23.42 Waktu Kamar Anin.
Hari lainnya di mana waktu berjalan begitu cepat, hanya dengan beberapa kali kedip mata sekarang aku sudah ada di penghujung malam. Malam ini, ke mana perginya inspirasi? Tugas UKD Pancasila masih terbengkalai 1/2 jalan. Writer's block? Mungkin. Tapi apa ada yang terkena writer's block lantas menulis hal lainnya di medium yang berbeda? Kalau memang ada, kandani, biar ra kethok dhewean.
4 Desember 2013.
Sore ini, 20.00 WIB. Perempatan Mangkunegaran arah Pasar Ngarsopuro dari arah Pasar Gede. Details in Fabric dari Jason Mraz dan James Morrison dengan syahdunya menyanyikan tembangnya di telingaku. Tiba-tiba teringat tweetku beberapa waktu lalu.
"Satu-satunya yang membedakan antara Desa dan Kota adalah apa yang ada di pikiran mereka"
Kenapa? Karena sekarang, sebenarnya sudah tidak tepat jika kita menerapkan teori dari W. W Rostow tentang tahapan suatu penduduk sipil dalam perkembangan ekonomi. Jadi sudah tidak tepat lagi jika kita mengandaikan masyarakat yang tinggal di desa-desa itu, yang omahe nggunung, sebagai masyarakat tradisional. Sumpah ini bukan karena aku pernah jadi salah satu yang tinggal di gunung, lantas membela penduduk yang tinggal di sana. Tetapi, pikiran seperti ini memang harus dilepaskan dari benak kita karena memang sudah tidak lagi relevan untuk diterapkan di era globalisasi ini. Pernah aku ikut sebuah diskusi yang salah satu pesertanya mengatakan bahwa masyarakat desa dengan segala tetek bengek budaya tradisionalnya tidak bisa digathukkan dengan kehidupan modern seperti sekarang.
"Wong ndeso yo nggak sesedih kui kok. Jangan bilang gitu kalau anda sendiri belum pernah merasakan yang namanya tinggal di desa. hidup bersama mereka selama bertahun-tahun dan mengerti budayanya."
Kira-kira seperti itu jawaban untuk mereka yang selama ini terjebak dalam teori Rostow tapi satu-satunya praktek yang pernah dijalankan adalah saat kunjungan baksos dua atau tiga hari di suatu desa yang nggunung itu.
Saat ini, kita tidak bisa memberi judgement tentang desa dan kota hanya melalui tampak luar sebuah pemukiman. Jangan hanya karena rumahnya masih joglo, jalannya belum di aspal, jauh dari pusat keramaian, lantas kita mengatakan bahwa itu adalah desa. Dan mereka yang tinggal di tengah kemacetan, lalu-lalang orang yang berjalan setengah berlari dan sibuk dengan headset mereka masing-masing, persaingan untuk memperebutkan oksigen di tengah kepungan karbondioksida adalah kota.
Kini, desa dan kota bukan lagi tentang bentuk fisik, tetapi pola pikir. Penduduk desa bisa saja berpola pikir modern dengan terus melakukan progress. Tetapi bukan tidak mungkin jika penduduk kota yang sudah kebacut nyaman dengan zona nyamannya, tidak melakukan apa-apa dan menghasilkan budaya yang stagnan atau bahkan regress.
Lalu, masihkah teori-teori yang berkiblat ke Barat itu dijadikan acuan dalam bahan ajar adik-adik kita di bangku sekolah? Relevankah jika diterapkan di Indonesia dengan sejuta budayanya yang multikultural itu? Sanggupkah kita gali dan kaji sendiri studi keindonesiaan kita lantas menyebarluaskannya? Maukah kita?
Lalu selesai sudah Jason Mraz dan James Morrison menyanyikan lagu mereka. Tak menyangka inilah pikiran selama 5 menit 45 detik jika dijabarkan.
5 Desember 2013
00.38 WIB Tugas UKD II Pancasila-ku masih juga 1/2 jalan.
No comments:
Post a Comment