Satu orang tengah duduk di bawah kanopi sebuah minimarket dengan cabang-cabangnya yang tersebar ke penjuru dunia. Ia memilih macchiato, seharga dua belas ribu, untuk menemani sorenya yang sedikit mendung dan pengap. Di pinggir bangunan hijau, salah satu ikon ibu kota, tempat pertama kali bagi beberapa orang turun untuk menginjakkan kakinya untuk dengan sejumput asa di bumi Ibu Kota.
Di bawah kanopi ini, entah darimana saja kalangan mereka menikmati apa yang tersaji di meja mereka, sambil asyik menyelami dunia mereka sendiri, lewat alunan-alunan musik yang telah di atur sedemikian rupa playlistnya. Ada yang memilih segelas plastik kopi, atau coklat, ada juga yang meminum es serut segala rasa, kata beberapa orang itu seni menikmati hidup.
Here comes the questions. Apakah masih bisa kita menikmati hidup saat di tengah menyesap that heavenly taste of coffee or somewhat, tiba-tiba ada dua orang anak yang datang ke meja kita, yang satunya menanyakan apakah sepatunya ingin disemir sambil menggenggam alat perangnya, dan satunya lagi dengan umur yang lebih muda, menengadahkan tangan, bukan untuk berdoa kepada Tuhannya, tapi untuk memohon belas kasih demi satu atau dua keping rupiah? Apakah masih bisa menikmati hidup saat dua belas ribu yang kita pakai untuk membeli secangkir kopi ternyata bisa mengganjal lapar yang maha, untuk belasan anak kecil dengan profesi yang sama?
"Bersama Ibu Kota semua bisa, semua ada. Kamu ngapain aja bisa jadi duit!"
Betulkah? Apakah kalimat itu juga dipersembahkan untuk adik adik kecil kita yang seharusnya sedang belajar membaca atau menonton serial kartun anak di televisi? Apakah benar yang di kata orang, "Ibu Kota lebih kejam dari Ibu Tiri?" Sementara di saat yang bersamaan, kalimat "Hanya yang berusaha dengan giat yang akan memetik hasil" seolah menjadi pembenaran atas segala ketimpangan sosial yang terjadi di depan mata kepala setiap anak-anakmu, Ibu..
Taukah kau Ibu, Kau dikata orang sebagai tempat menaruh harap, memupuk asa, memetik buah segar setelah ditanam baik-baik. Tapi, anak-anakmu, melihat seorang ibu yang menggendong anak di dalam bis saja malah pura-pura tidur dan tidak dengar dengan headset tersumpal di telinga. Lalu, asa siapa yang kau dekap, Ibu?
Itu hanyalah sebuah cerita seseorang yang saat ini gelasnya sudah kosong, tak banyak, hanya seujung kuku jari kelingking fenomena yang diceritakannya. Tetapi tetap juga ditulisnya, takut fenomena yang tak sebesar jempol ini akan terlupa dan tak pernah terselesaikan.
Atau kami memang tinggal di Ibu Kota Mimpi?
No comments:
Post a Comment