Menunggu Kereta di stasiun Tanah Abang |
Akhirnya kita tiba di masa di
mana buku catatan, digital atau bukan, terasa lebih baik dari pada indera
pendengaran. Karena setiap rasa yang diubah menjadi satu kata saja, dapat
dihujani ribuan penghakiman. Dan detik ini menulis rasanya terasa lebih menenangkan
daripada harus mempertukarkan buah pikir. Hari ini setiap topik rasanya sangat
rawan memancing adu pelipis. Tapi, saya menulis hari ini sebagai bentuk
kerinduan saya untuk duduk tenang, berbagi cerita, berbagi keresahan, berbagi
segala jenis kegundahan ataupun idealisme saya yang sering bertabrakan dengan
realita di lapangan, ditemani segelas coklat panas –bagian ini sungguh
terdengar seperti novel picisan, padahal realitanya paling ditemani dengan es
teh atau paling banter es kampul,
hanya dengan dia –laptop saya.
21 April kemarin segenap
masyarakat Indonesia yang budiman terkhusus para perempuannya tengah
memperingati Hari Kartini. Seorang tokoh emansipasi yang berani mendobrak
budaya patriarki yang sangat kental di lingkungan budaya Jawa pada masa itu.
Beliau menuntut untuk adanya kesetaraan antara perempuan dan laki-laki,
sehingga perempuan juga dapat mengecap manisnya pendidikan layaknya laki-laki.
Menurut Ibu, pendidikan dan tercukupinya pelajaran untuk kaum perempuan pada
masa itu akan membawa kesejahteraan, bahkan tidak hanya untuk kaum perempuan
itu sendiri. Ibu Kartini berharap agar kaum perempuan dapat dididik baik,
bahkan untuk pendidikan mengenai kebutuhannya sendiri. Kesetaraan untuk
menerima hak pendidikan bagi kaum perempuan ini menjadi sebuah trigger yang wajib kita ingat sepanjang
masa Indonesia merdeka karena beliau menjadi salah satu pelopor untuk hak
istimewa ini.
Semangat emansipasi ini
sesungguhnya betul adanya. Imam Syafi’I sendiri yang hidup jauh sebelum Ibu
Kartini menulis surat-suratnya untuk Ny. Van Kool pernah mengatakan “lebih baik
merasakan pahitnya pendidikan daripada harus mengecap perihnya kebodohan.” Satu
kalimat tadi juga cukup menggambarkan bagaimana pendidikan itu sangat penting
tanpa memandang perbedaan gender di dalamnya. Hal tersebut menegaskan bahwa
pendidikan adalah suatu hal yang penting bagi setiap umat manusia tak
terkecuali wanita. Terlebih untuk wanita, bagaimanapun wanitalah yang akan
menjadi sekolah pertama bagi anak-anaknya.
Kesetaraan vs Persamaan
Ide besar yang digagas oleh
Kartini, di mana perempuan dan laki-laki memiliki hak yang sama dalam mengecap
manisnya pendidikan. Hal tersebut merupakan salah satu bentuk kesetaraan itu
mulai dijalankan. Saya sejauh ini memaknai kesetaraan dengan menempatkan suatu
hal pada porsinya masing-masing secara pas, tidak kurang dan tidak lebih.
Karena setara berarti adil. Adil berarti tidak berat sebelah. Apanya yang tidak
berat sebelah? Hak dan kewajibannya sebagai wanita. Namun seiring dengan
berjalannya waktu, semangat emansipasi yang selama ini terus diestafetkan dari
generasi ke generasi oleh para perempuan justru bergeser maknanya ke arah isu
persamaan. Padahal, Kartini dulu berupaya untuk memperjuangkan hak dalam
mengenyam pendidikan yang setara dengan laki-laki bukan status yang setara
dengan laki-laki, di mana perempuan dan laki-laki dianggap sama, baik dari
kewajiban maupun haknya. Padahal, mau dilihat dari sudut pandang manapun
laki-laki dan perempuan sudah berbeda. Bukan hanya dilihat dari sisi biologisnya
saja, tetapi juga tanggung jawab yang dibawa oleh keduanya. Karena pada
hakikatnya laki-laki dan perempuan memiliki peran sosial masing-masing yang
diemban di pundaknya. Tuhan pasti punya maksud kenapa kemudian Dia menciptakan
dua makhluk yang berbeda, hal tersebut karena baik perempuan dan laki-laki
memang dimaksudkan untuk saling melengkapi. Jika terus menerus disamakan,
mengapa kemudian Tuhan tidak ciptakan saja satu homogenitas agar sama antara
hak, kewajiban maupun peran sosialnya di masyarakat.
Saya ingat bagaimana beberapa
waktu yang lalu membuat sebuah Essai tentang perkembangan film-film Princess
Disney yang setiap peluncurannya ternyata mengundang banyak protes dari kaum
femine. Mereka menuntut Disney untuk menampilkan tokoh-tokoh putri yang tidak
didominasi oleh laki-laki, atau tidak berkaitan dengan pekerjaan-pekerjaan
domestik sampai puncaknya di mana putri-putri ini akhirnya menjadi role model pemimpin di atas laki-laki.
Yang cukup menarik sekaligus mengusik saya adalah bagian adanya pandangan
tentang penempatan perempuan dalam pekerjaan domestik di sini dianggap sebagai
sebuah langkah untuk merendahkan harkat dan martabat perempuan, karena
sejatinya mereka percaya bahwa perempuan juga punya kesempatan yang sama untuk
bekerja di luar rumah layaknya laki-laki. Akhirnya muncul figur-figur kartun
seperti Mulan yang menyelamatkan pangeran, Pocahontas yang memilih jalan
hidupnya sendiri, Merida yang memilih untuk tidak menikah, Rapunzel yang
menyelamatkan Finn, atau Elsa yang menjadi pemimpin di kerajaannya.
Berkat pergeseran interpretasi
akan emansipasi pula akhirnya framing media menjadi bergeser ke titik di mana
Kartini masa kini merupakan perempuan-perempuan yang saat ini bekerja di ranah
pekerjaan yang pada umumnya dikerjakan oleh laki-laki.
Untuk saya, kesetaraan itu bukan
berarti menempatkan perempuan dan laki-laki pada pos ataupun level yang sama.
Kalimat saya sebelumnya seakan menggambarkan kalua saya tidak menyetujui
perempuan juga bisa, sungguh pembaca yang budiman, saya pun perempuan, saya
percaya akan #GirlPower, percaya bahwa jadi perempuan di zaman millennial
seperti ini tidak boleh lembek, harus tahan banting, jangan terlalu “baperan”
dan jangan malu untuk menunjukkan kemampuan kita. Because we can! But then
again, hak yang terus dituntut tanpa adanya pelunasan kewajiban juga sama
dengan naif.
Masalah lainnya media saat ini
terlalu sering mengaburkan fakta yang sebenarnya. Wanita yang bekerja di
sektor-sektor di mana lazimnya laki-lakilah yang bekerja di pos tersebut
dianggap sebagai Kartini baru karena dianggap sebagai pendobrak stereotip. Tapi
untuk saya yang sering melihat kuli bangunan wanita yang ikut mengeruk semen
atau mengangkut batu bata, bercampur dengan kuli laki-laki lainnya di Solo
ataupun di Jogja, hal tersebut menjadi hal yang biasa jika dilihat oleh
masyarakat, because they got no other way,
namun saat kemudian hal tersebut sampai ke media, dan mendapat framing lagi
sebagai seorang Kartini di zaman millennial ini, saya jadi berpikir ulang,
benarkah hal tersebut termasuk dalam semangat Kartini? Atau media hanya sedang
mencoba me-maskulinisasi tokoh-tokoh perempuan ini lalu memberikannya wajah
baru yaitu “emansipasi” yang kemudian dimanfaatkan oleh kaum feminis. Hal
tersebut pernah mendorong saya untuk bertanya kepada salah satu ibu yang
bekerja sebagai kuli bangunan di jam makan siangnya. Kebetulan waktu itu
sekolah saya yang lagi punya hajat bangun saluran air. Apakah si ibu melakukan
pekerjaan ini karena memang panggilan hati sebagai seorang kartini atau mungkin
ada alasan lain? Nope. Turns out, they
prefer something they can do in the house, something that can be done while
they could take care of their children. Berbeda dengan Kartini yang dengan
secara sadar melakukan perubahan karena memang dia menginginkan itu, dan hal
tersebut tertanam di pola pikirnya. It
was like, she would keep doing it even if it hurts her, until she could reach
what she dreamed about. Berbeda dengan Ibu yang saya ajak bicara, yang
menyatakan bahwa dia akan berhenti saat kemudian keadaannya sudah membaik
karena basically she didn’t want it, she
didn’t do it for equality, she do it for the sake of financial.
Perjuangannya untuk membantu suaminya ini yang justru menggambarkan betapa
besar nilai afeksi yang beliau miliki untuk keluarganya. Beliau menyadari
dirinya sebagai support system bagi
suaminya, bukan untuk menyamakan level dengan suaminya. Pernah dengar kata-kata
“she’s gotta do, what she’s gotta do”
kan? Kurang lebih, itulah yang dilakukan Ibu ini.
So, being Kartini here, is not
only about having thing that people might see you break the stereotype, it’s
about the thought you have about things you really want to do or you really
want to give or bring to people surround you. Dengan segala jenis
propaganda tentang “Menjadi Kartini Millenial” yang identik dengan menjadi
wanita karier or simply do your passion,
apakah juga mengakomodir keinginan Ibu Kuli Bangunan ini yang ingin di rumah
saja, mengurus anak dan menaruh baktinya kepada suami? Apakah betul pekerjaan
di ranah domestik ini benar-benar menurunkan derajat perempuan? Padahal
pekerjaan domestik yang selama ini dianggap sebagai pekerjaan yang merendahkan
perempuan dapat menjadi ladang untuk membangun generasi-generasi dengan
semangat Kartini selanjutnya. Walau kegiatan didik-mendidik anak bukan hanya
kewajiban ibunya saja, atau bapaknya saja. Tapi, saya percaya, ada pos-pos
dalam kegiatan mendidik di mana hanya ibu yang bisa berikan. And that’s just the thing, femine can’t
change when they ask her husband to just stay at home and take care of their
babies.
Antara Passion dan Kodrat
Memang makin ke sini, makin
terasa blunder. Kalau sudah begini, mulai terasa kabur juga di mana kesalahan
bisa ditemukan, di mara rantai yang selama ini berjalan. Masalahnya adalah saat
jargon kebanggaan “Chase your Dream”
atau “Do it with passion” ini tidak
diimbangi dengan kebutuhan perempuan akan informasi tentang urgensi keberadaan
mereka untuk berada di rumah. Jargon-jargon tadi seringkali kemudian membuat
posisi Ibu rumah Tangga menjadi hal yang dianaktirikan di sini. Sehingga tidak
heran jika semakin sulit menemukan perempuan yang mengatakan cita-citanya
adalah sebagai ibu rumah tangga. Terang saja, selama ini menjadi ibu rumah
tangga dianggap sebagai akhir dari karier, akhir dari masa-masa berkarya,
ataupun pintu gerbang ketidak produktifan.
Dengan pernyataan-pernyataan saya
sebelumnya, bukan berarti kemudian saya tidak setuju dengan para
perempuan-perempuan yang tetap mengejar passionnya. Saya setuju dengan
pernyataan tersebut. Toh perempuan juga merupakan makhluk sosial yang tetap
butuh sarana bersosialisasi dan juga aktualisasi diri. Dan mengejar mimpinya
adalah salah satu cara yang paling efektif. Namun yang perlu diingat adalah
bagaimana menjadi Ibu rumah tangga bukan hanya dipikir berdasarkan pekerjaan domestik
saja yang akan diurus oleh Ibu. Karena di dalam rumah, ayah boleh yang memegang
kendali akan kapal, tapi Ibu lah yang akan mendidik generasi selanjutnya agar
dapat menjadi awak kapal yang tangguh dan kuat. Kita semua sepakat bukan anak
yang punya akhlak yang mulia lahir dari keluarga khususnya ibu yang juga
memiliki sikap yang sama pula, dan jangan seharfiah itu menelannya, akhlak ini
lahir dibentuk dari bagaimana lingkungan si anak, bukan lahir secara harfiah
dari Rahim saja. Walaupun jika ditelisik lagi sebenarnya pendidikan bagi anak
sudah dimulai sejak anak-anak masih berupa janin di dalam rahim perempuan.
Emansipasi Kartini (Millenial)
Tentu kita semua sudah sadar,
bahwa untuk memaknai hari Kartini bukan hanya lewat kebaya atau sanggul yang
kita gunakan, bukan pula dengan mengagungkan wanita-wanita yang bekerja di
ranah maskulin saja sebagai pendobrak stereotype ataupun sebagai pejuang
emansipasi di masa millennial ini, tetapi dengan mengembalikan makna dari
kesetaraan hak maupun kewajiban antara perempuan dan laki-laki itu sendiri,
tanpa mencederai pihak manapun. Memaknai hari Kartini berarti mengembalikan
wanita kepada porsinya, menjadikannya pribadi yang adil bahkan sejak dalam
pikiran dalam menunaikan hak dan kewajiban, namun tetap mendorongnya untuk
mengejar mimpi, memberinya asupan otak maupun ruhiyah yang terbaik sebagai
bekal untuk melahirkan generasi-generasi terbaik di masa yang akan datang. Lagi
pula, tidak mau juga kan kita sebagai wanita, lebih pintar menggambar alis
daripada burung camar yang terbang di pantai di buku gambar anak kita kelak?
No comments:
Post a Comment