And the memories come in flashes asking me what happened on February 22
Di 22 Februari, yang bukan milik akhirnya dikembalikan
Di 22 Februari, yang bukan pemilik harus merelakan
Di 22 Februari, Tuhan meminta apa yang selama ini dipinjamkan
Di 22 Februari, aku mendengar "Sekarang kamu pemimpinnya"
Siapa yang sangka hidupku akan berubah dalam hitungan jam setelah terakhir aku merecokinya main Zuma. Siapa yang sangka, saat aku tak bisa bangun dari tempat tidur karena maag yang tiba-tiba kambuh, ternyata seseorang tengah meregang nyawa di ruang tamu, di depan Butet Kertaradjasa dengan lawakan-lawakan cerdasnya lewat acara televisi, kesukaannya.
Aku tak ingin berusaha mengingatnya. 4 tahun, waktu yang cukup lama walau terasa sangat singkat. Namun, tidak juga bisa menghapus kenangan selama kurang lebih 15 tahun bersamanya. Orang yang selalu dibilang kakak saat kami berjalan bersama. Orang yang selalu dibilang mirip orang Arab(atau orang India) saat kami berjalan berdampingan. Orang yang selalu meminum coffeemix dan menghisap satu puntung rokok di pagi sebelum berangkat ke kantor dan di malam hari saat pulang. Orang yang selalu membuatku dan adik berlomba-lomba membuka pintu gerbang rumah saat mendengar suara motornya dari kejauhan―dan tebakan kami tidak pernah salah. Orang yang selalu menyanyikan lagu-lagunya Manthous, dan selalu diulang-ulang saat playlistnya sampai ke Wuyung. Orang yang membuatku ikut menonton bola, menggilai Liverpool, teriak jam 2 pagi, lantas membuat Mama keluar kamar mengomeli kami sementara kami hanya saling menatap dan menyalahkan satu sama lain, dan dengan cengiran super lebar kami lanjut menonton bola seakan tidak terjadi apa-apa. Orang yang mengajarkan aku naik motor, dan sukses aku terjunkan ke sawah tetangga karena aku terlalu takut, asing dengan stang motor dan lupa menaikkan persenelingnya. Orang itu yang selalu menjadi partner in crime untuk menghabiskan potongan pizza terakhir. Orang itu yang membelikanku sepatu sandal, dress berwarna merah muda dengan motif floral, mungkin orang itu lelah melihat anak perempuannya jauh dari kata feminin, memakai celana pendek plus kaos dan converse ke manapun ia pergi. Orang itu yang pernah marah denganku karena aku tidak tidur sampai jam 3.00 pagi untuk online, imbasnya? Jelas, untuk bulan berikutnya, no more WiFi in the house. Orang itu yang selalu aku larang untuk hadir saat aku mengikuti suatu lomba. Orang itu yang melarangku masuk Jurusan Hukum saat aku kuliah. Orang itu yang kadang selera humornya tidak bisa aku mengerti tapi caranya tertawa selalu bisa membuat aku tersenyum. Orang itu, untuk terakhir kalinya menggenggam tanganku dan mengatakan, "Jangan jijik sama Bapak.", saat pembuluh darahnya pecah, dan terus memuntahkan air tanpa henti. Orang itu yang pernah memintaku memanggilnya "Papa" agar matching dengan bagaimana aku memanggil Mama, namun tak pernah aku lakukan. Akhirnya, dari dulu hingga sekarang, orang itu selalu aku panggil, Bapak.
Siapa yang sangka hidupku akan berubah dalam hitungan jam setelah terakhir aku merecokinya main Zuma. Siapa yang sangka, saat aku tak bisa bangun dari tempat tidur karena maag yang tiba-tiba kambuh, ternyata seseorang tengah meregang nyawa di ruang tamu, di depan Butet Kertaradjasa dengan lawakan-lawakan cerdasnya lewat acara televisi, kesukaannya.
Aku tak ingin berusaha mengingatnya. 4 tahun, waktu yang cukup lama walau terasa sangat singkat. Namun, tidak juga bisa menghapus kenangan selama kurang lebih 15 tahun bersamanya. Orang yang selalu dibilang kakak saat kami berjalan bersama. Orang yang selalu dibilang mirip orang Arab(atau orang India) saat kami berjalan berdampingan. Orang yang selalu meminum coffeemix dan menghisap satu puntung rokok di pagi sebelum berangkat ke kantor dan di malam hari saat pulang. Orang yang selalu membuatku dan adik berlomba-lomba membuka pintu gerbang rumah saat mendengar suara motornya dari kejauhan―dan tebakan kami tidak pernah salah. Orang yang selalu menyanyikan lagu-lagunya Manthous, dan selalu diulang-ulang saat playlistnya sampai ke Wuyung. Orang yang membuatku ikut menonton bola, menggilai Liverpool, teriak jam 2 pagi, lantas membuat Mama keluar kamar mengomeli kami sementara kami hanya saling menatap dan menyalahkan satu sama lain, dan dengan cengiran super lebar kami lanjut menonton bola seakan tidak terjadi apa-apa. Orang yang mengajarkan aku naik motor, dan sukses aku terjunkan ke sawah tetangga karena aku terlalu takut, asing dengan stang motor dan lupa menaikkan persenelingnya. Orang itu yang selalu menjadi partner in crime untuk menghabiskan potongan pizza terakhir. Orang itu yang membelikanku sepatu sandal, dress berwarna merah muda dengan motif floral, mungkin orang itu lelah melihat anak perempuannya jauh dari kata feminin, memakai celana pendek plus kaos dan converse ke manapun ia pergi. Orang itu yang pernah marah denganku karena aku tidak tidur sampai jam 3.00 pagi untuk online, imbasnya? Jelas, untuk bulan berikutnya, no more WiFi in the house. Orang itu yang selalu aku larang untuk hadir saat aku mengikuti suatu lomba. Orang itu yang melarangku masuk Jurusan Hukum saat aku kuliah. Orang itu yang kadang selera humornya tidak bisa aku mengerti tapi caranya tertawa selalu bisa membuat aku tersenyum. Orang itu, untuk terakhir kalinya menggenggam tanganku dan mengatakan, "Jangan jijik sama Bapak.", saat pembuluh darahnya pecah, dan terus memuntahkan air tanpa henti. Orang itu yang pernah memintaku memanggilnya "Papa" agar matching dengan bagaimana aku memanggil Mama, namun tak pernah aku lakukan. Akhirnya, dari dulu hingga sekarang, orang itu selalu aku panggil, Bapak.
Pagi 22 Februari. Langitnya cerah, burung-burung tetap berkicau, matahari juga dengan baik melakukan tugasnya. Sayang, cerahnya langit tak sebanding dengan rentetan scene cepat yang aku alami bebera jam terakhir. 4.30 WIB tubuhnya dibawa pulang dari rumah sakit, dan waktu berjalan sangat cepat kala itu, pukul 7.00 WIB aku sudah ada di dalam mobil , perjalanan menuju Gunungkidul, Yogyakarta. Kota kelahiran orang seseorang yang sangat berharga, yang menutup usianya di angka 48.Sekarang kamu pemimpinnya―Sumarno
22 Februari punya makna sendiri. 22 Februari yang akhirnya memaksaku keluar dari zona nyaman. Bukan hanya sentilan, tapi aku merasakan kali ini Allah sudah menamparku. Menyadarkanku, betapa jauhnya posisiku saat itu dari keluarga. Anak kelas 3 SMP yang lebih senang menghabiskan waktu dengan teman-temannya, punya dunia sendiri di kamarnya saat ada di rumah. Entah apa yang aku pikirkan saat itu, mungkin aku berpikir, bahwa mereka akan ada terus menerus sepanjang aku hidup. Saat itu aku pasti lupa.
22 Februari, akhirnya aku diseret keluar dari zona nyamanku, bukan hanya sekedar dikitik-kitik agar menyingkir tapi di-se-ret. Digelandang menuju tempat yang baru akibat janji yang kubuat sendiri tanpa memikirkan konsekuensi yang mungkin aku dapatkan jika aku tak mampu memenuhi apa yang aku sanggupi. Dengan berbekal janji yang harus aku tepati, aku bertekad untuk memulai lagi segalanya dari nol. Juga kata-kata Pakde pagi itu, "sekarang kamu pemimpinnya", benar-benar mengingatkanku akan dua orang paling berharga yang nantinya akan aku topang. Posisinya tentu tidak akan pernah bisa tergantikan, namun di sini, sbeagai anak pertama dari keluarga mungil kami, aku merasa memiliki tanggung jawab untuk meneruskan tongkat estafet yang dulu pernah dibawa Bapak yang kini berada di tanganku untuk di bawa lari, melanjutkan perjuangannya. Aku bertekad merubah kebiasaan lamaku, dan mulai 'mencari'.
Hari pertama masuk di SMA, aku berpikir, aku harus jadi orang yang aktif, aku tidak mau menjadi orang yang hanya pasif, menjadi murid yang baik dik akademis namun gagal bersosialisasi, aku harus bisa menyeimbangkan keduanya. Walau aku tahu, aku tidak bisa bahasa Jawa sama sekali, aku yakin, bahasa bukan kendala untuk berinterakasi dengan yang lain―walau sebenarnya bahasa adalah salah satu macam 'noise' dalam proses komunikasi.
Pertama, aku mulai masuk ke ROHIS SMA. Aku merasa selama ini aku jauh sekali dari agama, jujur saja. Orang tua memang mengajarkanku tentang agama islam, namun aku rasa itu belum cukup. Aku tidak ingin menjadi muslim karena keturunan―tetapi tentu saja, aku bersyukur terlahir dari sebuah keluarga muslim. Aku harus menemukan esensi Islam, mengenal Allah, belajar apa yang selama ini aku lewatkan di bangku SMP. Belum terlambat untuk mempelajari semuanya. Masuk ke ruangan ROHIS, bertemu dengan ukhti-ukhti yang baik dengan senyum rupawan, dengan kondisiku yang bahkan belum menutup aurat. Sangat bersyukur mereka bisa menerimaku dan dengan sabar membimbingku lewat kajian atau personal sharing saat aku mulai mempertanyakan apa saja, seperti "Mbak kenapa sih ......." atau "Terus kenapa nggak boleh ........" Syukurlah mereka tidak pernah merasa lelah untuk menjawab semuanya. Rohis akhirnya membawaku ke tempat di mana akhirnya aku memutuskan untuk menutup aurat, walau masih dengan skala kecil, dan bertahap. Setelah sering dikitik-kitik oleh salah satu alumni, akhirnya aku menemukan esensi berhijab untukku yang baru memulai kala itu. Aku juga pernah menorehkannya di halaman ini. Terima kasih kepada Kelompok Amaliyyah Remaja yang mengajarkanku tentang keluarga, persahabatan, agama, juga bersedia menerimaku masuk di dalamnya dan menggenggam tangan ini untuk berjalan bersama dan tak pernah membiarkannya jatuh dua kali.
Kedua, OSIS. Harus aku akui, OSIS SMP jaman baheula dulu, sangat jauh dari kata aktif. Aku pun bukan salah satu yang berkecimpung di dalamnya. Namun, dengan tekad 'self-searching', OSIS menjadi organisasi wajib keduua yang harus aku ikuti. Dengan pengalaman berorganisasi yang masih nol, relasi di Gunungkidul yang juga nol, aku tetap membulatkan tekad untuk masuk ke dalam organisasi ini. Periode pertama, tak menyangka aku terpilih menjadi BPH OSIS Widyatama 2010/2011. Kaget. BANGET. Bagaimana tidak, aku yang bukan apa-apa, istilahnya 'anak tempe' ini, tiba-tiba ditempatkan menjadi sekretaris dua, untuk membantu partnerku yang sudah duduk di kelas XI. Berulang kali aku mengingatkan mereka tentang pengalamanku yang masih secimit bahkan nol. Tetapi mereka tidak juga merubah keputusannya. Entah apa yang ada di dalam diriku, mereka yakin aku bisa menerima tanggung jawab ini. Walau akhirnya aku akan pusing dengan segala macam hal tentang persuratan, proposal, schedule seminggu, dua minggu, sebulan, namun aku tetap senang berada di dalamnya. Lagi, lewat organisasi ini aku diajarkan tentang ketekunan, keuletan, intrik politik juga sesekali, dan yang paling penting aku menemukan 10 orang sahabat yang sampai saat ini masih sering kumpul-kumpul untuk sekedar ngopi-ngopi, aku memanggil mereka, Cawetrangers.
Exploring talents. Kalian harus percaya saat aku mengatakan aku bukanlah orang yang memiliki keberanian ataupercaya diri seperti apa yang terlihat―setidaknya itu yang apa teman-teman katakan. Hal ini dapat dilihat dari bagaimana aku selalu merasa aku tidak punya talenta yang membanggakan, entah di bidang musikk atau kepenulisan, dua hal yang sangat dekat denganku. Namun, setidaknya di SMA aku jugamenjadi lebih berani berkat bimbingan guru-guru pembina yang sabar menghadapi manusia kepala batu sepertiku. Ikut lomba menyanyi solo walau akhirnya tidak bisa pulang membawa piala, namun beberapa bulan kemudian mendapat kesempatan untuk mengisi acara halal bihalal PNS se-Gunungkidul untuk menyanyi di sebuah GOR di Gunungkidul, dan itu kali pertamanya akhirnya aku bisa menghasilkan uang sendiri, haha bangga sekali rasanya. Juga tahun 2011 sampai 2012. Masa-masa kelas 11 di mana aku harus membagi antara akademis, organisasi dan konferensi, juga dua lomba yang aku ikuti. Syukurlah dengan segala kegiatan yang ada, setidaknya aku bisa mentas dari masa-masa itu hidup-hidup tanpa mencederai nilai-nilai di bangku kelas XI. Bagian hidupku yang ini mengajarkanku tentang berharganya setiap detik waktu, tentang pentingnya melihat ke dalam diri dan menemukan passion kita, juga tentang tanggung jawab yang harus dipenuhi tidak peduli ada berapa banyak tangguung jawab yang kita pegang di waktu yang bersamaan.
"Belajar adalah proses sepanjang hayat"―Eka Nanda
Memang menakjubkan cara Allah mengajarkan seseorang tentang sesuatu yang lebih besar yang ada di depannya, tentang penghargaan kepada keluarga, tentang keikhlasan, tentang pilihan, tentang menjadi seorang pemimpin, tentang keluar dari zona nyaman, tentang menghargai hidup, dan pelajaran lain yang tak pernah aku pikirkan sebelumnya. Dan ternyata, aku dapat semuanya itu dari sebuah kehilangan. Aku jadi teringat salah satu lirik Breakeven yang dinyanyikan oleh Danny O'Donoghue bersama The Script, "bad things happen for a reason". Tapi, mungkin kurang tepat juga jika aku mengatakannya sebagai suatu hal buruk, bagaimana kalau sebenarnya itu adalah hal baik? Bukankah selalu ada makna dibalik setiap peristiwa? Bukankah Rencana Allah adalah rencana yang terbaik? :)
We're a planner, but we must remember that Allah is the only Master planner above all ― Anindya RoswitaI hope you're up there with God saying that's my kid―The Script(If You Could See Me Now).
Someday I'm gonna make you proud.
Someday I'm gonna make your tears stream down your face for the good thing I did.
Someday, I'm gonna make those dreams you haven't reach, reached.
22 Februari akan terus menjadi tanggal bersejarah, pintu gerbangku melihat dunia yang lebih luas dari sekedarr zona nyamanku. Bapak, kepergiannya mengajarkanku banyak hal :)
No comments:
Post a Comment