Friday, May 16, 2014

Angkringan Bercerita


Sebuah tenda kecil, mampu menampung sekitar 5-10 orang, menjual bermacam-macam nasi bungkus dengan ukuran kecil yang tak cukup jika hanya memakan satu. Ada yang lauknya sambal teri, bandeng, ada juga yang oseng-oseng. Ditambah satu atau dua tahu bacem atau sate keong yang dibakar lagi, teh hangat tawar atau jahe hangat, satu kenikmatan dunia lagi. Makin lengkap karena semuanya hanya berharga kurang dari tujuh ribu rupiah, mujur kalau hanya lima ribu, yang ini bisa karena lauk yang diambil tidak terlalu banyak atau memang sudah kenal dengan pedagangnya.

Siapa tak kenal dengan angkringan? Solo punya cerita sendiri untuk salah satu tempat makan rakyat yang satu ini. HIK. Kira-kira begitu namanya sering digaungkan oleh Wong Solo. Singkatan dari Hidangan Istimewa Kampung, atau ada juga yang menyebutnya Hidangan Istimewa Keluarga. Terserah apa namanya, tetapi HIK punya kesan tersendiri untuk saya.

Makanannya murah? Mungkin iya. Tetapi lebih dari itu. Bagi saya, angkringan adalah tempat sederhana yang mempersilahkan siapa saja untuk masuk ke sana. Tidak peduli apakah anda anak jenderal atau anak bakul nasi kepal, apakah anda orang dengan penghasilan puluhan juta per bulannya atau orang dengan penghasilan yang “iya-iya nggak”. Semuanya diterima dengan baik di HIK. Dari pecinta wedang jahe atau pecinta kopi, bahkan untuk mereka yang datang untuk sekedar minum wedang sambil menghisap satu atau dua batang rokok.

Selain tempat makan dan menjadi tempat meleburnya masyarakat kita tanpa memandang status sosial, suku atau agama, Angkringan juga merupakan salah satu tempat yang baik untuk mendengar lebih baik apa yang selama ini dihadapi warga di kehidupan nyata dengan segala regulasi yang telah dibuat oleh Pemerintah. Dari angkringan, kritik-kritik sosial, perdebatan tentang siapa capres terbaik, bahkan negosiasi-negosiasi mengenai pilihan capres pun bisa terjadi di angkringan. Saya jadi ragu untuk mengatakan bahwa masyarakat kita adalah masyarakat yang apatis yang hanya peduli dengan kepentingannya sendiri dan tidak peduli akan negara. Lagi-lagi pemikiran tersebut memunculkan pertanyaan dalam benak saya, sebenarnya rakyat yang mana yang dimaksud? Bohong saat kita mengatakan diskusi belum menjadi budaya kita. Padahal faktanya, orang-orang Indonesia adalah orang-orang yang jago basa-basi, budaya kita memang budaya yang suka ngobrol, lebih parah lagi, dalam versi kebablasannya suka nggosip. Entah mindset yang ditanamkan dari mana tapi sepertinya perbedaan kata ngobrol dan diskusi sudah jelas-jelas membuat kita minder duluan. Padahal diskusi dan ngobrol itu sendiri masih sama saja artinya, kegiatan di mana kita bia mengutarakan pendapat dan menjelantrahkan fakta. Yang membedakan hanyalah ngobrol adalah bahasa pergaulan, sedang diskusi adalah bahasa yang lebih formil. Disadari atau tidak, dari Angkringan bahkan, kita bisa melihat bagaimana kualitas masyarakat kita dari bahan obrolannya. Jika mau membanding-bandingkan, baiklah saya coba bandingkan, apakah mereka yang berada di balik dinding-dinding kaca tebal dengan kopi merk cafe terkenal asal Negeri Paman Sam itu membicarakan soal payahnya birokrasi untuk mengurus BPJS sementara mereka yang duduk lesehan di pinggir jalan tengah berdebat apa BPJS menguntungkan bagi mereka atau lebih baik kembali ke JAMKESMAS? Apakah mereka yang duduk di ruangan ber-AC dan tengah menikmati kue croissant juga sedang membicarakan tentang naiknya harga telur dan sembilan bahan pokok lainnya?

Berpergianlah, betemulah dengan banyak orang, sesungguhnya pelajaran datang dari tempat-tempat yang tidak pernah kita dugaAnindya Roswita

Saya pernah mengatakan bahwa naik kereta ekonomi sendirian, duduk di sebelah orang yang tidak kita kenal adalah awal yang baik untuk belajar. Belajar tentang budaya, belajar tentang memahami karakter orang, dan belajar mengambil hikmah dari perjalanan yang kita. Setelah kemarin untuk keberapa kalinya saya makan di angkringan dengan seorang teman, akhirnya saya mengerti, tak perlu jauh-jauh hingga ke ujung-ujung Timur atau Barat, kalau ternyata kita sendiri belum bisa memetik pelajaran-pelajaran yang tersebar di lingkungan di sekitar kita. Seperti di Angkringan sebelah rumah misalnya.

Bangsa kita memang terkenal, selain terkenal akan budayanya yang ratusan banyaknya, potensi alamnya yang seakan tak pernah habis, juga.......meri. Meri dalam Bahasa Jawa  berarti pengenan(aduh, saya mulai menjelaskan bahasa Jawa dengan bahawa Jawa). Alias, ikut-ikutan. Banyak dari kita ternyata belum bisa membedakan mana itu Modernisasi dan mana itu Westernisasi. Seringkali menganggap modernisasi adalah westernisasi. Padahal keduanya adalah hal yang berbeda. Saya ingat pelajaran Sosiologi tentang masyarakat multikultural di bangku SMA kelas XII, Guru sosiologi saya mengatakan bahwa westernisasi adalah pola atau gaya hidup yang ke-barat-baratan, sedangkan Modernisasi adalah gaya hidup di mana teknologi sudah mulai diikutsertakan dalam setiap segi kehidupan masyarakat. Sayangnya, hal ini terjadi juga dalam dunia peng-angkringan-an. Angkringan yang lahir dari keuletan dan kreativitas pribumi ternyata tak luput dari gerusan zaman. Beberapa orang lebih memilih cafe karena cafe  yang sebenarnya berasal dari Paris itu memiliki prestige yang lebih tinggi. Cafe berasal dari kata Coffee yang berarti kopi, sebagai bentuk dari kedai kopi. Lalu mulai menyebar ke Italia dan semakin booming dengan sebutan Cafe. Eksistensinya terus menyebar ke seluruh penjuru dunia, tak luput Indonesia. Fenomenanya semakin ironis, saat anak muda kita tidak ingin ngopi-ngopi di warung kopi atau angkringan dengan alasan kopinya tidak original karena hanya kopi instan, tetapi lebih memilih ke Kedai Kopi terkenal asal Paman Sam dengan lambang perempuan berwarna hijau itu yang menyatakan bahwa kopi terlaris di kedai tersebut adalah kopi yang berasal dari Sumatera, Indonesia. Boleh tertawa getir jika anda ingin.

Angkringan memang punya cerita sendiri. Angkringan telah menjadi simbol dari kuatnya keinginan beberapa orang untuk mencari penghasilan yang tanpa disadari juga sekaligus mempertahankan budaya ngangkring di tengah gerusan budaya kongkow di cafe-cafe yang mulai menjamur.

Yuk Ngangkring!

Tempat ngangkring saya biasanya di: 
  •  0 kilometer(saya nggak paham kenapa disebut 0 kilometer), di sini nasi bakarnya enak, dan lauknya beragam, sekalap-kalapnya pilih lauk, paling mahal cuma bayar sepuluh ribu rupiah saja.
  • Angkringan Pak No. Di sini nasinya lebih banyak, sambal terinya juga enak, ada di belakang ISI. Saya beberapa kali ke sini kalau ada project sampai malam dan kelaparan sama anak KMF.
  • Angkringan kulon West Bro’s. Yang ini, saya memang baru sekali ke sana, ada di depan markas Solo Blues Festival. Saya tahu tempat ini dari teman, dan saya langsung jatuh hati dengan tahu bacemnya yang enak sekali apalagi jika dibakar lagi. Di sini juga ada wedang ronde, saya harus ke sana lagi.






Sunday, May 11, 2014

Tentang Inspirasi

Ada satu waktu di mana saya duduk diam, memasang headset saya dengan volume 80%, cukup untuk membuat orang-orang saya terlihat sedang berbicara dengan bahasa tubuh saja, saat itu saya lupa lagu apa yang saya dengarkan.

Lagi-lagi saya menikmati dunia versi saya dengan musik versi saya, dengan pandangan versi saya. Kalau dibaca lagi, saya egois sekali saat itu juga di sini, karena tidak menerima intervensi orang lain sedikit pun tentang apa yang saya pikirkkan. Biarlah, blog ini memang panggung saya untuk menghantarkan apa-apa saja yang saya pikirkan. Jika penyanyi butuh microphone agar dunia tahu, saya butuh ruang di window "entri baru", untuk mulai berceracau.

Sepakatkah anda jika saya bilang, setiap hari memiliki inspirator-inspiratornya masing-masing, entah bisa ditemukan di jalan, di bis, di motor, saat lampu merah, di kelas atau di toilet? Bahkan tak jarang saya mendapat inspirasi dari hal-hal buruk yang menimpa seseorang atau bahkan saya sendiri, mungkin juga dari orang-orang yang dibilang tidak baik. Kata saya, Tuhan itu memang Maha Adil. Bahkan orang yang katanya tidak baik saja tetap bisa memberi kita pelajaran. Lagipula menurut saya ya, inspirasi itu buah dari interpretasi, jadi, entah apakah baik atau buruk, semua kembali ke kemampuan dan dari sudut mana kita menginterpretasikan suatu makna.



Sebelum berbicara tentang inspirator, saya akan membagi menjadi 2 macam inspirator. Yang pertama adalah inspirator yang show up hasil karyanya dan yang kedua adalah inspirator yang bergerak dalam diam.

Yang pertama adalah, para inspirator yang dengan senang hati men-show up-kan karyanya. Dari kacamata saya, mereka yang termasuk dalam tipe ini adalah mereka yang ingin menginspirasi orang-orang dengan cakupan yang lebih luas dan lebih banyak. Mereka ingin lebih massive lagi dalam menginspirasi, agar lebih banyak lagi orang yang melihat karyanya kemudian timbul semangat kemudian bergerak. Mulia. Walau sering kali, tipe ini bukan dianggap show up melainkan show off. Kembali lagi ini soal pilihan, dan setiap pilihan punya konsekuensinya.
Seiring berjalannya waktu, yang kita pilih bukanlah coklat atau buah pace, karena pasti kita akan memilih coklat. Tetapi, bagaimana kita memilih roti rasa stroberi atau roti coklat, kedua hal yang sama-sama enak―Anindya Roswita
Namun, mereka yang bergerak di jalur ini sungguh adalah orang-orang yang tangguh, yang berani menerima konsekuensi, meredam emosi, tutup telinga kanan kiri dan bergerak untuk menginspirasi. *kemudian Tepok Salute yang diajari Rumah Hebat Indonesia*

Lalu yang kedua adalah, para inspirator yang bergerak dalam diam. Diamnya mereka bukan karena mereka pasif dan tidak kontributif. Diamnya mereka bukan mereka tidak punya karya yang bisa ditunjukkan. Diamnya mereka karena mereka terus bergerak dan urusan show up karya itu jadi nomor kesekian. Para inspirator yang bergerak dalam diam ini juga kadang takut, saat mereka berbicara banyak soal karyanya, gaungnya akan membuat orang di sekitar mereka risih. Low confidence? You may think they are, tapi kira-kira seperti ini pandangan mereka, 
Some stars shine too bright that we can’t even see its beauty―Anindya Roswita
Ambilah matahari, dengan sinarnya yang sebegitu terang, apakah kita pernah sekali saja dapat melihat cahayanya dengan mata telanjang? Dengan kekuatannya yang sedemikian rupa, apakah orang-orang bisa melihat atau bahkan menikmati keindahan yang ada pada matahari? Tidak. Kemudian orang di tipe ini memilih untuk menjadi bintang, dengan jarang yang cukup, sinar yang cukup, ternyata justru dapat membuat orang-orang berkumpul untuk melihat dan menikmati sinarnya, duduk di atas bukit, melakukan stars gazing, tanpa sinar yang terlalu terang, ternyata dapat membuat orang lain di sekitar lebih nyaman bersama kita.

Namun, menyebarkan inspirasi bukanlah soal bagaimana caranya mengeruk orang sebanyak-banyaknya untuk mendengarkan cerita-cerita, kata-kata yang bisa di buat quotenya di Facebook atau Twitter, bukan pula tentang membuat orang nyaman di sekitar kita. Kadang memberi inspirasi berarti membuat orang gelisah karena 'si target' itu belum bergerak seinchipun, kadang memberi inspirasi itu berarti 'menampar' seseorang untuk menyadarkan mereka dari alam mimpi. Memberi inspirasi adalah tentang penanaman esensi akan suatu hal. Dan setiap inspirator memiliki caranya masing-masing dalam menebarkan inspirasi. 


Lantas, sudahkah anda menjadi salah satu penebar inspirasi?
Ayo jadi pemuda yang menginspirasi, kalau bukan sekarang, kapan lagi?!




Saturday, May 10, 2014

Menyambut Menara yang Ter#Bakar

Lebih baik menyalakan lilin daripada mengutuk kegelapan…”
Begitu kata Pak Anies Baswedan, semoga tidak salah kutip.

Cita-cita saya semasa SMA dulu memang jadi salah satu mahasiswa FISIP. Tidak menyangka hal tersebut menjadi kenyataan sekarang. Kurang lebih setahun yang lalu, waktu saya masih disuruh bawa notebook yang saya buat sendiri dengan kertas buram dan kardus air mineral, rok hitam dengan atasan putih, dan segala hal lainnya saat mengikuti OSMARU FISIP 2013, saat itu saya juga membawa banyak sekali ekspektasi tentang FISIP di mana saya akan menimba ilmu selama (semoga) 3,5 tahun mendatang.

Pupus
Macam lagunya Dewa waktu Once belum memutuskan untuk hengkang dari band legendaris itu. Harapan saya pupus begitu saja saat saya mulai masuk ke dalam FISIP. Salah satu teman diskusi mengatakan, “Dulu ayat pertama dalam Al-Quran yang turun apa? Iqro! Bacalah! Tapi apa yang harus dibaca saat tidak ada, lalu apa yang bisa dibaca? Jawabannya adalah keadaan. Kita harus membaca keadaan yang ada di sekitar kita. Itulah Iqro.” Saya belajar membaca lagi selama di FISIP, belajar membaca karakter mahasiswa yang ada di dalamnya, situasi kulturalnya, hubungan UKM-UKM di dalamnya, pemenuhan sarana dan prasarananya, sampai ke (kabar) Keluarga Mahasiswanya. Saya sebagai mahasiswa sebenarnya kecewa akan hasil bacaan saya, memang belum sampai di ending, tapi, cukup tragis untuk sebuah Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik yang atmosfer di dalamnya jauh dari nuansa nama fakultasnya. Jangan sampai tahun depan fakultas ini ganti nama jadi Fakultas Ilmu Santet dan Ilmu Perdukunan karena jauhnya masyarakat FISIP saat ini dari ranah sosial atau politik.

FISIP itu ...
FISIP itu macan ompong. Idealnya, FISIP sebagai Fakultas yang mempelajari ilmu-ilmu sosial dan ilmu politik, kajian-kajian yang dikeluarkan, kemudian suara mahasiswanya mampu dijadikan rujukan atas fenomena-fenomena sosial yang terjadi saat ini. Namun, kenyataannya gaungnya pun belum juga terdengar, jangankan sampai ke FISIP di universitas lain, di kandang sendiri, sudahkah?
FISIP seperti macan. Ya, saya tidak salah sebut, macan. Dengan potensi-potensinya, FISIP sangat potensial untuk menjadi suatu fakultas yang besar dan sangat kontributif, namun potensi hanyalah sekedar potensi tanpa adanya tindak lanjut, tanpa adanya kesamaan haluan gerak, tanpa adanya semangat yang sama untuk bangkit dan berkarya.

Saya memilih menyalakan lilin.
Siapalah saya menulis tentang FISIP? Anak baru kemarin sore, datang-datang tanpa tedheng aling-aling langsung mengkritik suatu instansi. Tetapi itulah manusia, selalu lebih mudah mencacat sesuatu daripada terjun langsung ke lapangan membenahi apa yang tidak sesuai. Sama halnya seperti mahasiswa yang dengan mudahnya mengutuk setiap keburukkan, tapi tak ada aksi nyata untuk paling tidak sedikit perubahan. Sama seperti mahasiswa yang suka mengatakan FISIP apatis tapi lupa menanyakan pada diri sendiri, “lo udah bener-bener terjun langsung ‘ke situ’ belom bro?”
Hidup adalah pilihan, maka saya memilih untuk menyalakan lilin dan mulai menerangi satu titik yang akan disambut oleh lilin-lilin lain oleh teman-teman yang punya harap dan semangat. Saya memilih untuk menyumpal cacat demi cacat yang mereka berikan dengan aksi nyata yang akan saya berikan.

Mahasiswa tanpa tulisan sesungguhnya bisu. Mahasiswa tanpa aksi sesungguhnya mati−Anindya
           
            Seperti film Lord of The Rings Trilogy, saat Gandalf mencoba menyatukan Middle’s Earth saat pemimpinnya memiliki rasa pesimis untuk meminta bantuan. Di bantu oleh Merry, ia menyalakan api untuk memberi sinyal meminta bantuan kepada seluruh kerajaan. Pada salah satu scene-nya, ada saat di mana menara yang berguna untuk meminta bantuan kepada kerajaan-kerajaan lain di waktu yang darurat itu, kayu-kayunya dibakar, kemudian disambut oleh kerjaan-kerajaan yang melihatnya dengan melakukkan hal yang sama, sebagai tanda bersedia untuk membantu.

Itulah FISIP saat ini, Mas Aji Nugroho, Kak Triana Rahmawati, Mbak Nanik Lestari, Mbak Juwita dan jajaran BPH yang lain telah membakar menara itu, memanggil setiap orang yang bertekad untuk bangkit dan berkarya untuk FISIP yang lebih baik, memanggil mereka yang muda dan ingin berkarya untuk menjadi mahasiswa yang aktif, kontributif juga solutif. Dan saya memutuskan untuk tidak tinggal diam, mengutuk kegelapan, dan hanya duduk manis di bangku penonton. Saya memutuskan untuk menyalakan api, ikut bergabung dalam #BakarFISIP, menjadi aktif dan kontributif, menjadi generasi yang nggak Omong Doang! Bismillah J





Thursday, May 8, 2014

Seperti... Rindu

Lagi-lagi senyum itu
Senyum itu yang mewarnai beberapa mimpi dalam malamku
Senyum dari seorang rupawan dengan gigi berantakan

Kali ini biarkan aku saja yang selesaikan
Kali ini biarkan doaku di sepertiga malam pada Tuhanku saja yang mempertemukan
Kali ini biarkan aku dan untaian kata yang aku tulis untuk sesuatu yang rasanya seperti...

Rindu.