Waktu menunjukkan pukul 17.35 WIB Adzan maghrib sudah berkumandang sekitar 5 menit yang lalu. Sedangkan aku masih mandeg di salah satu perempatan--yang aku tak tau apa nama daerahnya, di salah satu sudut kota Solo. Banyak kompetisi di jalan sore itu, berlomba dengan waktu--ingin cepat sampai di rumah untuk absen dengan Allah, dan bertemu keluarga di rumah, atau sekedar menikmati teh sore hari sambil menertawakan kebobrokan aparat negeri; berlomba dengan mobil dan motor lainnya--salip-salipan untuk jadi yang terdepan atau sekedar menghindar asap knalpot dari mobil berbahan bakar solar atau mesin 2 stroke; berlomba dengan lampu merah--dulu-duluan jangan sampai lampu hijaunya berganti merah saat akan melintas.
Solo dengan segala hiruk-pikuk di sore harinya, adalah suatu keindahan bagiku. Aku selalu menikmatinya. Ada saja yang unik untuk diperhatikan, entah orang yang slonong-boy menyebrang di jalan dan habis dipisuhi pengendara di jalan(memang banyak sekali yang suka mak sliwer di Solo), atau bapak-bapak penjual bakso bakar yang ngipasin arang di depan Gedung MTA.
Di bawah langit ungu ke biruan dan lampu jalan Slamet Riyadi yang mulai menyala, sayang sekali tak sempat aku abadikan(lagi). 60km//jam kupacu honda beat putih yang sudah menamaniku selama 3 tahun terakhir. Tapi cerita hari ini tidak hanya tentang Solo sore hari nan indah ini.
Solo hari ini adalah tentang anak-anak dari sebuah desa kecil di Sangkrah. Desa kecil di pinggir sebuah bendungan besar. Desa kecil yang banyak di antara pencaharian warganya adalah sebagai pemulung. Desa kecil di mana harapan tumbuh subur di benak masing-masing anak di sana.
Sore ini, aku dan beberapa teman mengajar membaca, menulis dan beberapa pelajaran lainnya di sana. Semacam memberi tambahan jam belajar untuk anak-anak yang masih kesulitan untuk mencerna materidi sekolah. Namanya Galang, usianya 7 tahun, anak yang cerdas dan suka sekali dengan matematika; lalu ada Nenden, kelas 2 SMP, perempuan manis berkulit sawo matang dengan perangai tomboy ini adalah seorang penggebuk drum handal; kemudian Nela, kelas 4 SD, pecinta Angry Birds, terlihat dari kalung dan anting yang ia kenakan, anaknya pemalu sekali; yang terakhir Tina, kelas 6 SD, semangatnya untuk sekolah sangat besar, impiannya tidak muluk-muluk, hanya dapat nilai bagus agar bisa melanjutkan ke SMP Negeri, ia terancam putus sekolah jika harus meneruskan pendidikannya di sekolah swasta. Begitupun yang lainnya.
Jika dahulu pahlawan mengangkat bambu runcing, berperang, melakukan gerilya, untuk sesuatu bernama "Kemerdekaan", yang mana adalah sebuah hak bagi segala bangsa--setidaknya itu yang dikatakan para Founding Fathers kita di UUD 1945. Agar nanti, anak cucunya mampu merasakan apa yang dirasakan penjajah pada masa itu; kesejahteraan, kemakmuran, hasil alam yang melimpah, termasuk pendidikan yang terbaik. Kali ini, di era reformasi yang kebablasan, di depan mataku sendiri, pendidikan yang katanya adalah sebuah hak yang harus diterima oleh setiap bangsa, menjadi sesuatu yang harus diperjuangkan. Walaupun memang hak adalah suatu perjuangan yang kita tuai dari kewajiban-kewajiban yang kita lakukan, namun sudah semestinya untuk hal seperti pendidikan, setiap warga negara di negeri ini merasa yakin dan percaya diri bahwa dirinya pasti dan akan mendapat pendidikan baik itu formal maupun informal. Namun sekarang kenyataannya, kalau memang pendidikan adalah sebuah hak, mengapa ada warga yang masih khawatir, tidak bisa melanjutkan sekolah bahkan sudah mendeklarasikan dirinya untuk tidak melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi jika memang harus melanjutkan ke sekolah swasta, apalagi kalau pada akhirnya soal biayalah yang dipermasalahkan. Ke mana perginya negara? Ke mana perginya pemimpin negeri? Di titik ini, aku merasa, 'kami' telah lama jauh dengan sosok yang paham akan kondisi ini. Banyak di antara warga ini yang bahkan menomor duakan pendidikan. "wis nduk, timbange sekolah, mending ngrewangi ibuk wae...raketang gur resik-resik omah." Ini 2013 dan masih ada yang punya mindset seperti ini. Masih ada.
Hal-hal yang aku jabarkan barusan itu nyata. Mereka yang mengamen saat lampu merah di depan Showroom Panggung itu juga nyata. Sampai kapan ingin menutup mata? Kita lihat dari sektor akademisi. Apa yang mereka lakukan? Sibuk dengan sekat-sekat jurusan. "Itu ranahnya orang keguruan" "Itu ranahnya orang sosial" kata mereka yang saling tunjuk. Terlepas dari apa jurusan yang kita ambil, entah di bangku sekolah atau kuliah, masa depan bangsa adalah sebuah tanggung jawab bersama. Kalau kita terus menerus berpikir, "Soal negara udah ada yang ngurus kali, tuh! (nunjuk orang-orang yang molor di DPR)" Lalu jika telah sampai masanya mereka meninggalkan kursi kehormatan, siapa yang akan mengatur negeri agar tetap pada haluannya?
Galang, sore ini di kelas membaca dan menulis. |
Setidaknya melihat Galang(dan anak-anak lainnya) sungguh-sungguh belajar, menjadi semangat baru untukku dan teman-teman yang lain. Jika dilihat lagi, mungkin yang aku ajarkan memang hanya sekedar baca dan tulis, hanya sekedar A-I-U-E-O, Ba-Bi-Bu-Be-Bo, perkara mudah untuk mereka yang duduk di perguruan tinggi. Namun, jika kita tetap menjadi mereka yang hanya fokus mengkritisi pendidikan. siapa yang mulai turun tangan? Karena setinggi apapun kita menempuh pendidikan, kepada masyarakatlah kita akhirnya mengabdi.
Langit Solo sore yang indah itu, beberapa klakson mobil dan motor itu, angin dingin yang mulai menelisik sweater dan kemeja itu, menjadi saksi akan sebuah janji seoarang pemudi untuk sebuah perubahan pada negeri.
No comments:
Post a Comment