Foto ini diambil di rumah salah satu narasumber saat sedang melakukan liputan untuk salah satu program acara di UNS Tv |
Salah satu kata-kata
mutiara atau berlian atau perhiasan indah lainnya yang hari ini saya baca
berbunyi, “Jangan sampai Ramadhan pergi tanpa meninggalkan bekas.”
Hari ini sudah menginjak malam
ke 25 Ramadhan di tahun 1436 Hijriah. Jika kita ingin menghitung nikmat yang
Allah beri, tentu akan kurang seluruh satuan angka yang ada di bumi, jika kita
ingin menuliskannya, bisa gundul semua pohon yang ada di bumi karena kertas
yang dibutuhkan akan sangat banyak sekali, jika kita ingin membicarakan seluruh
nikmatNya, bisa mati kelelahan kita, karena tidak akan pernah ada hentinya berucap.
Allahu Akbar.
Sering saya mengatakan
sangat istimewa dan misterius bagaimana cara Allah mengajarkan umatNya,
termasuk dalam pos kali ini. Segala puji bagi Allah, yang telah membukakan
kesempatan-kesempatan yang tak terduga untuk saya di bulan Ramadhan. Setelah
selama 1 semester saya “dianggurin” baik di jurusan saya yang entah kenapa
kelewat santai, atau di organisasi saya yang bisa dibilang sedang vakum, bulan
Ramadhan ini justru menjadi titik di mana saya bisa merasa lelah lagi. Allah
maha baik yang telah mengabulkan doa saya, “Ya, Allah, Anin mau capek lagi
kayak dulu.”
Orang lain meminta untuk
tidak merasa lelah, dan saya berdoa sebaliknya? Tidak, ini bukan karena ada
yang salah dengan otak saya. Saya secara sadar dan meminta itu kepadaNya.
Kenapa?
Singkat cerita, saya
tidak(merasa)memiliki kesibukan apapun, saat bahkan saya tidak merasa lelah,
merasa terhimpit dengan waktu, saya merasa diri saya menjadi lebih santai dan
kurang termotivasi. Tidak hanya dalam hal melakukan tugas-tugas baik kuliah
maupun tugas-tugas di organisasi, termasuk juga dalam hal ibadah.
Astagfirullah. Iya, kemarin saya sempat merasa seperti itu, kenapa? Karena saya
merasa masih banyak waktu untuk melakukannya, perilaku buruk seperti
menunda-nunda pekerjaan pun akhirnya menjadi suatu hal yang sering saya
lakukan. Tapi, di tengah rutinitas yang seperti itu, saya rindu merasa lelah. Saya
rindu terus berpindah dari satu sekre ke sekre lainnya, rapat satu ke rapat
lainnya, buku satu ke buku lainnya. Saya juga rindu tekanan untuk bisa
mendisiplinkan diri saya dengan membagi 24 jam waktu yang saya miliki, dan
menyeimbangkannya antara urusan akhirat dan dunia. Saya juga rindu segarnya air
wudhu saat membasahi wajah saya di tengah segala kesibukkan yang ada, di mana
ibadah menjadi sebuah oase di padang kehidupan, karena saat itu, ibadah wajib
terasa hanya seperti ritual, atau tilawah menjadi sebuah momen di mana saya
bisa benar-benar kabur dari dunia, tapi saat itu, justru hanya terasa seperti
mengejar targetan semata. Oh, jadi ini namanya futur. Saya benar-benar rindu merasa Lelah untuk Lillah. Lalu suatu hari, kakak saya mengatakan, “Memang
amanah itu bisa menjaga kita.” Kata-kata yang terus terngiang hingga hari ini
saya mengetikkan pos ini, dan membuat saya pada saat itu berspekulasi untuk
pulang menjelang akhir bulan Ramadhan agar saya bisa beraktivitas di kampus. Pede betul saya kala itu, yang pengangguran, dan berharap punya kerjaan saat Ramadhan di kampus setelah
satu semester bisa dibilang “vakum”.
Allah Maha Baik, Dia menjawab
doa saya, dengan memberikan saya beberapa amanah yang harus saya selesaikan
selama bulan Ramadhan di kota rantau. Tidur selama 2 jam karena harus
mengerjakan beberapa deadline dan juga targetan Ramadhan dalam satu hari terasa
ringan. Sangat berbeda dengan 11 bulan lainnya di mana waktu-waktu karena harus
mengerjakan tugas sampai pagi dan hanya punya kesempatan untuk tidur selama 2 jam
membuat saya mengeluh dan uring-uringan
seharian. Dengan memaksimalkan waktu yang ada untuk ibadah dan beraktivitas
seperti biasa, walau waktu terlihat pendek akan terasa panjang dan cukup, dan
yang paling penting dengan meniatkan segalanya hanya untuk Allah. In shaa
Allah, waktu kita akan semakin berkah di bulan Ramadhan ini.
And one thing that I take from all of these things, when we make time, I meant, we do really make time for Allah, not just spare our time, Allah will broaden the time that we had, and in that moment, we will feel nothing but grateful and blessed, besides, what are we looking for in a life full of misery aside of His blessings?
Layaknya bunga, Ramadhan
seperti bunga yang mulai mekar, dan mati begitu saja sesaat kita akan
memetiknya. Pastikan wanginya masih semerbak menempel di badan kita dan
bertahan terus hingga kita diberi kesempatan untuk melihat bunga serupa di
tahun setelahnya oleh Dia Si Pemilik Taman.
Salam bahagia,
Hmmm. Kemaren sempet denger ceramah di mana gitu. Usahain endingnya baik. Duh, gue lupa kata-katanya, yang jelas, ending itu paling penting. Mudah-mudahan aja di akhir ramadan dapet berkah. \(w)/
ReplyDeleteAamiin :))
Delete