This post contents too many rude words, don't read it before it's too late.
Kalau kata bang Azhar Nurun Ala, penulis buku Ja(t)uh, Tuhan Maha Romantis
dan Seribu Wajah Ayah, menulis adalah ritual untuk menasihati diri sendiri.
Bagi saya, menulis itu seperti menciptakan panggung sendiri untuk melepaskan
beban-beban yang selama ini menggumpal di sudut-sudut otak dan minta di
keluarkan, berekpresi, berkontemplasi, apalah nanti akhirnya yang jelas, pada
akhirnya yang ditemukan dalam tulisan saya adalah saya sendiri.
Seruwet itukah urusan tulis menulis? Ah tidak juga,
mungkin memang hanya saya yang mematok standard tinggi untuk sebuah aspek
“kepenulisan”, karena banyak di antara kita entah di sudut bumi sebelah mana
yang menjadikan dirinya pelacur tulisan, iya, pelacur. Menulis untuk sesuatu
yang sebenarnya bukan dirinya, tetapi untuk suatu kebutuhan entah ekonomi atau
citra, tetap juga dilakukan.
Jadi pelacur itu bukan hanya untuk mereka yang menjajakan
tubuhnya di tempat-tempat prostitusi? Ah menurut saya tidak juga, untuk mereka
yang tidak bisa menjadi dirinya sendiri atas nama citra juga sama halnya dengan
mereka, hanya saja dalam bentuk lain.
...
Haha sudah-sudah misuh-misuhnya. Sebenarnya itu tadi
bentuk kekesalan saya yang sudah naik ke tahun ke-2 di masa perkuliahan, lihat
betapa cepatnya waktu berlari, entah seberapa cepat kita mencoba menyamakan
kecepatan dengannya seolah terus saja kita ada di belakangnya. Bukan kesal pada
waktu, tapi kesal pada respon orang dalam menyikapi kenaikan tingkat itu
sendiri.
“Udah semester 3 lho... udah punya adik..”
Kemudian dilanjutkan dengan
kalimat ini,
“Harus bersikap, harus jaga image, behave dong...” dan
lain sebagainya dan yang lebih parah,
“Boleh sikap kayak gitu, tapi kalo di depan adik-adiknya
jangan kayak gitu...”
Bukannya saya menolak untuk melakukan itu semua, toh memang sangat
diperlukan, tetapi, untuk apa membangun citra diri bahwa kita adalah orang yang
dewasa saat otak dan hatinya bahkan belum sampai ke sana. Katanya setiap orang
punya prosesnya masing-masing? Katanya disuruh menikmati proses? Katanya jadi
dirimu sendiri? Lha kok ini malah dilimit?
Bukankah alangkah lebih baik jika kita mengenalkan diri kita sebagai diri
kita sendiri? Mengenalkan diri sebagai
sesama teman yang masih berproses dan sama-sama dibetulkan jika salah? Karena
akan sangat aneh, saat kita tahu seseorang dengan wibawa dan bijaksananya,
kemudian kita tahu bagaimana aslinya saat bukan di muka umum, dan memunculkan statement,
“Oh, kayak gitu aslinya...”
Ada lagi yang bilang ke
saya “Kamu masih suka nonton *mention film anak-anak*?” saya jawab “suka..”
dijawab “ya harus dikurangin, nanti nggak dewasa-dewasa.” Sedikit jengah sih,
tapi saya tanya lagi, “Emang dewasa itu gimana?” dijwabnya, “Ya
dikurang-kurangin yang seperti itu, kan pikiran kita dikontruksi oleh buku yang
kita baca, film yang kita tonton, musik yang kita dengar, ...” Pernyataan
tersebut memang benar, saya pun setuju tapi, what is grown up actually? Is it
something that you can see only by the look? Or what? Cause for me, maturity is
on your mind, and is about experience you’ve taken, not about the way you
dress, the way you laugh or talk(I talked about “the way” not “something you
brought in your words”), cause everyone fake it these days, and maturity
doesn’t define it.
Jadi ya gitu, saya biasa
diperlakukan sebagai teman bukan sesuatu yang ada tingkatannya even my mother,
and father, and the whole family treat me so, except for some important cases.
No wonder, saya memperlakukan adik-adik saya juga selayaknya saya berteman
dengan mereka, kami sebaya dan lain sebagainya, akan terasa bedanya, saat adik
kita misalnya, mengerjakan sesuatu saat kita meminta bantuan atas dasar “patuh”
atau “dengan senang hati membantu temannya.”
Kembali ke dunia kampus,
saat saya dengan bercanda bilang “hahaha gue gagal branding”, saya jadi
berpikir sekarang, sebenarnya apa yang saya ingin mereka lihat tentang saya?
AHA! Sekarang saya punya jawabannya, saya ingin teman-teman saya melihat saya
sebagai diri saya, bukan orang lain, sebagai anak rantau yang juga sedang
berproses, yang kadang masih salah, kadang juga benar karena nggak selamanya
kan orang salah terus atau benar terus, tapi tetap terus belajar, sebagai amphibi di dunia pergerakkan mahasiswa,
dakwah dan dunia seni, sebagai orang yang nggak malu jadi dirinya sendiri,
karena di dunia perkuliahan saat bahkan kita tidak menentukan di mana kita
berpijak, habislah kita tenggelam kena hempasan ombak entah pergaulan atau
ideologi.
PS. Jangan bilang-bilang ya saya buat tulisan ini.
No comments:
Post a Comment