Friday, August 15, 2014

Si Aktor



For others, midnight means a time when we could leave it all and get some rest, while for some people, midnight means, life is about to start...

Kejamnya media akhir-akhir ini sebenarnya membuat saya terkurung di dalam kontemplasi saya sendiri, apakah saya harus memajangnya di blog atau tidak, bukannya berpikir hal apa saja yang nantinya akan saya jelentrehkan. Tapi, sambil mikir, lebih baik saya tuliskan...

Beberapa hari lalu saya mendengar kabar, seorang aktor, komedian, inspirator, pemenang penghargaan bergengsi di dunia perfilman akhirnya menutup usia, Robin Williams, siapa lagi. Si Aktor, salah satu faktor kenapa masa kecil saya begitu menyenangkan lewat film-filmnya yang tak bosan-bosannya saya tonton hingga sekarang saya menginjak angka 24 di bulan ke tujuh untuk yang ke sembilan belas kalinya. Di tengah prestasi dan kebahagiaan yang terlihat di mata kamera dan paragraf-paragraf pemberitaan tentang dirinya, sungguh sangat disayangkan, aktor ini justru mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri karena depresi yang dideritanya. Diketahui beberapa kali, Si Aktor juga keluar masuk panti rehab akibat ketergantungannya terhadap alkohol. Dan akhirnya Si Aktor menutup usia di umurnya yang ke-63 yang diduga karena asphixia, atau kekurangan asupan oksigen ke otak.

Kali ini saya tidak ingin membahas detail tentang kematian si aktor. Bagaimana kondisi istri dan keluarga setelah ditinggalkan, apa tanggapan pengacaranya, bagaimana perasaan teman-temannya, bagaimana prosesi pemakamannya, siapa saja yang hadir di pemakamannya, jika anda menginginkan berita tentang itu silahkan ketik Robin Williams suicide atau apalah di search engine anda masing-masing, atau tonton saja infotainment dengan presenter haha-hihinya.

Saya menyadari suatu ironi yang justru hadir di tengah hal ini. Tentang bagaimana sikap beberapa orang di media sosial beberapa hari ini setelah kepergiannya. Ada yang meledak-ledak sedih akan fakta kepergiannya, ada yang respect dengan karya-karyanya, ada juga yang memilih untuk mengabaikannya begitu saja.

Namun, yang menjadi ironi adalah saat entah berapa ribu orang di dunia ini, yang meregang nyawa di rumah sakit; yang bergulat dengan kanker bertahun-tahun berperang dengan kematian, siapa tahu Tuhan berbelas kasih kepadanya lantas memberinya kesempatan lagi untuk hidup and makes everything’s right; anak-anak jalanan menyanyikan lagu orang dewasa yang tak mereka tahu esensinya demi sebungkus nasi yang dimakan bersama 10 temannya; anak-anak korban perang, anak-anak penderita busung lapar; atau siapa saja di belahan bumi lainnya yang sedang berperang dengan masalahnya masing-masing untuk bertahan dan mendapatkan tempat entah di sudut bagian mana di bumi ini. Sayang sekali, perhatian untuk mereka ini teralih oleh seseorang yang bisa dibilang punya segalanya, harta, keluarga, istri yang mencintainya, orang-orang di dunia ini yang menyayanginya lewat karya-karyanya, dan lain sebagainya, tapi tidak menghargai anugerah terbesar yang diberikan Tuhan kepadanya, hidup.

Suicide is never an option for those who’s facing any problems. I can’t even think to myself why, how sad it is to make some people choose ‘it’ to be something like, the way out of their probs? Maybe it’s true, we never know how it feels if we never stand on someone’s shoes. But, that’s why it’s so much important to have God inside of our hearts, to fulfill some empty parts of it, to ease every sadness, to give us lots of positive thoughts that everything will be alright, to keep us going, to give us faith and belief.

I ever met that one problem that brought me down to the deepest sadness in my life. That was when I lost my dad. I was thinking that my life is over, I thought that it’s a kind of curse that God gave me, I thought He’s cruel, I thought He’s unfair, and stuffs. I know right, I was too labile that time. But... something has brought me to the new point of life, I even forgot what or where or when exactly it happened. And yes, for the first time, I believe that everyone has their own turning point.

And now, I have an analogy for a problem whenever I get it, it’s like, a bell that’s rang by your Mom, when you’re playing too far from home. It’s something that God gives us whenever we almost cross the line, it’s something like a reminder for us to go back home, to go back to God. That’s just how I see it now.

Life is a playground, you can play whatever you want, but still remember the rules,  don’t get lost and don’t forget to go back home Anindya Roswita

Ah tau apa saya soal hidup, kalian yang membaca pasti tau lebih banyak soal hidup. Bagi saya hidup adalah soal penghargaan, penghargaan kita untuk Dia yang memberikan kita hidup, penghargaan untuk mereka yang membuat kita hidup, penghargaan untuk diri sendiri yang terus berjuang untuk hidup.

Semoga kita yang disuguhi berita tidak hilang arah atau larut akan kesedihan karena ditinggalkan Si Aktor, semoga kita tetap bisa membuka mata untuk mereka yang masih memperjuangkan hidup.

Untuk Si Aktor,

            Sing me to sleep
Sing me to sleep
And then leave me alone
Don’t try to wake me in the morning
‘cause I will be gone
Don’t feel bad for me
I want you to know
Deep in the cell of my heart
I will feel so glad to go
(Asleep-The Smiths)

yang menabur semangat kepada mereka untuk hidup,
yang mungkin kala itu lupa betapa berharganya kesempatan untuk hidup.
Selamat jalan, Genie, Mrs. Doubtfire, Robin Williams, ...







Friday, August 8, 2014

Tentang Pak Lodhang, Kopi dan Perempuan

Langit masih sore, tapi sudah terasa sangat larut bagi saya, yang rencananya berantakan, sementara bayangan akan duduk manis di kereta, melanjutkan Jakarta Kafe-nya Tatyana, mendengarkan Sweet Disposition-nya The Temper Trap, duduk bersama teman-teman Rohis semasa SMA, lalu lalang bergentayangan di langit-langit otak saya, mencemooh pemiliknya.

Untung saja, nasi sambel teri, tahu bacem yang dibakar lagi serta segelas kopi hitam dari Angkringan Pak Lodhang sedikit mengobati rasa kesal saya yang rencananya porak poranda. Tapi, untuk apa saya saat ini menulis kalau tidak ada yang menarik, acara ngupi-ngupi malam hari itu memang selalu memberikan pencerahan untuk pikiran saya, sekeruh apapun keadaannya. #tsaah

Baik, pertanyaannya berawal saat tadi saya sampai di Angkringan Pak Lodhang yang hanya berjarak kurang lebih 100 meter dari kediaman Si Mbah. Hanya ada seorang bapak yang duduk di angkringan malam ini, sambil terus membicarakan Liga Champion dari tahun ke tahunnya, sedikit teriris saat jadi pendengar rahasianya karena ia tak juga menyebutkan tim dari Liverpool, tapi bukan di situ fokus saya. Selagi Pak Lodhang membakar tahu bacem saya lagi agar lebih kering, saya terjebak dalam sebuah kontemplasi apakah jahe hangat atau kopi hitam yang akan saya pilih untuk menghabiskan malam saya. Setelah dikira cukup kering, Pak Lodhang memasukkan tahu-tahu enak bacem, dan barulah saya akhirnya bertitah menambah pesanan “Kopi item juga ya pak...” dengan wajah keheranan dan mengulang kata “kopi item?” untuk memastikan yang ia dengar memang benar. Selesai dibuat di gelas besar, macam gelas-gelas yang dipakai untuk iklan minuman pembangkit energi dengan almarhum juru kunci satu gunungnya, tanpa bertanya lagi kepada saya, Pak Lodhang langsung memasukkan kopi saya ke dalam plastik dan mengikatnya rapat. Kenapa beliau bahkan tidak menanyakan “minum sini atau bawa pulang?” ?

Orang tua pasti menjawab “udah malem, ora elok cah wedok mbengi-mbengi metu omah”, atau “udah jam malam, nggak baik, bahaya, banyak cowok nggak jelas.” Ah jadi kesal, laki-laki yang nggak jelas, jadi perempuan yang repot, padahal tau sendiri, kopi panas yang sudah campur plastik dan di bawa pulang kan rasanya tidak sedap. Faktor budaya juga? Wah bisa jadi. Saya tinggal di tanah yang mayoritas penduduknya adalah suku jawa yang sangat menjaga kaum perempuan, yang pamalinya seabrek untuk perempuan yang keluar malam hari. Lalu, pikiran saya terbang ke kota-kota besar, di mana semalam apapun perempuan ingin membeli makanan atau minuman dari kedai mereka masih diberi pertanyaan “makan di sini atau take away?” Bukan iri. Justru saya takut. Takut, kalau-kalau stereotype yang berkembang selama ini bahwa kota besar yang identik dengan modernitas dan gaya hidupnya yang sudah jauh temponya dari kehidupan kami-kami ini yang di desa, membuat entah berapa banyak dari kita berpikir bahwa “jangan pulang malem-malem” sebagai ungkapan posesif tak berdasar, bukannya protektif.  Padahal, modern atau tidak, bukan berarti mengabaikan kepentingan perempuan itu sendiri, yaitu dijaga. Ada lagi yang aneh, iya ini tentang laki-laki yang aneh yang mengatakan “perempuan katanya ingin emansipasi, tapi kalo nggak dapet tempat duduk di bis aja ngedumelnya ampun-ampun deh sama laki-laki yang duduk”, haha pernah dengar itu? Saya pernah. Emansipasi itu tentang persamaan hak, agar perempuan dapat merasakan hak untuk berpendidikan, dianggap sebagai manusia yang merdeka selayaknya laki-laki, namun tetap mengakui keberadaan dan kodrat bahwa memang laki-laki terlahir untuk memimpin perempuan,eh ini menurut saya ya, boleh juga dibetulkan, saya juga masih belajar. Opini saya, soal tempat duduk, itu sih tentang kesadaran si laki-laki tentang kelaki-lakiannya sih, karena mau disamakan seperti apa, fisik perempuan memang tidak sekuat laki-laki, itulah salah satu fungsi laki-laki, menjadi proteksi bagi perempuan, dalam kasus tempat duduk di bis tadi, mendahulukan perempuan bisa jadi salah satu cara laki-laki menjalankan fungsi proteksi bagi perempuan.

Lucu sekali malam ini. Saya kesal-kesal, sedikit bicara dari sore sampai malam begini, tapi ternyata berjalan sedikit ke Angkringan Pak Lodhang mampu membuat saya menuangkan kopi pikiran saya di program Word yang setiap malam selalu saya buka, kalau-kalau ada hal yang tiba-tiba ingin saya tulis, sayang sekali lebih sering saya biarkan kosong. Memang lucu dan macam-macam Allah memberikan obat hati bagi umatNya...

Kopi di gelas sudah hampir setengah, tiba-tiba muncul satu lagi pertanyaan saya sesaat sesudah saya menyeruput kopi saya barusan. Kenapa ya perempuan selalu diberikan hidangan kopi kontemporer sedangkan laki-laki identik dengan kopi-kopi konvensional seperti black coffee, long blackk coffee atau espresso di hampir setiap novel atau cerpen yang saya baca? Apa karena Latte, Machiatto, atau Capuccino dianggap lebih soft, kadar kafeinnya tidak sekuat grup kopi yang saya sebutkan sebelumnya, sehingga dianggap lebih cocok untuk perempuan dilihat dari karakternya? Jangan-jangan di masa depan akan ada kategori feminin dan maskulin untuk kopi? Bahaya sekali itu, saya jadi membayangkan, nanti saya tidak bisa menikmati Kopi Jahe favorit saya. Atau memang itu faktanya? Perempuan memang lebih tertarik menikmati kopi-kopi ‘cantik’ dengan topping yang bervariasi atau foam menjulang yang lebih unik untuk dijadikan post di Instagram atau Facebook? Bagaimana menurut kamu, wahai perempuan?

Dan ingatlah pesan sang surya
Pada manusia malam itu
Tuk mengingatnya di saat dia tak ada
Tuk mengingatnya di saat dia tak ada
Tuk mengingatnya di saat dia tak ada
Esok pasti jumpa
−Banda Neira(Kau Keluhkan(Esok Pasti Jumpa))

Eh, ternyata sudah tiris rasa kesal saya. Pasti ada hari lain untuk merencanakan ulang apa-apa saja yang tertunda, semoga.

Terakhir
Selamat malam para perempuan dalam penjagaan
‘Jangan pulang malam’ itu bentuk perhatian

Sekian





Monday, August 4, 2014

Pergi

Pergi
Pergilah yang jauh
Agar kau tau ke mana kau harus kembali

Pergi
Pergi yang jauh
Agar kau tau untuk siapa kau akan kembali

Pergi
Pergi yang jauh
Agar pertemuan-pertemuanmu memiliki makna yang berarti

Pergi
Pergi yang jauh
Agar kau tau bagaimana caranya mensyukuri

Pergi
Pergi yang jauh
Agar kau tau alasan untuk mencintai

Sekarang pergi...





Sunday, August 3, 2014

Ibu Kota Mimpi

Satu orang tengah duduk di bawah kanopi sebuah minimarket dengan cabang-cabangnya yang tersebar ke penjuru dunia. Ia memilih macchiato, seharga dua belas ribu, untuk menemani sorenya yang sedikit mendung dan pengap. Di pinggir bangunan hijau, salah satu ikon ibu kota, tempat pertama kali bagi beberapa orang turun untuk menginjakkan kakinya untuk dengan sejumput asa di bumi Ibu Kota.

Di bawah kanopi ini, entah darimana saja kalangan mereka menikmati apa yang tersaji di meja mereka, sambil asyik menyelami dunia mereka sendiri, lewat alunan-alunan musik yang telah di atur sedemikian rupa playlistnya. Ada yang memilih segelas plastik kopi, atau coklat, ada juga yang meminum es serut segala rasa, kata beberapa orang itu seni menikmati hidup.

Here comes the questions. Apakah masih bisa kita menikmati hidup saat di tengah menyesap that heavenly taste of coffee or somewhat, tiba-tiba ada dua orang anak yang datang ke meja kita, yang satunya menanyakan apakah sepatunya ingin disemir sambil menggenggam alat perangnya, dan satunya lagi dengan umur yang lebih muda, menengadahkan tangan, bukan untuk berdoa kepada Tuhannya, tapi untuk memohon belas kasih demi satu atau dua keping rupiah? Apakah masih bisa menikmati hidup saat dua belas ribu yang kita pakai untuk membeli secangkir kopi ternyata bisa mengganjal lapar yang maha, untuk belasan anak kecil dengan profesi yang sama?

"Bersama Ibu Kota semua bisa, semua ada. Kamu ngapain aja bisa jadi duit!" 

Betulkah? Apakah kalimat itu juga dipersembahkan untuk adik adik kecil kita yang seharusnya sedang belajar membaca atau menonton serial kartun anak di televisi? Apakah benar yang di kata orang, "Ibu Kota lebih kejam dari Ibu Tiri?" Sementara di saat yang bersamaan, kalimat "Hanya yang berusaha dengan giat yang akan memetik hasil" seolah menjadi pembenaran atas segala ketimpangan sosial yang terjadi di depan mata kepala setiap anak-anakmu, Ibu..
Taukah kau Ibu, Kau dikata orang sebagai tempat menaruh harap, memupuk asa, memetik buah segar setelah ditanam baik-baik. Tapi, anak-anakmu, melihat seorang ibu yang menggendong anak di dalam bis saja malah pura-pura tidur dan tidak dengar dengan headset tersumpal di telinga. Lalu, asa siapa yang kau dekap, Ibu?

Itu hanyalah sebuah cerita seseorang yang saat ini gelasnya sudah kosong, tak banyak, hanya seujung kuku jari kelingking fenomena yang diceritakannya. Tetapi tetap juga ditulisnya, takut fenomena yang tak sebesar jempol ini akan terlupa dan tak pernah terselesaikan. 

Atau kami memang tinggal di Ibu Kota Mimpi?