Kamis, 13 Februari 2014
Pukul 22.49 WIB
Pukul 22.49 WIB
Sebuah gunung berapi dengan ketinggian 1.731mdpl yang terletak di Provinsi Jawa Timur, seakan bangun dari tidurnya. Gunung Kelud. Berada di perbatasan Kabupaten Blitar, Kabupaten Kediri dan Kabupaten Malang. Ia akhirnya memuntahkan material-material yang selama ini dikandungnya. Luka saudara-saudara di Sinabung belum juga mengering, kini Kelud menggores bagian lain tubuh Ibu Pertiwi. Negeri ini terhenyak.
Kelud dan Sapu.
Malam itu terdengar bunyi gemuruh dari arah timur yang tak berkesudahan. "Mungkin malam ini akan hujan." Setidaknya itulah yang aku pikirkan sebelum melihat info di lini masa Twitter tentang telah meletusnya Gunung Kelud. Diikuti dengan kepanikan-kepanikan orang-orang yang mendengar bunyi gemuruh tadi, yang mendapati kaca bahkan tanah yang mereka pijak bergetar. Belum lagi perasaan takut dan tidak aman lainnya yang menghinggapi siapa saja, sambil menerka-nerka seberapa dahsyat letusan Gunung Kelud di daerah Blitar, Kediri atau Malang, karena bahkan untuk kawasan macam Purwokerto, Surakarta dan Yogyakarta pun masih mendengar suara gemuruhnya.
Kelud yang sering ditulis "Kelut" dalam bahasa Jawa berarti Sapu. Seperti yang kita tahu, sapu sendiri adalah salah satu alat yang digunakan untuk berbenah, membersihkan lantai, dinding atau langit-langit dari kotoran dan debu. Kelud dan sapu. Lalu aku mulai berpikir, sekaligus menerka-nerka, mengandai-andai, apakah mungkin ini cara Allah menyapu kebathilan yang ada di Pulau Jawa. Eh, bukan menyapu. Tapi lebih ke menyuruh kita, orang-orang bodoh yang kadang lupa diri, merasa sok pintar akan suatu keahlian hingga lupa masih ada langit di atas langit, dan masih ada lapisan batuan lain di bawah tanah yang kita pijak. Mungkin ini cara Allah mengingatkan diri untuk segera menyapu, berbenah, melakukan bersih diri dari segala kekhilafan yang kita lakukan saat nyawa masih ada di dalam badan. Mungkin ini caranya Allah mengingatkan kita bahwa tidak ada yang abadi, segalanya dapat berubah sesuai dengan keinginanNya. Mungkin ini caraNya mengingatkan kita yang sering lupa.
Minggu, 16 Februari 2014
@ Car Free Day Slamet Riyadi, Surakarta
Pukul 06.00-09.00 WIB
Pukul 06.00-09.00 WIB
Pagi-pagi sekali kami berkumpul, di depan Taman Sriwedari. Dengan harapan dan semangat. Dengan senyuman dan kepedulian. Dengan rasa cinta dan kasih kepada sesama. Berbalut jas almamater Biru Ndog Asin, memegang kotak bertuliskan "Gerakan Mahasiswa se-UNS Peduli Bencana" kami mendatangi satu per satu pengunjung Car Free Day hari Minggu itu. Menanggalkan rasa gengsi ataupun malu, kami ingin saudara-saudara kami di sana dapat tersenyum seperti dulu. Matahari pagi senantiasa menemani langkah kami, menembus kerumunan, tersenyum kepada siapa saja sambil menyodorkan kotak kami, siapa tau mereka ingin membagikan rezekinya untuk saudara mereka yang kini sedang kelaparan karena makan pagi belum datang dari posko pengungsian.
Seribu, dua ribu, lima ribu, sepuluh ribu... semua kami terima, membalas mereka, baik yang membagikan rezeki mereka maupun yang tidak, dengan senyuman dan doa, semoga keberkahan selalu diberikan kepada mereka. Namun, tidak semuanya mulus, baik-baik saja, tanpa kendala. Ada pula saat di mana kami bertemu dengan mereka yang sibuk dengan gadget mereka, mengacuhkan kami, mengatakan "tidak" untuk membantu saudara mereka yang mungkin saat ini sedang kesusahan mencari sehelai masker.
Sebegitu tak pedulinyakah? Namun, apa daya kami? Ini adalah gerakan yang mengajak siapapun untuk berkontribusi dari hati, tidak ada satu orang pun yang memaksa. Ini adalah gerakan dari hati untuk negeri. Sehingga mendapat perlakuan seperti itu, tidak membuat kami patah arang, kami terus bergerak, terus berjalan, mengetuk pintu hati orang satu per satu, membuka mata hati mereka, menyadarkan mereka yang tengah disibukkan dengan dunia, memperlihatkan bahwa ada banyak saudara kita yang hari ini kehilangan lahan untuk bertani atau mendapati hewan ternaknya mati.
Ternyata benar juga,perjuangan kami tidak sia-sia. Dengan usaha yang dilakukan semaksimalkan mungkin, hasil yang kami peroleh juga rupanya tidak mengecewakan, justru membahagiakan. Terima kasih tak lupa diucapkan untuk Allah Yang Maha Esa yang masih menyelipkan orang-orang baik di antara ratusan manusia yang mengunjungi CFD pagi itu.
Semangat Berkontribusi.
Kontribusi. Kontribusi memang bisa dilakukan dengan banyak hal. Doa juga merupakan salah satu kontribusi yang tidak boleh dilupakan. Namun, apa doa saja cukup? Doa perlu didukung dengan usaha. Begitu juga saat kita memutuskan untuk ikut berkontribusi dalam suatu pergerakkan. Dibutuhkan doa yang tak putus-putusnya, juga usaha yang tak henti-hentinya.
God counts every efforts that you make― Anindya Roswita
Allah selalu menghitung segala usaha yang kita lakukan. Prof. Sukonto Legowo, seorang dosen pembimbing untuk mahasiswanya yang tak kunjung lulus, Ian. Salah satu tokoh yang ada di dalam novel "5cm" karangan Dhonny Dirgantoro. Sangat menginspirasiku selama 1,5 tahun belakangan ini. Pemikirannya tentang pengandaian adanya bejana di atas sana, yang akan terisi dengan setiap usaha dan doa yang kita lakukan, sungguh brilian menurutku. Tentang bagaimana bejana yang penuh dengan doa dan usaha itu akan diturunkan olehNya melalui keberkahan dan hikmah-hikmah Allah lainnya. Analogi itu cukup membuatku terdiam saat aku gagal, mencoba tidak mengutukki keadaan saat aku gagal dan melihat ke dalam diri dan bertanya, "udah maksimal belom ya usaha gue?" "terus, ibadah gue udah bener belom ya?" Dan mendapatkan aku menertawai diri sendiri saat menyadari ada di antara dua hal tadi yang tidak maksimal."
"... Bersinergi dengan aksi.."
―Anis Chaerunisa
Bahwa dalam setiap ucapan dan harapan, harus kita sinergikan dengan aksi-aksi yang proaktif dan solutif. Jangan sampai menjadi anak muda(apalagi mahasiswa) yang punya banyak harapan, ambisi atau wacana, memiliki idealisme setinggi langit Zeus, namun tidak pernah ambil bagian untuk menjadikannya menjadi suatu hal yang nyata. Hanya puas hidup di dalam pikiran-pikiran imajinatif akan sebuah negeri yang aman, damai dan tenteram saat tanpa disadari justru terkungkung di dalam sangkar emas buatannya sendiri. Ucapan harus disinergikan dengan Aksi. Sama seperti doa yang juga harus bersinergi dengan usaha. Agar Allah senantiasa meridhoi setiap apa yang kita lakukan dan kita pun terus berada di jalanNya.
Buka hati, mata dan telinga, bangkit dan berkontribusi dengan cinta, bantu mereka yang tengah lara menghapus air mata, mengembalikan tawa yang dulu mereka punya...
No comments:
Post a Comment