Sunday, April 26, 2015

Romantisme Kopi dalam Filosofi



What friend do you choose to through the times to stop and think?

Sudah lama ingin menuliskan tentang ini sejak 9 April 2015, tanggal dirilisnya film bertajuk Filosofi Kopi di seluruh bioskop di Indonesia, walau pada kenyataannya di hari itu baru satu bioskop yang memutarkannya di Solo.


Karena saya bukan kritikus film, jadi saya hanya akan menuliskan sedikit tentang film ini. Apa yang bisa saya bilang tentang film ini mungkin, punya sinematografi yang bagus dan beda dari yang lain, kreatif tentang bagaimana kopi dijadikan latar belakang cerita, dikaitkan dengan sumber masalah dan penyelesaian masalahnya. Nice acting dari dua tokoh utamanya, di luar fakor ketampanan ke duanya, tapi saya cukup amazed dengan kemampuan ke duanya beradu akting, walau saya juga masih menyayangkan kehadiran tokoh perempuan sebagai pihak ketiga yang menurut saya kurang maksimal. Filosofi kopi memanjakan mata saya dengan sinematografinya yang cukup baik, walau di awal sempat “goyang” dan saya tidak paham apa itu memang suatu kesengajaan atau memang kesalahan, dengan pengambilan gambar proses pembuatan kopi dari yang tradisional hingga yang sangat shopisticated. Nilai yang ingin disampaikan juga berhasil sampai ke otak saya, dan membuat saya berpikir tentang sebuah pijakan di antara sisi realisme dan idealisme saya sepanjang jalan pulang setelah menonton. Saya menghadiahkan 4 bintang untuk Filosofi Kopi untuk itu semua.

Kopi Indonesia dalam Angka
Sejak pertengahan tahun 2014 saya mulai merasa kopi perlahan menjadi sebuah tren di kalangan anak muda. Hal ini dilihat dari mulai meningkatnya varian kopi instan maupun kopi siap minum yang hadir di tengah masyarakat dan memang ditargetkan untuk anak muda. Dilanjutkan dengan promosi film Filosofi Kopi yang dimulai di awal-awal tahun 2015, dan terus berlanjut hingga saat ini, seiring dengan dirilisnya film tersebut di bioskop-bioskop Indonesia.

Ini bisa jadi baik, peningkatan minat terhadap kopi oleh kalangan muda-mudi bisa berdampak baik terhadap para petani kopi. Salah satu target pertanian kopi di tahun 2014 kemarin adalah dengan meningkatkan produksi dan ekspor kopi ke mancanegara. Produksi kopi di Indonesia ditargetkan meningkat 2,9% dibandingkan tahun 2013, atau sebanyak 711.000 ton biji kopi, target tersebut diharapkan mampu melampaui hasil produksi sebelumnya, yakni 691.000 ton. Sementara itu, Indonesia sebagai negara produsen kopi tebesar ketiga di dunia ditargetkan meningkatkan hasil ekspor kopinya hingga ke angka 575.000 ton di tahun 2014 dibandingkan di tahun sebelumnya yang baru mencapai 540.000 ton. Namun pada kenyataannya, Hutama Sugandhi selaku Ketua Gabungan Eksportir Kopi Indonesia (GAEKI) menyatakan bahwa ekspor kopi secara nasional turun 20% hingga 25%. Hal tersebut disebabkan oleh anomali cuaca di Indonesia yang cukup memukul angka produksi juga turun sebesar 20%-25%. Adanya cuaca kemarau panjang di Brasil menjadi peluang tersendiri untuk Indonesia untuk kemudian mengejar ketinggalan untuk setidaknya ada di angka normal seperti pada tahun 2013 di tahun ini.

Hal lain yang juga disayangkan dari pertanian kopi di Indonesia adalah kopi yang diproduksi di Indonesia masih sekitar 85 persennya adalah kopi robusta, sementara kebutuhan kopi di dunia 60 persennya adalah kopi arabika. Infrastruktur masih menjadi salah satu alasan mengapa kemudian penggenjotan pertanian kopi arabika di Indonesia masih lesu. Sementara untuk lahan sendiri, Indonesia masih memiliki banyak lahan untuk ditanami kopi jenis arabika, target pemerintah sendiri pada tahun 2014 adalah dengan mengekstensifikasi lahan hingga 2.000 hektare untuk penanaman kopi jenis arabika.

Indonesia telah memiliki peringkat yang cukup memuaskan sebagai negara penghasil kopi terbanyak di dunia, bersaing dengan Vietnam diurutan kedua dan Brazil di urutan pertama. Selain pengembangan infrastruktur demi kemudahan penanaman kopi di Indonesia, sudah semestinya pemerintah juga mensejahterakan kehidupan para petaninya. Salah satu caranya adalah dengan memberikan penyuluhan atau sosialisasi terkait penanaman kopi yang baik agar menghasilkan kopi yang berkualitas, karena kopi yang berkualitas tentu akan meningkatkan harga jual dari kopi itu sendiri dan akan berimbas pada kehidupan petani. Tentu kita tidak ingin, kejadian yang terjadi pada tahun 90-an terulang lagi di mana, pasar dunia dipenuhi kopi-kopi yang berkualitas rendah sehingga harga kopi pun merosot jauh.

Di sisi lain, sedih rasanya saat harus membaca cerita-cerita tentang petani kopi di negeri ini. Bagaimana tidak? Kopi, salah satu komoditas yang membawa Indonesia bertengger di posisi nomor 3 sebagai negara dengan produksi kopi terbanyak justru harus mendapati petani kopinya merasa, tidak imbang antara apa yang mereka dapat (dalam hal ini uang) dengan hasil produksi dan lahan yang mereka miliki. Pembenahan mutu dan kualitas kopi lokal sudah seharusnya menjadi salah satu fokus pemerintah maupun pemodal-pemodal dalam semangat untuk mensejahterakan hidup petani kopi di Indonesia.

Tren Dahulu dan Tren Kini
Tentu masih hangat dalam ingatan kita di tahun 2012 lalu juga dirilis film yang meledak di kalangan muda-mudi, kaya akan nilai persahabatan dan filosofi. 5 Cm, sebuah film yang juga diadaptasi dari novel best seller karya Dhonny Dhirgantoro, tidak hanya meledak di bioskop-bioskop di Indonesia, film ini juga melahirkan suatu tren atau gaya hidup baru di kalangan muda-mudi, naik gunung. Setelah sebelumnya mungkin tren naik gunung ini baru ada di kalangan anak-anak Pecinta Alam setelah dipopulerkan oleh Soe Hok Gie, aktivis pergerakan mahasiswa yang juga anak Pecinta Alam. Setelah film itu keluar, gunung-gunung di Indonesia pun menjadi sangat populer di kalangan muda-mudi, hingga pada akhirnya sampailah kita ke titik di mana tidak hanya yang manusia yang sampai ke puncak gunung, tapi juga sampahnya. Tidak hanya sampai di situ, kasus kebakaran di Kawasan Hutan Lindung Gunung Lawu pun terbakar di tahun 2014, hal tersebut dikarenakan ada salah satu pendaki yang lupa mematikan api unggun di kawasan tersebut, kelalaian ini cukup disorot (dan dikutuk) tidak hanya oleh para pecinta alam yang sering mendaki gunung, tetapi juga dari para pemerhati lingkungan. Inikah salah satu akibat dari “mengikuti tren” tanpa adanya rasa cinta dan tanggung jawab?

Lalu apa hubungannya dengan filosofi kopi dan kopi? Kopi sendiri belum jelas apakah memang tradisi dari Indonesia atau bukan. Bahkan orang Gayo pun pertama kali menanam kopi sebagai tanaman pagar dan hanya mengonsumsi daunnya untuk dijadikan teh, baru setelah orang-orang Belanda datang ke Gayo, mereka mengonsumsi buah kopinya, itu pun tidak menjadikan kopi sebagai tanaman satu-satunya yang mereka tanam, kopi masih dijadikan tanaman sampingan. Beda lagi dengan Italia, bolehkan saya bilang ini negara asal Kakek Buyut Kopi? Di mana pagi mereka meminum kopi, mengobrol memesan kopi, pulang kantor juga ngopi. Lalu tiba-tiba entah tren yang bermula dari mana, apakah tren ini ada sebelum film ini rilis ataupun sebaliknya, yang jelas menurut saya, adanya film Filosofi Kopi bisa saja menguatkan budaya ngopi di kalangan muda-mudi.

Pertama kali saya mencoba kopi saat saya masih kelas 5 SD, saat itu saya menyeruput kopi yang dibuat Bapak saya, dan saat itu juga saya dimarahi, karena katanya, saya masih kecil. Tapi lambat laun, saat saya menginjak kelas 8 SMP, Bapak malah menjadi teman ngopi saya saat sedang menonton pertandingan Liverpool FC. Sampai saat ini saya juga masih mngonsumsi kopi, saya mengonsumsi kopi dengan menyesuaikan mood dan jam, itu artinya saya juga masih suka kok minum teh, karena seringkali beberapa teman saya bilang “Jangan ngopi terus lah...”. Di sini, saya belum melihat bahwa ngopi adalah sebuah budaya di tempat saya tinggal, entah itu di Jakarta, di Yogyakarta atau di Surakarta. Beda cerita saat kita bilang Wedangan. Wedang sendiri berarti minuman dalam bahasa jawa. Aktivitas yang dilakukan saat wedangan bisa berupa mengobrol, makan makanan kecil atau minum. Namun aktivitas minum minuman saat Wedangan pun tidak hanya dibatasi dengan meminum kopi saja, toh di lapangan banyak juga yang meminum Teh Hangat, Jahe Hangat, Susu Jahe, bahkan Es Teh pun masih dibilang sedang Wedangan.

Poin yang saya soroti selanjutnya adalah bagaimana penggambaran Kafe Filosofi Kopi di bilangan Melawai seperti pada cerita. Secara implisit, film tersebut memberikan apa yang kemudian diinginkan anak muda untuk menjadi teman ngopi. Seperti, adanya Pendingin ruangan dan Wifi Hotspot sebagai instrumen pendukung saat muda-mudi sedang ngopi. Ditambah lagi dengan desain interior kafe yang tidak bisa saya pungkiri terlihat nyaman. Apakah Filosofi Kopi mencoba memberikan standar ngopi dengan nyaman lewat film ini? Hanya sutradaranya yang tahu.

Lalu apa yang terjadi jika kopi tidak dihidangkan dalam ruangan-ruangan ber-AC dan ber-wifi? Apa yang terjadi jika kopi dihidangkan secara sederhana di pinggir jalan, di bawah terpal dengan cahaya yang berasal dari lilin dan lampu petromaks? Jika tidak didampingi oleh croissant atau sandwich, tetapi satu dua bungkus kacang goreng? Akankah kemudian kopi masih menjadi tren di kalangan muda-mudi?

Berfilosofi dengan Kopi

Sederhanakah dia seperti kelihatannya?

Kopi Tubruk itu sederhana, tapi sangat memikat kalau kita mengenalnya lebih dalam.Ben (dalam Filosofi Kopi)
Kalimat di atas adalah salah satu filosofi Kopi Tubruk yang diungkapkan Ben dalam salah satu scene di Filosofi Kopi. Namun begitukah? Setujukah anda? Saya sendiri sejujurnya memikirkan hal lain. Bagaimana jika Kopi Tubruk adalah ungkapan idealisme akan kemurnian seseorang. Saking murninya, iya hanya ingin kopi tanpa sentuhan apapun, karena menganggap itu akan mengubah cita rasa asli dari kopi. Karena menurutnya, kesempurnaan itu adalah saat dia menemukan sesuatu yang asli tanpa banyak polesan atau topping, apakah idealisme yang sedemikian itu mengungkapkan sebuah kesederhanaan? Atau justru menggambarkan keegoisan?

Kopi dan filosofi, saya tidak terlalu memusingkan soal ini, toh memang tidak ada pakemnya sama sekali. Seperti halnya, Ben(atau Dee sebagai pencipta karakter Ben) bisa mengatakan demikian, tapi saya justru berkata lain. Hampir setiap saya menulis, paling tidak selalu ada secangkir kopi yang menemani saya, tapi sudah dua hari menulis, saya tidak ditemani satu gelas pun. Setelah sekian lama, saya percaya bahwa kopi adalah sumber inspirasi untuk menulis. Sepertinya kegelisahan tentang bagaimana orang akan mencintai kopi setelah menonton film atau mengikuti budaya pop yang berkembang lebih besar daripada menulis sambil menyesap kopi−sebagai sumber inspirasi, yang saya buat seperti yang saya lakukan dahulu.

Toh pada akhirnya, kita dibawa kopi dari awal yang belum tentu sama, ke pengalaman-pengalaman yang berbeda, dan akhir perjalanan yang entah akan seperti apa. Namun, akan sangat disayangkan jika kemudian minum kopi hanya bagian dari pop culture belaka. Sementara negara sendiri masuk ke jajaran produsen kopi terbesar di dunia. Saya tidak meminta semua orang untuk kemudian mengonsumsi kopi sih, toh Mama saya pun sudah divonis tidak bisa mengonsumsi kopi sedikit pun. Tapi, saya lebih ingin menghindarkan ngopi menjadi bagian dari budaya pop, karena jika iya, maka akan mudah juga perginya kopi dari benak dan standar rasa masyarakat.

Di luar fakta rasa suka saya terhadap kopi, mungkin hanya ini yang bisa saya lakukan untuk mengapresiasi karya petani di negeri yang kaya kopi ini. Semoga pertanian kopi Indonesia semakin menjadi yang terdepan, dan mampu melampaui Brasil yang sudah menguasai 45% perdagangan kopi di dunia, dan pertanian kopi mampu menyejahterakan petani kopi di penjuru negeri.



Selamat Ngopi!




Saturday, April 25, 2015

Mahasiswa Riwayatmu Kini

Banyak yang menggantungkan harapannya pada mahasiswa, sadarkah?
Sabtu siang ini, Solo masih diselimuti awan mendung. 26oC cukuplah untuk membuat mood berada di level sendu dan ingin membenamkan diri di bawah selimut sambil menonton drama Korea dan secangkir teh hangat. Siang ini, saya malah ada di sebuah warung makan, sehabis membeli obat untuk Si Mbah dan beberapa makanan yang beliau pesan. Di tengah-tengah makan, tiba-tiba terbesit sebuah pertanyaan,
"Udah ngapain aja lu jadi mahasiswa?”

Sial. Pertanyaan seperti itu hadir di tengah-tengah makan, dan sukses membuat saya berhenti untuk berpikir dan sirna sudah keinginan untuk pulang ke rumah cepat-cepat. Udah ngapain aja lu jadi mahasiswa? Terus terngiang di telinga saya. Hal ini langsung membawa saya ke beberapa momen di mana kondisi mahasiswa saat ini tidak seperti bagaimana otak saya pernah memimpikannya. Otak ini membawa saya kembali ke momen di mana ada ‘adu chat’ (karena memang terjadi di grup messenger) di mana mahasiswa saling serang mahasiswa lainnya, bahkan juga mengebiri gerakan mahasiswa lainnya. Atau satir-satir yang bertebaran di lini masa media sosial maupun media cetak tentang pergerakan organisasi mahasiswa saat ini. Saya yang melihat hanya mampu berdecak sambil sesekali memberikan komentar tapi berusaha untuk tidak masuk ke dalam perdebatan manapun.

Miris
Sedih jika harus mengomparasi perjuangan pergerakan mahasiswa di zaman dahulu dengan yang terjadi hari ini. Jika melihat ke belakang, teman-teman mahasiswa pada masa itu saling bersatu, bahu membahu untuk menyempurnakan kemerdekaan yang dulu pernah digaungkan. Melawan tirani yang nyata, bisa dikatakan, musuh mereka terlihat dan idealisme mahasiswa pada zaman itu belum diusik dengan pengaruh-pengaruh kehidupan yang individualis.
Hari ini, saya masih melihat bagaimana kemudian mahasiswa yang bergerak di lini satu mencederai gerakan mahasiswa lainnya. Mengatakan gerakannya lah yang lebih efektif, atau gerakan yang dilakukan oleh teman-teman lainnya adalah gerakan yang sia-sia dan buang-buang tenaga. Sudah tidak ditemukan lagi tokoh-tokoh seperti Tan Malaka yang dekat dengan Soekarno, karena saat ini, mahasiswa dengan gerakannya sudah terkotak-kotak dengan jas alamaternya, jaket gerakan eksternal kampusnya, bahkan ke ideologinya. Sehingga akhirnya, saat masing-masing dari mereka turun aksi(baik demonstrasi atau dalam bentuk lain) yang timbul justru saling mencederai dan menghakimi. Mahasiswa terkenal kuat dengan idealisme yang dipegangnya, namun apakah kemudian ini yang membuat mereka jadi sedemikian keras dan tidak menerima gerakan saudara-saudara seperjuangannya, wahai mahasiswa?

Pertanyaan
Kemudian pertanyaan lainnya muncul. Sering sekali saya membaca beberapa respon dari teman-teman baik yang mahasiswa maupun yang bukan, mengenai bagaimana seharusnya mahasiswa bergerak dalam mengkritisi dan merealisasikan Indonesia yang lebih baik? Di antaranya menjawab, “work through passion” , “serius kuliah dulu deh, yang bener, nanti kalo udah lulus baru deh ubah sistem dengan masuk ke jajaran pemerintahan” atau jawaban lainnya seperti “Screw it! I don’t believe in our Government or media, it’s all bullshit!
Katakanlah saya saat ini mengambil dua jawaban yang pertama, saat kita benar-benar bekerja sesuai dengan passion kita, sudahkah kita menuliskan “Untuk Indonesia yang lebih baik” dalam hati kita sebagai semangat dan cita-cita? Atau hanya berdasarkan keinginan atau bahkan ketakutan terpenjara dalam sesuatu yang kita lakukan? Lalu untuk jawaban nomor dua, masihkah kita memegang kalimat itu saat kita lulus kuliah nanti? Mampukah hati kita berjanji demikian? Di mana satu-satunya kemewahan yang saat ini kita, para mahasiswa, miliki adalah idealisme yang ada di dalam otak dan hati kita masing-masing, setidaknya begitu kata Tan Malaka. Padahal, saat setelah lulus nanti, kita dihadapkan dengan kehidupan yang lebih nyata di mana, kita harus bertahan, even earn something for a living, bisakah idealisme yang dahulu dimiliki di bangku universitas diterapkan di realitas setelah keluar dari gerbang universitas? “Kalo masih fresh graduate entar mah, kudu berpikir realistis biar  nggak  terpenjara idealisme diri sendiri” ada juga loh yang mengatakan demikian. Jadi, untuk mengantisipasi ide-ide yang mungkin akan sulit terealisasikan karena faktor lingkungan di masa depan, kenapa harus menunggu nanti saat kita bisa bergerak dan mengusahakannya di lini kita untuk Indonesia saat ini juga?

Harapan
Mahasiswa telah menjadi harapan bagi masyarakat, karena bagaimanapun juga negara ini akan dilanjutkan oleh para mahasiswa sebagai agen perubahan, pengendali sosial dan fungsi-fungsi lainnya yang ada di pundak mahasiswa. Posisi mahasiswa saat ini sesungguhnya ada di tataran Middle Leader. Bukan posisi yang tanggung, justru menguntungkan, karena di posisi ini mahasiswa bisa lebih dekat dengan masyarakat, akademisi maupun pemerintah. Sehingga dalam mentransformasikan ide yang ada di kepala untuk menjadi aksi-aksi nyata pun perlu dibagi target atau sasarannya ke tiga pihak tersebut, masayarakat, akademisi dan pemerintah. Ada yang mengkritisi, mengadvokasi dan memberi usulan solusi ke pemerintah, ada yang membuat riset, membuat inovasi untuk penyelesaian masalah di masyarakat dan ada pula yang melayani masyarakat. Ketiga lini ini harus bergerak sinergis untuk mewujudkan cita-cita bersama. Tak perlu mencederai, yang ada memang harus saling support dan saling ingin mendenggarkan dan memperbaiki diri jika memang yang dilakukan kurang pas oleh mahasiswa lainnya yang tidak tergabung dalam gerakan itu. Bergerak di lini masing-masing itu sangat perlu, jika kita ingin negara ini kemudian maju di banyak sektornya, bukan hanya satu atau dua saja.
Terakhir, selain menyertakan cita-cita “Untuk Indonesia yang lebih baik” di hati dalam bergerak, sertakan pula Allah dalam setiap langkah. Saya yakin, sumber semangat yang tidak akan habis adalah sesuatu yang datang dari sisi rohani seseorang lewat percaya dan menyertakan Tuhan dalam setiap langkah.
Dan dasar pergerakan adalah nurani yang bernyala dan hati yang ikhlas, yang bersih dari ambisi pribadi dan kepentingan dunia, yang tidak mengharap sorot lampu popularitas dan riuhan tepuk tangan. –M. Yoga Permana


Populis ataupun strategis, gerakan mahasiswa sudah sepatutnya sinergis. 
Selamat siang.