Banyak yang menggantungkan harapannya pada mahasiswa, sadarkah? |
Sabtu siang ini, Solo
masih diselimuti awan mendung. 26oC cukuplah untuk membuat mood berada
di level sendu dan ingin membenamkan
diri di bawah selimut sambil menonton drama Korea dan secangkir teh hangat.
Siang ini, saya malah ada di sebuah warung makan, sehabis membeli obat untuk Si
Mbah dan beberapa makanan yang beliau pesan. Di tengah-tengah makan, tiba-tiba
terbesit sebuah pertanyaan,
"Udah ngapain aja lu jadi mahasiswa?”
Sial. Pertanyaan seperti
itu hadir di tengah-tengah makan, dan sukses membuat saya berhenti untuk
berpikir dan sirna sudah keinginan untuk pulang ke rumah cepat-cepat. Udah ngapain aja lu jadi mahasiswa? Terus
terngiang di telinga saya. Hal ini langsung membawa saya ke beberapa momen di
mana kondisi mahasiswa saat ini tidak seperti bagaimana otak saya pernah
memimpikannya. Otak ini membawa saya kembali ke momen di mana ada ‘adu chat’ (karena
memang terjadi di grup messenger) di
mana mahasiswa saling serang mahasiswa lainnya, bahkan juga mengebiri gerakan
mahasiswa lainnya. Atau satir-satir yang bertebaran di lini masa media sosial
maupun media cetak tentang pergerakan organisasi mahasiswa saat ini. Saya yang
melihat hanya mampu berdecak sambil sesekali memberikan komentar tapi berusaha
untuk tidak masuk ke dalam perdebatan manapun.
Miris
Sedih jika harus mengomparasi
perjuangan pergerakan mahasiswa di zaman dahulu dengan yang terjadi hari ini. Jika
melihat ke belakang, teman-teman mahasiswa pada masa itu saling bersatu, bahu
membahu untuk menyempurnakan kemerdekaan yang dulu pernah digaungkan. Melawan
tirani yang nyata, bisa dikatakan, musuh mereka terlihat dan idealisme
mahasiswa pada zaman itu belum diusik dengan pengaruh-pengaruh kehidupan yang
individualis.
Hari ini, saya masih
melihat bagaimana kemudian mahasiswa yang bergerak di lini satu mencederai
gerakan mahasiswa lainnya. Mengatakan gerakannya lah yang lebih efektif, atau
gerakan yang dilakukan oleh teman-teman lainnya adalah gerakan yang sia-sia dan
buang-buang tenaga. Sudah tidak ditemukan lagi tokoh-tokoh seperti Tan Malaka
yang dekat dengan Soekarno, karena saat ini, mahasiswa dengan gerakannya sudah
terkotak-kotak dengan jas alamaternya, jaket gerakan eksternal kampusnya,
bahkan ke ideologinya. Sehingga akhirnya, saat masing-masing dari mereka turun
aksi(baik demonstrasi atau dalam bentuk lain) yang timbul justru saling
mencederai dan menghakimi. Mahasiswa terkenal kuat dengan idealisme yang
dipegangnya, namun apakah kemudian ini yang membuat mereka jadi sedemikian
keras dan tidak menerima gerakan saudara-saudara seperjuangannya, wahai
mahasiswa?
Pertanyaan
Kemudian pertanyaan
lainnya muncul. Sering sekali saya membaca beberapa respon dari teman-teman
baik yang mahasiswa maupun yang bukan, mengenai bagaimana seharusnya mahasiswa
bergerak dalam mengkritisi dan merealisasikan Indonesia yang lebih baik? Di
antaranya menjawab, “work through passion” , “serius kuliah dulu deh, yang
bener, nanti kalo udah lulus baru deh ubah sistem dengan masuk ke jajaran
pemerintahan” atau jawaban lainnya seperti “Screw it! I don’t believe in our Government or media, it’s all bullshit!”
Katakanlah saya saat ini
mengambil dua jawaban yang pertama, saat kita benar-benar bekerja sesuai dengan
passion kita, sudahkah kita menuliskan “Untuk Indonesia yang lebih baik” dalam
hati kita sebagai semangat dan cita-cita? Atau hanya berdasarkan keinginan atau
bahkan ketakutan terpenjara dalam sesuatu yang kita lakukan? Lalu untuk jawaban
nomor dua, masihkah kita memegang kalimat itu saat kita lulus kuliah nanti?
Mampukah hati kita berjanji demikian? Di mana satu-satunya kemewahan yang saat
ini kita, para mahasiswa, miliki adalah idealisme yang ada di dalam otak dan
hati kita masing-masing, setidaknya begitu kata Tan Malaka. Padahal, saat
setelah lulus nanti, kita dihadapkan dengan kehidupan yang lebih nyata di mana,
kita harus bertahan, even earn something
for a living, bisakah idealisme yang dahulu dimiliki di bangku universitas
diterapkan di realitas setelah keluar dari gerbang universitas? “Kalo masih
fresh graduate entar mah, kudu berpikir realistis biar nggak terpenjara idealisme diri sendiri” ada juga
loh yang mengatakan demikian. Jadi, untuk mengantisipasi ide-ide yang mungkin
akan sulit terealisasikan karena faktor lingkungan di masa depan, kenapa harus
menunggu nanti saat kita bisa bergerak dan mengusahakannya di lini kita untuk Indonesia saat ini juga?
Harapan
Mahasiswa telah menjadi
harapan bagi masyarakat, karena bagaimanapun juga negara ini akan dilanjutkan
oleh para mahasiswa sebagai agen perubahan, pengendali sosial dan fungsi-fungsi
lainnya yang ada di pundak mahasiswa. Posisi mahasiswa saat ini sesungguhnya
ada di tataran Middle Leader. Bukan
posisi yang tanggung, justru menguntungkan, karena di posisi ini mahasiswa bisa
lebih dekat dengan masyarakat, akademisi maupun pemerintah. Sehingga dalam
mentransformasikan ide yang ada di kepala untuk menjadi aksi-aksi nyata pun
perlu dibagi target atau sasarannya ke tiga pihak tersebut, masayarakat,
akademisi dan pemerintah. Ada yang mengkritisi, mengadvokasi dan memberi usulan solusi ke pemerintah, ada
yang membuat riset, membuat inovasi untuk penyelesaian masalah di masyarakat
dan ada pula yang melayani masyarakat. Ketiga lini ini harus bergerak sinergis
untuk mewujudkan cita-cita bersama. Tak perlu mencederai, yang ada memang harus
saling support dan saling ingin mendenggarkan dan memperbaiki diri jika memang
yang dilakukan kurang pas oleh mahasiswa lainnya yang tidak tergabung dalam
gerakan itu. Bergerak di lini masing-masing itu sangat perlu, jika kita ingin
negara ini kemudian maju di banyak sektornya, bukan hanya satu atau dua saja.
Terakhir, selain
menyertakan cita-cita “Untuk Indonesia yang lebih baik” di hati dalam bergerak,
sertakan pula Allah dalam setiap langkah. Saya yakin, sumber semangat yang
tidak akan habis adalah sesuatu yang datang dari sisi rohani seseorang lewat percaya
dan menyertakan Tuhan dalam setiap langkah.
Dan dasar pergerakan adalah nurani yang bernyala dan hati yang ikhlas, yang bersih dari ambisi pribadi dan kepentingan dunia, yang tidak mengharap sorot lampu popularitas dan riuhan tepuk tangan. –M. Yoga Permana
Populis ataupun strategis, gerakan mahasiswa sudah sepatutnya sinergis.
Selamat siang.
Hmmm, kalau saya memandangnya sebagai mahasiswa kita harus produktif. DIbandingkan mereka yg sudah bekerja kan mahasiswa lebih banyak waktu luangnya atau seengaknya bisa mengatur waktu secara lebih fleksibel. Karena ketika mahasiswa mengasilkan sesuatu itu artinya mereka sudah berkontribusi untuk bangsa.
ReplyDeleteIdealisme itu masih bisa diterapkan kok selepas kuliah nanti. Walaupun ya dengan beragam resiko. Yang jelas kalau "tidak menyerah", idealisme senantiasa bisa dipertahankan. Kalau pun dirasa tidak bisa menghidupi diri dengan idealisme itu, maka kurangi sedikit kadarnya. Kata teman saya, hidup itu hanya teknik berkompromi dengan lingkungan sekitar.
Sebuah pandangan yg menarik ttg pergerakan pemuda yg semakin mengkhawatirkan akhir2 ini :)
ReplyDeleteSepakat dengan pernyataan ini: "Ketiga lini ini harus bergerak sinergis untuk mewujudkan cita-cita bersama." Heran ketika melihat ketiga kelompok justru merasa ada persaingan di antaranya.
ReplyDelete