Saturday, April 25, 2015

Mahasiswa Riwayatmu Kini

Banyak yang menggantungkan harapannya pada mahasiswa, sadarkah?
Sabtu siang ini, Solo masih diselimuti awan mendung. 26oC cukuplah untuk membuat mood berada di level sendu dan ingin membenamkan diri di bawah selimut sambil menonton drama Korea dan secangkir teh hangat. Siang ini, saya malah ada di sebuah warung makan, sehabis membeli obat untuk Si Mbah dan beberapa makanan yang beliau pesan. Di tengah-tengah makan, tiba-tiba terbesit sebuah pertanyaan,
"Udah ngapain aja lu jadi mahasiswa?”

Sial. Pertanyaan seperti itu hadir di tengah-tengah makan, dan sukses membuat saya berhenti untuk berpikir dan sirna sudah keinginan untuk pulang ke rumah cepat-cepat. Udah ngapain aja lu jadi mahasiswa? Terus terngiang di telinga saya. Hal ini langsung membawa saya ke beberapa momen di mana kondisi mahasiswa saat ini tidak seperti bagaimana otak saya pernah memimpikannya. Otak ini membawa saya kembali ke momen di mana ada ‘adu chat’ (karena memang terjadi di grup messenger) di mana mahasiswa saling serang mahasiswa lainnya, bahkan juga mengebiri gerakan mahasiswa lainnya. Atau satir-satir yang bertebaran di lini masa media sosial maupun media cetak tentang pergerakan organisasi mahasiswa saat ini. Saya yang melihat hanya mampu berdecak sambil sesekali memberikan komentar tapi berusaha untuk tidak masuk ke dalam perdebatan manapun.

Miris
Sedih jika harus mengomparasi perjuangan pergerakan mahasiswa di zaman dahulu dengan yang terjadi hari ini. Jika melihat ke belakang, teman-teman mahasiswa pada masa itu saling bersatu, bahu membahu untuk menyempurnakan kemerdekaan yang dulu pernah digaungkan. Melawan tirani yang nyata, bisa dikatakan, musuh mereka terlihat dan idealisme mahasiswa pada zaman itu belum diusik dengan pengaruh-pengaruh kehidupan yang individualis.
Hari ini, saya masih melihat bagaimana kemudian mahasiswa yang bergerak di lini satu mencederai gerakan mahasiswa lainnya. Mengatakan gerakannya lah yang lebih efektif, atau gerakan yang dilakukan oleh teman-teman lainnya adalah gerakan yang sia-sia dan buang-buang tenaga. Sudah tidak ditemukan lagi tokoh-tokoh seperti Tan Malaka yang dekat dengan Soekarno, karena saat ini, mahasiswa dengan gerakannya sudah terkotak-kotak dengan jas alamaternya, jaket gerakan eksternal kampusnya, bahkan ke ideologinya. Sehingga akhirnya, saat masing-masing dari mereka turun aksi(baik demonstrasi atau dalam bentuk lain) yang timbul justru saling mencederai dan menghakimi. Mahasiswa terkenal kuat dengan idealisme yang dipegangnya, namun apakah kemudian ini yang membuat mereka jadi sedemikian keras dan tidak menerima gerakan saudara-saudara seperjuangannya, wahai mahasiswa?

Pertanyaan
Kemudian pertanyaan lainnya muncul. Sering sekali saya membaca beberapa respon dari teman-teman baik yang mahasiswa maupun yang bukan, mengenai bagaimana seharusnya mahasiswa bergerak dalam mengkritisi dan merealisasikan Indonesia yang lebih baik? Di antaranya menjawab, “work through passion” , “serius kuliah dulu deh, yang bener, nanti kalo udah lulus baru deh ubah sistem dengan masuk ke jajaran pemerintahan” atau jawaban lainnya seperti “Screw it! I don’t believe in our Government or media, it’s all bullshit!
Katakanlah saya saat ini mengambil dua jawaban yang pertama, saat kita benar-benar bekerja sesuai dengan passion kita, sudahkah kita menuliskan “Untuk Indonesia yang lebih baik” dalam hati kita sebagai semangat dan cita-cita? Atau hanya berdasarkan keinginan atau bahkan ketakutan terpenjara dalam sesuatu yang kita lakukan? Lalu untuk jawaban nomor dua, masihkah kita memegang kalimat itu saat kita lulus kuliah nanti? Mampukah hati kita berjanji demikian? Di mana satu-satunya kemewahan yang saat ini kita, para mahasiswa, miliki adalah idealisme yang ada di dalam otak dan hati kita masing-masing, setidaknya begitu kata Tan Malaka. Padahal, saat setelah lulus nanti, kita dihadapkan dengan kehidupan yang lebih nyata di mana, kita harus bertahan, even earn something for a living, bisakah idealisme yang dahulu dimiliki di bangku universitas diterapkan di realitas setelah keluar dari gerbang universitas? “Kalo masih fresh graduate entar mah, kudu berpikir realistis biar  nggak  terpenjara idealisme diri sendiri” ada juga loh yang mengatakan demikian. Jadi, untuk mengantisipasi ide-ide yang mungkin akan sulit terealisasikan karena faktor lingkungan di masa depan, kenapa harus menunggu nanti saat kita bisa bergerak dan mengusahakannya di lini kita untuk Indonesia saat ini juga?

Harapan
Mahasiswa telah menjadi harapan bagi masyarakat, karena bagaimanapun juga negara ini akan dilanjutkan oleh para mahasiswa sebagai agen perubahan, pengendali sosial dan fungsi-fungsi lainnya yang ada di pundak mahasiswa. Posisi mahasiswa saat ini sesungguhnya ada di tataran Middle Leader. Bukan posisi yang tanggung, justru menguntungkan, karena di posisi ini mahasiswa bisa lebih dekat dengan masyarakat, akademisi maupun pemerintah. Sehingga dalam mentransformasikan ide yang ada di kepala untuk menjadi aksi-aksi nyata pun perlu dibagi target atau sasarannya ke tiga pihak tersebut, masayarakat, akademisi dan pemerintah. Ada yang mengkritisi, mengadvokasi dan memberi usulan solusi ke pemerintah, ada yang membuat riset, membuat inovasi untuk penyelesaian masalah di masyarakat dan ada pula yang melayani masyarakat. Ketiga lini ini harus bergerak sinergis untuk mewujudkan cita-cita bersama. Tak perlu mencederai, yang ada memang harus saling support dan saling ingin mendenggarkan dan memperbaiki diri jika memang yang dilakukan kurang pas oleh mahasiswa lainnya yang tidak tergabung dalam gerakan itu. Bergerak di lini masing-masing itu sangat perlu, jika kita ingin negara ini kemudian maju di banyak sektornya, bukan hanya satu atau dua saja.
Terakhir, selain menyertakan cita-cita “Untuk Indonesia yang lebih baik” di hati dalam bergerak, sertakan pula Allah dalam setiap langkah. Saya yakin, sumber semangat yang tidak akan habis adalah sesuatu yang datang dari sisi rohani seseorang lewat percaya dan menyertakan Tuhan dalam setiap langkah.
Dan dasar pergerakan adalah nurani yang bernyala dan hati yang ikhlas, yang bersih dari ambisi pribadi dan kepentingan dunia, yang tidak mengharap sorot lampu popularitas dan riuhan tepuk tangan. –M. Yoga Permana


Populis ataupun strategis, gerakan mahasiswa sudah sepatutnya sinergis. 
Selamat siang.





3 comments:

  1. Hmmm, kalau saya memandangnya sebagai mahasiswa kita harus produktif. DIbandingkan mereka yg sudah bekerja kan mahasiswa lebih banyak waktu luangnya atau seengaknya bisa mengatur waktu secara lebih fleksibel. Karena ketika mahasiswa mengasilkan sesuatu itu artinya mereka sudah berkontribusi untuk bangsa.

    Idealisme itu masih bisa diterapkan kok selepas kuliah nanti. Walaupun ya dengan beragam resiko. Yang jelas kalau "tidak menyerah", idealisme senantiasa bisa dipertahankan. Kalau pun dirasa tidak bisa menghidupi diri dengan idealisme itu, maka kurangi sedikit kadarnya. Kata teman saya, hidup itu hanya teknik berkompromi dengan lingkungan sekitar.

    ReplyDelete
  2. Sebuah pandangan yg menarik ttg pergerakan pemuda yg semakin mengkhawatirkan akhir2 ini :)

    ReplyDelete
  3. Sepakat dengan pernyataan ini: "Ketiga lini ini harus bergerak sinergis untuk mewujudkan cita-cita bersama." Heran ketika melihat ketiga kelompok justru merasa ada persaingan di antaranya.

    ReplyDelete