Kayak yang
saya bilangdi postingan sebelumnya, obrolan di umur 23 ini salah satunya nggak
jauh-jauh dari tema pernikahan. Dari yang model nanya kapan nikah, dengan mode
terhalus seperti kapan menyegerakan
sampai yang mode kasar kayak kapan kawin.
Dan hal ini
nggak tau kenapa juga ternyata makin kerasa nggak hanya di ruang-ruang obrolan
tatap muka yang bahas-bahas soal pernikahan. Tetapi juga sampai ke ranah media
sosial. Oiya, sebelum baca lebih lanjut,
saya ingatkan bahwa tulisan ini saya tulis berdasarkan kacamata saya aja, jadi
kalau misal nggak bisa diterima waktu tengah-tengah baca mending berhenti aja,
dan cari bacaan lain yang mungkin akan menyenangkan hati kamu. Oke lanjut.
Akhir-akhir ini tema pernikahan
ini kerasa makin dekat dengan saya. Ya bukan hal yang mengagetkan sih, karena
orang-orang yang saya ikuti di media sosial juga orang-orang yang seumuran saya,
paling tua juga tiga sampai empat tahun di atas saya, ini di luar seleb-seleb
yang saya ikuti di media sosial ya. Dengan umur-umur usia nikah gini jadi wajar
banget nggak sih kalo misal teman-teman kita yang kita ikuti di media sosial
ini tadi juga mulai bergerak fase hidupnya dari fase melajang ke fase
pernikahan. Dan fase itu semua terlihat semua di media sosial, ya gimana nggak
ya, disukai atau tidak, diterima atau tidak banyak orang yang menjadikan media
sosial sebagai sarana aktualisasi dirinya. Dari yang biasanya posting lagi
nongkrong di kafe A sama temen-temennya, atau liburan ke X sama temen-temennya
jadi yang tiba-tiba posting pre-wedding, wedding, pos-wedding sampai ke
kehidupan sehari-hari setelah menikah macam bagaimana hikmah-hikmah dari
mahligai pernikahannya dinarasikan dalam caption
panjang sarat akan makna. Saya sejauh ini masih merasa biasa aja sih, paling
ketawa-ketawa aja kalo misal liat temen yang dulu kelakuannya kayak apa lagi
posting manis-manis sama bininya, tapi ya udah, buat saya posting macam itu
lewat begitu saja, saya sebagai netijen hanya menjadi penonton yang urun “like”
kalo nemu postingannya, atau ini karena saya nggak punya orientasi untuk nikah secepatnya
kali ya, makanya liat pos manis-manis gitu juga masih lempeng-lempeng aja.
Terus beberapa
waktu yang lalu waktu lagi ngumpul sama beberapa teman, kita gak sengaja sampai
ke topik PDA waktu kami lagi ngobrol. Istilah PDA ini udah saya denger dari
jaman SMP, nggak nyangka sekarang PDA jadi topik yang sering diperbincangkan di
teman-teman saya hehe. PDA atau Public
Display Affection punya artinya kurang lebih intinya mempertontonkan
kemesraan di ranah publik, singkatnya pamer kemesraan.
Saya sendiri
punya dua kelakuan yang tergolong PDA, sekali lagi menurut saya, kamu boleh
sepakat, nggak juga gapapa, belum tentu ngubah pandangan saya juga.
·
Pertama, kalo The Married Couple (TMC) mulai
posting kontak fisip di area-area yang sebenernya bisa bangeeet kalo nggak diupload
atau dipamerkan ke ranah publik.
·
Kedua, kalo tadi secara fisik, karena kita
mainnya sosmed, maka nggak mungkin kalo nggak ada PDA-PDA terselubung lewat
verbal. Menurut saya, kalo TMC mulai poating macam panggilan-panggilan khusus
gitu nggak perlu sih jadi konsumsi publik, toh tanpa itu pun followersnya udah pada tau kalo bininya
adalah miliknya, moreover macam
gombalan, rayuan, yang aduh udahlah, rasanya bikin saya pengen bilang “mending
kalian pm”, tapi nggak tau kenapa, saya masih bisa sih tolerir pujian. Eh ini
kamu yang baca bisa bedain kan mana pujian dan mana rayuan/gombalan?
Dari obrolan
sama teman-teman memang ada beberapa yang saya sepakati ada ada juga yang tidak.
Seperti misalnya, posting foto atau video lagi makan atau pergi bareng. Kalau menurut
saya itu sama sekali bukan PDA. Posting foto anaknya dengan segala
perkembangannya, dan ilmu-ilmu yang bisa diambil, apalagi itu, nggak ada
PDA-PDAnya, jadi kalo sampe ada yang ngomong “ih postingannya si A masa tentang
si B mulu” paling yaudah saya liatin aja, sambil nyinyirin dalam hati. Wkwkwk.
Gini ya, logikanya
adalah, saat sebelumnya si A belum menikah, media sosial memang digunakan oleh si
A, siapapun itu, untuk memposting hal-hal yang ada di dalam hidupnya, yang
berkaitan dengan dirinya, jadi pertanyaannya, apa itu juga menjadi suatu hal
yang aneh jika suatu saat si A baru menikah dan memposting sesuatu yang
berkaitan dengan dirinya seumur hidup yang dalam kasus ini adalah bininya? Jadi
kalau misal ada orang yang sebelum menikah hobi makan, ke mana-mana foodgram
foto makanan, eh setelah menikah posting lagi makanan-makanan tapi sama bininya,
ya itu bukan PDA lah, foodgram adalah habitnya dia di masa lampau sampai
sekarang, kemudian ditemukan dengan orang baru yang mana adalah bininya dan
ditemukan dengan kebiasannya itu. Selesai di situ. Menurut saya itu hal yang
wajar, karena setiap orang punya tendensi buat menunjukkan apa-apa yang dia
suka, ya kalau dalam kasus tadi berarti membagikan makanan dalam foto di
Instagram (misal) dan bininya adalah hal yang disuka. Selesai di situ sih
sebenernya. Ditambah kita idup di jaman yang kadang kuota aja rasnya bisa lebih
murah dari pada harga cabe, karena kebutuhan untuk mainan media sosial emang
setinggi itu, sarana untuk aktualisasi diri makin gampang diakses,
kecenderungan untuk menunjukkan apa yang disukai juga makin tinggi. Tapi, ya
ini cuma saya yang fakir ilmu dengan segala analogi keledai.
Karena saya
yakin, untuk tidak menunjukkan kesukaan kita itu sulit nona dan tuan, ya coba
aja dilihat lagi, apa kesukaan kita yang sering kita publikasikan saat ini, saat
nanti tiba masanya giliran kita, saat hal-hal yang kita suka itu ada dalam satu
bingkai kamera dan biasa dipublikaskan (di luar dua poin tadi yang saya
sebutkan) kemudian bergabung dengan hal-hal yang berkaitan dengan bini kita
nanti. Entah yang suka share nongki di mana, besok jadi posting sama bininya,
yang suka masak besok jadi suka posting bekal buat bininya atau masakan
sehari-hari. Mungkin kita juga bilang “entar captionku nggak yang menye-menye
gitu”, mungkin juga pada saat itu kita juga ingin membagikan hikmah-hikmah
dalam bentuk narasi-narasi panjang di caption yang lanjut di komentar, tapi ya
mungkin juga nanti akan muncul juga orang-orang yang walaupun kita udah usaha
buat posting sebiasa mungkin, kita tetap dibilang PDA. Well, the ugly truth is,
we can’t please everyone, even a clown has bunch of people who have phobia of
him.
Definisi-definisi
soal PDA berdasarkan tadi jadi tak lebih dari sebuah kecemburuan saja untuk
segera ingin ada di titik yang sama. Menurut saya, jika TMC belum melanggar dua
hal yang tadi saya sebutkan, saya masih bisa terima. Lagi pula, kadang menurut
saya, bukan mereka yang sudah biasa-biasa banget ini yang harus mengubah postingan
hanya karena ada konten bermuatan bini-bininya, tetapi netijen budiman yang
memang harus lebih bijak lagi dalam menghadapi postingan. Tetapi saya juga
berpikir, ini salah satu efek dari pertemuan nilai baru dan nilai lama, dari
sebuah kebiasaan yang dimasuki nilai baru. Awalnya pasti ada ketidak cocokan,
tapi lama-lama juga bisa menyatu. Fakta dari salah satu teman yang tadinya
belum menikah dengan segala kesehariannya, kemudian menikah dan punya rutinitas
baru. Jadilah followers merasa
bertumbukkan dengan nilai baru juga. Tapi tak apalah, kan kata Tan Malaka, terbentur, terbentur, terbentur, terbentuk. Tetapi kalau masih tidak
kuat, cukup unfollow saja. Selesai.
(mencoba) menjadi netijen
budiman.
No comments:
Post a Comment