Sebuah
tenda kecil, mampu menampung sekitar 5-10 orang, menjual bermacam-macam nasi
bungkus dengan ukuran kecil yang tak cukup jika hanya memakan satu. Ada yang
lauknya sambal teri, bandeng, ada juga yang oseng-oseng. Ditambah satu atau dua
tahu bacem atau sate keong yang dibakar lagi, teh hangat tawar atau jahe
hangat, satu kenikmatan dunia lagi. Makin lengkap karena semuanya hanya
berharga kurang dari tujuh ribu rupiah, mujur kalau hanya lima ribu, yang ini
bisa karena lauk yang diambil tidak terlalu banyak atau memang sudah kenal
dengan pedagangnya.
Siapa tak kenal dengan
angkringan? Solo punya cerita sendiri untuk salah satu tempat makan rakyat yang
satu ini. HIK. Kira-kira begitu
namanya sering digaungkan oleh Wong Solo.
Singkatan dari Hidangan Istimewa Kampung, atau ada juga yang menyebutnya
Hidangan Istimewa Keluarga. Terserah apa namanya, tetapi HIK punya kesan
tersendiri untuk saya.
Makanannya murah? Mungkin
iya. Tetapi lebih dari itu. Bagi saya, angkringan adalah tempat sederhana yang
mempersilahkan siapa saja untuk masuk ke sana. Tidak peduli apakah anda anak
jenderal atau anak bakul nasi kepal,
apakah anda orang dengan penghasilan puluhan juta per bulannya atau orang
dengan penghasilan yang “iya-iya nggak”.
Semuanya diterima dengan baik di HIK. Dari pecinta wedang jahe atau pecinta
kopi, bahkan untuk mereka yang datang untuk sekedar minum wedang sambil menghisap satu atau dua batang rokok.
Selain tempat makan dan
menjadi tempat meleburnya masyarakat kita tanpa memandang status sosial, suku
atau agama, Angkringan juga merupakan salah satu tempat yang baik untuk
mendengar lebih baik apa yang selama ini dihadapi warga di kehidupan nyata
dengan segala regulasi yang telah dibuat oleh Pemerintah. Dari angkringan,
kritik-kritik sosial, perdebatan tentang siapa capres terbaik, bahkan
negosiasi-negosiasi mengenai pilihan capres pun bisa terjadi di angkringan.
Saya jadi ragu untuk mengatakan bahwa masyarakat kita adalah masyarakat yang
apatis yang hanya peduli dengan kepentingannya sendiri dan tidak peduli akan
negara. Lagi-lagi pemikiran tersebut memunculkan pertanyaan dalam benak saya,
sebenarnya rakyat yang mana yang dimaksud? Bohong saat kita mengatakan diskusi
belum menjadi budaya kita. Padahal faktanya, orang-orang Indonesia adalah
orang-orang yang jago basa-basi, budaya kita memang budaya yang suka ngobrol,
lebih parah lagi, dalam versi kebablasannya
suka nggosip. Entah mindset yang
ditanamkan dari mana tapi sepertinya perbedaan kata ngobrol dan diskusi sudah
jelas-jelas membuat kita minder duluan. Padahal diskusi dan ngobrol itu
sendiri masih sama saja artinya, kegiatan di mana kita bia mengutarakan
pendapat dan menjelantrahkan fakta.
Yang membedakan hanyalah ngobrol adalah bahasa pergaulan, sedang diskusi adalah
bahasa yang lebih formil. Disadari atau tidak, dari Angkringan bahkan, kita
bisa melihat bagaimana kualitas masyarakat kita dari bahan obrolannya. Jika mau
membanding-bandingkan, baiklah saya coba bandingkan, apakah mereka yang berada
di balik dinding-dinding kaca tebal dengan kopi merk cafe terkenal asal Negeri
Paman Sam itu membicarakan soal payahnya birokrasi untuk mengurus BPJS
sementara mereka yang duduk lesehan di pinggir jalan tengah berdebat apa BPJS menguntungkan
bagi mereka atau lebih baik kembali ke JAMKESMAS? Apakah mereka yang duduk di
ruangan ber-AC dan tengah menikmati kue croissant juga sedang membicarakan
tentang naiknya harga telur dan sembilan bahan pokok lainnya?
Berpergianlah,
betemulah dengan banyak orang, sesungguhnya pelajaran datang dari tempat-tempat
yang tidak pernah kita duga−Anindya
Roswita
Saya pernah mengatakan
bahwa naik kereta ekonomi sendirian, duduk di sebelah orang yang tidak kita
kenal adalah awal yang baik untuk belajar. Belajar tentang budaya, belajar
tentang memahami karakter orang, dan belajar mengambil hikmah dari perjalanan
yang kita. Setelah kemarin untuk keberapa kalinya saya makan di angkringan
dengan seorang teman, akhirnya saya mengerti, tak perlu jauh-jauh hingga ke
ujung-ujung Timur atau Barat, kalau ternyata kita sendiri belum bisa memetik
pelajaran-pelajaran yang tersebar di lingkungan di sekitar kita. Seperti di
Angkringan sebelah rumah misalnya.
Bangsa kita memang
terkenal, selain terkenal akan budayanya yang ratusan banyaknya, potensi
alamnya yang seakan tak pernah habis, juga.......meri. Meri dalam Bahasa Jawa
berarti pengenan(aduh, saya mulai menjelaskan bahasa Jawa dengan bahawa
Jawa). Alias, ikut-ikutan. Banyak dari kita ternyata belum bisa membedakan mana
itu Modernisasi dan mana itu Westernisasi. Seringkali menganggap modernisasi
adalah westernisasi. Padahal keduanya adalah hal yang berbeda. Saya ingat pelajaran
Sosiologi tentang masyarakat multikultural di bangku SMA kelas XII, Guru
sosiologi saya mengatakan bahwa westernisasi adalah pola atau gaya hidup yang
ke-barat-baratan, sedangkan Modernisasi adalah gaya hidup di mana teknologi
sudah mulai diikutsertakan dalam setiap segi kehidupan masyarakat. Sayangnya,
hal ini terjadi juga dalam dunia peng-angkringan-an. Angkringan yang lahir dari
keuletan dan kreativitas pribumi ternyata tak luput dari gerusan zaman.
Beberapa orang lebih memilih cafe karena cafe yang sebenarnya berasal dari Paris itu memiliki
prestige yang lebih tinggi. Cafe berasal dari kata Coffee yang berarti kopi,
sebagai bentuk dari kedai kopi. Lalu mulai menyebar ke Italia dan semakin booming dengan sebutan Cafe.
Eksistensinya terus menyebar ke seluruh penjuru dunia, tak luput Indonesia. Fenomenanya
semakin ironis, saat anak muda kita tidak ingin ngopi-ngopi di warung kopi atau
angkringan dengan alasan kopinya tidak original karena hanya kopi instan,
tetapi lebih memilih ke Kedai Kopi terkenal asal Paman Sam dengan lambang
perempuan berwarna hijau itu yang menyatakan bahwa kopi terlaris di kedai
tersebut adalah kopi yang berasal dari Sumatera, Indonesia. Boleh tertawa getir
jika anda ingin.
Angkringan memang punya
cerita sendiri. Angkringan telah menjadi simbol dari kuatnya keinginan beberapa
orang untuk mencari penghasilan yang tanpa disadari juga sekaligus
mempertahankan budaya ngangkring di
tengah gerusan budaya kongkow di cafe-cafe
yang mulai menjamur.
Yuk Ngangkring!
Tempat ngangkring saya biasanya di:
- 0 kilometer(saya nggak paham kenapa disebut 0 kilometer), di sini nasi bakarnya enak, dan lauknya beragam, sekalap-kalapnya pilih lauk, paling mahal cuma bayar sepuluh ribu rupiah saja.
- Angkringan Pak No. Di sini nasinya lebih banyak, sambal terinya juga enak, ada di belakang ISI. Saya beberapa kali ke sini kalau ada project sampai malam dan kelaparan sama anak KMF.
- Angkringan kulon West Bro’s. Yang ini, saya memang baru sekali ke sana, ada di depan markas Solo Blues Festival. Saya tahu tempat ini dari teman, dan saya langsung jatuh hati dengan tahu bacemnya yang enak sekali apalagi jika dibakar lagi. Di sini juga ada wedang ronde, saya harus ke sana lagi.
No comments:
Post a Comment