Tuesday, April 29, 2014

Bahagia Versi Saya

Satu kata untuk hari Senin? Melelahkan.
But tiredness has no power at all compare to what I’ve got that day.
Setiap hari punya makna yang tersebar di setiap rangkaian kejadian atau peristiwa, kadang kita hanya perlu kacamata yang pas untuk melihatnya lebih jelas.

Hari Senin yang melelahkan itu membuat saya menanmbah 1 lagi definisi kebahagian dalam hidup.
  • Setelah yang pertama, berkumpul dengan keluarga kecil di rumah, memasakkan makanan untuk Mama dan Dedek, dan mereka menyukainya.
  • Setelah berkumpul dengan para kurcaci, bermain UNO, berhasil mengalihkan fokus mereka dari game di gadget mereka masing-masing. Feeling like winnig the battle, sorry X-Box, iPod, iPad, PC, and cellphone.
  • Setelah berkumpul dengan teman lama, ngopi-ngopi dan berbicara tentang masa depan, keadaan sekarang dan cerita amsa lampau, apa saja.
  • Setelah dapat membantu siapa saja semampu yang dapat saya lakukan.
  • Setelah, berjalan-jalan sendirian, mendengarkan musik lewat headset, berbicara dengan orang asing, terkadang mendengarkan keluh kesah mereka tentang anak mereka yang nakal di rumah atau tentang betapa mereka seolah menyiratkan keinginan akan menggendong cucu dari anaknya.
  • Setelah mampu memberikan inspirasi bagi beberapa orang, entah yang ini sudah saya lakukan atau belum, tetapi sepertinya bagian ini pun akan masuk ke daftar definisi bahagia versi saya.
  • Setelah saya menyadari bahwa keluarga mulai meminta pendapat saya tentang apa saja, politik atau bahkan tentang keputusan-keputusan krusial tentang keluarga saya sendiri. Akhirnya saya tidak dianggap seorang anak kecil lagi.
  • Setelah saya mendapati diri saya dikelilingi orang-orang hebat dan menginspirasi, yang terus memecut saya lewat prestasi mereka untuk tidak diam, dan terus bergerak, untuk terus memberikan kontribusi saya untuk minimal lingkungan terdekat saya.


Malam itu, hari Senin pukul 22.15 WIB, saya masih ada di sebuah tempat nongki di Jalan Surya. Bersama beberapa teman-teman istimewa yang entah apakah mereka sadar atau tidak, tetapi saya belajar banyak dari mereka.
Ulang tahun Javanese Retro yang kedua. Pada acara itulah, saya menemukan lagi definisi bahagia versi saya. Malam itu, KMF(Komunitas Musik di mana saya bernaung), diundang untuk merayakan ulang tahun tempat nongki tersebut(re: ngisi acara). Tanpa disangka dan persiapan apapun, setelah didorong oleh beberapa teman, akhirnya saya ikut mengisi acara tersebut. 1 lagu saja. Mas Nanda yang sebelumnya bilang “Lorde aje Royals udeh sono...” Harus puas bertanya kembali ke saya saat saya kembali duduk di tempat kami, “Kok kagak jadi Royals?” Karena saya memutuskan untuk menyanyikan lagu Akang Adam dan teman-temannya. She Will Be Loved. Yes, I will be loved.

Saya tidak yakin suara saya bagus. Mungkin ada beberapa pitch yang miss. Atau beberapa fals di nada-nada rendah. Mungkin kalau ada pelatih vocal dari KMVoice saya akan disuruh berhenti bernyanyi sedetik setelah saya memulai. Tetapi, satu hal yang membuat saya bahagia. They enjoy it! (I guess?) Saya tidak lupa bagaimana mereka ikut mendendangkan lagu yang saya nyanyikan, beberapa ikut bernyanyi. Saya tidak lupa bagaimana beberapa dari mereka menggoyangkan kepala mereka. Saya juga tidak lupa ada dua orang yang mengambil gambar kami malam itu, entah yang diambil gambarnya saya, atau Mas Yudha atau Mas Alan. Saya bahagia.

Definisi bahagia saya malam itu bertambah satu,

Gadhang Teater's Performance
 happiness is to see people enjoy your music, dance their head out when you sing, when you play those instruments."
Bahagia itu sederhana. Sesederhana hal-hal yang sudah aku sebutkan. Bukan sesederhana Rumah Makan Sederhana Bintaro yang jauh dari kata sederhana.


Semangat Selasa untuk meraih asa!





Sunday, April 27, 2014

Berbagi Peran

Kapan terakhir saya menulis? Barusan? Ya barusan. Menulis di kolom “What’s Happening?” di Jejaring Sosial Twitter. Tapi, kapan terakhir saya menulis di blog ini? Lihat saja debunya sudah di mana-mana. Tidak lihat? Sama, sebenarnya saya juga tidak bisa melihatnya.

Baru kemarin, saya datang ke acara organisasi tempat saya berkecimpung di dalamnya. Acara yang diadakan selepas Adzan Isya’ itu bertajuk “Malam Cerita Solid Berkarya”. Acara yang di dalamnya ada peluncuran perdana logo kabinet beserta masing-masing kementriannya, video profil, pemaparan program kerja dan dengan acara puncak, Mengadili BEM. Sangar ya? Tentu saja, bagaimana tidak? Di acara tersebut mahasiswa diberi keleluasaan untuk menghakimi, memberikan kritik maupun saran mengenai 100 hari kepengurusan BEM setelah 100 hari bekerja sebagai pelayan Mahasiswa dan masyarakat.

Romantisme dan kehangatan menyambut siapa saja yang hadir malam itu dengan nyala lilin yang berpendar di sisi-sisi jalan menuju teras Porsima. Indah sekali, sampai-sampai saya berpikir nanti saat saya menikah salah satu satu hiasannya harus ada banyak lilin−hush mulai ngelantur. Sampai acara berlangsung pun tetap diikuti dengan tamu undangan yang terlihat excited dengan rangkaian acara yang kami berikan. Melihat mereka menikmati acaranya, tanpa terasa telah memunculkan senyum di wajah saya. Memang benar, bahagia itu sederhana.

Acara ditutup dengan refleksi untuk staf BEM, tentang segala kekurangan-kekurangan yang masih ada, juga semangat dan doa untuk melihat squad kami yang akan lebih solid lagi kedepannya dan menjadikan kampus tercinta juga Indonesia lebih baik lagi.

“Yang putri naik ke atas, kita tidur di Aula!” Seru salah seorang penanggung jawab memberi instruksi. Tanpa saya sadari, ternyata malam itu diinstruksikan bagi setiap putri untuk menginap di Porsima. Respon saya saat itu? Panik. Bagaimana tidak? Saya tidak mengetahui adanya informasi untuk menginap malam itu juga.


Berbagi Peran

Akhirnya saya berusaha untuk bernegosiasi dengan panitia dan penanggung jawab lainnya untuk izin tidak menginap malam itu. Bukan karena tidak nyaman, tetapi karena saya memang hanya izin sampai pukul 22.00 WIB dengan Si Mbah di rumah. Selain itu, saya merasa memiliki tanggung jawab untuk berbagi peran.

Berbagi peran sebagai mahasiswa, sebagai staf di sebuah organisasi juga sebagai cucu yang baik. Saya sadar betul, dalam 24jam, hanya beberapa persen yang dapat saya habiskan bersama keluarga di rumah. Itupun sudah dikurangi dengan waktu-waktu privat seperti mandi, mengerjakan tugas dan tidur.

Jujur saja, saya bukan orang yang banyak bicara di rumah dengan Si Mbah, namun, naluri orang tua memang tidak pernah bisa ditutupi, saya melihat Si Mbah saya yang mudah sekali overthinking, menjadi lebih tenang saat saya ada di rumah dibanding saat saya ada di luar. Posesif? Ya, mungkin bisa dibilang begitu, tetapi saya rasa semua orang tua pasti menginginkan hal yang sama, ingin lebih dekat dengan anak yang dulu sangat dekat dengannya saat anak-anak mereka masih kecil seiring bertambahnya umur mereka.

“Pulang malam bahaya untuk perempuan”. Ya mungkin seperti itu. Setiap peraturan pasti menjaga siapa saja yang diatur agar tidak terjerumus ke dalam suatu bahaya. Namun, bagaimana jika kita meninggalkan seorang tua di rumah sendirian. Apakah masih ingin anda meninggalkannya sendirian barang semalam kecuali jika ada yang menemaninya? Saya pikir, anda akan berpikir dua kali untuk melakukannya. Itulah salah satu alasan saya untuk selalu pulang ke rumah, selarut apapun urusan saya di kampus, sebanyak apapun orang yang melarang saya pulang karena alasan bahaya. Bagi saya, ada beberapa hal yang pantas untuk diperjuangkan, walau berisiko tinggi, dan salah satu dari hal itu adalah keluarga. Niat saya baik, untuk itu saya yakin, tangan Allah menjaga saya sepanjang jalan menuju rumah.

Saya pernah meninggalkan rumah sangat lama. Saat saya terlalu sibuk dengan dunia luar, saya berpikir keluarga saya akan baik-baik saja di rumah. Apasalahnya melakukan hal-hal baik dengan teman-teman seorganisasi, se-komunitas, dan sedikit bersenang-senang dengan mereka sampai pada akhirnya, saya dipanggil kembali ke rumah karena Ayah harus pulang. Di sana saya sadar, keluarga saya punya batas waktu yang hanya Allah tahu. Dan yang tidak saya inginkan adalah, penyesalan seperti 4 tahun lalu, di mana saya sadar bahwa saya tidak menggunakan waktu saya dengan baik dengan keluarga saat saya dan keluarga sama-sama masih diberi waktu untuk berkumpul bersama di atap yang sama.




Segerakan pulang selagi luang.