ungkin dia kedinginan
dengan balutan kaos ketat dan celanan super pendek jauh di atas lutut. Mungkin
dia sebenarnya penat dengan hiruk pikuk tawa teman-temannya atau pisuhan teman-temannya. Mungkin dia
sebenarnya sesak dengan asap rokok teman-temannya. Mungkin dia sebenarnya ingin
pulang, tidur nyenyak dengan selimut tebal, di kamarnya yang nyaman, bukan di
sini di bawah sorotan lampu jalan yang mengekspos bagian-bagian tubuhnya yang
diumbar percuma, di pinggir jalan. Mungkin jauh di dalam lubuk hatinya, dia
mengharapkan jalan yang lain..
Wajah sedih itu mewarnai
malam kota Solo. Diam-diam menjadi perhatian saya yang sesekali melirik ke
arahnya. Wajah sedih itu, apa artinya? Ingin bebas dari tuntutan atau
perbudakan uang? Atau wajah kerinduan dengan kekasih? Atau lelah? Atau penat?
Atau saya saja yang malam ini terlalu melankolis lantas meng-hiperbola-kan
semua yang saya lihat?
Malam ini saya melihat
wajah lain Solo pada malam hari. Saya pernah menulis tentang keindahan Solo di
malam hari, tentang bagaimana indahnya melewati jalan Slamet Riyadi saat sudah
lewat dari jam sepuluh, di bawah sorotan lampu jalan, atau semberibit angin
malam. Malam ini saya namakan wajah sedih itu, ironi.
Ironi di siang hari,
melihat pusat-pusat peribadatan yang menjamur, bapak-bapak bersarung rapi dan
berjalan menuju masjid yang tengah manggaungkan adzan, atau ibu-ibu yang
setengah berlari menyebrangi jalan raya memeluk bible baru saja selesai kebaktian di gereja.
Ironi juga ada di
pasar-pasar, tebar senyum sana-sini, ramah perangainya, bersahabat dengan siapa
saja yang baru dikenalnya. Ironi yang jadi representasi. Untuk sebuah kota
kecil yang kaya akan budaya dan seni. Untuk kuliner dan tradisi. Ironi hari
ini.
Matahari kembali ke
tempat tidurnya, dan Ironi berbeda
dengan yang siang hari. Ironi kali ini ada di tempat-tempat yang paling gelap
hingga di bawah selimut, sampai di bawah sorotan lampu yang paling terang. Ada di
tempat yang paling sunyi di dalam kamar,
hingga paling hingar bingar dengan musik yang berdentum.
Itulah ironi kota kecil
ini. Di mana tempat peribadatan, kelompok-kelompok agama mampu berkembang
dengan pesatnya, tetapi ternyata tempat dan tindak prostitusi tidak juga mampu
dilibas habis? Pertanyaanya, sudah sampai sejauh manakah kekuatan dakwah setiap
agama yang berkembang di kota ini? Karena itulah ironi, di mana protitusi dan
religiusitas berjalan berdampingan, saat di buku-buku teori, ada hal-hal yang
mampu menjadi kontrol bagi hal lainnya, dalam kasus ini, Agama yang mengkontrol
prostitusi. Inilah ironi, saat keduanya seakan memiliki jalannya masing-masing,
berjalan berdampingan, tidak saling menggangu, bahkan menjaga masing-masing pihak.
Ironi, itulah wajahmu
hari ini. Basuh wajahmu, hapus make up
dan lekas tidurlah, Sayang. Hidup memang berat, namun itulah gunanya ber-Tuhan,
agar pundakmu terus dikuatkan.
Ironi, tidurlah, Sayang..
No comments:
Post a Comment