Mari kita bicara tentang
hujan.
Sudah seberapa dalam kamu
menyukai hujan?
Sudah suka wangi tanah
basahnya?
Sudah suka bunyi setiap
tetes airnya?
Sudah suka suasana
mendung yang membuat kita nyaman untuk bergulung di dalam selimut, sibuk dengan
dunia fantasi yang kita bangun dan segelas kopi hangat –kopi instan dua ribu-an
atau kopi hitam premium yang per kilo harganya puluhan hingga ratusan ribu?
Tapi sudahkah kita tahan
akan banjirnya yang mungkin nanti datang?
Sudahkah kita tahan
dengan jadwal-jadwal pertemuan yang harus ditunda bahkan dibatalkan karena
hujan yang datang tanpa permisi?
Atau sudahkah kita tahan
saat tubuh basah kuyup diguyur hujan meninggalkan jaket baru yang harus dijemur
baru bisa dipakai lagi atau alergi dingin yang membuat kulit gatal dan meruam
merah?
Sudahkah sedalam itu?
Kita tidak akan berbicara
tentang hujan. Tentang bagaimana proses terjadinya hujan. Jenis-jenis hujan. Dan
segala macam tentang hujan. Kita akan membicarakan tentang sebuah novel yang
menjadikan hujan sebagai salah satu momen penting di dalamnya. Ya. Hujan karya
Tere Liye.
Novel ini berbicara
tentang seorang perempuan bernama Lail. Di umurnya yang ke-21, ia justru harus
berhadapan dengan seorang psikiater(begitu saya menyangka di awal cerita). Dari
apa yang Tere liye gambarkan, Lail di umurnya yang ke-21 ini adalah perempuan
yang tertekan, depresi dan sedih bukan kepalang. Kemudian pembacanya dibawa
kembali ke masa di mana lail masih berusia 11 tahun.
Saat membaca novel ini
ada dua hal yang sangat terasa kental sebagai latar suasananya. Yang pertama
adalah futuristik, jelas sekali setting waktunya sendiri adalah ketika bumi
menginjak tahunnya yang ke-2045. Di mana teknologi tercanggih bahkan sudah bisa
mencetak pakaian sendiri. Di mana transaksi pembayaran, komunikasi sudah
diselipkan dalam chip yang ada di pergelangan tangan kita atau di mana mobil
terbang sudah tidak lagi hanya ada di novel fantasi Harry Potter. Yang kedua
adalah suasana mendung, kelabu atau abu-abu bagaimanapun itu kamu menyebutnya. Suasana
mood yang dibangun oleh Tere Liye untuk pembaca juga stagnan dari awal hingga akhir,
hampa, sedih. Walau ada juga saat-saat di mana ada kejadian lucu ataupun
menyenangkan pun membahagiakan bagi Lail dan Esok(Soke) namun perubahan
emosinya terasa tidak begitu kentara untuk pembaca. Mari berbaik sangka,
mungkin Tere Liye sedang mengajarkan kita untuk tidak terlalu bersenang-senang
di dunia.
Novel ini tentang Lail
yang menyukai hujan, yang entah bagaimana hampir setiap momen-momen penting
dalam hidupnya selalu terjadi saat hujan. Entah itu momen bahagia maupun momen
yang menyedihkan. Momen di mana ia kehilangan orang tuanya. Momen di mana ia akhirnya
berhasil menjadi relawan. Momen di mana ia bertemu dengan Esok.
Seperti apa yang ditulis
di cover bagian belakang, novel ini bercerita tentang persahabatan, tentang cinta, tentang melupakan, tentang perpisahan. Sehingga saya juga tidak menaruh ekspektasi yang tinggi saat membacanya. Pasti
ini tentang dua orang yang entah bagaimana bertemu, kemudian menjadi sepasang
sahabat sampai satu atau keduanya menyimpan rasa lebih, berpisah atau
dipertemukan lagi di akhir cerita. Sangat mudah ditebak. Dan kalau bisa lebih
tega lagi bisa juga dikatakan sangat teenlit. Tapi kata Pram kita harus adil
bahkan sejak dalam pikiran. Makanya saya juga harus bilang, walau dengan alur cerita
cheesy yang mudah ditebak, Tere Liye
berhasil membuatnya tidak se-cheesy
itu dan tidak se-teenlit itu.
Dengan materi novel
berupa hal-hal terkait ke-gunung api-an, iklim, cuaca, ataupun
imajinasi-imajinasi liar tentang bagaimana kehidupan bumi di tahun 2045
mendatang. Ditambah lagi dengan pesan-pesan tersirat pun tersurat yang
terkandung di dalamnya.
Bagi saya, Hujan tidak
hanya sebuah novel tentang Lail dan Esok. Bahkan saya bisa bilang saya kurang
peduli dengan dua tokoh ini, walau garis besar novel ini menceritakan mereka. Beberapa
kali saya baca novel saya selalu punya sensasi “delusi” akan tokoh-tokoh yang
ada di dalamnya, terngiang akan bagaimana tindakan yang akan mereka lakukan
jika ada di situasi-situasi kehidupan nyata untuk berminggu-minggu, walau tidak
semua novel memeiliki efek yang sama. Saya mendapat sensasi itu kepada Mr. Darcy
dari Pride and Prejudice, Torey Hayden saat saya membaca Sheila, Amiru saat
saya membaca Ayah, Lintang saat saya membaca Laskar Pelangi, tapi sayangnya
tidak untuk karakter Lail pun Esok saat saya membaca Hujan.
Novel ini justru
memberikan pandangan tentang bagaimana kemudian kita seharusnya berdamai dengan
masa lalu, berdamai dengan kehilangan. Karena kita sering susah membedakan
antara benar-benar berdamai dengan segala apa yang terjadi di masa lalu, segala
kenangan buruknya dengan yang hanya memendamnya selama tidak pernah
bersinggungan dengan hal tersebut tidak peduli apakah itu suatu
ketidaksengajaan untuk menghindari hal tesebut ataupun memang secara tidak
langsung tidak pernah lagi bersinggungan dengan hal tersebut. The arts of letting go. Seni mengikhlaskan.
Untuk bagian ini jujur, Tere Liye sukses memporak-porandakan benteng yang
selama ini saya bangun dengan pertanyaan, “Apakah sudah berdamai?” yang
jawabnya sudah jelas.
Novel ini juga
menceritakan tentang bagaimana keegoisan manusia sungguh sangat bisa membunuh
siapa saja. Bahkan bisa pula menjadi alat bunuh diri paling efektif secara
perlahan. Hanya masalah waktu hingga keegoisan dapat membunuh siapa saja yang
masih menyimpan rasa seperti ini di dalam hatinya.
Walau kurang peduli
rasanya tidak adil pula jika saya tidak belajar apapun dari sosok Esok dan
Lail, di mana cinta lagi-lagi bukanlah suatu hal yang harus ditunjukkan dengan
kata ketika mereka berdua. Cinta itu soal aksi. Aksi untuk tidak sekedar
menunjukkan bahwa perasaan itu ada tetapi juga bagaimana seharusnya aksi yang
dilakukan dengan sebuah ketulusan dan keikhlasan.
Buku ini saya berikan 2
bintang saja untuk maknanya yang mendalam walau alur, karakter maupun
pembangunan mood pembaca yang mungkin tidak cocok dengan “gaya” saya. Tapi untuk
kamu yang butuh bacaan ringan, butuh bacaan untuk menemani perjalanan 5 jam
macet di Jakarta di pagi dan malamnya, buku ini boleh jadi pilihan. Selamat menikmati
titik hujan.
Karena ia tak sempurna,
Masihkah kamu menyukai
hujan?
No comments:
Post a Comment