Inget nggak jaman alay dulu? Jaman di mana banyak orang
laki atau perempuan memberikan kata
ordinary sebagai deskripsi masing-masing dari mereka di setiap social media
mereka, ya tidak semua sih, tapi banyak, dan ada.
Mungkin nggak to orang-orang itu memang “biasa” saja
atau hanya berusaha menjadi biasa? Mau nggak sih sebenarnya di antara kita ini
disebut biasa dalam apa yang tengah kita lakukan? “Dia mah emang biasa aja!”, “Eh
kamu biasa aja!” eh, contoh yang kedua salah konteks. Tentu hal ini sangat
berkebalikan ya sama sifat manusia yang katanya itu sudah dari sananya, alias
gawan bayi, alias bawaan orok kalau kita ini diciptakan sebagai
makhluk yang tidak pernah puas dan selalu meminta lebih.
Ditemani satu mug teh
hangat tawar, di Minggu malam, di mana lingkungan saya jadi nyenyet lebih awal, karena besok mulai
beraktvitas lagi, saya mulai lagi bertanya, “Mimpi kamu apa,Nin?”
Saya ingat, bagaimana
dulu kawan-kawan saya di bangku Taman Kanak-kanak selalu berteriak, mau jadi
pilot, mau jadi perawat, pramugari, bos, ada juga yang mau jadi Presiden, sementara
saat giliran saya yang ditanya sama Ibu Guru−Ibu Ida di bangku kelas A, dan Ibu Ibeth dan ditemani Ibu Tatik di bangku
kelas B, saya selalu menjawab dengan lantang, “ANIN MAU JADI TUKANG RISOL,
NANTI PESEN KUENYA SAMA ANIN YAA!” dan
itu masih menjadi cerita yang diceritakan dari tahun ke tahun oleh Si Mama,
setiap ada siapa saja yang datang.
Lalu masihkah saya
memimpikan hal yang sama? Ah tentu saja, hanya namanya saja yang berubah jadi
lebih keren, “Punya Toko Roti yang namanya diambil dari nama Mama”. Dari Tukang
jadi Owner. Saya sendiri membayangkan
nantinya toko itu akan memanjakan indera penciuman kita dengan aroma kayu
manis, dengan warna cat yang bernuansa karamel, lalu.....di mana saya berada? Bukan,
bukan dibalik meja menghitung laba dan rugi, saya sedang berada di dapur dengan
apron yang terkena noda coklat di beberapa tempat dan tepung tipis yang hinggap
di hijab, tengah menguleni adonan roti. Saya benar-benar menjadi Tukang Roti
yang punya Toko Roti. Ah bahagia.
Tidak tahu sejak kapan
saya jadi senang memasak, karena jika diingat lagi dulu saat Si Bapak menyuruh
saya memasak untuk menggantikan Si Mama yang sedang sakit, saya selalu menolak
dan memilih pergi untuk beli makan di luar. Tetapi ternyata masak itu asik−ya walau saya masih ndak bisa bedain makanan mana
yang basi dan masih oke untuk dikonsumsi, kita bisa eksperimen rasa, subtitusi
bahan kalau bahan A nggak ada, semacam mencari strategi lagi gimana caranya
biar itu makanan minimal bisa diterima sama lidah dan nggak mubazir.
Selama di rumah, saya
bolak-balik buka Cookpad.com sampai akhirnya download aplikasinya di telepon
pintar saya, ditaroh di dapur. Ya betul, berbekal resep yang ada di Cookpad ini
saya memasak beberapa makanan yang belum pernah saya coba sebelumnya, layaknya
abang Go-jek yang ke mana mana bawa henpon
buat lihat GPS agar bertemu customer, sampai tak jarak hpnya terkena debu, ya,
sama kayak saya yang hpnya kadang jadi terasa berminyak dan kata Si Adik, bau
ayam.
Seiring beranjaknya usia
kita, cita-cita kita juga berkembang, nggak usah heran, ini semua karena pola
pikir kita yang terus menerus dibuat mikir. Kayak manusia purba dulu yang
tadinya hanya berburu sampai akhirnya mereka berpikir untuk bercocok tanam. Ada
yang mimpinya jadi lebih spesifik, ada juga yang mimpinya malah jadi “banting
setir” saat sadar minatnya nggak mengarahkan dia ke mimpinya dulu waktu kecil.
Nggak ada yang salah dengan itu. Yang salah itu kalau kita bahkan nggak punya
mimpi sama sekali. Hidup itu memang fleksibel, tapi ia nggak semudah baca-baca quotations di Tumblr, kadang kita bisa
ngikutin arus, tapi kadang kita juga harus bisa nentang arus. Nah apa tuh yang
bisa bikin kita nentang arus? Motivasi! Dan motivasi nggak akan hadir kalau nggak
ada yang ingin kita kejar. Apa yang kita kejar inilah yang kita sebut dengan
mimpi.
Saya menolak untuk bilang
mereka yang punya mimpi adalah mereka yang ordinary
alias biasa aja. No way. Bilang diri
kita sendiri biasa aja itu sama kayak nge-mubazir-in diri sendiri. Duh aneh dan
maksa banget ya bahasanya. Kenapa? Karena Allah sudah menciptakan kita dengan segudang
potensi yang bahkan mungkin kita sendiri nggak tau itu apa, all we need to do is get that ass off and find out!
Jadi semangat gini ya
kalau kita nulis sebagai catatan untuk diri sendiri, haha.
Intinya, nggak ada langit
yang terlalu tinggi, dan langit yang terlalu rendah, karena Allah udah
menciptakan awan-awan di langit-langit kita masing-masing, sebagai tempat untuk
kita melempar mimpi-mimpi kita ke langit sana.
Calon Tukang Roti yang
punya Toko Roti,
No comments:
Post a Comment