Friday, May 24, 2013

Aku dan Perjalanan (Metromini 69 Ciledug-Blok M)

07.30 WIB
“Good morning universe :)” Tweet Sent. Kegiatan pertama yang aku lakukan saat bangun tidur. Duduk di ujung tempat tidur, berusaha mengumpulkan nyawa-nyawa yang masih berterbangan di langit-langit kamar. Keluar kamar dengan mata yang masih setengah terbuka dan meminum 2 gelas air putih. Seorang wanita keluar dari dapur dan memulai nyanyian paginya, lagunya pagi ini berjudul “Wanita dan Fajar”. Lagu ini bercerita tentang wanita yang memiliki kewajiban untuk bangun saat waktu fajar dan mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah
dan lain-lain, dan lain-lain. Aku tetap berkilah dengan alasan sedang haid dan lain-lain, dan lain-lain, tapi ya, dalam hati kecilku berkata “Kau harus ingat dengan
siapa kau berkata, sejauh ini wanita di depanmu itu memang selalu benar
bukan?”
08.00 WIB
“Ann! Jangan nyanyi di kamar mandi!!!” Kata wanita itu sambil menggedor-gedor-aku tahu “menggedor” adalah kata yang
sangat berlebihan, tapi begitulah adanya, pintu kamar mandi kami. Aku diam sejenak. Langkahnya menjauh, dan aku meneruskan bait lagu yang tadi terpotong. Kali ini, dia tidak menghentikan aku, entah ia pergi keluar rumah atau lelah mengingatkan.
09.00 WIB
“Astaga baru jam 09.00 pagi dan panasnya seperti jam 12.00?!” Ah sudahlah, tak ada gunanya mengkritik langit, terlalu bising di
bawah sini, dia tak mendengar. Pelembab, sedikit sapuan bedak, eyeliner agar mata ini tidak terlihat seprti orang yang
mengantuk-warisan dari bapak yang juga bermata sayu, sedikit pulasan untuk bibir berwarna pastel. Klasik. Aku mulai memilah baju mana yang akan aku pakai, pilihanku jatuh di baju berbahan
chiffon hitam, celana skinny hitam dan shawl hitam bercorak merah muda untuk perjalanan hari ini. Aku tau, aku bodoh, memakai baju serba hitam di hari yang super panas ini merupakan keputusan
terbodoh yang pernah dibuat,tapi…..sudahlah. toh, aku tetap saja
nyaman.
10.15 WIB
Setelah pamit dengan wanita yang
sekarang tengah sibuk dengan
masakannya, aku segera bergegas
meninggalkan rumah. Mobil Suzuki Carry yang di kaca depannya dihiasi tempelan kode trayek C.12-yang bangkunya sudah dimodifikasi sedemikian rupa sehingga penumpangnya duduk berhadapan, yang duduk persis dibelakang supir harus terdiri dari 6 orang, dan dihadapannya 4 orang, kalau tidak angkutan ini tidak akan jalan, akhirnya melintas. “Bayoran, Neng!” kata si Supir saat mobilnya berhenti di hadapanku. Aku masuk dan menempati tempat yang masih tersisa. Ada 8 orang
wanita di dalamnya termasuk aku, 2 diantaranya masih muda, dan lainnya adalah ibu-ibu berumur sekitar 30an ke atas. Tidak ada percakapan, seperti biasanya, semua orang sbuk di dunia mereka masing-masing. Sementara aku memilihi memperhatikan mereka yang sibuk dengan dunianya dan tidak tahu jika
sedang diperhatikan.
10.30 WIB
Harusnya sekarang aku ada di Metromini 69 jurusan Ciledug-Blok M, tapi di sinilah aku sekarang, berdiri di depan coffee machine(lagi) di sebuah minimarket. “Capuccino oke juga.” Pikirku. Kopi untuk pagi menjelang siang ini, Capuccino, sampai terminal Blok M.
10.35 WIB
Akhirnya masuk juga aku di kendaraan yang supirnya selalu menyetir seakan mereka yang memilki jalanan. Kali ini aku
tidak duduk di bangku favoritku, barisan ke-2 belakang supir. Ada bapak tua yang sudah duduk di sana, akhirnya aku duduk di baris ke-4 yang kedua bangkunya masih
kosong, aku memilih duduk di samping jendela. Di belakangku duduk seoarang pria, umur sekitar 30an tahun, memakai gelang berwarna emas, berkumis dengan
kaos Polo hitam bergaris putih di bagian dadanya. Ia tengah sibuk dengan telepon genggamnya. Namun aku lebih memilih menikmati segelas Capuccino yang ada di tanganku sambil memasang headset dan mendengarkan musik. Suara Rihanna yang menyanyikan Take A Bow seakan memenuhi metromini 69 ini, dan entah ilusi macam apa, tapi cuaca tidak terasa
sepanas sebelumnya.
10.45 WIB
10 menit berlalu. Aku dikejar waktu. Tapi Metromini ini malah berhenti di depan sebuah pertigaan, padahal tidak ada lampu merah di situ. 5 menit, tapi belum juga melaju. Aku berusaha acuh, dan bersabar sedikit lagi. Setidaknya itu juga yang berusaha dilakukan orang-orang di dalam
sini. Tapi ternyata aku salah, tiba-tiba bapak yang tadi duduk di belakangku memukul kursi di sebelahku sangat keras, dan berteriak “WOY! JALAN UDAH, NGGAK ADA PENUMPANG LAGI JUGA!” Seketika itu juga setiap penumpang tertuju pada bapak itu, ada yang menatapnya dengan takut, tapi ada juga yang jengah. Dan tak lama setelah itu, Metromini kembali melaju. Terminal Blok M. Sepanjang sisa perjalanan aku terus berpikir tentang apa yang baru saja dilakukan bapak ini. Harus diakui,
tindakannya memang sangat berani. Aku tidak yakin, jika bapak tadi tidak beraku demikian, mungkin Metromini itu akan berhenti lebih lama di tempat tadi. Dan memang itulah yang seharusnya dilakukan kebanyakan orang agar aspirasinya ikut dijadikan bahan pertimbangan, yaitu dengan mulai berbicara. Dengan etika yang baik tentunya, agar pada akhirnya tatapan-tatapan yang diterima bapak itu
tidak terulang lagi pada kita yang berani berbicara.
11.15 WIB
Metromini 610 Blok M-Pondok Labu sudah menanti di depan sana, aku setengah berlari dan di sinilah aku sekarang, duduk
di barisan kedua, di depan pintu.



Wednesday, May 15, 2013

Aku dan Perjalanan: Kopaja 66 (Blok M-Manggarai)

Masih di kendaraan umum yang sama. Hanya saja lebih sore dari yang terakhir. 16:43 Waktu Indonesia Barat, 15 Mei 2013.
Aku? Aku masih seperti kemarin, duduk di baris kedua di belakang supir di dekat jendela dengan headset terpasang sempurna. Kali ini Daylight dari Maroon 5.
kau bisa temukan banyak hal di dunia ini. Di antara mereka ada yang mampu membawamu menembus ruang dan waktu, kembali ke tempat di mana memori-memori yang tak jua lapuk itu dibuat, atau ke suatu tempat yang bahkan belum pernah kau datangi. Untukku mereka adalah musik, hujan dan perjalanan yang aku tempuh sendirian yang mampu begitu.
Hari ini adalah hari ke-17ku di kota ini, dan tetap merasa asing. Hal ini menjadi sangat ironis karena aku merasa asing di kota aku berasal. Tapi bukan itu poinnya, justru segala perasaan asing yang hinggap membuatku berpikir lebih, tentang segala hal yang pernah aku tinggalkan di kota ini dan berubah begitu saja saat aku kembali lagi.
Kali ini, 3 hal tadi membawaku ke suatu tempat, jauh dari ibukota, ada seseorang yang tinggal di sana. Ya, Daylight memang pernah menjadi lagu kami yang kami dengarkan bersama, dengan berbagi headset-sekarang headsetnya rusak, dulu. Ya, dulu. Dan sekarang aku mendengarkan musikku, sendirian.
Lalu, aku teringat akan kenangan 3 tahun lalu. Patah hati ala anak remaja labil lulusan SMP, aku ingat akan tiap umpatan, jeritan dan tangisanku waktu itu, astaga. Hingga pada akhirnya sampailah aku di titik, "aku-butuh-waktu-sendiri" jika dipikir ulang, mungkin itu pulalah yang mendorongku untuk pindah ke Yogyakarta. Gila.
Waktu terus berganti. Satu semester pertama adalah yang terberat. Karena memang tidak mudah menerima segala hal yang berbeda 180derajat dari apa yang biasa kau lihat dan rasakan. Saat itu aku tidak hanya.mencoba untuk sekedar hidup dan melanjutkan pendidikan tetapi juga bertahan. Dan bagian waktu lain tiba, aku jatuh cinta. Tapi, cinta adalah langkah pertama untuk merasakan luka. Singkatnya, akhirnya Sang Luka datang menghampiriku dan memelukku erat. Sedih? Pastinya. Namun, katanya hidupku harus terus berjalan. Tapi, hati ini terlalu sakit untuk dibuat berjalan apalagi berlari, aku butuh sesuatu untuk menyembuhkannya. Musik? Itu menyembuhkan, tapi hanya sementara. Bukan itu yang aku butuhkan. Setelah lama berpikir, aku tersadar, waktu untuk sendirilah jawabannya. Jauh dari rutinitasku, orang-orang lama dan lingkungan yang setiap sudutnya mengingatkan aku tentang dirinya.
Dan di sinilah aku berakhir. Di Kopaja 66 jurusan Blok M-Manggarai. Aku telah sampai di tempat transit pertama, terminal Blok M saat Adam menyanyikan bagian reference terakhirnya,
Cause in the daylight we'll be on our own
But tonight I need to hold you so close
Selagi menunggu, bapak tua yang ingin turun di depanku, terlintas dipikiranku, dulu aku meninggalkan kota ini untuk menyembuhkan hati yang telah disakiti, kali ini aku kembali ke untuk menyembuhkan hati yang telah disakiti pula. Mungkin memang begitu cara kerjanya, yang buruk tidak selamanya buruk, begitupun sebaliknya.
Lekukan senyum yang amat samar muncul di wajahku, namun aku belumlah sampai di rumah.



Aku dan Perjalanan: Kopaja 616

Matahari bersinar dengan gagahnya di langit biru sana. Mengamati setiap kegiatan manusia yang hiruk-pikuk, lalu-lalang di bawahnya. Deretan panjang kendaraan beroda empat(atau lebih) yang seakan tak ada putusnya mengisi setiap jalan-jalan ibu kota. Belum lagi puluhan motor yang menyeinap celah demi celah yang tersisa, menyalip ke kanan, banting ke kiri, putar lagi ke kanan, begitu terus hingga mereka sampai di tujuan. Ada juga beberapa pedagang asongan yang menyerbu kendaraan yang berhenti di lampu merah, mereka yang beroda dua menutup helm rapat-rapat, mereka yang beroda empat, menutup kacanya tanpa celah sedikitpun, mungkin menganggap mereka yang berpanas-panas di luarnya itu tidak ada.

Aku? Aku sibuk mengamati makhluk-makhluk Tuhan ini dari dalam balok oranye yang diberi roda, mesin rongsok yang jika dinyalakan akan mengeluarkan bunyi yang maha dahsyat dan asap hitam tebal, bertuliskan "Metromini". Ya, disitulah aku, duduk di barisan kedua di belakang Pak Supir, yang berkalung handuk putih "Good Morning" di lehernya. Syukurlah aku duduk di dekat jendela, jendela besar yang berlapis entah berapa centimeter debu ini seperti sumber kehidupan untuk para penumpang di dalamnya.

10 menit sebelum aku menaiki kendaraan sejuta umat ini, aku sempatkan kakiku melangkah ke dalam ruko yang disulap menjadi sebuah minimarket yang di dalamnya menjual banyak makanan kecil hingga besar, minuman, dan perlengkapan lainnya. Aku sengaja berlama-lama di dalamnya, ah sejuk sekali di sini, andai jalanan bisa sesejuk ruangan ini. Menit setelahnya aku sudah berdiri di depan Espresso Machine. Mataku mulai terpaku kepada kolom tulisan yang ada di atas mesinnya. Kopi apa yang akan aku minum ya, Kopi Hitam, Kopi Susu, Cappuccino, Macchiato, Coffee Latte, atau malah beralih ke mesin satunya di mana aku bisa mengambil satu cup coklat panas? Tapi tidak, ternyata mataku menangkap mesin yang ada di sebelah mesin coklat, ya, pilihanku jatuh kepada Choco Latte. Bungkus.

Akhirnya, di sinilah aku. Duduk di dekat jendela dengan satu cup choco latte di tangan kananku, dan headset yang terpasang sempurna di kupingku yang tertutup hijab bermotif tribal pemberian tante. 16 kilometer lagi, menurut Google Maps, aku bisa mencapai tujuanku selama 30 menit, tapi.....Ya, ini Jakarta, kota di mana kamu hanya bisa mengenderai kendaraanmu sampai 10-20 km/jam. Ajaib.




Sunday, May 12, 2013

Just a random post on Sunday Night

I'm not having my insomnia, but yea....here we go
You know you can't get back
But future seems too blurry
You know you gotta move forward
But you're afraid of being forgotten
You know you wanna runaway
But you can't, cause it's harder to walk when you're bleeding
You wish you can remove memory
But it's the one that makes you believe
That there might be hopes out there



Wednesday, May 8, 2013

It's (My) Home, isn't it?

First, I can't believe that it's been 3 years for me to live in Yogyakarta. A place that I ever refused to live in for a thousand times. It's been 3 years I live far from my hometown, Jakarta. A place that blinds me with those people who got me feeling satisfied, happy, sad, in love and hurt(so much). I remember the first time I said "yes" to move out of the town. Not only because my daddy's last request, but also that time I do really need a new place, a real new place to start a brand new life. A real brand new life. I felt Jakarta's not healthy for me anymore. So there I was, I decide to move.

I moved to one of region in Yogyakarta, which is Gunungkidul. Don't ask me the difference of my new place and Jakarta, cause It'd be like counting those fishes in the ocean. At first. I felt like this place is kinda messed me up. I meant, I did already have a kind of messy life, I need to fix it, but this place make it worse. And they, the people's around me, they act like "Chill out, dear, it's just an usual stuff for those who's moving out of their place, you'll be ok, just enjoy the process." And I was like, "BITCH! YOU DON'T KNOW HOW IT FEELS!" I remembered all those times, where I cursed to everything, to everyone, everywhere and everytime. I didn't want to have any kind-of best-friend, I didn't want to get attached to this place, this people. I admit it, that I didn't like anybody that time.

But there I was, unconsciously letting the time changed me, my point of view, my maturity, my heart. I felt this place has changed my life, much. And lately, this place made me feel afraid, like the first time when my dad asked me to move to this place, I'm afraid if somebody would ask me to move back to the place I used to live in. I know exactly that everything must change, but this time, I feel so afraid, that I won't get fit in. Like, the people, can I get free smiles from them like I used to get when I live in Gunungkidul? And friends, my old friends, are they somebody that I used to know when I left? It's a lot of difference. I dont know why, but yes, I'm afraid of something changes.

Now, I'm in Jakarta, trying to feel the old feeling of "Yeaaay it's my home" but I dont feel anything. I remembered Lady Antebellum's song titled, "Home is Where The Heart is" I ever put my heart in this place, but how could I feel this way, like I never put it here?  Can it be moved?

I'm feeling homesick for the region I ever refused to live in, for the people I ever pushed away, for the place I ever refused to get attach to.