Hujan. Malam itu hujan gerimis mengguyur Kota Solo.
Dingin. Hangatnya Solo tak terasa, entah pergi ke mana.
Rapat. Kurapatkan lagi sweater
yang kupakai, memanjangkan lengannya hingga menutupi jemariku.
Tapi, di sini berbeda
dengan di luar.
Di mana ratusan orang
berdiri berhimpitan, memandang satu panggung yang bermandikan cahaya lampu
sorot berwarna-warni.
Ada yang berdiri, tertawa haha-hihi dengan sahabat sejawat.
Ada pula yang menikmati
romantisme konser kecil, bergandengan tangan walau tidak ingin menyebrang
dengan kekasih tercinta.
Ada lagi yang berdiri
sendirian di tengah keramaian, gegap gempita, suara riuh rendah, menikmati
setiap bait lirik yang dinyanyikan, menyelami dirinya
sendiri, bahagia sendirian.
Tak perlu tertawa atau menangis
Pada gunung dan laut
Karena gunung dan laut
Tak punya rasa
Bukan lagu pertama yang
dimulai malam itu. Bukan lagu yang dinyanyikan paling keras juga pada malam
itu. Bukan lagu yang paling terkenal juga saya rasa, mengingat single pertama
yang dikeluarkan adalah “Angin Pujaan Hujan”, yang menurut penilaian pribadi,
adalah lagu yang dinyanyikan paling keras malam itu.
Cerita Tentang Gunung dan
Laut mengingatkanku dengan teman-teman, tidak-tidak, hanya diriku sendiri.
Seringkali saat aku bersedih, merasa bahagia, bersemangat, atau merasa penat
dengan segala rutinitas yang selama ini membelenggu, yang ingin aku lakukan
adalah pergi ke manapun, asal jauh dari tempat di mana aku melakukan segala
kegiatanku, laut misalnya(hanya ke laut, karena sampai detik ini Mama belum
juga memberikan izin untuk pergi ke gunung).
Di sana di bibir pantai, kadang aku hanya duduk saja memandang laut,
memandang langit, memandang anak-anak kecil yang asik bermain pasir. Di sana di
bibir pantai kadang aku hanya bermain di pinggir pantai, membiarkan
jilatan-jilatan ombak menggelitik permukaan kulit kakiku, melangkah dari karang
ke karang hingga tanpa kusadari, aku telah jauh dari bibir pantai kemudian
kembali ke tempat awal. Di sana di bibir pantai, kadang aku hanya mengambil
beberapa foto, foto pasir, foto kerang, foto pecahan karang yang terbawa ke
pasir pantai, foto sandal, foto orang , foto langit, foto selfie...
Tapi, biarlah, abaikan apa-apa yang aku lakukan, toh setiap orang pasti
punya cara-caranya masing-masing untuk menikmati tempat-tempat terbaiknya.
Payung Teduh dengan lagunya yang malam itu menggema ke penjuru Gor Manahan
membawaku ke sebuah pertanyaan,
“Mengapa kita harus susah-suah pergi ke suatu tempat yang jauh dari kehidupan kita, ke gunung atau ke laut untuk melepaskan apa yang selama ini membebani?”
Sebelumnya, inilah hasil interpretasiku soal lagu, kalau memang dangkal
atau bahkan salah kaprah, tulis apa dan bagaimana seharusnya di kolom komentar,
ajari aku. Kritik atau hina juga boleh, yang penting jangan biarkan aku salah
berlama-lama.
Malam itu, “Cerita Tentang Gunung dan Laut” membuat pertanyaan yang tadi sudah aku lontarkan tadi bergema berkali-kali di pikiranku.
“Mengapa kita harus susah-suah pergi ke suatu tempat yang jauh dari kehidupan kita, ke gunung atau ke laut untuk melepaskan apa yang selama ini membebani?”
Aku mempertanyakan kebiasaanku atau kita atau bolehlah hanya aku saja, yang
senang sekali menyampaikan apa-apa yang kita rasa, menceritakan soal rasa,
mengutukki rasa, semua soal rasa, kepada sesuatu yang tak punya rasa.
Gunung dan laut mereka tak punya rasa, tetapi kenapa kita
masih saja mendatanginya untuk berbagi rasa? Aku berpikir, apakah kala itu kita
lupa bahwa tak perlu jauh-jauh hingga ribuan meter di atas permukaan laut atau
berkilo-kilometer ke pelosok negeri, mencari hingga dibalik perbukitan untuk
menemukan ujung dari sebuah daratan dan bercerita, karena sesungguhnya ada di
sana, selembar sajadah yang hanya terhitung 3 langkah dari di mana aku menulis
pos ini, yang siap menjadi alas sujudku saat berbagi rasa kepada Dia yang
menciptakan rasa, yang mengendalikan rasa, yang menghapus rasa. Kenapa harus
berkilo-kilometer jauhnya untuk merasakan kedekatan spiritual tertinggi saat sesungguhnya
Dia berada sangat dekat, lebih dekat daripada urat nadi kita sendiri?
Aku tak pernah melihat gunung menangis
Biarpun matahari membakar tubuhnya
Aku tak pernah melihat laut tertawa
Biarpun kesejukkan bersama tariannya
Malam itu ditutup dengan sepotong tahu bacem,
setengah gelas kopi hitam dan rasa syukur kepadaNya atas makna yang selama ini
aku tangkap di waktu-waktu yang tak pernah bisa aku duga. Dia memang selalu saja punya cara-cara istimewa untuk mengingatkan hambaNya.
No comments:
Post a Comment