Playlist #1 You Make It Real-James Morrison
Angin dingin
berdesir, meniupkan helaian rambutku. Kembali kurapatkan jaket berwarna hijau
gelap, hangatnya masih setia melindungiku sejak tiga tahun lalu. Kiranya,
selama itu pula aku menanti.
Tepat hari ini, tiga tahun yang lalu. Saat itu hujan
deras mengguyur kota Bandung. Secangkir teh hangat dan beberapa potong kue tape
buatanku tadi pagi mempercantik meja teras siang itu. Engkau tengah mengenakan
sepatu hitam yang telah kau semir hingga mengkilat, lalu kau ikat talinya erat-erat.
Terlalu sibuknya dirimu dengan kedua utas tali itu hingga tak sadar aku tengah
berdiri di situ membawakan jaket hitam dengan lambang Timnas Perancis dan tulisan
terbordir rapi di bagian punggungnya, “FRANCE” begitulah bunyinya, seperti yang
kausukai.
Aku tak pernah membenci hujan. Kau pun tidak—setidaknya
itu yang aku ketahui. Aku ingat bagaimana kita menyukai hujan, menikmati teh
atau kopi dengan beberapa cemilan kapanpun saat kau di rumah, berfilosofi
tentang setiap tetesannya yang jatuh ke tanah, atau sesekali berdansa seperti
orang gila dengan lagu kesukaanmu mengalun lewat stereo yang kau putar
keras-keras.
Tapi siang itu, hujan nampaknya ingin memberitahukan kepada
kita tentang kekuatannya yang tak hanya dapat memberikan kita kebahagiaan,
tetapi juga kesedihan. Seperti perpisahan kita siang itu. Aku ingat siang itu
bagaimana aku membantumu mengenakan jaket hitam kesukaanmu perlahan sambil
menghirup wangi parfummu—Hugo Boss edisi Musim Panas. Aku ingat bagaimana kau
tidak menyukai wewangian, tetapi tidak untuk yang ini.
Siang itu, kau menyuruhku duduk di sampingmu. Aku tak
akan pernah lupa bagaimana kau terus memegang tanganku, seakan tak pernah ingin
melepaskannya. Lalu kau mengeluarkan sesuatu berbentuk persegi panjang dengan
warna metalik dan seutas kabel putih kecil yang melingkari permukaannya. Beno,
begitulah kau memanggil iPod yang telah menemanimu selama bertahun-tahun itu.
Kau pasangkan satu ujung headsetnya di telinga kirimu, dan memberikan ujung
yang lain kepadaku. Kupasangkan ujung headsetnya ke telingaku, saat itu suara
derasnya hujan masih terdengar jelas.
Kali ini wajahmu beralih ke iPod kecil di tanganmu—jangan,
tolong jangan alihkan pandanganmu. Sekarang kau tampak sibuk, mencari lagu untuk didengarkan bersama di tengah hujan yang tak
kunjung reda.
There's so much craziness surrounding me
Aku tahu kau akan memutarkan lagu ini, lagu kesukaanmu, lagu yang selalu kau
pakai untuk berdansa di ruang tengah, dan anehnya aku selalu menikmati
kekonyolan-kekonyolan yang kau buat tanpa pernah bosan.
When my head is strong, but my heart is weak,I'm full of arrogance and uncertaintyWhen I can't find the words, you teach my heart to speak,You make it real for me
James Morrison terus menyanyikan bait demi bait lagunya. Aku yakin, dia bahkan tak
sadar musiknya telah membuat kami larut dalam kesedihan. Bukan kesedihan yang
tercipta karena cerita pada lagu yang ia nyanyikan. Namun, kepada
kenangan-kenangan yang telah kami ukir di tiap-tiap baitnya. Kali ini
matamu terpejam dengan senyum penuh kedamaian yang tergambar jelas di wajahmu
dan jemarimu yang semakin erat menggenggam tanganku. Sementara aku terus saja
menatapmu dari tempatku duduk. Aku ingin terus menatapnya, memandanginya,
bahkan aku tidak ingin mengedipkan mata walau hanya sepersekian detik. Karena siapa yang tahu, akan ada waktu
seperti ini lagi di masa depan.
James Morrison telah menyelesaikan tembangnya. Saat itulah kau membuka mata
dan jemarimu merenggangkan genggamanmu. Kala itu kau tersenyum, bukan senyum
yang seperti biasanya. Jika saja aku bisa berkata lebih banyak, aku ingin kau
tidak tersenyum, aku ingin kau menangis saja, setidaknya itu lebih baik
daripada kau berlindung dibalik sebuah senyum kepalsuan. Namun itulah kau, selalu
saja berusaha menyenangkan orang lain, hingga kadang lupa akan dirimu sendiri.
Kau lihat jam hitam yang melingkar di pergelangan tangan kirimu, berdiri
tegap setelahnya. Memandangku, tepat di bola mataku. Jenis tatapan yang dalam,
kuat namun juga rapuh.
“Kau tahu, aku pasti pulang.”
Lidahku kelu, aku tak mampu berkata apa-apa.
“Namun, jika aku tidak pulang, kau tahu apa yang harus kau lakukan.”
Tenggorokanku tercekat mendengar kata-katamu. Tak mampu aku membalasnya,
bahkan untuk sekedar bergumam pun aku tak mampu. Aku tak mampu lagi menahannya,
bulir demi bulir air mata pun jatuh, membasahi pipi.
Siang itu, kau tinggalkan aku dengan sebuah kecupan di kening dan pelukan
hangat yang tak ingin aku lepaskan. Siang itu, aku memulai masa penantianku, dengan
harapan dan doa yang tak henti aku ucapkan di setiap siang dan malamnya.
Selama tiga tahun, teh atau kue tape yang aku buat tak lagi ada rasanya di
lidahku. Selama tiga tahun, James Morrison tak terasa bernyanyi seperti dulu lagi saat kita berdansa bersama. Selama tiga tahun pula, hujan tak
lagi menjadi hal yang aku suka, dinginnya justru membakar perasaanku dengan
rindu. Aku menunggu hujan dengan rasa yang sama seperti kala itu saat kau ada
di sini. Aku menunggu hujan yang itu, setulus aku menunggumu.
Kini, tiga tahun sudah aku menanti. Hari ini, aku menantimu di teras rumah
dengan teh hangat dan beberapa potong kue tape kesukaanmu. Dengan headset yang
terpasang rapi dan James Morrison yang menyanyikan lagunya, laguku dan lagumu.
Mobil hitam mengkilat memasuki pelataran. Di awali dengan beberapa penjaga
yang keluar dari mobil mereka, hendak melakukan pengawalan. Kau datang. Namun,
yang terlihat justru orang tua dengan kepala hampir botak dengan stelan necis menghampiri tempatku berdiri.
“......
“Di sini kami ingin memberi kabar duka atas meninggalnya Bapak Sony di medan
perang. Beliau menghembuskan nafas terakhirnya di tenda darurat setempat akibat parahnya luka
tembak yang beliau terima dari tentara lawan.”
Satu-satunya yang kuingat setelah itu adalah James Morrison menyanyikan
bait terakhirnya di telingaku.
And I am running to you baby,'Cause you are the only one who saves meThat's why I've been missing you lately,'Cause you make it real for meYou make it real for me
Kemudian semuanya gelap.
No comments:
Post a Comment