Chapter 2 of 12.
Kalender bulan Januari akhirnya harus berganti. Februari, si bulan (yang katanya) penuh cinta, yang menurut saya lebih masuk akal jika disebut sebagai bulan yang penuh hujan dan bulan persiapan untuk menerima kiriman air yang berlimpah dari daerah tinggi di sekelilingnya untuk wilayah Jakarta dan sekitarnya.
Dini hari ini, saya kembali ke Third Eye Blind, salah satu lagu lama yang masuk ke dalam folder nggak-ada-matinya. Deep Inside of You mengalun mesra di telinga saya, tidak semesra bagaimana seorang kekasih tengah merayu kekasihnya, tapi menurut saya inilah mesra, alias menyamankan di telinga.
Kembali ke 2 hari yang lalu, saya ada di Yogyakarta dengan beberapa sahabat. Bercanda sambil merancang salah satu proyek 2015 kami, membuat sebuah bioskop keliling anak. Berawal dari kegelisahan kami tentang sulitnya menemukan konsumsi media yang tepat dan baik untuk anak-anak. Kasihan, anak-anak era 2000an tidak merasakan serunya menonton Saras 008, atau cerdiknya Joshua di serial tv Anak Ajaib, atau asik terbang dengan Om Jin di Serial tv Jin dan Jun. Betapa mudahnya menemukan acara-acara yang memang dibuat untuk anak-anak pada masa itu. Sementara adik saya hari ini, seringkali mengamuk jika waktu menonton Ganteng-Ganteng Srigala-nya diganggu barang 2 menit saja. Atau adik saya yang lain yang membayangkan kehidupan anak Sekolah Menengah Atas yang diperbolehkan menggunakan rok setengah paha. Satu kata, prihatin. Berangkat dari kesamaan dan keterikatan bidang studi, saya, Yanna dan Rahma yang berkecimpung di dunia Ilmu Komunikasi, dan Yayak yang berada di bidang Keguruan, yang pastinya lebih ahli dalam hal didik-mendidik, kami bertekad untuk memberikan inovasi baru dalam dunia pendidikan di era yang apa-apanya dituntut untuk menggunakan teknologi.
Film. mengapa kami memilih film? Hal tersebut berkaitan dengan bagaimana pesan-pesan yang diberikan secara audiovisual lebih mudah diterima oleh anak-anak, selain itu, hal ini juga disebabkan oleh pengamatan kami terhadap anak-anak yang ada di sekeliling kami, tentang bagaimana anak-anak sangat betah duduk ngejogrog di depan televisi dan menonton apa saja yang disiarkan hingga berjam-jam. Dengan daya filter anak-anak yang masih belum maksimal, tentu diperlukan adanya pengawasan dari orang tua dan siaran-siaran yang ramah anak dan sifatnya edukatif serta menyenangkan bagi anak. Untuk itulah, Bioskop Keliling Anak ini dibentuk, di sini kami berusaha memberikan sarana belajar baru yang mana akan diselenggarakan di setiap dusun binaan dan sifatnya berpindah-pindah. Semoga dapat epat terealisasi dan bermanfaatbagi anak-anak.
Sebelum mematangkan konsep ini, kami pun berusahan untuk bertemu beberapa orang-orang hebat yang ada di kota sebelah, Yogyakarta. Orang-orang hebat kami siang itu mungkin bukan orang-orang yang namanya sering terpampang di koran, atau sering pergi ke luar negeri. Tapi itulah rahasia Allah, ternyata kita bisa belajar dari siapa saja, tanpa harus mengenal pangkat, jabatan atau harta orang-orang itu.
Siang itu, kami bertemu dengan Mbak Yua dan Mbak Deka dari Sanggar Cantrik. acara sharing-sharing kami ditemani dengan cangkir-cangkir yang berisi teh pahit panas yang asapnya masih mengepul lengkap dengan setoples gula di sebelahnya. Obrolan dari pertanyaan-pertanyaan yang terlontar dari kami, permohonan untuk bisa diajak ikutan produksi, atau sesekali terbahak mendengar lelucon yang dilemparkan oleh siapa saja, padahal baru hari ini kami bertemu, tapi rasanya sudah dekat bagai sudah berkali-kali bertemu saja kami. Teh yang tadinya panas dengan asap mengepul, kini telah dingin, gula yang ditambahkan pun jadi sedikit lebih sulit untuk larut, tapi ilmu yang didapat tetap tidak sebanding dengan teh yang sudah dingin. Kesempatan ini membuat saya lebih banyak belajar dan bersyukur tak henti-hentinya.
Pelajaran pertama adalah tentang masalah anak-anak.
Percakapan singkat dengan Mbak Yua dan Mbak Deka Jumat itu telah membuka pikiran saya ke sudut pandang baru tentang anak-anak. Ini tentang ketelitian mereka dalam mengenalkan suatu hal yang baru terhadap anak-anak. Membuat kami benar-benar berpikir dari sudut pandang anak-anak. Bersama anak-anak, tidak hanya tentang membuat gesture atau suara kita seperti anak-anak. Tapi juga tentang pola pikir. Pagi itu, saya belajar, bahwa tidak semua permasalahan yang dihadapi oleh orang dewasa adalah permasalahan bagi anak-anak juga. Mbak Yua dan Sanggar Cantrik misalnya, saat mereka tengah menggarap sebuah proyek film pendek, dan mengadakan sebuah riset sebelum terjun ke ranah produksi, pertanyaan "apakah masalah X adalah masalah bagi anak-anak juga? ataukah X ini hanyalah masalah orang dewasa yang kita paksakan untuk diterima oleh anak-anak?" sering kali keluar. Jika ada hal yang baru bagi anak-anak, maka permasalahannya menjadi "bagaimana bisa membuat kegelisahan orang dewasa ini menjadi kegelisahan anak-anak juga?" lagi-lagi bagaimana kita membahasakannya ke anak-anak menjadi suatu hal yang penting. Seperti misalnya, untuk menanamkan sifat "anti korupsi" kita tidak bisa secara harfiah mengatakan "anti korupsi" kepada anak-anak, kalau kita tidak ingin anak-anak menjadi bingung. Namun, kita bisa menanamkan nilai-nilai kejujuran, kedisiplinan atau keyakinan misalnya.
Percakapan singkat dengan Mbak Yua dan Mbak Deka Jumat itu telah membuka pikiran saya ke sudut pandang baru tentang anak-anak. Ini tentang ketelitian mereka dalam mengenalkan suatu hal yang baru terhadap anak-anak. Membuat kami benar-benar berpikir dari sudut pandang anak-anak. Bersama anak-anak, tidak hanya tentang membuat gesture atau suara kita seperti anak-anak. Tapi juga tentang pola pikir. Pagi itu, saya belajar, bahwa tidak semua permasalahan yang dihadapi oleh orang dewasa adalah permasalahan bagi anak-anak juga. Mbak Yua dan Sanggar Cantrik misalnya, saat mereka tengah menggarap sebuah proyek film pendek, dan mengadakan sebuah riset sebelum terjun ke ranah produksi, pertanyaan "apakah masalah X adalah masalah bagi anak-anak juga? ataukah X ini hanyalah masalah orang dewasa yang kita paksakan untuk diterima oleh anak-anak?" sering kali keluar. Jika ada hal yang baru bagi anak-anak, maka permasalahannya menjadi "bagaimana bisa membuat kegelisahan orang dewasa ini menjadi kegelisahan anak-anak juga?" lagi-lagi bagaimana kita membahasakannya ke anak-anak menjadi suatu hal yang penting. Seperti misalnya, untuk menanamkan sifat "anti korupsi" kita tidak bisa secara harfiah mengatakan "anti korupsi" kepada anak-anak, kalau kita tidak ingin anak-anak menjadi bingung. Namun, kita bisa menanamkan nilai-nilai kejujuran, kedisiplinan atau keyakinan misalnya.
Pelajaran selanjutnya adalah tentang semangat berkontribusi. Ini yang sering kali luput di era media seperti saat ini. Mungkin saya sendiri pernah melakukannya. Kenapa bisa saya kaitkan dengan media? Karena media selain memang fungsinya untuk menyebarkan informasi, namun kini telah berkembang menjadi alat pencapai prestige dan portofolio prestasi. Untuk hal yang terakhir, kita memang harus berkali-kali mengingatkan diri, akan niat yang ada di dalam hati agar selalu lurus. Salah-salah, bukan untuk menebar inspirasi malah jadi sumber riya' untuk diri sendiri, naudzubillah. Ada yang menarik dalam percakapan kemarin dengan Sanggar Cantrik. Saat, salah satu dari kami mengatakan,
Pelajaran ketiga adalah pentingnnya untuk berkumpul dengan orang-orang yang optimis. Saya termasuk orang yang mudah pesimis, orang yang pertama kali akan berpikir hal negatif apa saja yang mungin dapat kita hadapi agar kita dapat bersiap-siap. Pertama kali Yanna mengungkapkan ide gila ini untuk mengirimkan abstract kami ke sebuah acara, saya pikir, mana mungkin, dengan jarak di antara kami bertiga, saya di Jakarta, Yanna di Bandung dan Rahma di Solo untuk kemudian membuat sebuah abstraksi paper, tapi tak ada salahnya untuk mencoba. Tanpa harapan yang muluk-muluk, ternyata Allah justru memberikan kami kesempatan itu. Sepanjang perjalanan kami dari awal mencoba, sampai hari ini saya menulis posting ini, saya merasa bukan saya yang membuat diri saya bertahan, tetapi karena pertolongan Allah lewat orang-orang dengan energi positif dan optimismenya yang tinggi dan tetap rasional di logika saya, yang membuat saya untuk tetap bergerak. Maha suci Allah atas segala nikmatNya. Pada titik ini, saya mulai mengerti, bahwa rizki itu tidak hanya yang berbentuk uang atau berbagai material lainnya, bahkan kesehatan dan sahabat yang baik pun adalah sebuah rizki.
Pelajaran keempat adalah tentang bagaimana Allah lantas mengajarkan umatnya dengan berbagai cara dan berbagai jalan. Saya pernah menulis di salah satu posting saya yang lama. Memang unik dan misterius cara Allahh mengajarkan umatNya untuk terus belajar dan memetik makna. Bahkan untuk sebuah capaian pun dapat dilalui dengan jalan yang berbeda-beda pula. Ada orang yang ditinggal keluarganya untuk belajar bersyukur, ada juga yang diberi sakit untuk merasakan bersyukur, tapi ada juga yang kehilangan harta benda untuk merasakan nikmatnya bersyukur. Setiap kesempatan yang diberikanNya pasti membawa kita pada suatu jalan, dan memberikan kita suatu makna.
1 kesempatan dapat membuka
10 pintu kemungkinan yang akan memberi
100 pintu keberkahan untuk kemudian kita lipat gandakan hingga
1000 kali kebaikan untuk hari ini, esok dan seterusnya, maka yakinlah :)
"Wah, Sanggar Cantrik udah dapet penghargaan A, filmnya juga dapet penghargaan B, emang udah apa aja ya mbak penghargaan ya mbak?"Aneh, kami tidak mendengar sedikitpun nada kesombongan. lagi kami belajar, capaian yang ingin diraih adalah lebih ke penguatan fungsi sekolah kepada anak-anak, kontribusi yang digaungkan, bukan tentang seberapa banyak award yang dapat diraih saat kita mencapai tingkatan tertentu. Salut!
"Ah iya to? Kita nggak tau malah, nggak inget hahaha." Kata salah satu pengurusnya sambil tertawa lepas.
Pelajaran ketiga adalah pentingnnya untuk berkumpul dengan orang-orang yang optimis. Saya termasuk orang yang mudah pesimis, orang yang pertama kali akan berpikir hal negatif apa saja yang mungin dapat kita hadapi agar kita dapat bersiap-siap. Pertama kali Yanna mengungkapkan ide gila ini untuk mengirimkan abstract kami ke sebuah acara, saya pikir, mana mungkin, dengan jarak di antara kami bertiga, saya di Jakarta, Yanna di Bandung dan Rahma di Solo untuk kemudian membuat sebuah abstraksi paper, tapi tak ada salahnya untuk mencoba. Tanpa harapan yang muluk-muluk, ternyata Allah justru memberikan kami kesempatan itu. Sepanjang perjalanan kami dari awal mencoba, sampai hari ini saya menulis posting ini, saya merasa bukan saya yang membuat diri saya bertahan, tetapi karena pertolongan Allah lewat orang-orang dengan energi positif dan optimismenya yang tinggi dan tetap rasional di logika saya, yang membuat saya untuk tetap bergerak. Maha suci Allah atas segala nikmatNya. Pada titik ini, saya mulai mengerti, bahwa rizki itu tidak hanya yang berbentuk uang atau berbagai material lainnya, bahkan kesehatan dan sahabat yang baik pun adalah sebuah rizki.
Pelajaran keempat adalah tentang bagaimana Allah lantas mengajarkan umatnya dengan berbagai cara dan berbagai jalan. Saya pernah menulis di salah satu posting saya yang lama. Memang unik dan misterius cara Allahh mengajarkan umatNya untuk terus belajar dan memetik makna. Bahkan untuk sebuah capaian pun dapat dilalui dengan jalan yang berbeda-beda pula. Ada orang yang ditinggal keluarganya untuk belajar bersyukur, ada juga yang diberi sakit untuk merasakan bersyukur, tapi ada juga yang kehilangan harta benda untuk merasakan nikmatnya bersyukur. Setiap kesempatan yang diberikanNya pasti membawa kita pada suatu jalan, dan memberikan kita suatu makna.
1 kesempatan dapat membuka
10 pintu kemungkinan yang akan memberi
100 pintu keberkahan untuk kemudian kita lipat gandakan hingga
1000 kali kebaikan untuk hari ini, esok dan seterusnya, maka yakinlah :)
inspiratis sekali ya kak. benar sekali kak satu kesempatan bisa mengubah semua nya... semangat ya kak buat projek 2015 nya.
ReplyDeleteterima kasih ya, lapak medan :))
Delete