sumber : images |
“Sounding like another cliche...”
Langit Solo sore ini
sudah tak lagi sebiru tadi siang, warnanya... jingga? Nila? Orange? Ah entah
namanya. Segelas jus mangga dengan warna senada dengan Si Langit mantap berdiri
di samping laptop, berkali-kali menggoda perhatian saya yang mencoba fokus ke
tulisan ini. Di waktu yang bersamaan semua orang terlihat berbicara dalam diam
di hadapan saya, suara mereka redam dan digantikan oleh suara Danny O’ Donnough
yang menyanyikan No Words dan menambah kesyahduan versi saya sore ini. Kau tau
apa ini? Indah.
Indah. Itu juga yang saya
tau saat beberapa waktu lalu saya ada di tengah kemacetan di kota Jakarta di
jalan Melawai menuju rumah Bunda, atau sore lainnya di Mampang di tengah
kemacetan menuju rumah Tante, suara musik dari headset yang saya kenakan saat itu beradu dengan suara pengamen
dengan ketipung atau gitarnya yang bersahut-sahutan dari kursi ketiga pintu
depan dan kursi kedua pintu belakang, masih ditambah dengan bapak-bapak yang
membawa kantung plastik penuh dengan bungkusan tissue, atau bapak lainnya yang
membawa ember sambil teriak “mijon mijon, mijon!” Belum lagi bapak yang
menggantikan bapak yang lain, dengan strategi marketing yang dipelajari secara otodidak, menawarkan barang mulai
dari alat menjahit portabel, buku resep, sampai jepit rambut. Atau dua orang
yang tengah kasmaran, si wanita menyandarkan kepalanya di pundak si laki-laki,
tanpa malu tanpa ragu memamerkan kemesraan, sepertinya memang benar ungkapan “saat jatuh cinta, dunia milik mereka
berdua, yang lain cuma ngontrak.” Indah memang melihat mozaik-mozaik
kehidupan orang Jakarta lewat bus kota, karena selalu ada saja yang bisa
dipetik untuk menjadi cerita di sebuah postingan blog.
Indah juga saat aku
terjebak di dalam 7-Eleven menikmati segelas machiatto, dengan buku catatan
kecil souvenir pernikahan entah siapa, dan
memperhatikan anak kecil di seberang meja dengan umm.. sepertinya segelas
coklat panas bersama ayahnya yang sesekali sibuk dengan laptopnya. Hujan tak
kunjung reda hingga gelas kedua, Coklat panas. Indah memang, Jakarta selalu
punya tempat untuk menyepi di tengah hiruk pikuknya.
Sedih tapi tetap indah
juga, saat melihat anak-anak kecil dengan payung-payung besar, bermain di bawah
hujan lebat, tak takut dengan suara guntur yang terdengar sesekali, menjemput
satu per satu ibu-ibu kantor dari satu sisi ke sisi lainnya, lumayan, goceng kalau beruntung ceban. Kedinginan, tapi tetap senang
juga mereka, melihat tawa mereka itu ummm menyenangkan tapi menghadirkan rasa
getir juga di hati, harusnya mereka ada di dalam rumah, membaca buku atau bobok siang.
Indah juga saat iseng
naik Transjakarta ke mana saja untuk membunuh kebosanan. Kemudian berbagi
tempat duduk untuk ibu hamil atau ibu yang membawa anak kecil, melihat seulas
senyum darinya, tidak perlu kenal, tidak perlu lebih banyak percakapan, hanya
senyum saja cukup, sudah terasa indah dan meneduhkan.
Atau di Metromini 610
jurusan Blok M-Pondok Labu, bertemu dengan sekumpulan anak punk di jalan Melawai yang meminta uang dengan sebelummnya
mengutarakan One Minute Talk tentang bagaimana mereka meminta uang tanpa harus
ada yang kena jambret dll, secara halus, untuk pertama kalinya saya
berpikir “ih ngancem-ngamncem tapi minta
duit, kerja kali bang”. Indahnya
perbedaan dan perihnya kesenjangan kalau saya bisa bilang.
Saya pernah dengar,
beberapa teman yang tidak suka Jakarta, terlalu bising, terlalu tidak
produktif, terlalu tidak kondusif, dan terlalu-terlalu lainnya yang mengarah
pada hal-hal negatif. Dalam pos ini, saya ingin mengingat Jakarta lagi, lewat
memori saya saat ada di dalam bis, di dalam Transjakarta, menikmati langit sore
Jakarta. Jakarta tidak seburuk itu bagi saya. Jakarta yang katanya kejam itu,
selalu punya tempat untuk siapa saja yang ingin berusaha. Jakarta yang katanya
keras itu, punya orang-orang yang tahan banting dengan daya survival yang
tinggi. Jakarta yang katanya tidak kondusif itu selalu memberikan pelajaran di
setiap tempatnya. Setiap orang di dalamnya punya cara yang berbeda untuk
mencintai kota ini, kota megapolitan atau megapolutan? Ini masih PR untuk siapa
saja yang menginjakkan kakinya di tanah Ibu Kota.
Jakarta yang indah, seindah
saat saya tiba-tiba teringat tentang dirinya di belahan dunia lain, menatap
langit yang sama, entah tengah bertabur bintang atau diterpa sinar matahari
terbit atau juga langit sore yang menyamankan seperti langit sore Jakarta kala
itu.
Jakarta, saya rindu.
No comments:
Post a Comment