan, di bawah sinar lampu jalan dan dingin yang terus merasuk ke dalam tulang, tulang rusuk, tulang punggung, dan tulang-tulang lainnya. Bayangan akan alergi dingin yang mungkin bisa kapan saja kambuh juga ikut menghantui. 

Solo malam ini seperti Solo di hari biasanya, selalu memberikan inspirasi di setiap sudut kotanya, di setiap sinar yang terpancar dari lampu-lampu jalannya, selalu indah dan nyaman untuk dinikmati. Hampir saja lupa, sudah hampir tengah malam dan aku belum juga pulang. Tetapi tetap saja tidak ada keinginan untuk mencari jalan terdekat atau setidaknya mempercepat laju motor yang kukendarai. Solo malam itu sukses menghipnotis kedua bola mata ini dan insan yang memilikinya.

Solo malam ini  dengan langit yang mendung, hawa yang dingin, jalan protokol yang mulai menyepi, tetap saja tak mengurangi sedikitpun kharisma dan keindahannya. Syahdu sekali berada di dalamnya, bersama wong-wong Solo yang terkenal aluse ra jiaamak itu. Membuat wewangian memori dari masa lampau akan sebuah Minggu yang menyenangkan bersama Bapak, adik dan ibu di sebuah rumah kecil yang berada di gang kecil di salah satu sudut di pinggiran kota Tangerang Selatan dan Jakarta itu kembali menguar, menyenangkan dan menyesakkan. Keluarga kecil yang bahagia itu mengajarkanku akan sebuah nilai kebahagian, yang sebenarnya adalah sebuah hal yang sangat sederhana. Tak perlu mendhagak sampai leher kaku untuk merasakan bahagia. 

Bagi Si Bapak, bahagia berarti berkumpul dengan keluarganya, di tengah hujan deras, dengan ibu yang memasak cemilan di dapur dan dirinya yang bermain Monopoli dengan kedua anak perempuannya. Bagi Si Ibu, bahagia berarti masih bisa memasak dan melihat ekspresi puas dari penikmat hidangan setianya. Itulah salah satu life-achievement yang tak akan terlupa bagi seorang ibu. Bagi Si Adik kala itu, kala itu bahagianya adalah bisa membuat satu putaran tanpa masuk penjara atau harus bayar denda lainnya dari  kartu Kesempatan atau Dana Umum, dan tidak bermalam di hotel siapapun saat itu, kalau bisa berharap sedikit ada yang akan singgah sebentar di hotel atau rumahnya yang tersebar di berbagai negara itu. Bagi Si Kakak kala itu, bahagia berarti bisa mengakali Adiknya, bisa bayar hutang ke Si Bapak dan dapat paling banyak kue Ketawa-nya Si Ibu.  

If I could only throw back time, I wanna go back to that time where I think that happiness is such as simple thing. That I don't have to worry about the consequences, the bad or the good stuffs, the possibility that I might get.  I just do what I want to do when it seems so interesting to me. I am the boss of my own self, my own life. 

And there goes the time.
It changed thing's around me. Happiness is not like the way I saw it, at that moment. Since I don't play monopoly anymore. But the way my Daddy think that "Happiness is simple" stick with my brain. I could stay the whole day, with Daniel Sahuleka play his songs on and on, coffee, and some books and never get bored. And that's just what I called happiness. 

But, the time..
It's like the time comes to deny what we think about the life supposed to be.
Like it comes to wake us up from our dream and remind us to be just realistic.
Like it comes to refuse all the thoughts we think that we might get back to our old life.
Like it comes to say "It's time to grow up..." 

If you ever wonder, why do often talk about happiness, it's because that's just one of those way to say, "Thank God for grant me a life that is unpredictably beautiful, amazing, that I shouldn't ask for more." And, maybe there's someone out there, feeling confuse for what happiness supposed to be, well this post is about how I made my own happiness, now since to made happiness is a must, then how's yours?




Monday, December 9, 2013

Korupsi Itu Sangat Dekat!

Siang ini pukul 14.00 WIB Matahari mulai condong ke arah barat. Sementara sekitar 20-an pemuda dengan almamater biru terang baru saja memarkirkan motornya di Gladhak, lalu bergerak ke depan Patung Brigjen Slamet Riyadi yang kokoh berdiri sambil mengangkat senjata di udara. 

Pra-Aksi Sejuta Tangan Anti Korupsi 8 Desember 2013
@ Car Free Day Slamet Riyadi
Hari ini, Senin 9 Desember 2013 bukanlah hari Senin seperti hari biasanya. Hari Peringatan Antikorupsi Seleuruh Dunia. Berbondong-bondong orang mengeutarakan aspirasinya lewat status update, Twitter, ataupun sepatah dua patah kata di blog mereka masing-masing. 

Hari Antikorupsi ini aku artikan sebagai hari di mana kita seharusnya berkabung. Tidak ada semacam perayaan yang harus dilakukan untuk hari ini. Hari ini mengingatkan aku akan matinya integritas di negeri, melempemnya hukum bagi para bandit-bandit dan tak kuasanya penguasa negeri atas tikus-tikus yang kian hari kian menggerogoti kekayaan ibu pertiwi. Menyedihkan.

Korupsi. Korupsi dalam arti hukum, adalah tingkah laku yang menguntungkan diri sendiri dengan merugikan orang lain, yang dilakukan oleh penjabat pemerintah yang langsung melanggar batas-batas hukum.  Namun, bibit-bibit untuk tindak pindana korupsi sendiri tanpa kita sadari ternyata telah terima bahkan saat kita pertama kali melakukan sosialisasi. Dan keluarga tidak luput dari kemungkinan dalam penyebaran bibit-bibit perilaku korupsi itu sendiri.

Kesedihanku yang lain adalah dengan berat aku harus menyadari korupsi sudah menjadi bagian dari negeri ini sejak lama. Tak perlu dululah kita mendhangak ke atas, melihat kelakuan hina para koruptor yang kapan saja mengambil duit rakyat untuk memuaskan nafsu mereka dengan gelimangan harta dan keindahan duniawi lainnya. Korupsi ada di sekitar kita. Dekat sekali, walau tidak sedekat Tuhan yang lebih dekat bahkan dari urat nadi kita sendiri.  Untuk itu, Mari kita lihat praktik korupsi di sekitar kita.

1. Korupsi waktu
Kawan, pertama, aku katakan, korupsi itu bukan hanya tentang duit. Janganlah dulu tuding mereka yang di atas sana yang sedang ngemil duit rakyat. Lihat berapa banyak waktu yang kita sepelekan sampai detik ini. Berapa kali bisa datang tepat waktu sesuai dengan kesepakatan bersama? "Ah itukan Indonesia banget" Apa harus kita mempertahankan kebudayaan yang buruk dan seharusnya sudah sejak lama kita tinggalkan? Jadi ada baiknya jika kita mulai lebih menghargai waktu, perjanjian dan segala bentuk komitmen lainnya yang sudah kita buat.

2. Korupsi dalam keluarga
    "Dinda mau ikut ayah kerja!!!"
    "Nggak kok ayah nggak kerja, ayah di rumah sama Dinda, nih main boneka...
    Sebentar ya Dinda, ayah mau ke kmar mandi dulu..."
    Kemudian si ayah pergi ke kantor. 
Familiar? Kira-kira seperti itulah cerminan keluarga Indonesia dalam mendidik anak. Tanpa mereka ketahui, mereka telah memberikan "Program Kebohongan Kelas Beginner" untuk putra-putri mereka di rumah. Padahal bohong adalah sifat utama yang pasti di miliki oleh jiwa-jiwa Koruptor. Dan saat tersadar bahwa ayahnya telah berangkat kerja ke kantor, Dinda akan meraung, menangis tapi tidak ada lagi yang bisa ia lakukan. Persis seperti masyarakat Indonesia yang sudah kehilangan sosok pemimpin yang asyik dengan dunianya di atas sana. Maka akan terjadi gejolak pada diri masyarakat,mereka menangis, dan menuntut akan perubahan(untuk mereka yang sadar).

3. Korupsi Ilmu
Saat kamu koar-koar soal korupsi dan nyatanya untuk jawab soal nomer tertentu aja masih suit-suit kanan kiri buat mendapatkan 'wangsit', tandanya kamu udah punya bibit-bibit untuk jadi seorang koruptor. selain itu, hal ini juga menjadi tanda gagalnya sistem pendidikan kita dalam melahirkan generasi-generasi muda yang sadar akan esensi pendidikan itu sendiri. Setidaknya menurut saya, pendidikan tidak berorientasi kepada nilai atau hasil akhir yang didapatkan, melainkan kepada proses dan tahap demi tahap yang dijalankan.

4. Korupsi Kehadiran
Nah yang ini biasa dilakuin sama anggota dewan yang nggak bertanggung jawab dan............................Mahasiswa! Sedih memang membenarkan fakta di lapangan bahwa beberapa mahasiswa masih juga melakukan Titip Absen (TA) saat perkuliahan. Semacam paradoks saat mahasiswa dianggap sebagai agen perubahan, koar-koar di jalanan dalam aksinya tentang kejujuran dan transparansi oleh pmerintah, tetapi ternyata masih melakukan TA. Bahkan pada salah satu perkuliahan, dosen saya pernah mengatakan "Kalian mau nilai A? Saya bisa kasih. Tapi kembali lagi ke kalian, Kalian mau lulus dengan kualitas S1 atau mau lulus hanya dengan gelar S1? Jangan harap korupsi di Indonesia bisa lenyap kalau untuk kejujuran macam mengisi absen saja masih dipertanyakan."

Aksi Senin 9 Desember 2013 untuk memperingati Hari Antikorupsi Sedunia
@ Gladhak, Surakarta, Jawa Tengah

Setidaknya itulah beberapa contoh kecil tentang korupsi non-duit yang praktiknya terus dilakukan oleh masyarakat kita dan dianggap sebagai suatu hal yang biasa. Hendaknya kita jadikan hari ini sebagai refleksi untuk melakukan evaluasi agar dapat membangun negeri. Kita cukupkan sampai di sini pembudayaan korupsi dan pembodohan anak negeri. Hidup Mahasiswa! Hidup Rakyat Indonesia!





Thursday, December 5, 2013

Piece of Thoughts in 4th December

23.42 Waktu Kamar Anin.
Hari lainnya di mana waktu berjalan begitu cepat, hanya dengan beberapa kali kedip mata sekarang aku sudah ada di penghujung malam. Malam ini, ke mana perginya inspirasi? Tugas UKD Pancasila masih terbengkalai 1/2 jalan. Writer's block? Mungkin. Tapi apa ada yang terkena writer's block lantas menulis hal lainnya di medium yang berbeda? Kalau memang ada, kandani, biar ra kethok dhewean.

4 Desember 2013.
Sore ini, 20.00 WIB. Perempatan Mangkunegaran arah Pasar Ngarsopuro dari arah Pasar Gede. Details in Fabric dari Jason Mraz dan James Morrison dengan syahdunya menyanyikan tembangnya di telingaku. Tiba-tiba teringat tweetku beberapa waktu lalu. 
"Satu-satunya yang membedakan antara Desa dan Kota adalah apa yang ada di pikiran mereka"
Kenapa? Karena sekarang, sebenarnya sudah tidak tepat jika kita menerapkan teori dari W. W Rostow tentang tahapan suatu penduduk sipil dalam perkembangan ekonomi. Jadi sudah tidak tepat lagi jika kita mengandaikan masyarakat yang tinggal di desa-desa itu, yang omahe nggunung, sebagai masyarakat tradisional. Sumpah ini bukan karena aku pernah jadi salah satu yang tinggal di gunung, lantas membela penduduk yang tinggal di sana. Tetapi, pikiran seperti ini memang harus dilepaskan dari benak kita karena memang sudah tidak lagi relevan untuk diterapkan di era globalisasi ini. Pernah aku ikut sebuah diskusi yang salah satu pesertanya mengatakan bahwa masyarakat desa dengan segala tetek bengek budaya tradisionalnya tidak bisa digathukkan dengan kehidupan modern seperti sekarang. 
"Wong ndeso yo nggak sesedih kui kok. Jangan bilang gitu kalau anda sendiri belum pernah merasakan yang namanya tinggal di desa. hidup bersama mereka selama bertahun-tahun dan mengerti budayanya."
Kira-kira seperti itu jawaban untuk mereka yang selama ini terjebak dalam teori Rostow tapi satu-satunya praktek yang pernah dijalankan adalah saat kunjungan baksos dua atau tiga hari di suatu desa yang nggunung itu. 

Saat ini, kita tidak bisa memberi judgement tentang desa dan kota hanya melalui tampak luar sebuah pemukiman. Jangan hanya karena rumahnya masih joglo, jalannya belum di aspal, jauh dari pusat keramaian, lantas kita mengatakan bahwa itu adalah desa. Dan mereka yang tinggal di tengah kemacetan, lalu-lalang orang yang berjalan setengah berlari dan sibuk dengan headset mereka masing-masing, persaingan untuk memperebutkan oksigen di tengah kepungan karbondioksida adalah kota. 

Kini, desa dan kota bukan lagi tentang bentuk fisik, tetapi pola pikir. Penduduk desa bisa saja berpola pikir modern dengan terus melakukan progress. Tetapi bukan tidak mungkin jika penduduk kota yang sudah kebacut nyaman dengan zona nyamannya, tidak melakukan apa-apa dan menghasilkan budaya yang stagnan atau bahkan regress. 

Lalu, masihkah teori-teori yang berkiblat ke Barat itu dijadikan acuan dalam bahan ajar adik-adik kita di bangku sekolah? Relevankah jika diterapkan di Indonesia dengan sejuta budayanya yang multikultural itu? Sanggupkah kita gali dan kaji sendiri studi keindonesiaan kita lantas menyebarluaskannya? Maukah kita?

Lalu selesai sudah Jason Mraz dan James Morrison menyanyikan lagu mereka. Tak menyangka inilah pikiran selama 5 menit 45 detik jika dijabarkan.

5 Desember 2013
00.38 WIB Tugas UKD II Pancasila-ku masih juga 1/2 jalan.