Wednesday, December 30, 2015

What I've Done

Time run fast and suddenly it hits you hard with that question,


"What have you done in 2015?"


It all started from my conversation with some of my friends in the canteen and internship things are still on the top of the list of everyone's conversation. But that afternoon was different, we were flashing back  from the beginning of this year until the day we were sitting together.

It started with this question.

"What have you done in 2015?"

Then, all the people are like laughing ha-ha and stop and thinking for what have they done to this year, no, to themselves. Some of us told about the achievement they have reached, the failures the got, the things that they've been doing for so long, unpredictable moments, and else.

Now,

"What have you done in 2015?"

this question is spinning around my head and no, I can't resist. What-Have-I-done?!
This year is another learning phase for me. The fact that I still faced some same problems like what I faced in some years before now, was disappointing actually. But eventually, it dragged me to the fact that it's just one of those ways God try to reminds me how unsuccessful I am for finishing the latest "level". So, here I am, facing the same old probs, trying to make up my mind, and doing my remedial test. No, it's not a refusal for what I got cause, ya, you don't know how thankful I am to get this chance to make it up again.

And,
"What have you done in 2015?"

Well yes, I prepared to-do list in the beginning of the year, what competition I wanted to join, the community I wanted to rise, the things that I wanted to put my concern to, etc. LOL, some things are just too naive to be true, but that's just how it's supposed to be, isn't it? We put our dreams way up high, to the highest cloud in the sky, if it must, so if maybe our feet slipped and we fell, there will be another cloud that will catch us and toss us higher. It was just yesterday that I crossed out my to-do-list and unconsciously find out that my dreams has been reached one by one. Again, I said, God has some kind of mysteries for answering  people's wishes or dreams.

So,
"What have you done in 2015?"


I feel like I get more acquainted with myself. Knowing the bad and the good of myself and deal with it. I guess? lol. Even sometimes I may lose myself, but I try, right? Huh, another excuse.




So can we start that bullshit we hear in every year?
New year, new me? Really?




A hopeless Joke teller,



Thursday, November 12, 2015

2 Telur Asin

“Nin, mbah titip nanti kalo pulang bawakke telor asin 2”

Begitu sms dari Mbah. Di usianya yang hampir menginjak kepala 7, beliau masih suka smsan, telponan, bahkan gonta-ganti ringtone hp sampai dua kali dalam satu hari.
Malam itu, Mbah menyuruhku membeli 2 telor asin. Mbah memang suka nitip ini-itu saat aku berada di luar.Tak apalah nitip beli makan dari pada nitip dibawakan calon suami (untukku). Malam itu aku hanya cukup bersyukur Mbah hanya menitip 2 telor asin, karena tandanya aku tidak perlu melepas helm saat membelinya, yang artinya tidak perlu waktu lama untuk membelinya, dan akhirnya aku bisa pulang sesegera mungkin, maklum akhir-akhir ini waktu tidurku maju jadi jam 10 malam, macam anak SD yang besok piket kelas.
“Pak, telor asin 2” 
Tanpa kata dijawab dengan bapak yang segera mengambil plastik. Sambil menunggu Si Bapak, aku mendengar obrolan bapak-bapak yang sedang ngopi sambil makan gorengan tentang Habibie dan Orde Baru. Tak banyak yang aku dengar, dan tak paham pula karena tak tahu arah pembicaraannya pergi ke mana sedari tadi sebelum aku datang. Si Bapak segera memberi telur asin dan uang kembalian, sehingga tak ada lagi alasan agar aku bisa berlama-lama di angkringan, lebih tepatnya menguping pembicaraan bapak-bapak ini.

Di sisa perjalanan menuju rumah, aku jadi merasa rindu ke angkringan (yang bukan berada di sekitaran kampus). Anak muda yang ke angkringan di sekitar kampus cenderung membicarakan hal yang sama. Iya, organisasi(mereka). Bukannya jelek, tapi cukup membosankan.
Aku rindu saat berjalan atau naik motor ke angkringan Pak Lodhang. Pesan kopi atau teh anget tawar, dan dua atau tiga tahu bacem yang dibakar lagi. Duduk manis, makan dengan nikmat dan hikmat. Mendengarkan ibu-ibu atau bapak-bapak yang ngobrol tentang banyak hal. Ada yang mulai dengan hal-hal remeh temeh seperti cara menghilangkan bau daging sampai ke perbandingan harga gas LPG 3kg dari warung etan dan warung kulon. Ada juga yang lebih serius, ngomongin kebijakan pemerintah dan tren apa yang sedang dikembangkan Syahrini. Eits, itu juga penting, sebagai prediksi, kata-kata hits apa yang akan ditiru masyarakat 1 bulan mendatang. Angkringan yang jauh dari kampus itu menurutku lebih nyata dibandingkan dengan yang ada di sekitar kampus. Nggak hanya tempat untuk bertemu wajah, tapi temu pikiran dan permasalahan yang lebih real. Apa saja, dari Rukun Tetangga sampai Rumah Tangga bisa dibicarakan di sini. Coba saat ke kampus, mana ada anak muda ngumpul-ngumpul untuk rembugan soal RT-nya di sana?
Ah gara-gara telur asin aku jadi rindu angkringan gini.




Thursday, July 16, 2015

Memilih Kapal

Bismillahirrahmanirrahim

Malam ke 30, malam terakhir di bulan Ramadhan.
Sebelum Mama saya kembali menyuruh membereskan ruang tamu, ada sedikit cerita(dari imajinasi saya sendiri) yang ingin saya bagikan di halaman ini.

Katakanlah, di suatu samudera, ada sebuah kapal yang tengah berlayar. Melaju dengan cepat. Lengkap dengan kompas, dan jaket keselamatan yang cukup untuk semua awak kapal yang ikut melaut. Satu-satunya tantangan yang mereka temui adalah cuaca yang mungkin bisa berubah dalam sekedip mata, atau batuan karang yang bisa membuat kapal mereka karam. Tapi tenang, awak-awak ini sudah terlatih, sudah diajak belajar mengenai lautan, dan siap untuk terjun kapanpun ke laut jika suatu hal darurat terjadi.

Di samudera lainnya, ada lagi sebuah kapal yang  ingin melaju, tapi ia tak punya kompas, jaket keselamatannya hanya tersedia beberapa saja, tidak cukup untuk semua awak yang ada di atas kapal tersebut. Awaknya pun bukan berasal dari sekolah kelautan atau lembaga lainnya yang mampu mendidik mereka untuk benar-benar terjun ke laut. Tapi tenang, kapal ini masih tetap melaju walau pelan-pelan, sangat pelan-pelan. Yang membuat kapal ini terus melaju walau pelan-pelan adalah karena awak-awaknya beberapa kali belajar dari orang-orang, ya walau tidak terus menerus diterapkan. Tantangan mereka tidak hanya cuaca dan batuan karang, tetapi melaut itu sendiri karena selama ini kurang begitu mengenal bagaimana harus bertahan di laut.

Kemudian cerita itu berhenti di situ saja, tak ada akhir. Tapi dua penggal paragraf itu menghasilkan sebuah kata tanya dalam otak saya, “Jika, disuruh memilih, kapal mana yang mau kamu tumpangi?”

Kau bisa saja memilih kapal yang pertama, kau justru bisa belajar banyak dari orang-orang yang sudah memiliki banyak pengalaman untuk melaut, kau juga bisa berlayar dengan aman, terang saja, kau punya kompas, kau punya jaket pelampung, secara kasat mata kau akan aman, Sobat.

Tapi, juga bukan suatu kesalahan atau kutukan ketika kau harus ditempatkan di kapal kedua. Walau memang tak cukup jaket pelampung untuk semua awak, dan mungkin kau adalah satu-satunya yang tak kebagian, tapi kau bisa mengajarkan semua awak untuk berenang, sehingga hidup kalian tak hanya digantungkan pada jaket pelampung. Tapi kau tak punya kompas? Lupakah kau, kalau kau sedang ada di laut, di mana polusi cahaya ditemukan paling sedikit kemungkinan bisa terjadi di tengah laut lepas? Di mana kau bisa melihat banyak bintang dan membaca arahnya untuk menuntunmu ke tujuanmu. Lagi pula, hal itu sudah pernah dilakukan oleh para pelaut terdahulu. Walau lebih banyak tantangannya, bukan tidak mungkin kau juga akan bertemu dengan mereka dari kapal pertama dengan menumpang di kapal kedua, Sobat.

Percayalah, Allah tidak pernah salah menempatkan kita di suatu tempat. Karena Dia tahu kapasitas hingga batas kemampuan kita.

Saat suatu tempat dilihat terlalu gelap untuk ditinggali,
mungkin saat itu Dia ingin kita yang menjadi awal dari cahaya abadi.


Taqabbal Allahu minna wa minkum

Happy Eid Mubarak 1436H





Sunday, July 12, 2015

Bunga Ramadhan

Foto ini diambil di rumah salah satu narasumber saat sedang melakukan liputan untuk salah satu program acara di UNS Tv


Salah satu kata-kata mutiara atau berlian atau perhiasan indah lainnya yang hari ini saya baca berbunyi, “Jangan sampai Ramadhan pergi tanpa meninggalkan bekas.”

Hari ini sudah menginjak malam ke 25 Ramadhan di tahun 1436 Hijriah. Jika kita ingin menghitung nikmat yang Allah beri, tentu akan kurang seluruh satuan angka yang ada di bumi, jika kita ingin menuliskannya, bisa gundul semua pohon yang ada di bumi karena kertas yang dibutuhkan akan sangat banyak sekali, jika kita ingin membicarakan seluruh nikmatNya, bisa mati kelelahan kita, karena tidak akan pernah ada hentinya berucap. Allahu Akbar.

Sering saya mengatakan sangat istimewa dan misterius bagaimana cara Allah mengajarkan umatNya, termasuk dalam pos kali ini. Segala puji bagi Allah, yang telah membukakan kesempatan-kesempatan yang tak terduga untuk saya di bulan Ramadhan. Setelah selama 1 semester saya “dianggurin” baik di jurusan saya yang entah kenapa kelewat santai, atau di organisasi saya yang bisa dibilang sedang vakum, bulan Ramadhan ini justru menjadi titik di mana saya bisa merasa lelah lagi. Allah maha baik yang telah mengabulkan doa saya, “Ya, Allah, Anin mau capek lagi kayak dulu.”

Orang lain meminta untuk tidak merasa lelah, dan saya berdoa sebaliknya? Tidak, ini bukan karena ada yang salah dengan otak saya. Saya secara sadar dan meminta itu kepadaNya. Kenapa?
Singkat cerita, saya tidak(merasa)memiliki kesibukan apapun, saat bahkan saya tidak merasa lelah, merasa terhimpit dengan waktu, saya merasa diri saya menjadi lebih santai dan kurang termotivasi. Tidak hanya dalam hal melakukan tugas-tugas baik kuliah maupun tugas-tugas di organisasi, termasuk juga dalam hal ibadah. Astagfirullah. Iya, kemarin saya sempat merasa seperti itu, kenapa? Karena saya merasa masih banyak waktu untuk melakukannya, perilaku buruk seperti menunda-nunda pekerjaan pun akhirnya menjadi suatu hal yang sering saya lakukan. Tapi, di tengah rutinitas yang seperti itu, saya rindu merasa lelah. Saya rindu terus berpindah dari satu sekre ke sekre lainnya, rapat satu ke rapat lainnya, buku satu ke buku lainnya. Saya juga rindu tekanan untuk bisa mendisiplinkan diri saya dengan membagi 24 jam waktu yang saya miliki, dan menyeimbangkannya antara urusan akhirat dan dunia. Saya juga rindu segarnya air wudhu saat membasahi wajah saya di tengah segala kesibukkan yang ada, di mana ibadah menjadi sebuah oase di padang kehidupan, karena saat itu, ibadah wajib terasa hanya seperti ritual, atau tilawah menjadi sebuah momen di mana saya bisa benar-benar kabur dari dunia, tapi saat itu, justru hanya terasa seperti mengejar targetan semata. Oh, jadi ini namanya futur. Saya benar-benar rindu merasa Lelah untuk Lillah. Lalu suatu hari, kakak saya mengatakan, “Memang amanah itu bisa menjaga kita.” Kata-kata yang terus terngiang hingga hari ini saya mengetikkan pos ini, dan membuat saya pada saat itu berspekulasi untuk pulang menjelang akhir bulan Ramadhan agar saya bisa beraktivitas di kampus. Pede betul saya kala itu, yang pengangguran, dan berharap punya kerjaan saat Ramadhan di kampus setelah satu semester bisa dibilang “vakum”.
Allah Maha Baik, Dia menjawab doa saya, dengan memberikan saya beberapa amanah yang harus saya selesaikan selama bulan Ramadhan di kota rantau. Tidur selama 2 jam karena harus mengerjakan beberapa deadline dan juga targetan Ramadhan dalam satu hari terasa ringan. Sangat berbeda dengan 11 bulan lainnya di mana waktu-waktu karena harus mengerjakan tugas sampai pagi dan hanya punya kesempatan untuk tidur selama 2 jam membuat saya mengeluh dan uring-uringan seharian. Dengan memaksimalkan waktu yang ada untuk ibadah dan beraktivitas seperti biasa, walau waktu terlihat pendek akan terasa panjang dan cukup, dan yang paling penting dengan meniatkan segalanya hanya untuk Allah. In shaa Allah, waktu kita akan semakin berkah di bulan Ramadhan ini.

And one thing that I take from all of these things, when we make time, I meant, we do really make time for Allah, not just spare our time, Allah will broaden the time that we had, and in that moment, we will feel nothing but grateful and blessed, besides, what are we looking for in a life full of misery aside of His blessings?

Layaknya bunga, Ramadhan seperti bunga yang mulai mekar, dan mati begitu saja sesaat kita akan memetiknya. Pastikan wanginya masih semerbak menempel di badan kita dan bertahan terus hingga kita diberi kesempatan untuk melihat bunga serupa di tahun setelahnya oleh Dia Si Pemilik Taman.




Salam bahagia,



Sunday, April 26, 2015

Romantisme Kopi dalam Filosofi



What friend do you choose to through the times to stop and think?

Sudah lama ingin menuliskan tentang ini sejak 9 April 2015, tanggal dirilisnya film bertajuk Filosofi Kopi di seluruh bioskop di Indonesia, walau pada kenyataannya di hari itu baru satu bioskop yang memutarkannya di Solo.


Karena saya bukan kritikus film, jadi saya hanya akan menuliskan sedikit tentang film ini. Apa yang bisa saya bilang tentang film ini mungkin, punya sinematografi yang bagus dan beda dari yang lain, kreatif tentang bagaimana kopi dijadikan latar belakang cerita, dikaitkan dengan sumber masalah dan penyelesaian masalahnya. Nice acting dari dua tokoh utamanya, di luar fakor ketampanan ke duanya, tapi saya cukup amazed dengan kemampuan ke duanya beradu akting, walau saya juga masih menyayangkan kehadiran tokoh perempuan sebagai pihak ketiga yang menurut saya kurang maksimal. Filosofi kopi memanjakan mata saya dengan sinematografinya yang cukup baik, walau di awal sempat “goyang” dan saya tidak paham apa itu memang suatu kesengajaan atau memang kesalahan, dengan pengambilan gambar proses pembuatan kopi dari yang tradisional hingga yang sangat shopisticated. Nilai yang ingin disampaikan juga berhasil sampai ke otak saya, dan membuat saya berpikir tentang sebuah pijakan di antara sisi realisme dan idealisme saya sepanjang jalan pulang setelah menonton. Saya menghadiahkan 4 bintang untuk Filosofi Kopi untuk itu semua.

Kopi Indonesia dalam Angka
Sejak pertengahan tahun 2014 saya mulai merasa kopi perlahan menjadi sebuah tren di kalangan anak muda. Hal ini dilihat dari mulai meningkatnya varian kopi instan maupun kopi siap minum yang hadir di tengah masyarakat dan memang ditargetkan untuk anak muda. Dilanjutkan dengan promosi film Filosofi Kopi yang dimulai di awal-awal tahun 2015, dan terus berlanjut hingga saat ini, seiring dengan dirilisnya film tersebut di bioskop-bioskop Indonesia.

Ini bisa jadi baik, peningkatan minat terhadap kopi oleh kalangan muda-mudi bisa berdampak baik terhadap para petani kopi. Salah satu target pertanian kopi di tahun 2014 kemarin adalah dengan meningkatkan produksi dan ekspor kopi ke mancanegara. Produksi kopi di Indonesia ditargetkan meningkat 2,9% dibandingkan tahun 2013, atau sebanyak 711.000 ton biji kopi, target tersebut diharapkan mampu melampaui hasil produksi sebelumnya, yakni 691.000 ton. Sementara itu, Indonesia sebagai negara produsen kopi tebesar ketiga di dunia ditargetkan meningkatkan hasil ekspor kopinya hingga ke angka 575.000 ton di tahun 2014 dibandingkan di tahun sebelumnya yang baru mencapai 540.000 ton. Namun pada kenyataannya, Hutama Sugandhi selaku Ketua Gabungan Eksportir Kopi Indonesia (GAEKI) menyatakan bahwa ekspor kopi secara nasional turun 20% hingga 25%. Hal tersebut disebabkan oleh anomali cuaca di Indonesia yang cukup memukul angka produksi juga turun sebesar 20%-25%. Adanya cuaca kemarau panjang di Brasil menjadi peluang tersendiri untuk Indonesia untuk kemudian mengejar ketinggalan untuk setidaknya ada di angka normal seperti pada tahun 2013 di tahun ini.

Hal lain yang juga disayangkan dari pertanian kopi di Indonesia adalah kopi yang diproduksi di Indonesia masih sekitar 85 persennya adalah kopi robusta, sementara kebutuhan kopi di dunia 60 persennya adalah kopi arabika. Infrastruktur masih menjadi salah satu alasan mengapa kemudian penggenjotan pertanian kopi arabika di Indonesia masih lesu. Sementara untuk lahan sendiri, Indonesia masih memiliki banyak lahan untuk ditanami kopi jenis arabika, target pemerintah sendiri pada tahun 2014 adalah dengan mengekstensifikasi lahan hingga 2.000 hektare untuk penanaman kopi jenis arabika.

Indonesia telah memiliki peringkat yang cukup memuaskan sebagai negara penghasil kopi terbanyak di dunia, bersaing dengan Vietnam diurutan kedua dan Brazil di urutan pertama. Selain pengembangan infrastruktur demi kemudahan penanaman kopi di Indonesia, sudah semestinya pemerintah juga mensejahterakan kehidupan para petaninya. Salah satu caranya adalah dengan memberikan penyuluhan atau sosialisasi terkait penanaman kopi yang baik agar menghasilkan kopi yang berkualitas, karena kopi yang berkualitas tentu akan meningkatkan harga jual dari kopi itu sendiri dan akan berimbas pada kehidupan petani. Tentu kita tidak ingin, kejadian yang terjadi pada tahun 90-an terulang lagi di mana, pasar dunia dipenuhi kopi-kopi yang berkualitas rendah sehingga harga kopi pun merosot jauh.

Di sisi lain, sedih rasanya saat harus membaca cerita-cerita tentang petani kopi di negeri ini. Bagaimana tidak? Kopi, salah satu komoditas yang membawa Indonesia bertengger di posisi nomor 3 sebagai negara dengan produksi kopi terbanyak justru harus mendapati petani kopinya merasa, tidak imbang antara apa yang mereka dapat (dalam hal ini uang) dengan hasil produksi dan lahan yang mereka miliki. Pembenahan mutu dan kualitas kopi lokal sudah seharusnya menjadi salah satu fokus pemerintah maupun pemodal-pemodal dalam semangat untuk mensejahterakan hidup petani kopi di Indonesia.

Tren Dahulu dan Tren Kini
Tentu masih hangat dalam ingatan kita di tahun 2012 lalu juga dirilis film yang meledak di kalangan muda-mudi, kaya akan nilai persahabatan dan filosofi. 5 Cm, sebuah film yang juga diadaptasi dari novel best seller karya Dhonny Dhirgantoro, tidak hanya meledak di bioskop-bioskop di Indonesia, film ini juga melahirkan suatu tren atau gaya hidup baru di kalangan muda-mudi, naik gunung. Setelah sebelumnya mungkin tren naik gunung ini baru ada di kalangan anak-anak Pecinta Alam setelah dipopulerkan oleh Soe Hok Gie, aktivis pergerakan mahasiswa yang juga anak Pecinta Alam. Setelah film itu keluar, gunung-gunung di Indonesia pun menjadi sangat populer di kalangan muda-mudi, hingga pada akhirnya sampailah kita ke titik di mana tidak hanya yang manusia yang sampai ke puncak gunung, tapi juga sampahnya. Tidak hanya sampai di situ, kasus kebakaran di Kawasan Hutan Lindung Gunung Lawu pun terbakar di tahun 2014, hal tersebut dikarenakan ada salah satu pendaki yang lupa mematikan api unggun di kawasan tersebut, kelalaian ini cukup disorot (dan dikutuk) tidak hanya oleh para pecinta alam yang sering mendaki gunung, tetapi juga dari para pemerhati lingkungan. Inikah salah satu akibat dari “mengikuti tren” tanpa adanya rasa cinta dan tanggung jawab?

Lalu apa hubungannya dengan filosofi kopi dan kopi? Kopi sendiri belum jelas apakah memang tradisi dari Indonesia atau bukan. Bahkan orang Gayo pun pertama kali menanam kopi sebagai tanaman pagar dan hanya mengonsumsi daunnya untuk dijadikan teh, baru setelah orang-orang Belanda datang ke Gayo, mereka mengonsumsi buah kopinya, itu pun tidak menjadikan kopi sebagai tanaman satu-satunya yang mereka tanam, kopi masih dijadikan tanaman sampingan. Beda lagi dengan Italia, bolehkan saya bilang ini negara asal Kakek Buyut Kopi? Di mana pagi mereka meminum kopi, mengobrol memesan kopi, pulang kantor juga ngopi. Lalu tiba-tiba entah tren yang bermula dari mana, apakah tren ini ada sebelum film ini rilis ataupun sebaliknya, yang jelas menurut saya, adanya film Filosofi Kopi bisa saja menguatkan budaya ngopi di kalangan muda-mudi.

Pertama kali saya mencoba kopi saat saya masih kelas 5 SD, saat itu saya menyeruput kopi yang dibuat Bapak saya, dan saat itu juga saya dimarahi, karena katanya, saya masih kecil. Tapi lambat laun, saat saya menginjak kelas 8 SMP, Bapak malah menjadi teman ngopi saya saat sedang menonton pertandingan Liverpool FC. Sampai saat ini saya juga masih mngonsumsi kopi, saya mengonsumsi kopi dengan menyesuaikan mood dan jam, itu artinya saya juga masih suka kok minum teh, karena seringkali beberapa teman saya bilang “Jangan ngopi terus lah...”. Di sini, saya belum melihat bahwa ngopi adalah sebuah budaya di tempat saya tinggal, entah itu di Jakarta, di Yogyakarta atau di Surakarta. Beda cerita saat kita bilang Wedangan. Wedang sendiri berarti minuman dalam bahasa jawa. Aktivitas yang dilakukan saat wedangan bisa berupa mengobrol, makan makanan kecil atau minum. Namun aktivitas minum minuman saat Wedangan pun tidak hanya dibatasi dengan meminum kopi saja, toh di lapangan banyak juga yang meminum Teh Hangat, Jahe Hangat, Susu Jahe, bahkan Es Teh pun masih dibilang sedang Wedangan.

Poin yang saya soroti selanjutnya adalah bagaimana penggambaran Kafe Filosofi Kopi di bilangan Melawai seperti pada cerita. Secara implisit, film tersebut memberikan apa yang kemudian diinginkan anak muda untuk menjadi teman ngopi. Seperti, adanya Pendingin ruangan dan Wifi Hotspot sebagai instrumen pendukung saat muda-mudi sedang ngopi. Ditambah lagi dengan desain interior kafe yang tidak bisa saya pungkiri terlihat nyaman. Apakah Filosofi Kopi mencoba memberikan standar ngopi dengan nyaman lewat film ini? Hanya sutradaranya yang tahu.

Lalu apa yang terjadi jika kopi tidak dihidangkan dalam ruangan-ruangan ber-AC dan ber-wifi? Apa yang terjadi jika kopi dihidangkan secara sederhana di pinggir jalan, di bawah terpal dengan cahaya yang berasal dari lilin dan lampu petromaks? Jika tidak didampingi oleh croissant atau sandwich, tetapi satu dua bungkus kacang goreng? Akankah kemudian kopi masih menjadi tren di kalangan muda-mudi?

Berfilosofi dengan Kopi

Sederhanakah dia seperti kelihatannya?

Kopi Tubruk itu sederhana, tapi sangat memikat kalau kita mengenalnya lebih dalam.Ben (dalam Filosofi Kopi)
Kalimat di atas adalah salah satu filosofi Kopi Tubruk yang diungkapkan Ben dalam salah satu scene di Filosofi Kopi. Namun begitukah? Setujukah anda? Saya sendiri sejujurnya memikirkan hal lain. Bagaimana jika Kopi Tubruk adalah ungkapan idealisme akan kemurnian seseorang. Saking murninya, iya hanya ingin kopi tanpa sentuhan apapun, karena menganggap itu akan mengubah cita rasa asli dari kopi. Karena menurutnya, kesempurnaan itu adalah saat dia menemukan sesuatu yang asli tanpa banyak polesan atau topping, apakah idealisme yang sedemikian itu mengungkapkan sebuah kesederhanaan? Atau justru menggambarkan keegoisan?

Kopi dan filosofi, saya tidak terlalu memusingkan soal ini, toh memang tidak ada pakemnya sama sekali. Seperti halnya, Ben(atau Dee sebagai pencipta karakter Ben) bisa mengatakan demikian, tapi saya justru berkata lain. Hampir setiap saya menulis, paling tidak selalu ada secangkir kopi yang menemani saya, tapi sudah dua hari menulis, saya tidak ditemani satu gelas pun. Setelah sekian lama, saya percaya bahwa kopi adalah sumber inspirasi untuk menulis. Sepertinya kegelisahan tentang bagaimana orang akan mencintai kopi setelah menonton film atau mengikuti budaya pop yang berkembang lebih besar daripada menulis sambil menyesap kopi−sebagai sumber inspirasi, yang saya buat seperti yang saya lakukan dahulu.

Toh pada akhirnya, kita dibawa kopi dari awal yang belum tentu sama, ke pengalaman-pengalaman yang berbeda, dan akhir perjalanan yang entah akan seperti apa. Namun, akan sangat disayangkan jika kemudian minum kopi hanya bagian dari pop culture belaka. Sementara negara sendiri masuk ke jajaran produsen kopi terbesar di dunia. Saya tidak meminta semua orang untuk kemudian mengonsumsi kopi sih, toh Mama saya pun sudah divonis tidak bisa mengonsumsi kopi sedikit pun. Tapi, saya lebih ingin menghindarkan ngopi menjadi bagian dari budaya pop, karena jika iya, maka akan mudah juga perginya kopi dari benak dan standar rasa masyarakat.

Di luar fakta rasa suka saya terhadap kopi, mungkin hanya ini yang bisa saya lakukan untuk mengapresiasi karya petani di negeri yang kaya kopi ini. Semoga pertanian kopi Indonesia semakin menjadi yang terdepan, dan mampu melampaui Brasil yang sudah menguasai 45% perdagangan kopi di dunia, dan pertanian kopi mampu menyejahterakan petani kopi di penjuru negeri.



Selamat Ngopi!




Saturday, April 25, 2015

Mahasiswa Riwayatmu Kini

Banyak yang menggantungkan harapannya pada mahasiswa, sadarkah?
Sabtu siang ini, Solo masih diselimuti awan mendung. 26oC cukuplah untuk membuat mood berada di level sendu dan ingin membenamkan diri di bawah selimut sambil menonton drama Korea dan secangkir teh hangat. Siang ini, saya malah ada di sebuah warung makan, sehabis membeli obat untuk Si Mbah dan beberapa makanan yang beliau pesan. Di tengah-tengah makan, tiba-tiba terbesit sebuah pertanyaan,
"Udah ngapain aja lu jadi mahasiswa?”

Sial. Pertanyaan seperti itu hadir di tengah-tengah makan, dan sukses membuat saya berhenti untuk berpikir dan sirna sudah keinginan untuk pulang ke rumah cepat-cepat. Udah ngapain aja lu jadi mahasiswa? Terus terngiang di telinga saya. Hal ini langsung membawa saya ke beberapa momen di mana kondisi mahasiswa saat ini tidak seperti bagaimana otak saya pernah memimpikannya. Otak ini membawa saya kembali ke momen di mana ada ‘adu chat’ (karena memang terjadi di grup messenger) di mana mahasiswa saling serang mahasiswa lainnya, bahkan juga mengebiri gerakan mahasiswa lainnya. Atau satir-satir yang bertebaran di lini masa media sosial maupun media cetak tentang pergerakan organisasi mahasiswa saat ini. Saya yang melihat hanya mampu berdecak sambil sesekali memberikan komentar tapi berusaha untuk tidak masuk ke dalam perdebatan manapun.

Miris
Sedih jika harus mengomparasi perjuangan pergerakan mahasiswa di zaman dahulu dengan yang terjadi hari ini. Jika melihat ke belakang, teman-teman mahasiswa pada masa itu saling bersatu, bahu membahu untuk menyempurnakan kemerdekaan yang dulu pernah digaungkan. Melawan tirani yang nyata, bisa dikatakan, musuh mereka terlihat dan idealisme mahasiswa pada zaman itu belum diusik dengan pengaruh-pengaruh kehidupan yang individualis.
Hari ini, saya masih melihat bagaimana kemudian mahasiswa yang bergerak di lini satu mencederai gerakan mahasiswa lainnya. Mengatakan gerakannya lah yang lebih efektif, atau gerakan yang dilakukan oleh teman-teman lainnya adalah gerakan yang sia-sia dan buang-buang tenaga. Sudah tidak ditemukan lagi tokoh-tokoh seperti Tan Malaka yang dekat dengan Soekarno, karena saat ini, mahasiswa dengan gerakannya sudah terkotak-kotak dengan jas alamaternya, jaket gerakan eksternal kampusnya, bahkan ke ideologinya. Sehingga akhirnya, saat masing-masing dari mereka turun aksi(baik demonstrasi atau dalam bentuk lain) yang timbul justru saling mencederai dan menghakimi. Mahasiswa terkenal kuat dengan idealisme yang dipegangnya, namun apakah kemudian ini yang membuat mereka jadi sedemikian keras dan tidak menerima gerakan saudara-saudara seperjuangannya, wahai mahasiswa?

Pertanyaan
Kemudian pertanyaan lainnya muncul. Sering sekali saya membaca beberapa respon dari teman-teman baik yang mahasiswa maupun yang bukan, mengenai bagaimana seharusnya mahasiswa bergerak dalam mengkritisi dan merealisasikan Indonesia yang lebih baik? Di antaranya menjawab, “work through passion” , “serius kuliah dulu deh, yang bener, nanti kalo udah lulus baru deh ubah sistem dengan masuk ke jajaran pemerintahan” atau jawaban lainnya seperti “Screw it! I don’t believe in our Government or media, it’s all bullshit!
Katakanlah saya saat ini mengambil dua jawaban yang pertama, saat kita benar-benar bekerja sesuai dengan passion kita, sudahkah kita menuliskan “Untuk Indonesia yang lebih baik” dalam hati kita sebagai semangat dan cita-cita? Atau hanya berdasarkan keinginan atau bahkan ketakutan terpenjara dalam sesuatu yang kita lakukan? Lalu untuk jawaban nomor dua, masihkah kita memegang kalimat itu saat kita lulus kuliah nanti? Mampukah hati kita berjanji demikian? Di mana satu-satunya kemewahan yang saat ini kita, para mahasiswa, miliki adalah idealisme yang ada di dalam otak dan hati kita masing-masing, setidaknya begitu kata Tan Malaka. Padahal, saat setelah lulus nanti, kita dihadapkan dengan kehidupan yang lebih nyata di mana, kita harus bertahan, even earn something for a living, bisakah idealisme yang dahulu dimiliki di bangku universitas diterapkan di realitas setelah keluar dari gerbang universitas? “Kalo masih fresh graduate entar mah, kudu berpikir realistis biar  nggak  terpenjara idealisme diri sendiri” ada juga loh yang mengatakan demikian. Jadi, untuk mengantisipasi ide-ide yang mungkin akan sulit terealisasikan karena faktor lingkungan di masa depan, kenapa harus menunggu nanti saat kita bisa bergerak dan mengusahakannya di lini kita untuk Indonesia saat ini juga?

Harapan
Mahasiswa telah menjadi harapan bagi masyarakat, karena bagaimanapun juga negara ini akan dilanjutkan oleh para mahasiswa sebagai agen perubahan, pengendali sosial dan fungsi-fungsi lainnya yang ada di pundak mahasiswa. Posisi mahasiswa saat ini sesungguhnya ada di tataran Middle Leader. Bukan posisi yang tanggung, justru menguntungkan, karena di posisi ini mahasiswa bisa lebih dekat dengan masyarakat, akademisi maupun pemerintah. Sehingga dalam mentransformasikan ide yang ada di kepala untuk menjadi aksi-aksi nyata pun perlu dibagi target atau sasarannya ke tiga pihak tersebut, masayarakat, akademisi dan pemerintah. Ada yang mengkritisi, mengadvokasi dan memberi usulan solusi ke pemerintah, ada yang membuat riset, membuat inovasi untuk penyelesaian masalah di masyarakat dan ada pula yang melayani masyarakat. Ketiga lini ini harus bergerak sinergis untuk mewujudkan cita-cita bersama. Tak perlu mencederai, yang ada memang harus saling support dan saling ingin mendenggarkan dan memperbaiki diri jika memang yang dilakukan kurang pas oleh mahasiswa lainnya yang tidak tergabung dalam gerakan itu. Bergerak di lini masing-masing itu sangat perlu, jika kita ingin negara ini kemudian maju di banyak sektornya, bukan hanya satu atau dua saja.
Terakhir, selain menyertakan cita-cita “Untuk Indonesia yang lebih baik” di hati dalam bergerak, sertakan pula Allah dalam setiap langkah. Saya yakin, sumber semangat yang tidak akan habis adalah sesuatu yang datang dari sisi rohani seseorang lewat percaya dan menyertakan Tuhan dalam setiap langkah.
Dan dasar pergerakan adalah nurani yang bernyala dan hati yang ikhlas, yang bersih dari ambisi pribadi dan kepentingan dunia, yang tidak mengharap sorot lampu popularitas dan riuhan tepuk tangan. –M. Yoga Permana


Populis ataupun strategis, gerakan mahasiswa sudah sepatutnya sinergis. 
Selamat siang.





Monday, March 9, 2015

Akhir Adalah Sebuah Awal.

Katanya sih begitu. Iya, kata orang-orang akhir dari sesuatu adalah awal dari sesuatu lainnya. Boleh jadi itu memang sebuah kebenaran tapi bisa adalah sebuah optimisme spiritual yang dikonstruksi oleh sebagian orang dan diamini sebagai kebenaran mayoritas oleh masyarakat yang katanya menganut sistem demokrasi ini.
Tapi di luar perdebatan apakah “akhir adalah sebuah awal” adalah sebuah kebenaran atau bukan, saya memilih untuk percaya bahwa ia memang sebuah kebenaran. Diawali dengan kenyataan bahwa saya dan rekan-rekan saya tidak bisa membawa proyek kami ke negeri Sakura, belom rejeki istilahnya, ternyata membawa kami pada manfaat-manfaat lain yang membuat kami lebih mencintaiNya. Ini bukan sekedar optimisme spiritual seperti kata seorang teman, ini adalah sebuah tanda seorang umat percaya dan meyakini Tuhannya.

Katakanlah benda berbentuk lingkaran ini adalah kehidupan, maka bagian mana yang kamu sebut nikmat? Bagian saat kamu berada di atas atau sisi sebaliknya?


Syukur
Syukur. /syu:kur/ (n) Rasa terima kasih kepada Allah.
Syukur adalah salah satu sikap berprasangka baik kepadaNya dalam kondisi apapun. Ada 3 cara Allah mengabulkan doa-doa hambaNya, yang pertama dengan langsung mengabulkan doa mereka, yang kedua dengan menahan dulu untuk melihat bagaimana usaha kita selanjutnya, dan yang ketiga adalah mengabulkan doa mereka dengan mengganti nikmat lain yang umatNya butuhkan. Butuhkan. Dari ketiga cara Allah mengabulkan doa umatNya, yang ketiga inilah yang kali ini membuat jantung saya berdegup lebih cepat saat menuliskannya di tengah perjalanan saya menuju ke tanah rantau, Solo.
Awalnya, pergi ke negeri Samurai itu memang tidak pernah ada dalam daftar mimpi atau cita-cita, atau proposal hidup atau apalah setelah hampir dua dekade saya hidup. Tapi ketiga sahabat saya yang juga peduli akan perfilman dan pertelevisian ramah anak membuat saya ikut ke sebuah proyek yang membuat kami berjalan sejauh ini.
Suatu sore kami berbincang tentang apa tujuan masing-masing dari kami menghabiskan waktu dengan melakukan pemutaran film, produksi film pendek, kajian hearing sana-sini.
“Aku mau jadi agen Muslim dan melihat bagaimana agama Allah di negeri Sakura”
“Aku mau jadi inspirasi buat teman-teman  karena aku bisa bikin film anak, dan juga inspirasi buat Keluargaku.”
“Aku mau jadi inspirasi buat adik-adikku dan bisa jadi orang yang ikut bantuin nyoret Jepang dari daftar mimpi kalian.”
Kira-kira begitu mimpi kami pribadi tentang proyek ini, selain memang mimpi kami bersama adalah menyebarluaskan ide Bioskop Keliling Anak dan dapat diadaptasi di berbagai tempat, pokoknya ini untuk anak-anak dan media. Melipat gandakan kebaikan kalau kata Mentor kami.

Pernah suatu hari kami juga mengatakan untuk masing-masing dari kami,
“Pokoknya Jepang itu bonus, proyek ini orientasinya tetap bagaimana agar ini bisa terus berlanjut, dan nggak sampai di sini.”
Tapi kemudian, saya harus meralat pernyataan yang pernah saya ungkapkan itu, karena sejatinya Jepang tidak akan pernah bisa menjadi bonus dari perjalanan pendek sarat akan pelajaran dan makna ini. Lagi, Allah mengajarkan kami dengan cara yang sangat luar biasa. Perjalanan 3 sampai 4 hari di Jepang yang mungkin tadinya akan kami nikmati akhir Maret ini belum tentu sepadan dengan bagaimana tiga bulan ini kami dikejar deadline menggarap penelitian dan paper yang tanpa kita sadari tanpa kami sadari makin mempererat ukhuwah yang terjalin. Tawa kami esok hari di bawah rinai salju atau wangi Sakura yang tertiup angin juga tidak mampu menggantikan tawa kami bersama Tasya, Petra dan Tegar yang terus mengulang-ulang scene  “Kok dijipuk to?” Atau tepuk tangan, riuh rendah setelah presentasi proyek kami di Universitas Hokkaido besok juga mungkin tak akan sepadan dengan hujan doa dari orang-orang yang senantiasa membantu kami tak kuat dan tak kurang semangat.

Jika memang pergi ke Kota di Utara Jepang itu adalah sebuah bonus, maka itu tidak pernah sepadan dengan makna dan ilmu yang Dia berikan kepada kami di perjalanan ini.
La in syakartum laa adzidanakum (Bersyukurlah maka Allah akan menambah nikmatmu) (Q.S Ibrahim:7)
Syukur membuat kita melihat dari sudut pandang lain. Syukur pula yang membuat kita lebih mencintaiNya. Karena dari syukur pula, kita dapat menangkap nikmat-nikmat lain dibalik satu hal yang sebelumnya kita anggap sebuah nikmat.


Rezeki
Rezeki /re:ze:ki/ (n) 1. segala sesuatu yang dipakai untuk memelihara kehidupan (yang diberikan oleh Tuhan); makanan (sehari-hari) 2. (ki) penghidupan; pendapatan (uang, dsb untuk memelihara kehidupan); keuntungan, kesempatan mendapat makan.

Setelah sekian lama pikiran ini dikonstruksi oleh media dan stereotype yang ada di tengah masyarakat tentang kata rezeki yang divisualisasikan menjadi uang, rumah yang nyaman, kendaraan yang nyaman, keadaan saat “roda” kita berada di atas, segala hal yang membuat kita merasa bahagia, akhirnya momen itu tiba di mana rezeki punya arti lain bagi kami.

Lewat tangis haru masing-masing dari kami, Allah membawa kami pada suatu titik di mana kami menyimpulkan bahwa rezeki bukan hanya hal-hal fisikal yang mampu dilihat dengan mata seperti yang selalu diperlihatkan sinetron-sinetron yang mengoyak sisi melankolis setiap penontonnya di mana rezeki selalu divisualisasikan dengan kondisi yang minimal cukup dibandingkan dengan kondisi yang serba kurang. Dari perjalanan ini kami menyimpulkan bahwa rezeki dapat berwujud sahabat yang selalu ada di samping kita, rezeki dapat berupa kemampuan untuk bersabar, kuat, atau berlapang dada, karena yang kesemuanya itu adalah nikmat-nikmat yang tidak mampu digantikan dengan benda-benda yang ditawarkan dunia.

Bahkan keadaan terhimpit pun adalah sebuah rezeki. Lalu mungkin kita bertanya di mana nikmatnya dalam keadaan terhimpit? Jawabannya adalah di saat-saat kita berdoa dan berbincang dengan Allah, momen-momen di mana kita dapat mendekatkan diri dengan Sang Khalik. Momen di mana mungkin sebelumnya tanpa sadari kita selangkah menjauh dariNya. Adalah sebuah nikmat tersendiri di mana Dia masih menginginkan kita untuk bersujud dan melafadzkan dzikir menyebut namaNya.
Ada banyak orang yang ingat Tuhannya saat ada di posisi terbawah dalam hidupnya, meminta untuk dikeluarkan dari segala kesulitan, tapi ada berapa yang lantas minta dikeluarkan dari ujian nikmat saat iya ada di masa-masa keemasan dalam hidupnya saat sesungguhnya kondisi itu adalah sebuah ujian baginya?
Terakhir, semoga kita senantiasa ditundukkan pandangannya di atas segala nikmat, agar terhindar dari riya’ ataupun sombong. Dan ini menjadi titik baru di mana kita menjadi manusia yang lebih bersyukur. Aamiin.






Friday, February 13, 2015

Tempat untuk Pulang

@ Sebuah Convenience Store di bilangan Senayan

RegularHot Chocolate2 x Hazelnut
1 x Vanilla
1 x Caramel

Jauh atau dekat saat itu keluar dari rumah, saya anggap sebuah perjalanan, karena kita tidak akan pernah tahu, berapa langkah kita dari rumah dan akan bersimpangan dengan jalan orang lain tau takdir-takdir lainnya.

Saya suka berjalan di trotoar , berjalan di jalan yang sudah hak saya. Seperti saya punya kesempatan untuk melihat lebih dekat dan lebih detail. Pantas saja, Pak Endar, ayahnya Denali suka sekali naik motor pelan-pelan, katanya agar tahu apa saja yang ada di sepanjang jalan. Kalimat bukan tentang seberapa cepat kita bisa sampai tujuan, tetapi bagaimana kita bisa menikmati sebuah perjalanan pun jadi terasa realistis. 

Saya juga suka berjalan di trotoar Jakarta, iya saya suka, hanya jika saya mengesampingkan suara mesin kendaraan yang menderu, atau asap knalpot yang mengepul, semuanya saya lewati dengan as simply as putting my headset on, enjoy the song and the memories of people that comes after the lyric. 

Selimut mendung dan Jalan MH. Thamrin


Makin indah kalau sedang mendung-mendung syahdu,  Langit bak tengah menggoda siapa saja untuk tetap di rumah, menyembunyikan kaki di bawah selimut atau sandal tidur hangat di temani teh atau kopi hangat, sambil menonton Tv Series atau sekedar scroll media sosial juga boleh.

Tapi hari ini, saya tengah duduk di salah satu Convenience Store, menunggu hujan reda, setelah berada di bis kota yang mengantarkan saya dari bawah Patung Dirgantara ke Slipi dan beralih ke bis lainnya yang akhirnya menurunkan saya di depan sebuah Mall besar kesekian yang ada di ibukota. Memandang langit, memandang billboard di jalanan, mendengar Geronimo-nya Sheppard, diselingi dengan suara pluit dari Tukang Parkir di bawah, atau klakson dari mobil mewah nan mengkilap. Saya tengah mencoba mencintai kota ini lagi, kota yang kata saya dulu adalah rumah, dan sekarang membuat saya bertanya apakah Jakarta masih bisa dibilang rumah untuk saya?  Tapi, bagaimanapun kota ini pernah membesarkan saya sampai empat belas tahun, hingga kemudian saya memutuskan untuk memenuhi janji, untuk merantau. Entah akan berakhir di mana , saya pikir , kota ini akan tetap menjadi tempat ke mana saya akan pulang. Sehingga tidak mungkin saya hanya mencintai kemudahan aksesnya, kedekatan untuk menjangkau segala tempatnya, kegigihan orang-orangnya untuk bertahan kalau saya tidak mencintai macetnya, banjirnya, kerasnya kota ini. 

Saya tengah mencoba mencintai kota ini sembari mengingatkan diri, di balik macetnya jalanan ada kewajiban sholat 5 waktu yang harus tepat waktu, dibalik mahalnya harga satu kali makan jika dibandingkan di kota kota lain, ada kewajiban untuk bersodaqoh di setiap Rupiah yang kita punya dan bahkan dari remahan makanan yang kita punya, di balik tangis dan tawa yang tersebar, ada harap dan do'a dari mereka yang selama ini gigih berusaha.


Dari orang lain yang datang dan pergi,
di Jakarta.




Sunday, February 8, 2015

Merekam (2)

"Mbak mbak, ngko awake dhewe ning kali sing wingi meneh?(Mbak mbak, nanti kita di kali yang kemarin lagi?)"
"Mbak mbak, aku nek dolan Pe-Es neng kene lho... (Mbak mbak, aku kalo main Playstation di sini lho...)"
"Mbak, aku nasine tambah (Mbak, aku nasinya tambah)"
"Mbak, larinya dari situ aja, aku maunya yang jauh..."
"Mbak, iki lho Petra bercanda terus..."
"Hayoo, katanya jam 4, nanti Tegar di strap lagi sama Bapaknya..."

Hari ini, lokasi pengambilan gambar dilakukan di daerah Jagalan, dekat dengan SD N Kalangan, dan juga berdekatan dengan sebuah rumah yang di dalamnya di penuhi keceriaan anak-anak yang belajar dan bermain, Rumah Ceria. 

Ini kali pertama saya bertandang ke Rumah ini, bersama Tim kami, Tasya, Tegar dan Petra. Meminjam sebuah ruangan, sambil membuka perbekalan, kami langsung melahap makan siang sederhana kami, nasi dan lele yang cukup untuk ketiga adik kami yang setelah ini akan beraksi di depan lensa. Sambil makan, saya menemani adik-adik ini dengan menceritakan jalan cerita yang akan kami lakukan nanti di depan SD N Kalangan, sekaligus membuat kesepakatan bersama ketiga anak-anak ini.
"Nanti maunya pulang jam berapa?"
"Jam 4 Mbak.."
"Setuju semua jam 4?"
"Iya Mbak.."
"Oke, Kalo mau pulang jam 4 berarti nanti jangan sambil bercanda ya, biar bisa pulang jam 4"
"Wingi Petra lho Mbak"
"Koe yo Ho'o..."
"Udah-udah, tapi jam 4 ya? Kalo bercanda nanti diulang 1x, bercanda lagi diulang 2x, bercanda lagi diulang 3x, sampe banyaaaak, hii mau?"
"Nggak Mbak..."
Hasil merekam hari ini, sudah lebih baik dari hari yang kemarin. Anak-anak sudah lebih banyak bisa diajak bekerjasama. Saran Mbak Deka dan Mbak Yua dalam membuat kesepakatan sebekum dilakukan proses pengambilan gambar sangat membantu kami para crew film, haha gaya banget bilangnya crew film. Hanya memang tidak bisa dipungkiri kami kekurangan orang untuk "membersihkan area" saat proses pengambilan gambar sehingga akhirnya banyak bloopers saat adegan demi adegan kami lakukan. Kendala teknis di hari ini juga lebih banyak terjadi, seperti misalnya tiba-tiba kamera yang tidak bisa kami lakukan untuk merekam, dan tadaaaa, terima kasih Mas Zefa yang telah memberi kami berempat jalan keluar untuk kendala teknis yang ini. Akhirnya dengan terpaksa kami harus mengulangi adegan kami lagi, untung saja adik-adik yang mulai bosan ini masih semangat untuk diambil gambarnya, salah satu cara membangkitkan mood mereka adalah dengan bermain tebak-tebakan.
"Sapi sapi apa yang warna biru?"
"Apa ya...nggak tau mbak"
"Sapidol Biru!"
"Putih kecil bisa terbang cepet banget?"
Tegar geleng-geleng tanda tidak tahu apa jawabannya.
"nasi nempel di pesawat jet!"
Obrolan yang bagi orang dewasa yang masuk ke dalam kategori garing alias tidak lucu, tapi tidak bagi kami hari itu, melihat timbal balik dari teman-teman kacil kami yang ikut tertawa saat kami tidak bisa menjawab tebakan mereka atau semangat mereka yang dengan sesegera mungkin bangkit hanya karena bermain tebakan.

Satu hal yang saya pikirkan di detik detik setelahnya, kenapa kita seakan lupa bagaimana berinteraksi dengan anak kecil padahal kita pernah melewati masa itu? Apakah saat kita menjadi dewasa, tandanya kita benar-benar membuang segala jiwa anak kecil dalam diri kita? Ke mana jiwa-jiwa kecil mungil yang belasan tahun lalu hinggap di dalam diri kita? Tak tersisakah walau hanya sedikit? Walau hanya dipergunakan untuk berbicara dengan anak kecil? Hahaha apa ini, tulisannya menjadi tulisan curhat saya yang justru terlihat seperti orang yang bosan menjadi orang dewasa, eh tapi blog ini memang sebagian besar tentang curhatan saya sih.

Atau anak-anak Rumah Ceria yang bisa dibilang baru pertama kali bertemu dengan saya, mengingat ini pertama kalinya saya bertandang ke rumah mereka. Dua kata untuk mengungkapkan satu hari di Rumah Ceria, Menyenangkan dan Menginspirasi. Anak-anak ini menginspirasi saya dari cara mereka menjalin hubungan persahabatan dengan saya, katakanlah saya orang asing, tapi tidak ada rasa canggung yang muncul di anatara kami, mereka dengan sigap meraih tangan saya untuk bermain bersama mereka sebelum kami melakukan proses pengambilan gambar, menunjuk berbagai tempelan alphabet di dinding lengkap dengan gambar-gambar binatang sesuai dengan inisialnya, berlomba mencuri perhatian saya *ciye kepedean* dengan menyebutkan nama-nama binatang dengan lantang sambil menarik-narik tangan saya, jika ternyata fokus mata saya masih belum beralih dari satu anak ke anak lainnya, maafkan Mbak Anin ya sayang. Atau menemani Naja mewarnai dan tidak ingin ditinggal sampai-sampai ia tetap mengikuti dan kekeuh membawakan tas saya, walau isinya cukup berat, duh sayang.

Dua hal yang saya dapat hari ini, percaya dan mau memberi kesempatan. Ya, anak-anak menurut saya mudah sekali memberi kepercayaannya untuk orang baru sekalipun, di luar fakta dari sikapnya yang ini membuatnya menjadi sasaran empuk para penculik anak, tetapi hal tersebut menandakan betapa percayanya anak-anak ini bahwa di dunia ini dipenuhi oleh orang-orang yang baik. Walau kenyataannya tetap saja ada yang bertindak jahat terhadap orang lain, namun entah mengapa, saya masih berpikir, bahwa semua orang bisa saja baik, dan mereka diciptakan dengan baik untuk menjadi baik oleh Dia yang Maha Baik. Hanya saja seiring berjalannya waktu seringkali saya menemukan peristiwa oleh orang-orang yang bertujuan baik namun dengan cara-cara yang kurang baik, seperti halnya pada suatu waktu saya pernah membaca berita online di mana ada seorang ibu yang mencuri susu, demi memberikan susu untuk anaknya, beliau terpakasa menuri karena tidak mempunyai uang, dan di sisi lain, beliau ingin memberikan asupan yang bergizi untuk anaknya. Ibu ini baik, tetapi hanya caranya yang tidak tepat.

Dan anak-anak selalu memberikan kita kesempatan, kesempatan untuk dapat lebih dekat dengan mereka, kesempatan untuk diberikan maaf, kesempatan untuk memperlakukan mereka lebih baik lagi, dan kesempatan untuk belajar. Jika mereka tidak memiliki sifat ini, saya tidak yakin mereka akan dengan mudah menerima saya yang notabene orang asing untuk ada di sekitar mereka, bermain dan belajar walau hanya sebentar. Adik-adikku sayang,  terima kasih ya sudah memberi Mbak pelajaran hari ini, kalian memang guru-guru hebat dan favorit Mbak di mata kuliah kehidupan :)


Saya jadi ingat adik saya yang kelas 6 SD itu pernah bertanya, "Mbak Anin punya adik lain di Solo?"









Wednesday, February 4, 2015

Merekam (1)

"Hari ini kita jalan-jalan ke Kali Pepe di deket Solo Balapan ya..."
"Hayo, saiki mangan sik..."
"Mengko ngomonge ngene 'kok dijupuk to?' "
"Mbak, aku mlakune sko kene? Ora sko kono wae?"
"Adek capek?"
"Mbak, mulihe kapan?"
"Kui mimikku!!!" *banting tas*
"Aku Poca** Sw***, Mbaaaak!"
"Njaluk!!!"
...

Dan potongan-potongan percakapan lainnya yang terekam di otak saya dan kedua sahabat saya dalam proses pembuatan film untuk anak. Sempat diikuti rasa was-was mengingat ini kali pertama kami membuat sebuah film pendek dan juga di waktu yang sama kami melibatkan anak-anak.

Acara Sharing for Caring bersama Mbak Yua dan Mbak Deka beberapa hari yang lalu sangat membantu kami hari ini, walau pada akhirnya kami bertiga tetap harus semangat untuk menciptakan sebuah film untuk anak. Saling bahu membahu, menyemangati dan juga panik-panikan bareng, akhirnya tiba juga harinya di mana kami melakukan proses shooting untuk hari pertama. 

Hari Kesatu

Siang yang terik, tapi pukul 12.30WIB sambil menunggu anak-anak berkumpul, kami sudah siap di Pucangsawit dengan membawa peralatan seperti tripod, kamera dan logistik untuk di tempat pengambilan gambar. Sebelum pergi ke tempat pengambilan gambar, kami menunggu talent-talent cilik kami ini untuk mengganti pakaian seragam merah putih dan makan siang. Salah satu celetukan Tasya setelah mengganti pakaiannya adalah, "Bar sekolah, sekolah meneh (Habis sekolah, sekolah lagi)". "Nggak sekolah kok, ini jalan-jalan", sahut Yanna. Makan sudah selesai, setiap anak sudah kenyang, sudah semangat lagi untuk kegiatan selanjutnya, yak, shooting time!

TKP

Adegan demi adegan berganti. Ada juga yang beberapa kali harus diulang, ada yang karena kesalahan saya yang suaranya masuk ke zoom, ada juga yang karena lupa harus bicara apa, ada yang harus diulang karena tidak bisa menahan tawa, atau justru ada kontak mata ke kamera. Ini melelahkan, tidak bisa dipungkiri, tapi melihat adik-adiknya malah menertawakan kesalahan mereka sendiri justru menjadi pompa semangat tersendiri untuk saya pribadi. Sesekali bermain tebak-tebakkan, atau salah satu dari anak yang belum kebagian giliran untuk pengambilan gambar menaiki motor Cesar dan bergaya bak seorang pembalap, ada juga yang malah menggoda anjiing dengan meniru suaranya, memancing si anjing dengan gonggongan yang lebih keras, hayo siapa yang dulu waktu kecil pernah melakukan hal yang sama? Senangnya bersama anak-anak, mereka sangat jujur dengan apa yang mereka rasakan, sehingga tidak memerlukan kode-kode rahasia yang kadang bisa diterjemahkan, tapi kadang berakhir dalam diam. 
"Mbak, awake kapan mulih?"
"Tasya kesel?"
Dia hanya menjawab dengan anggukan pelan.
Ya, sejujur itu, dan saat itu juga, kami memutuskan untuk menghentikan proses pengambilan gambar, dan pulang. Ada lagi yang lucu, saat berkemas, kedua anak laki-laki yang ikut justru berebut minta diboncengi Cesar dengan motor besarnya.
"Aku sing ning ngarep."

"Moh, akuuuuuu!"

 Rekaman

Jika ini adalah sebuah lagu, maka lagu ini akan menjadi salah satu lagu yang saya putar terus menerus. Karena tak terhitung banyaknya pelajaran yang ada di dalamnya. Saya lupa siapa yang pernah mengatakannya tetapi sepertinya benar, "jika ingin belajar tentang kehidupan, belajarlah dari anak-anak", hari itu, saya belajar entah banyak atau sedikit tapi ada bagian-bagian yang saya garis bawahi, jika itu adalah sebuah bait lagu. Seperti misalnya, saya yang katany belajar ilmu komunikasi ini ternyata belum tentu bisa memahami bagaimana berkomunikasi dengan baik, terlebih karena saya terbiasa menjadikan anak-anak sebagai partner bermain dan belajar, ya walau mungkin setahun belakangan ini saya tidak aktif di dusun-dusun binaan yang ada di kampus, tapi kira-kira seperti itu saya memperlakukan adik saya dan ke-tujuh kurcaci saya saat kami berkumpul bersama. Beberapa saya merasa tidak enak saat meminta adik-adik ini untuk berperan dengan gestur A atau B, mengatakan C atau D, saya merasa saya tengah mengeksploitasi mereka, walau sebenarnya tidak juga, mengingat kami juga tetap memperhatikan kebutuhan dan keadaan mood teman-teman kecil kami ini.
Di sini saya belajar untuk lebih peka untuk merasakan kondisi psikis anak-anak dan mengkomunikasikan apa yang saya maksud kepada mereka. Saya jadi geli sendiri terhadap diri saya, kenapa bisa saya bingung tentang bagaimana mengkomunikasikannya kepada anak-anak, padahal anak-anak adalah masa yang dulu pernah saya lewati, haha "lucu" sekali.
Sensasi membuat film anak memang bukan main rasanya, setiap momennya pasti ada saja hal baru yang kami temukan. Dari sini, entah muncul dari mana, tapi semangat untuk membuat film pendek untuk anak semakin terpatri dalam hati. Harapan saya hanya sesederhana, kelak anak saya nanti, dapat menikmati film-film atau tayangan yang memang cocok untuk usianya, setidaknya itulah hal yang membuat saya tidak ingin berhenti di sini atau nanti setelah film pendek perdana tim kami selesai. Semoga ini bukan yang terakhir.

Untuk Petra, Tasya dan Tegar

Petra. Tasya dan Tegar sayang, Terima kasih sudah mengajarkan apa-apa yang mbak Anin selama ini belum dapatkan di bangku kuliah mbak, di ruang rapat organisasi mbak atau di ruang makan keluarga mbak. Terima kasih sudah menjadi inspirasi baru untuk mbak ya sayang. Terima kasih telah menularkan semangat-semangat untuk lebih berkontribusi lewat jalur ini ya sayang. Semoga kalian tumbuh menjadi anak yang pintar dan berani mewujudkan jejak-jejak mimpi kalian sebagai anak negeri.

Potret

Proses Reading sebelum pengambilan gambar "Kok Dijupuk to?" Kata Tasya.

Tasya sedang latihan untuk dialog selanjutnya nih


"Diulang meneh, diulang meneh" kata Petra, tapi tetep aja masih semangat buat ngulang adegan yang ini.


Petra dari awal tertarik banget sama kamera, mungkin saat dia sudah besar nanti bisa jadi fotografer handal di National Geographic.

"Okesip, kereen!" Kata Mbak Rahma utnuk talent cilik kita tiap pengambilan gambarnya sukses


Taken by: Enggak Tau Siapa, dapet aja pose kayak gini, ngaso bentar ya, naroh dagu di atas Tripod


Halo dari pinggir Kali Pepe!



Saya sadar,
saya bukan ahli film,
saya hanya seorang mahasiswa,
seorang kakak dan juga seorang perempuan,
yang punya mimpi bahwa adik atau anaknya kelak,
bisa punya tontonan yang layak untuk ditonton oleh anak-anak seusianya

Terakhir, semangat ya untuk sineas-sineas di luar sana yang tengah memperjuangkan dan mengusahakan film-film untuk anak, saya sekarang sedikit tahu bagaimana prosesnya, :')
Bravo Film Anak Indonesia!