Buku catatan di tangan
telah dipenuhi dengan rangkaian kata tegak bersambung semaunya, di tengah malam
ini, sepertinya waktu juga telah mengizinkanku untuk menyambangi Ms. Word lagi
untuk sekedar cipika-cipiki berbagi
cerita tentang apa saja yang sudah aku lewatkan selama ini saat
meninggalkannya.
Sambil membersihkan
sarang laba-laba yang hinggap di pojok-pojok blog, aku berpikir tentang ke mana
saja aku pergi selama ini. Hingga akhirnya jurnal ini terbengkalai. Teman,
selama ini aku pergi ke tempat-tempat di mana amanah dititipkan di tangan ini,
kaki ini, mata ini, diri ini-lah.
Akhir-akhir ini aku baru merasakan yang namanya hidup sebagai sebuah kumpulan perpindahan.
Iya, kumpulan perpindahan. Karena di dalamnya kita tidak akan pernah bisa
tinggal di satu rumah, di satu tempat. Kita terus menerus melakukan perpindahan
untuk menjalani hidup itu sendiri, tak pernah berhenti. Proses yang ada membuat
kita terus berpindah, sampai proses itu dihentikan oleh Yang Punya Hidup itu
sendiri. Hidup pada akhirnya tentang bagaimana perpindahan-perpindahan itu
mampu membentuk pribadi kita saat ini. Saat seseorang menjadi baik, saat
seseorang menjadi jahat, jangan tanyakan apakah dia saat itu, tanyakan
bagaimana prosesnya dalam berpindah selama ini.
Tak perlu jauh-jauh
sampai harus pindah rumah, keluar dari zona nyaman. Karena, perpindahan bahkan
terjadi di dalam zona-zona nyaman kita sendiri. Sebagai contoh, cukup dengan
keberadaan kita di dalam sebuah kelompok-kelompok terdekat yang kita ikuti,
yang notabene memiliki karakter berbeda antara satu sama lain.
Saya ingat beberapa waktu
lalu saya mengikuti grand opening
sebuah program asistensi keagamaan, hampir semua orang dalam kegiatan tersebut sepakat
mengatakan bahwa tempat yang baik adalah tempat yang memang terkondisikan baik,
tempat di mana kita bersama mereka yang akan membersamai kita mewujudkan impian
kita bersama, masuk syurga(aamiin). Tetapi otak ini seakan punya antitesis
untuk pernyataan tersebut. Eh, tidak se-ekstrim kedengarannya, intinya otak ini
seperti ingin mengatakan sesuatu yang lain dari konsep itu. Suatu konsep yang
jika diungkapkan mungkin aku akan dipencelengi
seisi ruangan saat itu. Tetapi, selama hak untuk mengeluarkan pendapat
masih tercantum di Undang-Undang, akhirnya otak ini mendapatkan apa yang ia
mau, saat ini.
Kita semua setuju bukan
bahwa baik dan buruk adalah suatu hal yang sangat relatif. “Baik”, kata itu
memiliki kriterianya masing-masing di benak kita masing-masing. Orang baik adalah
orang yang tidak mencontek, orang yang baik adalah orang yang selalu menebar
senyum, orang yang baik adalah blablabla dan lain sebagainya. Lalu jika
dikaitkan dengan tempat yang baik, apakah tempat yang baik itu?
Tempat yang baik adalah tempat yang senantiasa membuat kita belajar−Anindya Roswita
Dunia yang kita tempati
ini, harus kita akui bahwa tidak semua orang yang menempatinya adalah orang-orang
yang baik. Karena kenyataannya orang yang(katanya) tidak baik pun banyak, ada
dinamikanya-lah. Sementara itu, dari
umur masih sebesar pithik(bukan
secara harfiah) dan ternyata sampai kita duduk di bangku kuliah, kita masih
terus diajarkan bahwa untuk belajar itu harus kepada orang-orang (yang menurut
masyarakat) baik, dengan segala kriteria yang ada. Nah ini salah satu poin yang
akan membuatku dipencelengi bahkan
sama ibu sendiri, bukan berarti kita harus terus berkumpul dengan orang-orang
yang baik untuk terus belajar. Karena toh, tanpa adanya nilai keburukan tentu
tidak ada nilai kebaikan. Nilai keburukkan ada sebagai pembanding sebagai
penyeimbang, seperti Ying dan Yang. Mereka yang kita pandang buruk, bukan
berarti tidak bisa dijadikan tempat tujuan untuk berpindah, siapa bilang dari
sana kita tidak bisa belajar? Siapa bilang belajar harus terus menerus dari sekumpulan
orang yang berada di dalam mushola atau kepada bapak ibu dosen di dalam kelas.
Sesungguhnya teman, belajar bisa dilakukan di mana saja, bahkan dari orang yang
terburuk sekalipun(walau saya yakin, tidak ada orang terburuk, karena Tuhan
telah menciptakan manusia dengan sebaik-baiknya bentuk). Kenapa tidak kita
belajar dari preman pasar? Dari mereka kita belajar mengapa mereka bisa menjadi
demikian, bagaimana untuk tidak ikut-ikutan, dan yang paling penting, bagaimana
caranya menanamkan nilai-nilai kebaikan pada sesuatu yang sudah diberi label
buruk oleh masyarakat. Tidak ada sesuatu pun yang mutlak di dunia ini,
setidaknya itu yang aku percayai. Tidak ada yang mutlak buruk, karena pasti
masih ada kebaikan dalam diri seseorang walau hanya setitik.
Saya pernah mendiskusikan
ini dengan Presiden BEM yang pada hari itu juga memberikan sepatah dua patah
kata untuk acara grand opening
asistensi tersebut. Beliau mengatakan, tentang anjuran untuk berkumpul dengan orang-orang
baik yang juga ada di kitab suci Al-Quran, juga menganalogikan tentang wangi
tubuh kita yang berkaitan langsung dengan kepada siapa kita berteman, apakah
tukang parfum atau tukang ikan?
Aku memiliki suatu
pandangan yang berbeda tentang hal ini, iya kalian boleh mencelengiku lagi. Menurutku, tentang bagaimana aroma tubuh kita
adalah soal persepsi. Ya, lagi-lagi soal persepsi. Baik dan buruk adalah soal judgement, relatif. Dan disukai atau
tidak, kita hidup berdasarkan judgement-judgement
yang diberikan orang-orang di sekitar kita. Hanya saja, judgement telah diartikan sebagi sesuatu yang berkonotasi negatif,
padahal saat seseorang memberikan pujian tentang kebaya yang kita pakai pun
juga merupakan bagian judgement yang
bersifat positif. Dan pada akhirnya, bukan soal bagaimana kita membuat tubuh
kita sewangi mungkin dengan berkawan dengan tukang parfum, tetapi bagaimana kita
bisa menyerap manfaat sebanyak-banyaknya dari tukang ikan juga tukang parfum.
Pada diskusi kala itu, aku menemukan kalimat
yang menjadi semangat untuk terus meelakukan apa yang aku kerjakan, untuk
bekerja sesuai dengan passion dan menyerap manfaat dari tempat-tempat aku
berpindah dan menebarkan inspirasi sebisa dan semampuku.
Jadilah seperti ikan, mereka bisa menyerap apa-apa saja yang mereka terima, mengambil sebanyak-banyaknya manfaat dan membuang setiap hal buruk yang ada pada suatu tempat−Siswandi
Pada akhirnya, apa-apa yang kita lakukan saat ini bukanlah untuk sebuah
jabatan, kekayaan, pangkat atau prestige yang mungkin akan didapat, melainkan
untuk mendapatkan ridho Allah. Setiap jalan hidup yang bersilangan dengan jalan
hidup yang kita tapakki saat ini pasti bagian dari rencanaNya, termasuk saat
ternyata kita harus berada di tempat yang kata orang merupakan tempat yang
tidak baik itu. Justru disitulah kita diuji keistiqomahan kita dalam mengemban
suatu amanah, suatu tanggung jawab. Apa yang aku yakini adalah, Allah tidak
akan menguji manusia yang ingin menjadi dermawan dengan kelimpahan harta, namun
dengan segala kekurangan.
Belajar bukan hanya saat kita menerima, tetapi juga saat kita memberi−Titis Sekti Wijayanti
Kadang orang lupa, karena mereka fokus
ingin menerima saja atau tahunya memang seperti itulah belajar. Padahal tidak,
saat kita memberi dan memberi kita ikut belajar tentang hal-hal sekitar tentang
pendapat-pendapat lain yang muncul saat kita sedang memberi, tentang bagaimana
kita harus tetap berpikiran terbuka dengan segala kemungkinan yang ada.
Aku menulis untuk berbagi, karena aku
rasa otakku akan overloaded saat
pikiran-pikiran macam ini tidak dituangkan. Aku tidak meminta teman-teman
lantas langsung berpendapat sama seperti apa yang aku pikirkan, toh setiap
orang memiliki ruangnya masing-masing. Aku hanya mencoba melihat suatu
keburukkan dari kacamata yang berbeda. Sebenarnya apa yang membuat beberapa orang
diberi label buruk? Apakah karena mereka berbeda dengan pribadi kita sendiri?
Apakah kita sudah cukup baik untuk mengatakan orang lain tidak baik?
Mari berproses J
Keren postingannya. Izin blogwalking ya. Mampir dong, di azizkerenbanget.blogspot.com. Banyak postingan yang keren, menarik, dan kece. Mampir ya, salam kenal :)
ReplyDelete