Saturday, November 24, 2012

Cinta, Spesies Macam Apakah Anda?



Mungkin kalau saya bisa sekaligus membacakannya, intonasinya akan terdengar seperti orang yang gemas karena dibuat “tanpa orientasi”(baca: galau yang diperhalus).
Mungkin, lagu Naik-Naik ke Puncak Gunung salah satu liriknya juga akan berubah menjadi “Kiri-kanan kulihat saja, banyak orang pacaran”. Bukan maksud saya iri dengan yang pacaran, bukan juga karena saya mengutuk status saya yang notabene nya seorang jomblo lapuk, ehm, single maksud saya. Tapi, untuk usia saya yang 17 tahun ini, yang duduk di bangku SMA ini, punya kekasih hati itu seperti hal yang sangat biasa sampai-sampai saat kita sedang berkumpul dengan keluarga besar, dan tiba-tiba ditanya , “Gimana? Udah punya pacar belum?” dan menjawab “Belum” akan menimbulkan gestur aalis mata yang dinaikkan sebelah, alias tanggapan, “Ah yang benar?” Dan kalo udahk kayak gitu, lebih baik anda buru-buru mengalihkan topik ya :’)
Dan akhir-akhir ini, saya jadi berpikir, apa sih cinta sebenarnya? Sesuatu yang dicari oleh orang banyak, yang dideklarasikan banyak orang yang mengaku mereka punya atau telah mendapatkan cintanya, yang diperebutkan orang-orang bahkan hingga ada yang sampai pertumpahan darah.
Sering saya lihat di televisi atau di kehidupan sekitar saya, begitu mudahnya orang-orang di sekitar saya menyatakan mereka mencintai seseorang yang baru mereka kenal selama kurang dari sebulan atau kurang. Pertanyaannya adalah, bagaimana bisa mereka mencintai seseorang yang baru mereka kenal, yang bahkan belum mereka ketahui luar dalamnya? Bukankah itu hanya perasaan kagum yang mereka deskripsikan sebagai cinta?
Dan saya berpikir, mungkin selama ini saya telah salah mengartikan cinta. Mungkin saya terlalu idealis dalam mengartikan cinta itu sendiri. Saya terlalu mematok tolak ukur yang tinggi   untuk menyebut suatu hal sebagai cinta. Karena, cinta itu sederhana. Sangat sederhana dari apa yang saya pernah bayangkan.  Kesederhanaan itu ada di setiap detail terkecil dan proses-proses yang ada dalam proses mencinta. Saya jadi sadar, kesederhanaan cinta kadang dipersulit sendiri oleh manusia. Seperti halnya, saat cinta datang tanpa alasan yang jelas, manusia sering kali mencari-cari alasan untuk menentang kehadirannya, bersembunyi di balik ribuan pembenaran. Orang bilang, itu cinta saat kita bahkan tak bisa menjelaska kenapa kita bisa mencintainya.
Sepertinya, saya terlalu banyak berpikir untuk merasakan cinta. Untuk mencinta, kita tidak perlu berspekulasi terlalu lama. Karena cinta terkadang adalah tentang keberanian mengambil resiko. Pertanyaannya juga hanya satu, “Beranikah anda untuk ‘jatuh’?”
Cinta juga tidak seperti sekolah yang harus kita pelajari 10 jam sehari untuk tau berbagai materi di dalamnya. Cinta adalah suatu hal yang kita dapat dan kita mengerti seiring dengan prosesnya. Kita tidak akan pernah tahu apa itu cinta, saat kita tidak pernah benar-benar mencoba untuk mencinta.
Saat ada yang bilang “cinta datang di waktu yang salah dan untuk orang yang salah”. Cinta itu tidak pernah salah. Karena, cinta itu adalah anugerah dari Yang Maha Kuasa. Dan Dia tidak pernah salah. Saat kita mencintai orang yang mencintai orang lain, bukan berarti cinta datang kepada orang yang salah, Dia hanya menguji kita, seberapa teguh kita bisa menjaga dan mempertahankan karunia-Nya. Karena terkadang, cinta bukan tentang “memberi dan menerima”. Terkadang, kita ada pada posisi di mana kita, hanya bisa memberi tanpa harus menerima. Cinta tak harus memiliki, katanya. Kuncinya satu, tulus.
Ya, itulah cinta. Perasaan paling abstrak yang pernah tercipta di dunia. Bahkan ribuan definisi takkan pernah benar-benar menggambarkan cinta secara keseluruhan. 

Tentang Hujan


Dan butir demi butir
Jatuh dan mengalir
Entah di mana mereka akan berakhir

Aku bukan ahli fisika
Tak tahu bagaimana asal mulanya
Aku pun bukan peramal cuaca
Tak tahu kapan datangnya

Yang aku tahu
Air yang mengalir ini adalh bentuk dari Yang Maha Tahu
Yang aku tahu
Air yang mengalir ini mampu membuatku merindu
Yang aku tahu
Hanya air yang mengalir ini yang membuat kita bersatu

Hitam Putih Cinta



Orang bilang cinta membawa kebahagiaan
Mereka juga bilang cinta yang membuat segala hal buruk penuh dengan keindahan
Mereka juga tak segan bilang cinta telah menjadi alasan mengapa mereka bisa bertahan

Aku?
Aku hanya tertawa dalam hati
Bagaimana bisa orang-orang ini begitu naïf?
Mengapa mereka bisa lupa mengatakan
Bahwa cinta juga bisa membuat mereka bodoh?

Ya, bodoh.
Pangeran berkuda putih,
Kecupan cinta sejati yang akan membebaskan mereka dari sihir
Kawan, itu hanya ada dalam dongeng
Mereka tidak nyata.
Begitupun cinta.
Cinta tak lebih dari sekedar kamuflase manusia
Untuk nyatakan rasa bahagia

Itu semua apa yang aku pikirkan
Tepat sebelum kau datang dan sukses kau porak porandakan

Kau beri aku rasa yang selama ini tak pernah aku hiraukan
Rasa yang selama ini selalu aku acuhkan
Rasa yang seama ini tak pernah aku beri kesempatan.
Cinta.

Dan mereka benar
Cinta memang membawa kebahagiaan
Bahkan sampai ke titik yang paling sederhana
Mereka juga benar
Cinta membuat segalanya indah
Tak peduli seberapa hancur hatimu karnanya
Dan mereka lagi-lagi benar
Cinta bisa membuatmu bertahan
Walau pecahan kaca yang kau pijak
Cinta datang menguatkan.

Mungkinkah Cinta?


Mungkinkah cinta?
Saat aku tau hatiku lebur tak tersisa
Namun aku tetap percaya
Suatu saat nanti semua akan kembali seperti semula

Cintakah itu?
Saat aku terlalu takut untuk jatuh
Namun aku seperti tahu
Cinta akan berikanku sayap dan aku tak akan pernah benar-benar jatuh

Benarkah cinta?
Saat aku melihatnya tertawa
Dengan dan untuk wanita lain tentunya?
Dan aku tetap rasakan bahagianya

Akankah cinta?
Saat aku coba rangkai kata demi kata
Dan hanyalah dia
Yang ada di pelupuk mata

Dan untuk semua
Hal-hal sederhana yang aku rasa
Pertanyaan dalam hati kembali menggema
Mungkinkah itu cinta?


*This is what I wrote for my Bahasa Indonesia's assignment :)

Monday, November 5, 2012

Sir, Mam, Kami Hanya Ingin Belajar....

Selamat Pagi *muka lemes*
Hari Senin. Senin pertama di bulan November tepatnya.
Pagi ini, saya ngeblog dari tempat duduk saya, di baris paling belakang sebuah kelas di suatu sekolah, ya hari ini saya memang datang paling terakhir tadi pagi. 
Bukan Senin yang diharapkan sebenarnya, bukan karena saya masih menginginkan Minggu memiliki durasi yang lebih lama dari hari-hari sebelumnya, bukan juga karena hari ini Try Out putaran kedua sekolah kami, apalagi karena les tambahan untuk persiapan Try Out hari berikutnya.

Bingung. Lelah. Jenuh. Ya, tiga hal tersebut sudah cukup mendeskipsikan bagaimana rasanya menjadi seorang murid tahun ketiga di sekolah menengah ke atas, telrebih karena masalah ini.

Sebelumnya saya minta maaf yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang mungkin akan tesinggung dengan tulisan saya kali ini. Sungguh, saya tidak pernah bermaksud apa-apa selain hanya ingin melampiaskan kata-kata yang tidak bisa saya ungkapkan di dunia nyata. Terkadang, tulisan berbicara lebih keras dari pada suara saya.

Saya tidak tau pasti apa yang terjadi pada jajaran pengajar kami. Tetapi, sepertinya maslah yang ada serius dan bukan suatu hal yang mudah untuk dipecahkan. Kali ini, masalahnya telah meluap ke permukaan (lagi). Yaitu, tentang jam mengajar salah satu pelajaran di sekolah kami. sepertinya ada salah komunikasi atau apalah mereka sebut, atau memang lebih dari itu? Entahlah.

Di sini, saya tidak akan mengeluarkan hipotesis-hipotesis saya tentang penyebab "tarik-ulur jam mengajar" pelajaran ini. Saya hanya ingin mengungkapkan betapa sedih, malu, bingung, dan marahnya saya terhadap hal-hal seperti ini.

SAYA SEDIH!
Ya, Saya sedih! Saya sedih kenapa bisa, kami(pelajar/murid) yang jadi korban dari kepentingan-kepentingan para petinggi-petinggi ini. Saya sedih, kenapa harus kami yang merasakan jam belajar kami jadi tidak berkurang atau guru yang mengajar hanya memberi tugas, fotocopy-an soal lengkap dengan jawaban a-e tanpa ada penjelasan atau sesi pembahasan. Kami pernah senang menerima jam kosong karena guru ternyata ada keperlua, dll. Tetapi tidak tahun ini. Ada UN bulan April nanti yang jujur, masih menjadi momok bagi kami. Lalu kemana integritas para pengajar untuk membuat kami percaya diri dan mempersiapkan kami untuk menghadapi UN nanti?

SAYA MALU!
Saya memang memiliki pandangan yang mungkin terlalu idealis untuk esensi sebuah pendidikan dan pengajarnya. Dan mungkin, saat ini, saya harus menelan pahit idealisme saya, kkenyataannya, pendidikan Indonesia tidak seperti apa yang saya bayangkan sebelumnya. tiidak semua pengajar kompeten seperti apa yang saya ekpektasikan. Saya malu karna saya pernah berkoar tentang arti pendidikan sesungguhnya, saya malu karena kenyataannya berbanding terbalik.

SAYA BINGUNG!
Saya bingung saat tiba-tiba salah satu pengajar menyodorkan pertanyaan, "Nanti akan dipilih perwakilan dari kelas, kalian ingin memilih Mrs. Y atau Mr. X?" Mam, tak biakah kalian bersatu untuk kami? Untuk meluluskan kami dari bangku sekolah ini? Kenapa kami harus memilih? Kami tau, ini memang untuk mencapai kenyamanan kami dalam belajar, tapi dengan apa yang terjadi sebelum-sebelumnya, kenyamanan tidak semudah itu bisa didapat.

SAYA MARAH!
Ya, saya marah! Kenapa bisa-bisanya kalian mengorbankan kami demi kepentingan-kepentingan kalian? Melampiaskan emosi kalian dari kantor guru atau ruang perpustakaan atau ruang piket atau ruang kepala sekolah atau ruang lainnya yang ada di sekolah, dengan bertindak acuh, ketus, bahkan melontarkan kata-kata pedas yang sukses meruntuhkan semangat kami untuk belajar. Kalian bilang kalian ingin terlihat berwibawa? BENARKAH? Sir, wibawa tidak serta merta didapat jika kalian memasang wajah serius di setiap pertemuan. Wibawa itu juga sebuah penghargaan yang didapat seorang pengajar dari muridnya. Saat seorang pengajar dapat mendekatkan diri dengan murid dan menyampaikan pelajaran dengan materi dengan jelas ke murid, memberikan kasih sayang kepada kami bahkan kami dapat dengan jelas melihatnya dari sinar mata yang memancar, saat itu lah kami, pelajar, memberikan apresiasi tertinggi kepada anda, Sir. Wibawa itu adalah saat anda dapat merasakan jalinan pertamanan sekaligus jalinan antara orang tua dan murid, bukan rasa takut yang kami rasakan setiap harinya. Takut akan pilihan-pilihan untuk memilih salah satu dari kalian, takut akan materi-materi yang belum jelas dan kami bingung harus bertanya kepada siapa, karena saat siapapun pengajar yang masuk ke kelas pasti dengan wajah yang tidak sumringah.


Sir, Mam, kami hanya ingin belajar. akan terdengar egois mungkin, akan terdengar tidak manusiawi mungkin bahwa kami ingin Sir dan Mam mengajar tanpa membawa emosi baik dari keluarga maupun dari kantor guru, tapi bukankah itu esensi dari profesionalitas selama ini? Bukankah setiiap orang yang terikat pada suatu apapun memang harus dituntut profesionalitasnya? Bukankah itu yang kami lakukan sekarang? Duduk di bangku sekolah, berusaha untuk fokus ke pelajaran, lepas dari masalah keluarga, teman atau pacar? Bukankah itu tuntutan setiap orang?

Sir, Mam, ingatlah motivasi anda saat pertama kali memilih "pengajar" sebagai profesi. Bukankah itu untuk mengabdi kepada negara? Bukankah ada kami, pelajar, yang tersenyum, tertawa, bahkan berebut untuk menjawab pertanyaan di mata kalian waktu itu? Bukankah kalian Sir dan Mam tidak memikirkan tentang gaji atau sertifikasi atau apalah sebagai imbalan Sir dan Mam untuk jasa-jasa yang Sir dan Mam berikan kepada kami?

Sir, Mam, kami hanya ingin belajar...