Perasaan bahagia itu seperti
Satu yang ditambah satu
Tapi hasilnya tak selalu dua
-Mama
Saya sebenarnya
menginginkan hujan deras untuk turun malam ini juga, saat ini juga. Mengguyur kota
Jakarta dan sekitarnya, walau saat ini saya tidak sedang berada di Jakarta,
tetapi di “sekitarnya”. Apa daya saat hati menginginkan kesyahduan hujan,
bolehlah wangi tanah yang basah, dan segelas teh panas−saya suka kopi, tapi saat ini saya sedang ingin
teh panas. Apa daya Gusti lebih punya setting cerita yang berbeda, tak
diturunkanNya hujan, tak ada pula wangi tanah basah. Jadilah ekspektasi
sayup-sayup suara lebatnya hujan digantikan dengan suara kipas angin yang
dibeli ibu dari Abang Rosok,[1]
masih bagus kok, buktinya masih bertahan 3 tahun. Agar tak mengurangi realita
dari ekspektasi saya setel itu I Won’t Give Up yang dinyanyikan lagi oleh
Madilyn Bailey−bukan karena nginggris atau keminter, tapi memang pengen.
dan tetap, satu mug berisikan teh panas.
Apa sih bahagia
menurutmu?
“Ih absurd banget sih,
nanyain kayak ginian.” Tapi, pertanyaan ini terus-menerus mengganggu di otak
karena belum pernah saya jawab. Ya, walau lewat post ini saya juga nggak tahu
apakah bisa menjawab pertanyaan yang lebih sulit dari soal UTS saya.
Baik, mari kita mulai.
Sebelum kemudian bertanya
tentang apa definisi bahagia, ada baiknya kita menentukan dulu apa tujuan hidup
kita. Dengan rata-rata umur mencapai 63 tahun hidup di bumi, kira-kira apa atau
mau ke mana tujuan akhirnya? Kalau mengingat pepatah jawa, urip gur mampir ngombe, atau hidup hanya mampir minum, setelah
minum kita mau ngapain? Mau ke mana? Apa yang dicari to setelah minum itu?
Sejenak saya jadi melihat
lagi sudah sejauh apa saya melangkah. Mulai dari rutinitas saya, yang
tidur-kuliah-makan-“ke belakang”- lalu tidur lagi, ibadah, organisasi yang saya
ikuti, tulisan-tulisan saya, sampai ke dengan siapa selama ini saya berjalan−jangan baper, yang ini maksdunya teman-teman saya.
Sudah sinergiskah? Sudahkah itu semua merepresentasi tujuan saya diciptakan
olehNya atau paling tidak merepresentasikan orang yang sedang mengetik pos ini
sambil sesekali menyeruput teh hangat yang hampir dingin? Jangan sampai sudah
jalan jauh ternyata selama ini saya meminjam sepatu orang untuk melangkah, artinya, tidak benar-benar menjadi diri saya
sendiri dalam menjalani jalanan yang mungkin masih panjang, atau pendek
wallahualam, karena maut kan kapan
saja bisa menjemput. Ada sebuah kutipan dari Cak Nun yang sangat saya sukai,
begini bunyinya,
“Terserah mau jadi apa. Mau jadi manusia keset sabut, di mana hidup sekali ini diisi dengan menjadi keset kaki untuk sepatu orang. Atau jadi manusia rumput, hobinya diinjak-injak melulu. Atau manusia debog, yang kalau tidak dibuang yang dipakai ndalang, ditusuk-tusuk oleh tangkai lancip wayang. Atau mau jadi manusia beringin? Dia mengayomi walau ia sendiri tak berbuah, meneduhkan walau pada akhirnya tak ada yang bisa tumbuh di bawahnya atau di sekitarnya, berorientasi pada kebesaran diri, keharuman nama, monumentalisasi eksistensi, egosentrisme tinggi dan cenderung memperlakukan apa saja sekedar alat bagi eksistensinya.” ( Emha Ainun Nadjib dalam Gelandangan di kampung Sendiri).
Paragraf ini membuat saya
berpikir tentang sudahkah saya memberi kebermanfaatan kepada masyarakat atau
paling tidak untuk keluarga saya saja? Dengan mengikuti A-Z apa yang sebetulnya
saya kejar? Apakah sebuah plakat atau titel tertentu atau memang semangat
membagikan kebermanfaatan? Pertanyaan kepada dalam diri yang seperti sungguh
menohok pada awalnya, tapi selanjutnya semoga Allah memantapkan hati ini untuk
terus berada di jalan bersama masyarakat. Memang, mau jadi apa kita, rumput
teki, atau debog, sabut atau Anthorium seperti yang pernah digandrungi oleh kalangan
ibu atau bapak pecinta tanaman, yang penting adalah sejauh apa kita memberikan
kebermanfaatan pada setidaknya lingkungan yang paling-paling-paling dekat
dengan kita, keluarga.
Tapi tak hanya sampai di
sana, niat kebermanfaatan untuk masyarakat saja juga tidak cukup untuk melanjutkan perjalanan
ke titik akhir setelah minum tadi. Ini bagian yang terpenting dari perjalanan
yang diselingi dengan minum itu. Tanpa ini, kita bisa-bisa keasikan minum
sampai kembung, sampai mati digelonggong tangan sendiri. Apa sih “ini” yang
saya maksud? Ridho Allah.
Ridho Allah yang akan
membuat kita melanjutkan perjalanan. Ridho Allah yang membuat kita sadar bahwa
setidaknya kita memiliki waktu kurang lebih 63 tahun−syukur kalau dikasih lebih, untuk beribadah dan
bermanfaat bagi umat manusia. Ridho Allah juga yang mengingatkan kita untuk
tidak berlama-lama minum, karena berjalan apalagi berlari dengan perut yang
kembung itu menyesakkan. Ridho Allah yang membuat kita berusaha sekaligus
pasrah akan apa yang terjadi. Nah jadi Urip
yang cuma mampir Ngombe ini, nanti
mau dibawa ke mana? Mencari Ridho Allah.
Lalu, apa itu bahagia?
Ah ini pertanyaan memang bikin blunder.
Saya sendiri heran, semakin kita tumbuh, semakin kita persulit arti
kebahagiaan. Mulai dari menambah indikatornya, kemudian muncullah kalimat “wah
bahagia banget lah kalo ...” seakan bahagia itu ada syaratnya. Bahagia kita
hari ini sudah tidak lagi sesederhana dulu waktu umur kita 5 tahun, di mana
kita berlari mengejar pesawat kertas yang kita buat sendiri, yang tadi terbang
dan sudah terjatuh di tanah, kemudian menerbangkannya lagi. Ya, tidak bisa
disalahkan sih, sekarang pun anak kecil sudah jarang yang bermain pesawat
kertas yang biasanya dikasih abab
dulu−semacam mantra biar terbangnya
tinggi. Nggak kebayang saya, kalau yang dilempar itu Tab berisi game-game yang
membuat mereka terpaku 24/7 minus waktu tidur, mandi dan “ke belakang”.
Kakak saya sering
mengatakan “Jangan lupa bahagia”. Pada awalnya saya selalu mengartikan, jangan
lupa bahagia berarti kita tidak boleh bersedih. Begitu terus sampai akhirnya ia
membuat sebuah pos di lamannya. Tentang esensi bahagia. Hati tak pernah
membohongi diri, katanya. Sudah kodrat hati ingin selalu dekat dengan Rabbnya. Itulah,
saat di mana kebahagiaan yang haqiqi muncul. Karena, jangan lupa bahagia
berarti jangan lupa mengingat Allah, ya. agar kita bahagia dengan mengingatNya.
Nggak perlu kan mainan pesawat-pesawatan dulu biar ngerasain jadi anak-anak baru ngerasa bahagia? |
Ternyata memang, sederhana inginnya hati kita ini. Tak muluk-muluk ingin A
sampai Z untuk membahagiakan hati, cukup satu, mendekat dengan Rabb, agar hati
tenang, dan bahagia itu akan terasa dengan sendirinya. Kalau tak bisa juga
membayangkannya, lihat saja anak kecil, apa banyak maunya? Tidak. Kadang bahagianya
anak kecil adalah saat kita tak lupa nama mereka saat kita datang mengunjungi
mereka. Bahagia mereka juga terkadang hanya disebabkan kita mau diajak
mendengarkan lagu anak-anak yang sudah diputar ribuan kali. Tanpa maksud
menyederhanakan arti kebahagiam tetapi, bahagia itu memang sederhana.
Kalau masih bingung dengan pos ini, mungkin kebahagiaan kita punya versi
yang berbeda, saatnya cari bahagia versi kamu.
Menurut saya, semakin ada kemajuan teknologi semakin sulit meraih kebahagiaan. Dulu kita bisa bermain layang-layang dengan bebas, tetapi sekarang? semua sudah pada fokus dengan smartphonenya. Bahkan anak yang berumur sekitar 6-8 tahun sudah dapat mengoperasikan sebuah tablet. Dulu setelah pulang sekolah kita dapat berkumpul bersama teman-teman, tetapi sekarang? ada yang main Playstation, smartphone dll.
ReplyDeletekayak kebahagiaan setiap orang yang nggak bisa disamakan, mungkin itu juga berlaku untuk setiap jaman ya? :'')
Deleteterima kasih udah mampir
Hai Anindya. Masih ingat ini "Mbak, setiap tulisan itu pasti akan bertemu pembacanya". Selalu suka jika dipertemukan dengan tulisan-tulisan Anin tentunya. Tetap nulis, tetap asik, tetap bahagia :))
ReplyDeleteMakasih Mbak Titis, salah satu sumber inspirasi dari tulisan atau yang bisa lebih disebut sebagai curhatan Anin :))
Delete