What friend do you choose to through the times to stop and think? |
Sudah lama ingin
menuliskan tentang ini sejak 9 April 2015, tanggal dirilisnya film bertajuk
Filosofi Kopi di seluruh bioskop di Indonesia, walau pada kenyataannya di hari
itu baru satu bioskop yang memutarkannya di Solo.
Karena saya bukan
kritikus film, jadi saya hanya akan menuliskan sedikit tentang film ini. Apa
yang bisa saya bilang tentang film ini mungkin, punya sinematografi yang bagus
dan beda dari yang lain, kreatif tentang bagaimana kopi dijadikan latar belakang
cerita, dikaitkan dengan sumber masalah dan penyelesaian masalahnya. Nice acting dari dua tokoh utamanya, di
luar fakor ketampanan ke duanya, tapi saya cukup amazed dengan kemampuan ke duanya beradu akting, walau saya juga
masih menyayangkan kehadiran tokoh perempuan sebagai pihak ketiga yang menurut
saya kurang maksimal. Filosofi kopi memanjakan mata saya dengan sinematografinya
yang cukup baik, walau di awal sempat “goyang” dan saya tidak paham apa itu
memang suatu kesengajaan atau memang kesalahan, dengan pengambilan gambar
proses pembuatan kopi dari yang tradisional hingga yang sangat shopisticated. Nilai yang ingin
disampaikan juga berhasil sampai ke otak saya, dan membuat saya berpikir
tentang sebuah pijakan di antara sisi realisme dan idealisme saya sepanjang
jalan pulang setelah menonton. Saya menghadiahkan 4 bintang untuk Filosofi Kopi
untuk itu semua.
Kopi Indonesia dalam Angka
Sejak pertengahan tahun
2014 saya mulai merasa kopi perlahan menjadi sebuah tren di kalangan anak muda.
Hal ini dilihat dari mulai meningkatnya varian kopi instan maupun kopi siap
minum yang hadir di tengah masyarakat dan memang ditargetkan untuk anak muda. Dilanjutkan
dengan promosi film Filosofi Kopi yang dimulai di awal-awal tahun 2015, dan
terus berlanjut hingga saat ini, seiring dengan dirilisnya film tersebut di
bioskop-bioskop Indonesia.
Ini bisa jadi baik,
peningkatan minat terhadap kopi oleh kalangan muda-mudi bisa berdampak baik terhadap
para petani kopi. Salah satu target pertanian kopi di tahun 2014 kemarin adalah
dengan meningkatkan produksi dan ekspor kopi ke mancanegara. Produksi kopi di Indonesia
ditargetkan meningkat 2,9% dibandingkan tahun 2013, atau sebanyak 711.000 ton
biji kopi, target tersebut diharapkan mampu melampaui hasil produksi
sebelumnya, yakni 691.000 ton. Sementara itu, Indonesia sebagai negara produsen
kopi tebesar ketiga di dunia ditargetkan meningkatkan hasil ekspor kopinya
hingga ke angka 575.000 ton di tahun 2014 dibandingkan di tahun sebelumnya yang
baru mencapai 540.000 ton. Namun pada kenyataannya, Hutama Sugandhi selaku
Ketua Gabungan Eksportir Kopi Indonesia (GAEKI) menyatakan bahwa ekspor kopi
secara nasional turun 20% hingga 25%. Hal tersebut disebabkan oleh anomali
cuaca di Indonesia yang cukup memukul angka produksi juga turun sebesar
20%-25%. Adanya cuaca kemarau panjang di Brasil menjadi peluang
tersendiri untuk Indonesia untuk kemudian mengejar ketinggalan untuk setidaknya
ada di angka normal seperti pada tahun 2013 di tahun ini.
Hal lain yang juga
disayangkan dari pertanian kopi di Indonesia adalah kopi yang diproduksi di
Indonesia masih sekitar 85 persennya adalah kopi robusta, sementara kebutuhan
kopi di dunia 60 persennya adalah kopi arabika. Infrastruktur masih menjadi
salah satu alasan mengapa kemudian penggenjotan pertanian kopi arabika di
Indonesia masih lesu. Sementara untuk lahan sendiri, Indonesia masih memiliki
banyak lahan untuk ditanami kopi jenis arabika, target pemerintah sendiri pada
tahun 2014 adalah dengan mengekstensifikasi lahan hingga 2.000 hektare untuk
penanaman kopi jenis arabika.
Indonesia telah memiliki
peringkat yang cukup memuaskan sebagai negara penghasil kopi terbanyak di
dunia, bersaing dengan Vietnam diurutan kedua dan Brazil di urutan pertama. Selain
pengembangan infrastruktur demi kemudahan penanaman kopi di Indonesia, sudah
semestinya pemerintah juga mensejahterakan kehidupan para petaninya. Salah satu
caranya adalah dengan memberikan penyuluhan atau sosialisasi terkait penanaman
kopi yang baik agar menghasilkan kopi yang berkualitas, karena kopi yang berkualitas
tentu akan meningkatkan harga jual dari kopi itu sendiri dan akan berimbas pada
kehidupan petani. Tentu kita tidak ingin, kejadian yang terjadi pada tahun
90-an terulang lagi di mana, pasar dunia dipenuhi kopi-kopi yang berkualitas
rendah sehingga harga kopi pun merosot jauh.
Di sisi lain, sedih
rasanya saat harus membaca cerita-cerita tentang petani kopi di negeri ini. Bagaimana
tidak? Kopi, salah satu komoditas yang membawa Indonesia bertengger di posisi
nomor 3 sebagai negara dengan produksi kopi terbanyak justru harus mendapati
petani kopinya merasa, tidak imbang antara apa yang mereka dapat (dalam hal ini
uang) dengan hasil produksi dan lahan yang mereka miliki. Pembenahan mutu dan
kualitas kopi lokal sudah seharusnya menjadi salah satu fokus pemerintah maupun
pemodal-pemodal dalam semangat untuk mensejahterakan hidup petani kopi di
Indonesia.
Tren Dahulu dan Tren Kini
Tentu masih hangat dalam
ingatan kita di tahun 2012 lalu juga dirilis film yang meledak di kalangan
muda-mudi, kaya akan nilai persahabatan dan filosofi. 5 Cm, sebuah film yang
juga diadaptasi dari novel best seller karya Dhonny Dhirgantoro, tidak hanya
meledak di bioskop-bioskop di Indonesia, film ini juga melahirkan suatu tren
atau gaya hidup baru di kalangan muda-mudi, naik gunung. Setelah sebelumnya
mungkin tren naik gunung ini baru ada di kalangan anak-anak Pecinta Alam
setelah dipopulerkan oleh Soe Hok Gie, aktivis pergerakan mahasiswa yang juga
anak Pecinta Alam. Setelah film itu keluar, gunung-gunung di Indonesia pun
menjadi sangat populer di kalangan muda-mudi, hingga pada akhirnya sampailah
kita ke titik di mana tidak hanya yang manusia yang sampai ke puncak gunung,
tapi juga sampahnya. Tidak hanya sampai di situ, kasus kebakaran di Kawasan
Hutan Lindung Gunung Lawu pun terbakar di tahun 2014, hal tersebut dikarenakan
ada salah satu pendaki yang lupa mematikan api unggun di kawasan tersebut, kelalaian
ini cukup disorot (dan dikutuk) tidak hanya oleh para pecinta alam yang sering
mendaki gunung, tetapi juga dari para pemerhati lingkungan. Inikah salah satu
akibat dari “mengikuti tren” tanpa adanya rasa cinta dan tanggung jawab?
Lalu apa hubungannya
dengan filosofi kopi dan kopi? Kopi sendiri belum jelas apakah memang tradisi
dari Indonesia atau bukan. Bahkan orang Gayo pun pertama kali menanam kopi
sebagai tanaman pagar dan hanya mengonsumsi daunnya untuk dijadikan teh, baru
setelah orang-orang Belanda datang ke Gayo, mereka mengonsumsi buah kopinya,
itu pun tidak menjadikan kopi sebagai tanaman satu-satunya yang mereka tanam,
kopi masih dijadikan tanaman sampingan. Beda lagi dengan Italia, bolehkan saya
bilang ini negara asal Kakek Buyut Kopi? Di mana pagi mereka meminum kopi,
mengobrol memesan kopi, pulang kantor juga ngopi.
Lalu tiba-tiba entah tren yang bermula dari mana, apakah tren ini ada sebelum
film ini rilis ataupun sebaliknya, yang jelas menurut saya, adanya film
Filosofi Kopi bisa saja menguatkan budaya ngopi di kalangan muda-mudi.
Pertama kali saya mencoba
kopi saat saya masih kelas 5 SD, saat itu saya menyeruput kopi yang dibuat
Bapak saya, dan saat itu juga saya dimarahi, karena katanya, saya masih kecil.
Tapi lambat laun, saat saya menginjak kelas 8 SMP, Bapak malah menjadi teman ngopi saya saat sedang menonton
pertandingan Liverpool FC. Sampai saat ini saya juga masih mngonsumsi kopi,
saya mengonsumsi kopi dengan menyesuaikan mood
dan jam, itu artinya saya juga masih suka kok minum teh, karena seringkali beberapa teman saya bilang “Jangan
ngopi terus lah...”. Di sini, saya belum melihat bahwa ngopi adalah sebuah
budaya di tempat saya tinggal, entah itu di Jakarta, di Yogyakarta atau di
Surakarta. Beda cerita saat kita bilang Wedangan.
Wedang sendiri berarti minuman dalam
bahasa jawa. Aktivitas yang dilakukan saat wedangan
bisa berupa mengobrol, makan makanan kecil atau minum. Namun aktivitas minum
minuman saat Wedangan pun tidak hanya
dibatasi dengan meminum kopi saja, toh di lapangan banyak juga yang meminum Teh
Hangat, Jahe Hangat, Susu Jahe, bahkan Es Teh pun masih dibilang sedang Wedangan.
Poin yang saya soroti
selanjutnya adalah bagaimana penggambaran Kafe Filosofi Kopi di bilangan
Melawai seperti pada cerita. Secara implisit, film tersebut memberikan apa yang
kemudian diinginkan anak muda untuk menjadi teman
ngopi. Seperti, adanya Pendingin ruangan dan Wifi Hotspot sebagai instrumen
pendukung saat muda-mudi sedang ngopi.
Ditambah lagi dengan desain interior kafe yang tidak bisa saya pungkiri terlihat
nyaman. Apakah Filosofi Kopi mencoba memberikan standar ngopi dengan nyaman
lewat film ini? Hanya sutradaranya yang tahu.
Lalu apa yang terjadi
jika kopi tidak dihidangkan dalam ruangan-ruangan ber-AC dan ber-wifi? Apa yang
terjadi jika kopi dihidangkan secara sederhana di pinggir jalan, di bawah
terpal dengan cahaya yang berasal dari lilin dan lampu petromaks? Jika tidak
didampingi oleh croissant atau sandwich, tetapi satu dua bungkus kacang goreng?
Akankah kemudian kopi masih menjadi tren di kalangan muda-mudi?
Berfilosofi dengan Kopi
Sederhanakah dia seperti kelihatannya?Kopi Tubruk itu sederhana, tapi sangat memikat kalau kita mengenalnya lebih dalam.−Ben (dalam Filosofi Kopi) |
Kalimat di atas adalah
salah satu filosofi Kopi Tubruk yang diungkapkan Ben dalam salah satu scene di Filosofi Kopi. Namun begitukah?
Setujukah anda? Saya sendiri sejujurnya memikirkan hal lain. Bagaimana jika
Kopi Tubruk adalah ungkapan idealisme akan kemurnian seseorang. Saking
murninya, iya hanya ingin kopi tanpa sentuhan apapun, karena menganggap itu
akan mengubah cita rasa asli dari kopi. Karena menurutnya, kesempurnaan itu
adalah saat dia menemukan sesuatu yang asli tanpa banyak polesan atau topping, apakah idealisme yang
sedemikian itu mengungkapkan sebuah kesederhanaan? Atau justru menggambarkan
keegoisan?
Kopi dan filosofi, saya
tidak terlalu memusingkan soal ini, toh memang tidak ada pakemnya sama sekali.
Seperti halnya, Ben(atau Dee sebagai pencipta karakter Ben) bisa mengatakan
demikian, tapi saya justru berkata lain. Hampir setiap saya menulis, paling
tidak selalu ada secangkir kopi yang menemani saya, tapi sudah dua hari
menulis, saya tidak ditemani satu gelas pun. Setelah sekian lama, saya percaya
bahwa kopi adalah sumber inspirasi untuk menulis. Sepertinya kegelisahan
tentang bagaimana orang akan mencintai kopi setelah menonton film atau
mengikuti budaya pop yang berkembang lebih besar daripada menulis sambil
menyesap kopi−sebagai sumber
inspirasi, yang saya buat seperti yang saya lakukan dahulu.
Toh pada akhirnya, kita
dibawa kopi dari awal yang belum tentu sama, ke pengalaman-pengalaman yang
berbeda, dan akhir perjalanan yang entah akan seperti apa. Namun, akan sangat
disayangkan jika kemudian minum kopi hanya bagian dari pop culture belaka. Sementara negara sendiri masuk ke jajaran
produsen kopi terbesar di dunia. Saya tidak meminta semua orang untuk kemudian
mengonsumsi kopi sih, toh Mama saya pun sudah divonis tidak bisa mengonsumsi
kopi sedikit pun. Tapi, saya lebih ingin menghindarkan ngopi menjadi bagian dari budaya pop, karena jika iya, maka akan
mudah juga perginya kopi dari benak dan standar rasa masyarakat.
Di luar fakta rasa suka
saya terhadap kopi, mungkin hanya ini yang bisa saya lakukan untuk mengapresiasi
karya petani di negeri yang kaya kopi ini. Semoga pertanian kopi Indonesia semakin
menjadi yang terdepan, dan mampu melampaui Brasil yang sudah menguasai 45%
perdagangan kopi di dunia, dan pertanian kopi mampu menyejahterakan petani kopi
di penjuru negeri.
Selamat Ngopi!
Sumber :
No comments:
Post a Comment