Kapan terakhir saya
menulis? Barusan? Ya barusan. Menulis di kolom “What’s Happening?” di Jejaring
Sosial Twitter. Tapi, kapan terakhir saya menulis di blog ini? Lihat saja
debunya sudah di mana-mana. Tidak lihat? Sama, sebenarnya saya juga tidak bisa
melihatnya.
Baru kemarin, saya datang
ke acara organisasi tempat saya berkecimpung di dalamnya. Acara yang diadakan
selepas Adzan Isya’ itu bertajuk “Malam Cerita Solid Berkarya”. Acara yang di
dalamnya ada peluncuran perdana logo kabinet beserta masing-masing
kementriannya, video profil, pemaparan program kerja dan dengan acara puncak,
Mengadili BEM. Sangar ya? Tentu saja, bagaimana tidak? Di acara tersebut
mahasiswa diberi keleluasaan untuk menghakimi, memberikan kritik maupun saran
mengenai 100 hari kepengurusan BEM setelah 100 hari bekerja sebagai pelayan
Mahasiswa dan masyarakat.
Romantisme dan kehangatan
menyambut siapa saja yang hadir malam itu dengan nyala lilin yang berpendar di
sisi-sisi jalan menuju teras Porsima. Indah sekali, sampai-sampai saya berpikir
nanti saat saya menikah salah satu satu hiasannya harus ada banyak lilin−hush mulai ngelantur. Sampai acara berlangsung pun
tetap diikuti dengan tamu undangan yang terlihat excited dengan rangkaian acara yang kami berikan. Melihat mereka
menikmati acaranya, tanpa terasa telah memunculkan senyum di wajah saya. Memang
benar, bahagia itu sederhana.
Acara ditutup dengan
refleksi untuk staf BEM, tentang segala kekurangan-kekurangan yang masih ada,
juga semangat dan doa untuk melihat squad kami yang akan lebih solid lagi kedepannya
dan menjadikan kampus tercinta juga Indonesia lebih baik lagi.
“Yang putri naik ke atas,
kita tidur di Aula!” Seru salah seorang penanggung jawab memberi instruksi.
Tanpa saya sadari, ternyata malam itu diinstruksikan bagi setiap putri untuk
menginap di Porsima. Respon saya saat itu? Panik. Bagaimana tidak? Saya tidak
mengetahui adanya informasi untuk menginap malam itu juga.
Berbagi Peran
Akhirnya saya berusaha
untuk bernegosiasi dengan panitia dan penanggung jawab lainnya untuk izin tidak
menginap malam itu. Bukan karena tidak nyaman, tetapi karena saya memang hanya
izin sampai pukul 22.00 WIB dengan Si Mbah di rumah. Selain itu, saya merasa
memiliki tanggung jawab untuk berbagi peran.
Berbagi peran sebagai
mahasiswa, sebagai staf di sebuah organisasi juga sebagai cucu yang baik. Saya
sadar betul, dalam 24jam, hanya beberapa persen yang dapat saya habiskan
bersama keluarga di rumah. Itupun sudah dikurangi dengan waktu-waktu privat
seperti mandi, mengerjakan tugas dan tidur.
Jujur saja, saya bukan
orang yang banyak bicara di rumah dengan Si Mbah, namun, naluri orang tua
memang tidak pernah bisa ditutupi, saya melihat Si Mbah saya yang mudah sekali overthinking, menjadi lebih tenang saat
saya ada di rumah dibanding saat saya ada di luar. Posesif? Ya, mungkin bisa
dibilang begitu, tetapi saya rasa semua orang tua pasti menginginkan hal yang
sama, ingin lebih dekat dengan anak yang dulu sangat dekat dengannya saat anak-anak
mereka masih kecil seiring bertambahnya umur mereka.
“Pulang malam bahaya untuk perempuan”. Ya mungkin seperti itu. Setiap peraturan pasti
menjaga siapa saja yang diatur agar tidak terjerumus ke dalam suatu bahaya.
Namun, bagaimana jika kita meninggalkan seorang tua di rumah sendirian. Apakah
masih ingin anda meninggalkannya sendirian barang semalam kecuali jika ada yang
menemaninya? Saya pikir, anda akan berpikir dua kali untuk melakukannya. Itulah
salah satu alasan saya untuk selalu pulang ke rumah, selarut apapun urusan saya
di kampus, sebanyak apapun orang yang melarang saya pulang karena alasan
bahaya. Bagi saya, ada beberapa hal yang pantas untuk diperjuangkan, walau berisiko
tinggi, dan salah satu dari hal itu adalah keluarga. Niat saya baik, untuk itu saya
yakin, tangan Allah menjaga saya sepanjang jalan menuju rumah.
Saya pernah meninggalkan
rumah sangat lama. Saat saya terlalu sibuk dengan dunia luar, saya berpikir
keluarga saya akan baik-baik saja di rumah. Apasalahnya melakukan hal-hal baik
dengan teman-teman seorganisasi, se-komunitas, dan sedikit bersenang-senang
dengan mereka sampai pada akhirnya, saya dipanggil kembali ke rumah karena Ayah
harus pulang. Di sana saya sadar,
keluarga saya punya batas waktu yang hanya Allah tahu. Dan yang tidak saya
inginkan adalah, penyesalan seperti 4 tahun lalu, di mana saya sadar bahwa saya
tidak menggunakan waktu saya dengan baik dengan keluarga saat saya dan keluarga
sama-sama masih diberi waktu untuk berkumpul bersama di atap yang sama.
Segerakan pulang selagi
luang.
tetap semangat ya!
ReplyDeleteSaya juga merasakan hal seperti itu, waktu begitu penting untuk saat ini.
ReplyDeleteBerkumpul bersama keluarga adalah keindahan lain, yang dihadirkan di luar sana
Nice postingan, Nin.
Salam kenal :)
iyapp, setuju banget, kalo katanya The Script, "We never know good thing till it's gone" Jangan sampe kayak gitu deh hehe. Terimakasih sudah mampir :))
DeletePastinya! Terimakasih sudah mampir :))
ReplyDeletemereka adalah orang yang selalu ada disaat dunia bahkan menolak kita :')
ReplyDeleteiyap betul sekali, terima kasih sudah mampir :)
Delete