"Kopi Jahe deh, Mas..."Lagi, setelah 5 bulan berpisah akhirnya kami dipertemukan kembali di bawah sebuah kedai dengan suasana syahdu di temani hawa dingin semberibit Yogyakarta sehabis disiram hujan sore tadi.
Kami bersebelas duduk di meja yang sama dengan beberapa gelas kopi tubruk yang hanya tinggal sisa ampasnya, piring roti bakar, beberapa gelas tinggi yang memesan kopi 'kontemporer' macam capuccino atau latte, korek dan bungkus rokok, tapi dengan kesibukkan yang berbeda. Satunya sibuk mendengarkan musik lewat headsetnya setelah frustrasi menunggu orang di meja depan yang tak kunjung selesai meminjam gitar, dua orang yang matanya terpaku pada layar laptop dan jemarinya yang lincah menari di stick, main PES, dua yang lain ngobrol soal kota baru tempat menuntut ilmu di mulai dari karakteristik orang, harga barang hingga ke peluang usaha, tiga yang lain membantu mendesain Poster teman yang PKMnya lolos sambil sesekali melihat palet warna dari tab sebelah, satu lainnya pamit pulang dulu untuk mengaji, dan aku multitasking antara membalas chat, melihat timeline dan bersyukur, pada hari ini kami masih dipertemukan dalam keadaan sehat walafiat.
Tidak begitu mengerti apa yang aku ingin ceritakan. Antara rasa bersalah dan bersyukur kembali lagi ke halaman ini, setelah perjalanan jauh dan melelahkan mencoba bertahan dari segala macam deadline, hingga hampir saja aku lupa pulang ke halaman ini.
Setiap tempat punya cerita. Setiap sesap kopi mengandung banyak artiJika ditanya, what keeps you going so far? Maka aku akan menjawab, my faith to God, my spirit for Mom, my optimism for my nation and my sincerity for my religion. Lanjut pertanyaan selanjutnya, "what makes you going?" Then I'll answer it, short and crystal clear, "coffee".
−Anindya Roswita
...
Pukul 11.48 Waktu Indonesia bagian Barat. Sebenarnya masih di bawah pengaruh kopi jahe yang aku pesan semalam. Kopi yang ampas kopinya bahkan hampir setengah gelasnya, ditambah beberapa potong jahe yang ditumbuk. Cukup untuk membuat siapa saja yang menegaknya terjaga hingga pukul lima. Semacam uji nyali untukku yang punya maag dan meminum kopi dicampur jahe, efek hangat yang jika maagku kambuh juga akan terasa efek "membakar"nya di lambung. Tapi, nikmat itu memang tidak bisa dibohongi, saat disodori list menu di daftar kopi aku seakan tidak memiliki pilihan lain untuk meminum kopi macam lainnya. Sudah cinta sepertinya.
Kopi dan sahabat mereka sama halnya dengan rumah. Tempat kita pulang dan beristirahat saat kita sudah pergi terlalu jauh. Saat kita mulai hilang arah. Sebagai pengingat akan mimpi-mimpi yang pernah tertuang di cangkir kopi kita masing-masing. Sebagai cambuk yang tak segan menampar kita saat kita sudah tersasar terlalu jauh. Sebagai cermin diri di mana kita tak akan ragu menjadi manusia merdeka seutuhnya.
Sesederhana kopi tubruk. Sehangat jahe tumbuk. Itulah sahabat. Tak perlu kriteria A-Z untuk mendapatkan sahabat seperti kesepuluh orang yang tadi malam duduk di depanku. Orang-orang yang selalu menerima kita dengan hangat dengan tawa renyah dan ramah sejauh dan selama apapun kita pergi. Lembayung sekali lagi membuatku berfilosofi dalam tawa sahabat, dalam iringan musik yang tumben nggak genah, dalam dinginnya Kota Yogyakarta malam itu.
Lembayung, nanti aku datang lagi
Masih dengan Kopi Jahe untuk yang kesekian kali
No comments:
Post a Comment